Tur, kayaknya akhir pekan lo gak bisa kesini. Gue lupa kalau sudah ada janji, kantornya Tikta ngadain Family Gathering. Sorry ya! 23.12PMCatur membaca pesan yang baru saja masuk ke aplikasi pesan di ponselnya, pesan dari Nina yang mengabarkan kalau mereka tidak bisa bertemu di akhir pekan.Dia melemparkan ponsel itu sembarangan, sudah tidak berminat bahkan untuk membalas pesannya. Pikirannya masih menerawang kemana dia dan Julie mengobrol di taman belakang butik.Nina tertarik pada Tikta.Apa yang membuat wanita itu akhirnya tertarik pada Tikta? Sikapnya?Seingat Catur dia selalu memperlakukan Nina bahkan lebih dari yang Tikta lakukan pada wanita itu. Lalu apa yang membuat Nina tertarik?“Kenapa lagi?” Suara Gata membuat Catur membuka matanya, dia mengganti posisinya di kursi kecil dekat jendela yang tengah dia duduki.Gata membawa piring berisi pasta yang tadi dia pesan di aplikasi pesan
Nina menatap beberapa orang yang ada di depannya, mereka tersenyum dengan lebar menyambut kedatangan bersama si suami Tikta Sahasika. Orang-orang dengan baju berwarna selaras itu berkelompok menjadi beberapa bagian bersama keluarganya.Ya, Nina sedang berkumpul di depan kantor bersama dengan karyawan-karyawan di divisi Tikta. Hanya ada lima belas orang, tapi mereka menyewa empat bus karena satu keluarga membawa banyak anggota keluarga lain.“Pak, orang keuangan ngeluh karena ini secara tiba-tiba dan gak ada di anggaran pengeluaran tahun ini.” Sekretaris Tikta mengekor pria itu yang baru saja turun dari ruangannya, selesai mengganti baju dengan baju sama yang dikenakan oleh para karyawannya.“Bilang sama orang keuangan, gak perlu dimasukin ke anggaran pengeluaran. Ini gak ada hubungannya sama kantor, ini acara pribadi saya. Terus juga satu karyawan tolong kasih satu kartu untuk makan dan beli camilan bersama keluarga mereka, nominalnya sudah saya tuliskan di pesan kemarin. Kartu tap ca
Remo baru saja sampai di sebuah restoran mewah di tengah kota. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang, dia tidak terlambat juga tidak terlalu cepat datang, wanita tua itu mengenakkan baju terusan yang rapi dan sedikit formal.Dia masuk bersama dengan sekretarisnya, Erika. Wanita muda itu mendahuluinya dan menarik pintu agar Remo masuk, dia mendekati salah satu pelayan.“No 14 bu..” Katanya dengan suara pelan.Suasana restoran private itu sedikit ramai, beberapa orang sibuk dengan diri mereka sendiri. Restoran mewah yang terkenal untuk bertemu dengan beberapa kolega.Remo masuk dan mendapati orang yang ingin di temuinya sudah berada disana. Pria itu memakai setelan jas rapi, wajah yang tidak asing baginya.“Sudah datang bu..” Gata menyapa, berdiri dan sedikit menundukkan kepalanya.Remo masuk dan duduk di depan Gata, sedangkan Erika pergi keluar. Dia bertugas memesan makanan dan minuman, serta memberikan privasi untuk keduanya.Remo duduk, menyimpan tas tangan yang sedari tadi dia baw
Dua minggu berlalu semenjak perjalanan Family Gathering dadakan Tikta. Catur dan Nina belum bertemu lagi.Hari ini Nina sudah mulai mengambil cuti, dia bangun sejak pagi. Rutinitasnya tidak berubah, tubuhnya sudah terlalu beradaptasi untuk bangun pagi. Dia duduk di ujung kasur, tubuhnya sudah begitu berat semenjak kehamilannya menginjak delapan bulan ini.Dia melihat kakinya yang sedikit membengkak. Tikta sudah melakukan banyak cara untuk mengurangi bengkaknya, tetap saja kaki itu membengkak padahal setiap pagi Nina berjalan kaki selama lima belas menit di taman depan apartemen.Nina bangun dari duduknya, pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigi. Dia akan bersiap-siap untuk berjalan kaki di taman.“Ta, bangun, kerja.” Dia membangunkan Tikta seperti biasa setelah berganti pakaian.Nina sedikit menghela napas melihat penampilannya di kaca, dia terlihat tidak menarik lagi. Kemana pinggul kecil dan pinggang rata miliknya du
