Tikta menatap ponselnya, ini sudah kesekian kalinya dia mengabaikan pesan dari Gata. Tidak ada niatan baginya untuk membalas pesan, tidak juga ada rasa bersalah karena tidak membalasnya.Dia jadi bertanya-tanya, apakah benar dia ingin kembali kepada Gata setelah perceraiannya dengan Nina?Bohong kalau Tikta tidak mengerti apa yang tengah dia rasakan pada Nina. Dia bukan anak sekolah, bukan juga anak kemarin sore. Dia laki-laki dewasa. Tidak ingin memungkiri perasaannya tapi dia juga bingung dengan apa yang tengah ia rasakan.Rencana awal menikah dengan Nina hanyalah untuk menutupi kebobrokannya sebagai seorang biseksual, ingin kabur dari apa yang sudah ayahnya bebankan kepadanya.Tapi entah kenapa semakin bersama Nina, dia semakin terbiasa, rasa nyaman yang Nina timbulkan untuknya membuatnya ingin terus bersama wanita itu. Impian menjadi seorang ayah yang sejak dulu tidak pernah ingin dia wujudkan menjadi menggebu semenjak kehamilan Nina.Tidak ada lagi getaran yang dulu dia rasakan k
“Apa maksud kamu?” Tikta menatap tajam ke arah Gata yang kini juga menatapnya, pria itu tampak marah. “Sudah aku bilang, kamu tahu aku nekat. Aku akan pakai segala cara untuk tetap menjaga kamu disisi aku.” Gata bangun dari duduknya, mendekat ke arah Tikta. “Aku yakin kamu hanya sedang bingung sekarang, pernikahan bodoh ini membuat kamu kebingungan mana perasaan yang sebenarnya.” “Ga..” “Aku yakin kamu bahkan tidak mencintai Nina. Itu bukan cinta, kamu hanya kasihan padanya.” Gata mendekatkan dirinya pada Tikta, mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Tikta. Pria di depannya menghindar dengan wajah penuh kerut, ekspresinya tidak suka dengan perlakuan tersebut. “Berhenti melakukan hal buruk, saya sudah gak mau sama kamu.” Tikta berkata, menekankan setiap kalimatnya untuk meyakinkan Gata kalau apa yang tengah dia rasakan adalah valid. “Kalau begitu akan aku hancurkan semuanya…..” Gata menatap Tikta, bibirnya menampilkan senyum tipis yang menjijikan. “Bukan cuma keluarga kamu yang
Pertemuan pertama Tikta dan Gata adalah saat Tikta baru saja menyelesaikan kuliah S1. Dia diminta untuk meneruskan perusahaan oleh ayahnya.Saat itu pemberontakan sudah terjadi dalam diri Tikta, dia berkali-kali memohon pada ibunya untuk membujuk ayahnya agar berhenti memintanya untuk menjadi seorang penerus. Sayangnya, kedua orangtuanya tidak pernah mendengarkan bahkan mempertimbangkan.Mereka bukan tipikal orangtua yang menunjukkan afeksinya pada anak mereka.Tikta masuk ke perusahaan, pekerjaannya dia lakukan dengan baik meskipun setiap hari rasanya seperti neraka. Dia tidak menyukai semua hal yang berbau dengan pekerjaan ini, tidak ada alasan. Hanya baginya SSK FOOD merenggut kedua orangtuanya.Ya, alasan terbesar Tikta tidak ingin meneruskan SSK FOOD adalah karena perusahaan itu ‘merebut’ kedua orangtuanya.Sejak Tikta kecil, dia hanya diasuh oleh pengasuh. Ibu dan ayahnya selalu sibuk dengan berbagai kegiatan, seperti kegiatan amal, kegiatan kantor, atau bahkan promo. Kala itu m
Nina melirik lagi jam dindingnya, ini sudah pukul sebelas malam dan tidak ada tanda-tanda kepulangan Tikta. Dia sudah menghubungi pria itu berkali-kali tapi tidak ada jawaban bahkan Wisnu juga tidak mengangkat teleponnya.Nina gelisah.Tidak biasanya Tikta menghilang seperti di telan bumi.Dia meringis, memegangi perutnya. Sejak siang tadi entah kenapa perutnya terasa tegang dan nyeri, padahal tadi kata dokter semuanya baik-baik saja.Kemungkinan kelahiran bayinya jatuh di pertengahan bulan Mei.Bayi Nina sudah dalam kondisi bagus, masuk ke dalam ‘tempat yang tepat’ begitu kata dokternya. Beratnya sudah oke, jika harus melahirkan normalpun bisa di pertimbangkan.“Beratnya, tiga kilo..” Kata dokter, sedikit melirik Nina yang terkejut. Belum sempat Nina menjelaskan, ibu mertuanya sudah menyerobot menjelaskan.“Sudah diet kok dok, kita sudah bertemu dengan dokter gizi.. Tapi…Gak apa-apa ‘kan?” Tanya wanita paruh baya itu sambil sesekali menatap dokter dan tersenyum kecil, mencoba mencair
