Sebelum pergi, Ibu menyelipkan sebuah amplop pada Mak Iroh. Entah diisi berapa, akan kutanyakan nanti di rumah dan kuganti uangnya. Setelah dirasa Hanum dan Haura membaik-menurut Ibu dan Mak Iroh-akhirnya kami pamit pulang.
Puluhan nasihat Ibu lontarkan saat berada masih dalam mobil. Saat kudengar Ibu nyerocos, kata-katanya memang masuk telinga kananku, tetapi keluar lagi dari telinga kiri.Di saat seperti ini, aku tak membutuhkan nasihat. Aku hanya ingin ditemani dan diberi semangat. Setiap dengan Ibu, memang selalu diberi solusi. Walaupun pendapatnya harus dipenuhi, tak pernah menimbang bagaimana menurutku sebagai ibu Haura dan Hanum, setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega. Walaupun batin dan pikiranku tersiksa karena sikap Ibu, tetapi ragaku bisa sedikit beristirahat karena ada yang menggendong salah satu bayiku.Satu hal yang membuatku kaget saat kami telah sampai rumah kembali, Ibu memberi saran yang membuatku naik darah."Makanya, kata IbSaat pintu terbuka, tradisi wanita antara kami terjadi. Jeni memelukku erat sekali. Perempuan itu paling dekat denganku semasa kerja. Disusul yang lain, mereka mengucapkan selamat dan cipika-cipiki.Kupersilakan mereka masuk ke dalam. Tampak seorang pria berdiri paling ujung, memandangku datar, lalu tertunduk. Saat pandangan kami beradu, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan."Haura dan Hanum sedang tidur. Kalian masuk ke kamar aja, ya. Tapi, jangan terlalu berisik, mereka baru saja terlelap," ujarku sembari merayap ke dalam.Karena langkahku sangat pelan, alhasil teman-teman mengikuti gerakku dari belakang. Jeni mendampingiku berjalan ke dalam."Wah, kamu tau aja kita suka berisik," timpal Nova, temanku paling ceriwis. Kami menahan tawa bersama. Langkah sudah masuk ke dalam kamar dan tampaklah dua malaikat kecilku tengah terpejam dengan wajah imutnya.Mereka seperti terpesona melihat wajah ayu kedua bayiku. Beberapa di ant
"Boro-boro ngurus diri, Nova. Yang ada setelah punya bayi, apalagi kembar waktu kita sebagai ibu akan tersita, lho. Gak ada waktu buat diri sendiri," bela Jeni, seperti bisa menangkap perasaan yang menimpa hatiku."Dari mana kamu tahu, Jeni? Kayak udah nikah aja," celah Nova. Meski tujuannya bercanda, tetapi ucapannya terkesan meremehkan."Yey, aku kan punya adik banyak. Tahu lah seluk-beluk gimana ribetnya jadi ibu. Makanya, sampai sekarang belum nikah. Ya, walaupun mau, tapi mentalku belum siap.""Gak laku kali. Ha ha ha."Pluk. Jeni melempar teman lelaki yang mencoba menjahilinya. Sejenak, tawa mereka membahana. Hal itu membuat Haura dan Hanum kaget hingga bangun.Meski perhatian telah beralih pada kedua bayiku, pikiranku masih saja berisi tentang ucapan Nova. Apa seburuk itu penampilanku? Apa aku terlihat seperti orang gila?Untung saja Jeni langsung membela. Dia paham bagaimana susahnya menjadi seorang ibu, meskipun belum me
"Dari mana aja, Mas?"Kemunculan Mas Haidar di ambang pintu kamar langsung kuserang dengan pertanyaan dan unek-unek yang mengganjal. Aku tak bisa lebih sabar. Terlebih, mengingat perkataan Nova tadi, bagaimana kalau Mas Haidar benar-benar mencari perempuan lain di luar untuk memuaskan?"Dari rumah Tio. Maaf, ya, temenku baru balik lagi ke kota barusan. Wajar, udah lama gak ketemu. Hampir satu tahun. Eh, di saat pulang malah denger kabar dia cerai sama istrinya."Aku memicingkan mata. Giliran temannya, selalu mendapat posisi istimewa."Oh, gitu. Udah temen kamu, apa kamu mau cerita hal sama pada mereka?""Maksud kamu?" Saat Mas Haidar menggantungkan jaket di paku, ia berbalik menatapku."Kenapa kamu pulang, Mas? Kenapa gak sekalian aja nemenin Tio atau siapalah teman kamu itu?""Aku baru pulang, lho, Zara. Gak sepantasnya sikap kamu seperti itu.""Aku baru melahirkan, lho, Mas. Gak sepantasnya kami bersikap seper
"Jangankan kamu, Mas. Aku pun kehilangan diriku yang dulu. Itu semua semenjak jadi ibu. Aku sadar, ini semua akan terjadi pada setiap wanita. Tapi, lihatlah suami orang lain, Mas. Mereka siap siaga membantu istrinya mengurus rumah, atau minimal menjaga bayi saat malam tiba. Jika menurut kamu itu hal sepele, kalau gitu kita gantian saja. Biar aku yabg kerja dan kamu urus mereka," paparki panjang lebar. Aku tak bisa menahan ini terus-menerus. Sebelum aku menjadi gila, lebih baik kuutarakan saja. "Berhenti membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain, Zara. Apalagi perihal suami. Aku itu bekerja. Butuh istirahat saat malam. Kalau di rumah aku capek, bisa-bisa kerjaanku kacau. Soal merawat bayi, wajar, dong, kalau kamu habiskan waktu dengan merawat bayi. Kamu itu ibunya.""Dan kamu ayahnya. Wajar bila berbagi waktu bersama anak-anakmu. Saat libur pun, apa yang kamu lakukan? Memilih berkumpul bersama teman, kan? Ingat kemarin malam ngapain? Kamu malah no
