Kami duduk di ruang tengah rumah ibu. Mbak Tika akhirnya bisa ditenangkan oleh Guruh. Ibu menahanku yang tadi ingin pulang, karena rasa kecewa yang begitu dalam. Sejanak kami saling diam, tatapan ibu kosong, entah mengingat apa. Sedangkan Mbak Tika masih diselimuti emosi, wajahnya memerah.Akupun begitu, diam tanpa kata, bayangan kejadian-kejadian di masa kecil berputar begitu saja, slide demi slide tergambar begitu jelas diingatkanku.Aku masih ingat sekali, waktu itu entah aku berumur berapa tahun, yang pasti masih kecil. Aku begitu lapar karena seharian perutku belum diisi sama sekali oleh makanan. Ibu sudah menyuruhku mencuci baju, pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa, tapi waktu itu aku belum genap tujuh tahun sudah bergulat dengan cucian di ember besar. Entah bagaimana caraku dulu mencuci baju, yang oenting sudah bau harum sabun, sudah aku anggap bersih, ibu pun tak protes dengan hasilnya.Waktu itu aku melihat Mbak Tika dan Guruh sedang makan dengan telur d
Matahari sudah meninggi, aku baru saja turun dari peraduan, selepas subuh aku kembali lagi memejamkan mata. Badanku terasa sakit semua akibat jatuh dari motor semalam. Kuraih gawai yang ada di bawah bantal dan kuusap layar handphone pintar itu untuk melihat masa. Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Aku sudah telat, tapi jika aku paksa untuk buru-buru, badanku seperti tak mengizinkan. Akupun mengirimkan pesan pada Haji Mansur jika aku akan datang telat."Mas, sudah bangun?" sapa wanita yang selalu kurindui itu."Iya, badan Mas sakit semua Dek," kelulhku. "Dodo sudah berangkat sekolah?" tanyaku kembali."Sudah, baru saja. Mas mau aku izinkan sama Haji Mansur?" "Tidak usah Dek, nanti agak siangan Mas ke toko, ada hal penting mengenai masalah fitnah yang Mas ceritakan semalam." Sebenarnya aku ingin sekali mengistirahatkan badanku yang sudah tidak karuan rasanya ini, tapi masalah di toko harus segera aku selesaikan."Apa gak besok saja, Mas. Tungga Mas Guntur pulih dulu," usulnya."Ini mend
Haji Mansur mendadak diam setelah beliau tadi keceplosan, aku yakin ada rahasia yang beliau tutupi dariku, tentang bapak. Pasti mereka saling kenal, tetapi kenapa Haji Mansur tidak pernah cerita. Bahkan ketika aku dulu baru saja masuk kerja di toko, Haji Mansur mewawancaraiku secara mendetail."Sudah sampai, Tur." Suara Haji Mansur membuyarkan lamunanku. Akupun turun perlahan, tak kusangaka, ternyata Haji Mansur menyambutku agar lebih mudah turun dari mobil.Antrean panjang orang-orang yang akan menebus obat membuatku jengah menunggu, aku duduk dideretan ke dua, sementara Haji Mansur entah menunggu dimana, karena setelah mengantarku ke IGD, beliau keluar ruangan dan belum terlihat lagi.Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya namaku dipanggil. Apoteker memberiku obat untuk minum dan obat untuk dioles ke luka. Selesai mengambil obat, kuseret kaki menuju parkiran, ternyata Haji Mansur sudah menungguku di sana."Kita langsung makan dulu, Tur. Biar kamu bisa minum obat nanti.""