Catur menatap Nina yang tengah duduk menatap televisi sambil memakan makanannya, tangisan Nina tadi membuatnya terkejut. Selama dia berteman dengan Nina ini kali pertama dia melihar wanita itu menangis karena merindukan seorang pria.Iya, tadi ketika Catur menanyakan kenapa dia menangis dia menjawab, “Gue kangen sama Tikta.”Dia membawa gelas berisi air dan menyerahkannya pada Nina, “Minum dulu, makannya pelan-pelan.”Nina menoleh dan mengambil gelas di tangan Catur, dengan perlahan meminum isinya. Dia tidak mengatakan apapun setelah menangis di pelukan Catur selain mengatakan kalau dia lapar.Catur melirik kotak makan yang berada di pangkuan Nina.“Kok kayak orang diet makannya?” Tanya sambil membuka bungkusan makanannya sendiri. Dia sengaja datang jam segini karena tahu Tikta sudah berangkat kerja dan Nina akan sendirian, entah kenapa perasaannya mengatakan kalau Nina akan kesepian.“Emang disuruh diet,”“Loh kenapa?”“Bukan diet sih, lebih tepatnya kontrol asupan makanan yang masuk
“Pak, saya sudah menyiapkan ruang rapatnya.” Tikta baru saja sampai ke kantor dan sudah di sambut oleh Wisnu yang membawa banyak berkas di tangannya. Pria itu masuk ke dalam ruangannya, melepas mantel yang dia kenakan dan meninggalkan jas di gantungan.Dengan cekatan dia mengambil beberapa berkas yang dibawa oleh Wisnu dan keluar dari ruangannya menuju ruang rapat. Wisnu mengekor di belakang.Rapat hari ini cukup serius, mereka membicarakan anggaran untuk pabrik baru yang kemungkinan besar akan di bangun akhir tahun ini. Anggaran yang begitu besar, lokasi, dan banyak hal lainnya yang perlu dibicarakan.Tikta melirik ke arah ponselnya. Ponsel itu menyala beberapa kali menampilkan notifikasi dari beberapa orang atau grup pekerjaan, tapi tidak ada satupun dari Nina.Setiap kali layarnya menyala, dia meliriknya, terus dan berulang.Tidak ada satupun dari Nina.Menengok ke arah jam, ini sudah pukul sebelas siang.“Apa Nina tidur ya?” Dia bergumam, membolak balik berkas di tangannya.Pukul
Tikta menatap pria yang berdiri di depanya. Pria itu mengenakan kaos putih bertangan pendek, dipadu dengan celana bahan berwarna hitam serta sepatu pantofel. Rambutnya yang gondrong itu ikat ke belakang sebagian.Dari tatapannya, tidak ada tatapan persahabatan yang terlihat.Jelas, dia datang bukan untuk menawarkan kebaikan.“Ini penting?” Tikta bertanya, meyakinkan kalau kemungkinan apa yang akan dibicarakan tidak bisa di dengar oleh orang lain.“Tentang Nina.”“Ikut ke ruangan gue.”Tikta berkata, kembali menatap pintu lift yang masih menutup. Catur mendekat padanya, tidak mengatakan apapun lagi. Mereka berdua masuk ke dalam lift dalam hening, lift menuju lantai empat tempat dimana kantornya berada.Di dalam benak Tikta banyak tanya bermunculan, spekulasi mengenai apa yang akan Catur bicarakan mengenai Nina.Sebelum dia menyelesaikan pikiran-pikiran itu pintu lift sudah terbuka. Keduanya keluar dari dalam lift, tidak ada orang di ruangan ini memang sudah waktunya pulang kantor dan T
