Aku masih menatap Guruh dengan perasaan gamang, sisi baik sisi jahatku bermunculan. Bapak dan juga Dahlia menyerahkan keputusan padaku. Bapak sudah memeberiku wejangan untuk memaafkan, tetapi aku rasa belum sekarang. Kini hati dan badanku masih terluka parah."Pulangkah, Ruh. Aku mau istirahat, beri aku waktu beberapa saat. Coba kau lihat luka dibadanku belum juga mengering, apalagi luka di hatiku." Aku memperlihatkan luka di kakiku yang tadi diperban oleh perawat."Astaghfirullah, Mas. Ini kenapa?" Guruh dan Mas Rahmat terkejut melihat keadaanku, ternyata sedari tadi mereka tidak memperhatikan keadaaku yang berjalan dengan cara sedikit pincang. Padahal tanganku juga ada beberapa luka lecet."Masmu kecelakaan malam tadi waktu pulang dari rumah ibu," jawab Dahlia."Astaghfirullah, Mas." Lagi-lagi Guruh beristighfar."Kamu istirahat saja Tur, Ibumu biar nanti dijaga sama Mamak." Mas Rahmat akhirnya mengakhiri keputusan, sedari tadi memang laki-laki yang beda lima tahun dariku itu hanya
TikaAku Tika Maharani, dari kecil ibu dan bapak selalu memanjakanku. Apapun yang aku minta pasti mereka turuti, dari makanan yang enak-enak, mainan yang mahal dan tentunya aku bisa jajan setiap hari dengan jumlah di atas teman-temanku. Orang tuaku termasuk orang yang berpunya untuk ukuran orang kampung.Keadaan berubah ketika ibu mengandung adikku, usaha bapak bangkrut, kemewahan yang selama ini aku dapatkan harus hilamg begitu saja. Ibu menjadi sering marah-marah, bahkan mengatakan kalau adikku itu pembawa sial.Hingga aku dewasa ibu tetap menganggap Guntur anak yang tidak diinginkan, ibu selalu menghasutku untuk membenci Guntur.Hingga akhirnya aku menikah dengan mas Gilang, tapi mas Gilang tidak bisa memenuhi kebutuhanku yang ingin selalu tampil glamor. Karena bosan berada dirumah terus, aku main ke tempat sahabatku Beker, dia berprofesi sebagai pemandu lagu di sebuah karaoke yang cukup terkenal."Hebat kamu Ra, masih gadis tapi uangmu banyak, aku aja gak pernah di kasih uang seba
"Hah ... Utang budi apa?" Alisku menaut menjadi satu, sangking sulitnya mengartikan maksud dari utang budi yang dikatakan Mbak Tika."Heh, kamu mikir gak sih Tur, selama ini kan kamu gak pernah ngasih Ibu uang belanja, apalagi sembako dan samacamnya. Kami berdua terus yang memberi Ibu," jelas Mbak Tika, yang semakin aku tak mengerti."Ruh, kamu bisa jelasin ini? Bagaimana ceritanya? Apa Mbakmu ini sudah amnesia atau bagaimana?" Aku menatap tajam pada adik semata wayangku itu."Mbak, sudahlah. Jangan begini, Mbak gak malu apa? Sesuatu yang di kasih ke ibu malah diungkit-ungkit lagi." Guruh mencoba membujuk Mbak Tika."Hei, Guruh. Kamu katanya mau minta kerjaan sama Guntur. Kenapa malah lembek gini," sungut Mbak Tika."Mbak, coba jelaskan baik-baik, utang budi yang seperti apa yang Mbak maksud, sedangkan selama ini kami kasih apapun ke ibu, tapi tidak pernah diterima. Dan masalah kami tidak pernah kasih uang ke Ibu, aku rasa Guruh sudah paham ya Ruh, kalau uang angsuran yang katanya suda
"Bukan seperti itu, Mas, Mbak. Mas Guruh tidak mau aku suruh dia kerja di perusahaan Papa, terus dia pergi hujan-hujanan, dan sampai sekarang belum pernah pulang.""Astaghfirullah, Guruh ...." teriakku.Kuraih kerah bajunya dan bersiap untuk ku ton jok, namun Dahlia dengan sigap menahanku. Sementara Fika hanya membuang muka."Mas, kenapa mau non jok aku? kerja di perusahaannya Papa itu berat, capai Mas. Aku maunya yang di kantor, duduk di depan komputer," jawab anak itu senaknya."Mas, cukup! Siapa yang mau nerima karyawan pemalas seperti kamu. Dan gak usah lagi bermimpi aku akan menjemput kamu, karena aku kesini cuma mau kasih ini." Fika memyerahkan amplop berwana putih."Apa ini yang?" Wajah Guruh sedikit memucat ketika kulihat sekilas amplop itu bertuliskan 'Pengadilan Agama'."Yaa Allah ... Kenapa dua saudaraku harus menerima amplop yang sama dalam waktu berdekatan," batinku."Sebaiknya kita cerai Mas, aku udah gak sanggup biayai hidup kita, uang gajimu selama ini tidak pernah kam