"ini pasti fitnah, pasti sudah ada yang mengedit video ini," teriak Mbak Putri."Tenang dulu Put, saya belum selesai bicara," sanggah Haji Mansur. Aku dan Winar hanya diam mengikuti perintah Haji Mansur."Dimana tempa kalian menyimpan barang curian itu?" tanya Haji Mansur mengintimidasi."Saya tidak tahu!" jawab Mbak Putri sembari membuang muka."Saya sudah laporkan kasus ini ke kantor polisi. Kalau kalian mau mengaku dan mengembalikan apa yang kalian ambil, maka masalah ini hanya sampai batas ini." Haji Mansur memberi pilihan pada mareka. "Kalau kalian masuk penjara, apa tidak malu dengan keluarga? Kamu Mamad, sebentar lagi mau menikah, bagaimana kalau calon istrimu tahu kelakuan kamu disini," tekan Haji Mansur."Saya tahu Ji! saya dan Pak Opik yang menyembunyikan atas perintah Mbak Putri." Mamad menunduk dalam, pandangannya menyapu meja."Mamad!" bentak Mbak Putri."Benar Putri?" Haji Mansur beralih pandang, mata teduhnya kini mengintimidasi lawan. Sementara Mbak Putri hanya diam se
Hatiku makin tidak karuan ketika melihat terpal biru terbentang disamping rumah, Dengan tertatih aku mencoba sedikit berlari agar segera sampai rumah. Mobil aku parkir didekat rumah Mbak Jumi, karena Di depan rumah benar-benar sudah tidak ada tempat untuk parkir."Mas Guntur," panggil seseorang. Akupun menoleh, ternyata Bu Karim."Eh ... Iya Bu Karim. Ada apa ya?""Di rumah Mas Guntur kok ramai bener ya, saya mau pesan mie ayam, tapi kok banyak mobil. Apa ada acara?" tanya wanita berpenampilan glamor itu."Maaf, Bu. Saya juga tidak tahu, ini saya mau buru-buru sampai rumah. Mari kalau mau beli mie ayam," ajakku. Sesampainya di rumah, ternyata para pelanggan mie ayam Dahlia yang parkir di depan rumah. Jumlahnya ada sekitar dua puluh kendaraan termsauk beberapa mobil."Mas, udah pulang?" sapa Dahlia. Tanganya sibuk meracik mie ayam. Sementara disampingnya ada Mbak Fatma, membantu menyiapkan pesanan. Aku bingung harus berbuat apa karena sangking ramainya."Iya, Dek. Mas kira tadi ada ap
Aku masih menatap Guruh dengan perasaan gamang, sisi baik sisi jahatku bermunculan. Bapak dan juga Dahlia menyerahkan keputusan padaku. Bapak sudah memeberiku wejangan untuk memaafkan, tetapi aku rasa belum sekarang. Kini hati dan badanku masih terluka parah."Pulangkah, Ruh. Aku mau istirahat, beri aku waktu beberapa saat. Coba kau lihat luka dibadanku belum juga mengering, apalagi luka di hatiku." Aku memperlihatkan luka di kakiku yang tadi diperban oleh perawat."Astaghfirullah, Mas. Ini kenapa?" Guruh dan Mas Rahmat terkejut melihat keadaanku, ternyata sedari tadi mereka tidak memperhatikan keadaaku yang berjalan dengan cara sedikit pincang. Padahal tanganku juga ada beberapa luka lecet."Masmu kecelakaan malam tadi waktu pulang dari rumah ibu," jawab Dahlia."Astaghfirullah, Mas." Lagi-lagi Guruh beristighfar."Kamu istirahat saja Tur, Ibumu biar nanti dijaga sama Mamak." Mas Rahmat akhirnya mengakhiri keputusan, sedari tadi memang laki-laki yang beda lima tahun dariku itu hanya
TikaAku Tika Maharani, dari kecil ibu dan bapak selalu memanjakanku. Apapun yang aku minta pasti mereka turuti, dari makanan yang enak-enak, mainan yang mahal dan tentunya aku bisa jajan setiap hari dengan jumlah di atas teman-temanku. Orang tuaku termasuk orang yang berpunya untuk ukuran orang kampung.Keadaan berubah ketika ibu mengandung adikku, usaha bapak bangkrut, kemewahan yang selama ini aku dapatkan harus hilamg begitu saja. Ibu menjadi sering marah-marah, bahkan mengatakan kalau adikku itu pembawa sial.Hingga aku dewasa ibu tetap menganggap Guntur anak yang tidak diinginkan, ibu selalu menghasutku untuk membenci Guntur.Hingga akhirnya aku menikah dengan mas Gilang, tapi mas Gilang tidak bisa memenuhi kebutuhanku yang ingin selalu tampil glamor. Karena bosan berada dirumah terus, aku main ke tempat sahabatku Beker, dia berprofesi sebagai pemandu lagu di sebuah karaoke yang cukup terkenal."Hebat kamu Ra, masih gadis tapi uangmu banyak, aku aja gak pernah di kasih uang seba