Nina menguap dengan lebar, perutnya terasa lapar setelah dia mendapatkan panggilan dari Tikta dia hanya tidur-tiduran dan membuka media social sampai akhirnya merasa kelaparan. Bayinya di dalam perut tidak sabar ingin makan malam.Dia membuka pintu kamar dan mendapati seluruh rumahnya bersih dan wangi. Dia mengecek makanan yang tersaji di meja, mengecek isi kulkasnya, dia sudah menduga ibu mertuanya akan mengganti strategi untuk makan hariannya.Semua makanan yang telah di stock diambil kembali oleh si pelayan.Di dalam tudung saji berwarna coklat muda itu berisi makanan yang baru saja di masak dan diantaranya adalah makanan khusus untuk Nina.Wanita itu tersenyum, ponselnya tiba-tiba berdering dan nama ibu mertuanya tertera disana.“Ya bu?”“Oh sudah bangun, tadi mbak Siska mau pulang katanya Nina lagi tidur.”“Ya bu, Nina sampai gak tahu kapan mbaknya pulang.” Ujar Nina sembari menuju dapur, mengambil piring. Duduk di kursi meja makan, dia kemudian mengambil nasi porang yang sudah s
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda
“Kamu yakin mau menunda?”Pria itu bertanya dengan wajah yang terlihat khawatir. Ferdi, dia suami Kumara.Keduanya bertemu di butik EKAWIRA. Ferdi adalah salah satu klien terbaik butik itu, dia seorang pengusaha yang cukup tersohor. Namun keduanya memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka.Selain karena peraturan butik untuk tidak menjalin hubungan dengan klien, juga karena Ferdi sudah dikenal oleh publik karena usahanya.“Iya, aku masih punya tanggung jawab di butik..” Jawab Kumara, dia menunduk. Pernikahan mereka baru berjalan beberapa bulan ketika Nina memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan melahirkan di Jepang.Tepatnya pagi ini, Kumara mendapat panggilan dari Julie untuk rapat.Wanita itu menjelaskan mengapa rapat itu diadakan, Nina juga hadir secara online.“Semalam gue sudah ngobrol sama Julie dan gue rasa sekarang gue harus bilang juga ke lo.” Katanya pada Kumara yang membeku, dia menoleh pada Julie.“Jadi, apartemen itu sebagai hadiah pernikahan gue.” Nina me
“Ma, boleh gak?” Ini sudah kesekian kalinya Kiran merengek pada Julie. Mata itu memancarkan belas kasihan yang ingin sekali Julie hindari.CHARAKA KIRAN YOGASWARA.Sudah delapan tahun berceraian itu berakhir, meninggalkan luka menganga yang begitu besar di dada Julie. Bahkan belum mengering meskipun orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya.Lukanya belum juga sembuh.Usia Kiran memasuki usia remaja sekarang, lima belas tahun. Dia tumbuh seperti ayahnya, bagaimana dia bersikap, menanggapi persoalan, namun tentu saja dia jauh lebih manis dari ayahnya.“Ya gak mungkin dong nak mama ngizinin kamu magang di butik EKAWIRA? Lagian kamu masih anak SMP ngapain nyoba kerja?”Kiran cemberut sekarang, mengaduk mie instan yang lagi-lagi hasil rengekannya karena sudah dua bulan tidak memakannya.“Kiran mau belajar kerja ma, nanti setelah lulus sekolah biar gak kaget!”Julie menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa dia tidak menyutujui hal itu.“Pergi sekolah sejauh mungkin, nanti
Julie tidak pernah absen mendatangi Catur, dia tidak pernah sekalipun mengurangi jatah kesempatan untuk menjenguk pria itu. Semenjak pria itu menyerahkan diri hingga sampai akhirnya dia keluar penjara, Julie selalu ada untuknya.Tentu saja, sama dengan Nina kebenciannya pada Catur begitu besar. Kecewa dan benci jadi satu sehingga dia bahkan tidak tahu mengapa masih dengan sadar mengunjungi pria itu, menengok dan mengecek keadaannya.Julie sadar, mereka sudah terlalu lama bersama.Nina melakukannya juga, meskipun wanita itu membenci Catur namun perasaan peduli tidak bisa dihilangkan begitu saja.“Tidak ada sanak saudara sama sekali?” Tanya salah seorang polisi ketika pengadilan berakhir, penahanan Catur telah diputuskan. Dia akan dipenjara selama kurang lebih dua puluh tahun.Waktu yang cukup panjang untuk menebus semua kesalahannya.“Tidak ada pak, selama disini saya sebagai walinya.” Julie berhadapan dengan salah satu petugas yang membawa semua barang-barang pribadi Catur.Petugas it