"Dari keterangan warga sekitar, ada seseorang yang sengaja melempar sesuatu kearah toko, dan tidak lama kemudian ada percikan api.""Astaghfirullah ...." Aku dan Dahlia beristighfar."Maaf, Pak. Apa Haji Mansur sudah diberitahu?""Sudah, Pak. Beliau dalam perjalanan." Aku mengangguk, kudian melempar pandangan ke arah toko yang terbakar bagian belakang. Sepertinya api berasal dari arah Dapur. Toko ke dua memang tidak ada tempat untuk memeproduksi, semua kegiatan produksi berada di toko utama. Bagian dapur hanya berisi stok kue kering dan cemilan-cemulan ringan.Ya ... Belum lama ini aku menambah produk baru yang berbahan utama umbi-umbian. Bahan baku aku ambil dari petani lokal, awalnya aku kurang berminat untuk memasukan produk cemilan berbahan umbi, namun salah satu tetangga kami pernah mengeluh, jika hasil panen mereka dihargai sangat murah oleh pengepul.Akupun berinisiatif untuk membeli hasil kebun mereka, kemudian mengolahnya mendi berbagi macam keripik dan kue dari umbi. Tanpa
Haji Mansur tampak ragu untuk mengatakan siapa laki-laki yang terlihat di kamera CCTV."Maaf Pak Haji, kenapa Bapak ragu untuk menyebutkan siapa laki-laki itu?""Saya kurang yakin, tapi dia seperti keponakan saya, anak dari kakak tertua saya yang tinggal di provinsi sebelah.""Astaghfirullah," lirihku."Apa ponakan Bapak tinggal di kota ini apa tidak?" tanya polisi lain."Dia kuliah disini, beberapa kali dia berkunjung ke rumah saya, kemudian saya beri dia uang untuk tambahan sakunya," jelas Haji Mansur."Maaf Pak Haji, apa sebelumnya ada masalah keluarga?"Haji Mansur menyenderkan tubuh lelahnya di kursi yang beliau duduki sekarang. Pandangannya menerawang ke langit-langit ruangan.Menurut penuturannya, dulu beliau sempat bersitegang ketika toko akan diserahkan kepadaku, kakak tertuanya tidak setuju karena aku tidak ada hubungan darah sama sekali. Mungkin karena hal itu, mereka mencoba menghancurkan usaha adiknya."Jadi untuk sementara motifnya karena masalah keluarga ya Pak Haji?" H
Perasaanku tak menentu ketika mendengar kata-kata Haji Mansur yang beliau jeda. Aku tak ingin berprasangka buruk tetang apa yang akan terjadi."Tidak hanya itu, Tur. Mereka juga sempat ingin mencelakai kamu, tapi aku pasang badan, makanya aku kasih dia uang. Aku kira ancamannya hanya guyonan anak kemarin sore saja," papar Haji Mansur dengan suara lemah. Aku tahu bagaimana perasaannya sast ini. Pasti beliau serba salah."Astaghfirullah, Ji. Saya khawatir dengan keselamatan Haji Mansur. Apa tidak sebaiknya saya mundur saja dari toko, agar masalah ini cepat selesai," usulku."Biar polisi yang akan menangani mereka, Tur." Haji Mansur merebahkan tubuhnya di sederan kursi empuknya."Tapi, Ji. Mereka sudah nekat. Bagaimana kalau kakaknya Haji tidak terima anaknya masuk penjara, terus mereka akan mencelakai Haji, bagaimana?" Kekhawatiranku sangat beralasan, mengingat Haji Mansur hanya seorang diti tinggal disini, sedangkan keponakannya sudah berani melakukan tindak kejahatan. Bukan tidak mung
"Astaghfirullah, Ibu punya utang dengan menggadaikan rumah Mas?""Gak tahu, kata Yu Sri tidak pernah."Astaghfirullah, jadi siapa?" Aku dan Dahlia saling pandang."Sebaiknya kita lihat ibu dulu," ucapnku kemudian.Di rumah Mas Rahmat, ibu tengah menangis sesenggukan. Wanita tua yang selalu kurindui kasih sayangnya itu kini memakai tudung di kepalanya, membalut wajah yang kian kurus.Mataku seketika banjir oleh lahar panas yang keluar dari dalam korneaku. Dadaku sesak melihat pemandangan yang begitu menyedihkan."Gu-Guntur ...," panggil ibu dalam isakkannya. Wanita tua itu beringsut mendekatiku, kemudian bersimpuh di kakiku. "Maafkan Ibu, Tur. Ibu sudah dzolim terhadapmu dari kamu bayi. Maafkan Ibu ... Maafkan ibu ...," ucapnya berulang-ulang."Ibu, jangan begini." Akupun duduk dan menarik tubuh renta ibu yang hampir mencium kakiku. Kurengkuh tubuhnya kedalam pelukanku.Isak tangisnya membuat hati ini seketika melemah, menghilangkan seluruh rasa benciku karena ulahnya dulu."Maafkan Ib
Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia
****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud
"Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da
Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli
Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru
Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p
Lagi-lagi aku dibuat melongo dengan pernyataan Ibu barusan. Wanita itu mempersilakan Haji Mansur masuk ke dalam rumah, sementara aku masih diam terapku di teras rumah."Mas, ayo masuk! Kita sarapan." Tepukan di pundakku membuat aku tersadar."Mana Ibu?" tanyaku linglung. Padahal aku tahu mereka sudah masuk ke dalam rumah."Apa mereka janjian Mas?" bisik Dahlia. Aku menggeleng."Nggak tahu, Dek. Tiba-tiba yang datang kok Haji Mansur, aku kira malah brondong," balasku. Dahlia menatapku heran."Yaudah ayo ajak Pak Mansur sarapan dulu." Akupun mengangguk. Kemudian masuk ke dalam rumah.Ketika aku masuk, Kedua insan di ruang tamu itu tengah mengobrol hal yang seru. Ibu terkekeh riang, sementara Haji Mansur hanya menimpali dengan tawa lirihnya."Lia, biar Mami saja yang menyiapkan sarapan. Kamu urus Mariam aja," ucap Ibu ketika Dahlia hendak masuk ke dapur.Setelah Ibu sudah tak telihat dari pandangan mata, akupun duduk di sebelah Haji Mansur."Memangnya ada acara apa Pak? Kok sepagi ini su
"Pokoknya Mami mau tinggal sama Guruh. Kalian jahat!" rajuk Ibu. Ck ... benar-benar seperti anak kecil. "Udah malam, Bu. Kalau mau ke tempat Guruh besok saja," balasku, tanpa menghiraukan ibu yang masih saja mengoceh. Aku menghidupkan mesin mobil dan bersiap untuk keluar dari parkiran."Besok sebelum ke rumah Guruh, kita pengajian rutin di rumah Bu RT dulu, ya Bu. Minggu kemarin Ibu nggak datang, ditanyain lho sama ustadzah Khadijah." Aku dengar Dahlia mencoba membujuk Ibu untuk hadir ke pengajian.Aku baru ingat, sudah dua Minggu kemarin Ibu tidak datang ke pengajian rutin setiap hari Jum'at sore. Semenjak tinggal bersamaku, Ibu selalu ikut Dahlia ke pengajian. Semakin hari sikap Ibu semakin berubah dan hingga saat ini, entah bagaimana ceritanya Ibu berubah menjadi seperti ini. Teman-temannya yang aku temui di cafe tadi, sama sekali aku tak mengenal. Entah darimana ibu bisa dapat teman-teman model seperti tadi."Mami! Pokoknya aku maunya dipanggil Mami!" protes Ibu dengan suara dib
Wanita itu sangat mirip sekali dengan Ibu, pakaian dan dan juga tas yang dia jinjing, tapi ada yang berbeda. Wanita itu tidak berjilbab dan rambutnya ....""Astaghfirullah ...."Perempuan setengah baya lebih itu mengecat rambutnya dengan kombinasi berbagai warna. Hampir saja aku di buat pingsan dengan ulah nenek-nenek itu."Mas Dodo ke Ibu ya, Bapak mau ngejar Mbah uti dulu." Aku menunjuk Dahlia yang sedang mengantre."Iya, Pak." Bocah laki-laki itu berlari menuju dimana Dahlia berdiri.Setelah memastikan Dahlia melihat Ridho menyusulnya, aku bergegas naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. Sampai lantai dua aku sedikit kesulitan mencari keberadaan Ibu, karena di lantai dua ini merupakan pusat perbelanjaan pakaian dan dan semacamnya. Selain itu ada beberapa kafe, arena bermain anak dan juga tempat karaoke.Aku putari tempat demi tampat perbelanjaan disana, tetapi tak jua menemukan sosok yang Ibu kini menjelma menjadi ABG dengan fashion kekinian itu.Kakiku sudah mulai lelah, perutk