"Hah ... Utang budi apa?" Alisku menaut menjadi satu, sangking sulitnya mengartikan maksud dari utang budi yang dikatakan Mbak Tika."Heh, kamu mikir gak sih Tur, selama ini kan kamu gak pernah ngasih Ibu uang belanja, apalagi sembako dan samacamnya. Kami berdua terus yang memberi Ibu," jelas Mbak Tika, yang semakin aku tak mengerti."Ruh, kamu bisa jelasin ini? Bagaimana ceritanya? Apa Mbakmu ini sudah amnesia atau bagaimana?" Aku menatap tajam pada adik semata wayangku itu."Mbak, sudahlah. Jangan begini, Mbak gak malu apa? Sesuatu yang di kasih ke ibu malah diungkit-ungkit lagi." Guruh mencoba membujuk Mbak Tika."Hei, Guruh. Kamu katanya mau minta kerjaan sama Guntur. Kenapa malah lembek gini," sungut Mbak Tika."Mbak, coba jelaskan baik-baik, utang budi yang seperti apa yang Mbak maksud, sedangkan selama ini kami kasih apapun ke ibu, tapi tidak pernah diterima. Dan masalah kami tidak pernah kasih uang ke Ibu, aku rasa Guruh sudah paham ya Ruh, kalau uang angsuran yang katanya suda
Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia
****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud
"Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da
Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli
Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru
Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p
Lagi-lagi aku dibuat melongo dengan pernyataan Ibu barusan. Wanita itu mempersilakan Haji Mansur masuk ke dalam rumah, sementara aku masih diam terapku di teras rumah."Mas, ayo masuk! Kita sarapan." Tepukan di pundakku membuat aku tersadar."Mana Ibu?" tanyaku linglung. Padahal aku tahu mereka sudah masuk ke dalam rumah."Apa mereka janjian Mas?" bisik Dahlia. Aku menggeleng."Nggak tahu, Dek. Tiba-tiba yang datang kok Haji Mansur, aku kira malah brondong," balasku. Dahlia menatapku heran."Yaudah ayo ajak Pak Mansur sarapan dulu." Akupun mengangguk. Kemudian masuk ke dalam rumah.Ketika aku masuk, Kedua insan di ruang tamu itu tengah mengobrol hal yang seru. Ibu terkekeh riang, sementara Haji Mansur hanya menimpali dengan tawa lirihnya."Lia, biar Mami saja yang menyiapkan sarapan. Kamu urus Mariam aja," ucap Ibu ketika Dahlia hendak masuk ke dapur.Setelah Ibu sudah tak telihat dari pandangan mata, akupun duduk di sebelah Haji Mansur."Memangnya ada acara apa Pak? Kok sepagi ini su
"Pokoknya Mami mau tinggal sama Guruh. Kalian jahat!" rajuk Ibu. Ck ... benar-benar seperti anak kecil. "Udah malam, Bu. Kalau mau ke tempat Guruh besok saja," balasku, tanpa menghiraukan ibu yang masih saja mengoceh. Aku menghidupkan mesin mobil dan bersiap untuk keluar dari parkiran."Besok sebelum ke rumah Guruh, kita pengajian rutin di rumah Bu RT dulu, ya Bu. Minggu kemarin Ibu nggak datang, ditanyain lho sama ustadzah Khadijah." Aku dengar Dahlia mencoba membujuk Ibu untuk hadir ke pengajian.Aku baru ingat, sudah dua Minggu kemarin Ibu tidak datang ke pengajian rutin setiap hari Jum'at sore. Semenjak tinggal bersamaku, Ibu selalu ikut Dahlia ke pengajian. Semakin hari sikap Ibu semakin berubah dan hingga saat ini, entah bagaimana ceritanya Ibu berubah menjadi seperti ini. Teman-temannya yang aku temui di cafe tadi, sama sekali aku tak mengenal. Entah darimana ibu bisa dapat teman-teman model seperti tadi."Mami! Pokoknya aku maunya dipanggil Mami!" protes Ibu dengan suara dib
Wanita itu sangat mirip sekali dengan Ibu, pakaian dan dan juga tas yang dia jinjing, tapi ada yang berbeda. Wanita itu tidak berjilbab dan rambutnya ....""Astaghfirullah ...."Perempuan setengah baya lebih itu mengecat rambutnya dengan kombinasi berbagai warna. Hampir saja aku di buat pingsan dengan ulah nenek-nenek itu."Mas Dodo ke Ibu ya, Bapak mau ngejar Mbah uti dulu." Aku menunjuk Dahlia yang sedang mengantre."Iya, Pak." Bocah laki-laki itu berlari menuju dimana Dahlia berdiri.Setelah memastikan Dahlia melihat Ridho menyusulnya, aku bergegas naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. Sampai lantai dua aku sedikit kesulitan mencari keberadaan Ibu, karena di lantai dua ini merupakan pusat perbelanjaan pakaian dan dan semacamnya. Selain itu ada beberapa kafe, arena bermain anak dan juga tempat karaoke.Aku putari tempat demi tampat perbelanjaan disana, tetapi tak jua menemukan sosok yang Ibu kini menjelma menjadi ABG dengan fashion kekinian itu.Kakiku sudah mulai lelah, perutk