Sudah kuduga, saat menghadapi masalah seperti ini Mas Haidar pasti angkat kaki dari rumah. Tak peduli langit sudah gelap, bahkan gerimis mulai menghujam tanah. Sedari tadi, air mataku enggan berhenti mengalir. Ada kepedihan yang teramat besar, tak berdarah dan tak kasat mata. Berkali, kucoba hubungi nomor Mas Haidar. Ia tak kunjung mengangkat. Malahan, kini nomornya tidak aktif.Aku semakin yakin bahwa aku salah memilih suami. Harusnya, dulu kuperjuangkan Bama. Bukan menerima Mas Haidar yang datang dengan segenap harta yang ia punya pada Mama. Lintasan masa lalu itu hadir lagi. Berdosakah aku jika merindukan dia yang ternyata bukan jodoh? Di saat kondisi terpuruk seperti ini, suami sendiri malah tak peduli.Permintaanku untuk diantar pulang ke rumah orangtua tak digubris sama sekali."Sampai kapan mau mengeluh, Zara? Mandirilah. Coba perluas sabar dan ikhlas. Dengan pulang tanpa sebab seperti ini, martabatku sebagai suami akan sangat buruk. Kamu
Saat pulang bekerja petang, Mas Haidar akan fokus pada ponselnya. Malah, akhir-akhir ini dia sering pulang malam. Alasannya lembur, buat tambah-tambah pemasukan karena pengeluaran kian membengkak. Lelaki itu sering tertidur di ruang tengah, terpisah denganku dan anak-anak. Entah enggan terganggu dengan tangisan mereka atau malas bertemu denganku, yang akan berujung debat.Aku merasa pernikahanku semakin tak berarti. Tak ada makna keluarga di dalamnya. Mas Haidar mungkin bisa dikatakan bertanggungjawab soal materi, tetapi kalau dia terus bersikap dingin dan cuek pada keluarga, mana nafkah batin yang harusnya didapatkan?Saat Mas Haidar pulang larut, aku tak pernah bertanya lagi dia darimana. Bangun pagi, ia urus diri sendiri lalu berangkat ke kantor lagi. Sesekali menyapa Haura dan Hanum saat aku tertidur atau di kamar mandi.Di lain hari, kuhubungi Mama. Kurasa, aku sudah tak mampu menjalani semua ini sendirian. Kukatakan, Mas Haidar sangat sibuk di kantor
PoV Haidar (Baca bagian ini sebagai Haidar)Memiliki anak adalah dambaan setiap orang yang sudah menikah. Bersatu dengan Zara, adalah pilihanku. Sewaktu remaja, aku sudah menggilai wanita itu. Perempuan salehah-menurutku-yang istiqamah dalam menutup hijab dan menjaga diri. Perangainya yang ramah dan lemah lembut, menjadikanku semakin bergelora padanya.Masa penjajakan kami hanya berlangsung tiga bulan saja. Sebelum mendatangi Zara, orangtuanya sudah kukunjungi terlebih dahulu untuk meminta restu. Datang rombongan dengan keluarga besar, membawa satu ekor sapi dalam acara khitbah kami, keluarga Zara sangat menerima baik kedatanganku.Singkat cerita, Zara terpaksa memupus harapannya untuk menikah dengan Bama-teman satu kerjanya-untuk memilih hidup denganku.Selang tiga bulan, Zara langsung mendapat kepercayaan Tuhan dengan dititipkan dua janin dalam rahimnya. Tentu saja, kami sangat bahagia. Di bagian bumi sana, saat seseorang mati-matian melaksanaka
Hal yang tak semua wanita dapat mengalaminya. Tetapi, kenapa Zara sering bergumam demikian? Apa benar yang pernah Ibu katakan padaku, bahwa Zara belum siap menjadi ibu.Suatu sore, aku pulang ke rumah dengan membawa gajiku untuk Zara. Sungguh lelah sekali karena ada beberapa kejadian tak terduga di kantor. Hal itu membuatku ingin cepat merebahkan tubuh di atas kasur.Ingin melupakan pekerjaanku yang menumpuk, karena dipercaya untuk mengemban banyak tugas oleh atasan. Itu semua, karena aku sangat loyalitas dalam bekerja. Tak pernah perhitungan dengan waktu ataupun menolak saat mendapat tugas baru.Teringat pepatah ibu yang tak pernah hilang dari ingatan bahwa harga diri lelaki itu adalah saat dia bekerja dan menafkahi keluarganya dengan baik. Kuterapkan nasihat itu dengan selalu memberikan lebih dari setengah gajiku untuk Zara. Sebagian dipakai kredit rumah dan kebutuhan bensin serta rokok. Zara pun tak pernah berkata kurang, dia sangat leluasa menerim
"Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.
PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel
"Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba
PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d
Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set
PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir
"Kata orang lain menjadi ibu itu bahagia. Itu kata orang lain," ungkap Zara kemudian. Sesungguhnya, ia sangat ingin meluapkan apa yang kini dirasakan hatinya. Namun, Zara menahan diri untuk tak terlalu terbuka pada perempuan yang baru saja ditemuinya. Barangkali, di luar ia adalah bagian dari ibu-ibu gosip. "Apa Mbak Zara gak termasuk bagian orang lain itu?" Hanin mulai masuk ke dalam topik utama. Tentu, harus sangat berhati-hati."Bisa ya, bisa tidak." Jawaban yang ambigu.Namun, dengan status dan gelarnya sebagai psikolog, tentu Hanin sudah tahu jawaban yang disembunyikan Zara. Ia hanya ingin Zara bercerita seluruh hal padanya agar ibu baru itu merasa lega karena menumpahkan kesahnya. Menurut Hanin, sekuat apapun seorang wanita akan selalu ada masa dimana ia membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Sebab, manusia tetaplah manusia yang saling membutuhkan telinga orang lain untuk didengarkan.Sebenarnya, kasus Zara bukanlah kasus langka baginya
PoV PembacaSejenak, dua orang yang saling berhadapan di ambang pintu itu bergeming. Haidar sempat tak berkedip melihat perempuan yang bernama Hanin itu adalah teman dekatnya semasa SMA dulu. Sempat dekat dan saling suka, tetapi pada saat itu mereka tak mampu saling mengungkap rasa. Namanya anak muda yang belum pernah pacaran, tentu mereka canggung dan fokus belajar saja.Beberapa detik berikutnya, Hanin mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Memanggil seorang pelayannya ke belakang, lalu sang pelayan membawakan tiga gelas teh hangat dan camilan ringan."Kukira, yang di pesan itu bukan kamu, Haidar," celetuk Hanin membuat Zara menengadah.Haidar tampak salah tingkah. Tentu, ia tak mau membuat Zara salah paham."Hanin, suami kamu mana?""Suami?" Hanin berkerut kening. Beberapa kali Haidar mengedipkan matanya pada Hanin, memberi kode untuk dia mengerti.Tentu saja perempuan itu paham dan enggan untuk berbohong. Ia mengal
"Mas.."Aku tersenyum, meski dalam hati prihatin melihat ia begitu tak terurus."Haura dan Hanum. Aku telah membuangnya." Belum apa-apa, ia sudah menangis lagi."Hari ini kita jemput mereka, ya. Pasti mereka kangen sama bundanya," hiburku, berharap Zara bisa menjalani peran sebagai seorang ibu seperti yang lainnya.Tiba-tiba, kepalanya tertunduk. Seperti tengah memikirkan banyak hal yang berat. Detik berikutnya, ia berbicara sembari terus melirik selimutnya yang telah basah disiram embun yang mengalir dari matanya."Aku takut dan aku gak akan sanggup."Entah harus bagaimana aku menanggapi perkataan Zara. Semua ibu pasti akan merasakan kerepotan merawat bayi. Kenapa aku tak melihat ketulusan seorang ibu terpancar darinya?Aku menghela napas. Di tengah kebuntuan seperti ini untungnya Ibu datang. Suara salam terdengar membuat Zara mengubah posisi duduknya. Ada kekhawatiran tergambar pada raut wajah yang kusut itu.