Dalam rekaman CCTV tampak jika pria itu hanya membersihkan sofa menggunakan penyedot debu, sekalian mengelap meja tanpa menyentuh meja kerja sedikit pun. Dirinya hanya membersihkan area bersantai nona muda. Udara di hembus lega oleh Amelia. “Ya Tuhan ..., ternyata pria itu sangat perhatian, sepertinya dia memang harus Amei loloskan dari target kecurigaan.” Hingga detik ini laporan keuangan selalu stabil. Hampir setiap tiga jam nona muda meminta laporan sampai akhirnya sekretaris Adhinatha berbicara. “Nona, sebelumnya saya minta maaf. Tapi sebaiknya Nona tidak terlalu over meminta laporan pengeluaran dan pemasukan karena bagian keuangan sudah sangat sibuk.” “Saya cuma ingin tahu. Apa itu salah?” Amelia bersikap datar menanggapi masukan sang sekretaris karena dia pikir dirinya adalah bos besar di sini, semua tindakan yang menurutnya baik, itu memang yang terbaik. “Tidak salah sama sekali, Nona.” Wajah wanita ini mengangguk pelan sebagai tanda hormat, “hanya saja bagian keuangan sudah
Kedekatan William dan Amelia semakin insten. Hendak William mengungkapkan tujuannya mengundang Amelia, Nitara menghubungi. “Tunggu sebentar,” pamitnya pada wanita di sisinya. Pria ini berjalan menjauh. “Ada apa, sayang?” Lembutnya seperti biasa. “Eu-aku sedang di tempat yang sama dengan kamu. Tadinya aku mau reoni sama teman SMP, tapi karena melihat kamu, aku naik dulu ke lantai atas.” William mengerjap, kemudian menyapu setiap sudut. “Kamu di mana?” “Di sini, di dekat tangga.” Lambaian tangan Nitara bersama senyuman manis hingga William menggeleng malu. “Usil sekali.” Panggilan diakhiri, William berjalan gagah bersama senyuman memesona ke arah tempat Nitara berpijak. “Hi,” sapa manis Nitara. William segera mendaratkan pelukan singkat. “Ada apa hm, kenapa datang kesini tanpa memberi tahu terlebih dahulu?” Tatapannya begitu hangat nan penuh cinta. “Aku takut kamu sibuk jadi aku pikir tidak usah bilang,” kekeh menggemaskannya hingga William memainkan dagu Nitara. “Di mana teman-t
Hari sudah berganti malam, saat ini William dan Amelia baru saja turun menuju lantai utama setelah Nitara dan kawan-kawannya meninggalkan tempat ini satu jam yang lalu. “Biar aku antar kamu.” “Kamu bercanda ya, aku kan bawa mobil.” “Astaga, aku lupa.” William menggeleng bersama tawa kegelian. “Harusnya tadi kamu antarkan Nitara.” “Saya sudah menawarkannya, tapi Nitara bilang akan pulang bersama temannya.” “Hm ..., kalau begitu ..., kita pulang masing-masing saja. Aku tidak mau nanti papa atau mama bertanya pada satpam tentang aku yang pulang sama kamu.” William tersenyum tipis. “Memangnya kenapa kalau mama dan papa kamu tahu?” “Aku harus banyak berbohong kalau kita punya hubungan dekat. Asal kamu tahu, papa sama mama mengharapkan kita menjalin hubungan spesial.” “Oh iya. Kenapa?” Saat ini William merasa senang mendengarnya. Entah mengapa? “Papa sama mama mengharapkan kamu menjadi menantu atau memiliki menantu seperti kamu.” William dibuat tersipu. “Akan aku usahakan orangtua
Hari berganti, Amelia meninggalkan Kenzo seperti biasanya. Namun, kali ini satpam tidak biasa. Saat majikannya berlalu, dirinya mengetuk pintu utama hingga Amanda membukanya. “Ada apa, Pak?” Senyuman ramahnya. “Barusan tuan memerintahkan saya untuk membersihkan halaman belakang sekalian aquariumnya,” alasan satpam supaya bisa masuk ke dalam rumah. “Eu-tunggu sebentar ya, biar aku siapkan dulu alat-alatnya,” alasan Amanda karena saat ini bibi sedang mengasuh Kenzo di ruangan keluarga, tepat keberadaan aquarium. “Tidak usah repot-repot, saya bisa siapkan sendiri.” Senyuman teduh satpam yang mulai memiliki ketertarikan pada Amanda. “Iya sudah ....” Amanda menyadari ketertarikan si pria. Maka, dirinya memanfaatkan hal ini, “duduk dulu sebentar, aku akan siapkan kopi dan camilan.” Senyuman manis ditarik hingga satpam semakin terpanah asmara. Maka, selama pria itu duduk di ruang tamu, wanita ini segera memberi tahukan bibi untuk membawa Kenzo ke kamar Amelia karena satpam tidak akan mele