Catur memegang Nina ketika ibu mertua Nina melesak masuk ke dalam apartemen, Remo bersama dengan beberapa perawat mendekat dan segera membawa Nina.“Ini apa?” Catur bertanya ketika Nina akhirnya ditangani oleh beberapa perawat yang berusaha untuk membangunkan Nina.“Itu air ketuban, air ketubannya sudah pecah. Bayinya mau lahir.” Kata Remo menjawab dengan nada yang sedikit panik.Catur masih terdiam di tempat sedangkan Remo sudah masuk ke dalam kamar bayi, mengambil satu tas besar yang sejak kehamilan Nina masuk ke usia tujuh bulan sudah dia persiapkan. Dia tahu kelahiran bayi tidak bisa ditebak kapan, bahkan sekarang.Remo segera turun ke bawah bersama dengan Catur yang mengekor dengan panik.“Saya ikut ke Rumah Sakit.” Catur berkata sambil pergi menuju mobilnya.Remo tidak menjawab, dia masuk ke dalam ambulan. Hatinya tidak nyaman melihat pria itu berada disana, dia mencoba menelepon lagi Tikta. Tidak ada jawaban, Wisnu juga tidak menjawab pesannya atau telepon.“Erika, hubungi oran
“Kenapa gak ada satupun yang menghubungi gue?” Tikta bertanya di dalam mobil, Catur berada di sebelahnya. Setelah meninggalkan Gata sendirian, keduanya langsung berlari turun. Mereka bertemu dengan Wisnu yang baru saja mendapat kabar tersebut dari salah satu orang yang suruhan Erika.Ketiganya langsung pergi ke tempat parkir, Wisnu menyetir dengan segera.“Semuanya menghubungi lo, ponsel lo di tangan Gata dan gak bisa dihubungi.”Tikta langsung buru-buru mengecek ponselnya. Benar. Ponsel itu mati.Dia menyalakan ponselnya, benar saja pesan serta panggilan tidak terjawab banyak masuk. Kebanyakan dari Nina serta ibunya, dia menghela napas. Merasakan kebodohan yang memuakkan.“Nina harus segera di operasi, bayinya dalam kondisi bagus tapi untuk Nina sendiri dia sudah sangat kepayahan.” Catur berkata, menjelaskan situasi Nina pada Tikta meskipun dia tidak ingin.Tikta mendengarkan sambil mengecek pesan masuk d
Tikta menyelesaikan administrasi, mengisi beberapa formulir untuk pembuatan akta kelahiran dari Rumah Sakit. Bayinya tengah dibawa ke ruang bayi untuk sementara dan akan di kembalikan beberapa menit lagi, sedangkan Nina setelah selesai operasi berpindah ruangan ke kamar pemulihan sebentar, kini sudah kembali ke kamar rawat.“Nama bayinya boleh diisi disini pak.” Ujar petugas, menunjuk formulir lain yang harus Tikta isi.Dia menatap formulir itu, kemudian segera mengisi nama untuk bayinya.RAGNALA THOMI SAHASIKA.Nama yang dia dan Nina sudah pikirkan serta diskusikan berdua, nama yang terselip doa-doa untuk bayinya.Setelah menyelesaikan semuanya dia hendak kembali ke ruang rawat ketika netranya bertemu dengan sosok Catur yang masih duduk di pojok ruangan depan ruang rawat. Dia menghela napas, mendekat ke arah Catur.Catur menoleh dengan terkejut, dia tengah menatap ponselnya yang berisi foto bayi Ragnala di dalam box bayi.Tikta duduk di sebelah Catur, menatap jendela besar yang menam
“Astaga! Astaga! Siapa ini?? Bayi siapa ini???” Julie memekik dengan riang, mendekap Ragnala dan menyentuh pipi bayi itu.Siang ini Julie, Kumara serta Catur datang berkunjung. Tikta pergi ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum kembali ke Rumah Sakit dan ibu mertua Nina pulang dulu untuk membawa ayah mertua mereka yang sudah tidak sabar melihat cucu pertamanya.“Astaga lucu banget sih kamu!” Kumara menimpali dengan suara melengking.“Aduhhhhh, pada berisik banget sih! Anak gue budeg lama-lama dengar suara kalian!” Keluh Nina yang disambut tawa oleh Julie serta Kumara sedangkan Catur hanya diam.“Nin, anak lo cakep banget! Takut dicoret dari Kartu Keluarga kali ya kalau jelek?” Julie berkata sambil tertawa.“Ya, ibunya juga cantik!”Kumara tertawa kemudian bertanya pada Nina bagaimana kesannya melahirkan, wanita itu mulai bercerita panjang lebar bagaimana perjuangannya dari apartemen sampai ke Rumah Sakit.Julie mendekat ke arah Catur membawa Ragnala.“Mukanya lo bang
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it