“Saya harap Nona mau menunggu sebentar lagi sampai saya memastikan pelakunya.” Pria ini mengerti jika Amelia akan mendapatkan masalah besar andai hingga Adhinatha kembali masalah ini belum terpecahkan. “Baiklah. Saya menunggu!” tegas Amelia sebagaimana atasan yang harus menunjukan wibawa dan kekuasaannya karena jika dirinya terlihat lemah mungkin akan mudah sekali ditindas. “Tuhan ..., Amei tidak tahu siapa pelakunya dan bagaimana cara Amei menjelaskan pada papa kalau Amei tidak pernah membangun sebuah pemandian ....!” raungannya saat pria kepercayaan Adhinatha meninggalkan ruangan. Namun, tanpa Amelia ketahui jika sebenarnya pria itu belum pergi. Maka dirinya mendengar raungan Amelia dengan sangat jelas. Amelia yang berlaga seperti nyonya, padahal wanita itu bagaikan bayi saat sedang sendiri. Pada jam makan siang, Amelia menghubungi Amanda. “Kenzo sedang apa?” “Kenzo sedang main, Mei. Eu-Mei, maaf ya Kakak sedang tanggung, kamu telepon bibi saja ya,” alasan Amanda karena dirinya t
Pertemuan ini membuat Amelia berpikir keras tentang menyatukan Tio dan Kenzo hingga dirinya banyak bergeming. “Mei, apa yang kamu pikirkan. Apakah kamu sedang menimbang keputusan tentang hubungan kita? Aku harap kamu mau kembali menjalin hubungan kita.” Tio meraih satu tangan Amelia yang menganggur di atas meja, tetapi kali ini si wanita tidak menampiknya sama sekali. Amelia mulia membicarakan hal insten. “Bagaimana jika kita menikah lalu aku menghadirkan seorang anak asuh, apa kamu siap menerima anak itu?” Tio tersenyum teduh. “Ternyata kamu tipe tidak sabaran Mei, pasti kamu ingin segera punya anak kan, padahal cuma menunggu kurang lebih tiga bulanan untuk hamil kalau kita berdua sama-sama subur.” “Jawab saja. Apa kamu mau menerimanya?” “Mau, Mei. Aku tidak akan egois, dan aku akan selalu berusaha membuat kamu bahagia bagaimanapun cara dan jalannya, termasuk menghadirkan anak asuh di tengah-tengah kita.” “Bagaimana dengan keluarga kamu?” Senyuman Tio semakin teduh saja. “Aku s
Matahari baru saja muncul, bahkan masih pelit memberikan sinarnya, tetapi Tio mengunjungi ruangan William. “Aku dan Amelia sudah membicarakan pernikahan!” celetuknya tanpa basa-basi. Bukan maksud ingin pamer, tetapi pria ini sedang membagi kebahagiaan bersama seorang sahabat. Namun, William menunjukan reaksi di luar dugaan Tio, “Apa maksudmu membicarakan pernikahan dengan Amei!” tubuhnya segera condong ke arah Tio yang duduk dipisahkan meja kerja berlogo CEO, sedangkan sahabatnya hanya duduk santai kecuali saat reaksi William ini. “Maksudku, aku ingin menikahinya dan menerima semua hal yang ada pada Amei. Tidak terkecuali!” Sebelah alisnya terangkat heran akibat reaksi William yang seolah tidak terima. “Jangan bercanda.” Sunggingan bibir getir William. Tio segera meraih air dalam gelas milik William, menegaknya hingga tandas. “Sama sekali tidak. Kali ini aku sedang sangat serius. Tio yang ada di hadapan kamu sekarang adalah Tio si pria perfeksionis.” Tanpa sadar Wiiliam menunjukan
“A-apa maksud Tuan?” Tentu saja Nitara tidak mengerti, pun saat ini dirinya sangat panik karena merasa dituduh. “Mengapa nona Amei meminta laporan keuangan pada Anda?” Pria ini sangat berhati-hati karena siapa saja bisa menjadi tersangka. “Saya tidak tahu, pokoknya nona Amei memerintahkan saya,” lugas Nitara bersama wajah dan tatapan lugunya, tetapi pria ini sama sekali tidak percaya. “Kembali saja ke ruangan, biar saya yang mengantarkan laporannya!” tegasnya bersama tatapan tidak bersahabat, tetapi Nitara tetap santun walau jantungnya berdebar kencang. Wanita ini kembali ke posisinya. “Kenapa Amei suruh aku kalau laporan itu tidak bisa dilihat sembarang orang?” Nitara ingin segera mendapatkan jawabannya, tetapi dirinya harus bersabar hingga kesempatan bertanya tiba. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan Amelia diketuk oleh pria tinggi besar ini. “Nona, ini laporannya,” sodornya setelah dipersilakan masuk. Seketika, dahi Amelia berkerut, “Kenapa Anda yang mengantarnya?” “Memang