“Kenapa?” tanya Atma yang secara tiba-tiba muncul dengan Yandra di dalam gendongannya. Dari nada suaranya, Dean dapat menangkap kekhawatiran di sana. Sejenak Dean mengerutkan kening, mengamati sikap pria yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana.
“Biasakan jika seseorang bertanya itu dijawab bukan hanya diperhatikan,” peringat Atma pada Dean yang masih sibuk mengamatinya.
Dean pun mengerjapkan mata cepat, ia kemudian tersadar pada beban yang tertumpu di tangannya. “Mba Cla, pingsan!” ucapnya panik. Atma pun bergegas keluar dari ruang rawat Yara. Ia memanggil perawat yang berjaga di ujung lorong.
Tak berselang lama, Atma kembali bersama beberapa perawat yang membawa brankar. Pria berkemeja biru navy itu menyerahkan Yandra pada wanita muda di depannya, dengan gerakan lembut seakan Yandra adalah sebuah kaca yang dapat hancur jika tersenggol. Ia pun membantu perawat mendorong branka
Kedua pria di depan Dean segera membuang muka, ia mencoba mengabaikan keberadaan dan juga pertanyaan Dean. “Tidak usah akting!” sindir Dean melemparkan tatapan sengit. “Dean, sudahlah,” tegur Clarita yang berdiri di belakang Dean. “Loh? Mbak kok sudah bangun mbak kan harus banyak berbaring.” Dean menatap Clarita bingung. Melihat keadaan Clarita yang baru saja sadar dari pingsannya, Dean menaruh rasa khawatir pada kakak berbeda darah itu. “Gak papa, De. Mba sudah baik-baik saja kok. Lagian mba kan cuman kelelahan saja.” Dean pun hanya menghela napas pasrah, ia tak akan pernah menang jika berdebat dengan Clarita. Ibu dua anak itu memang memiliki kelebihan dalam hal berbicara, bahkan seorang Atma saja pernah dibuat mati kutu dihadapannya. “Ya sudah kamu jalan sekarang gih, nanti keburu siang kamu terlambat masuk loh,” perintah Clarita lembut. Dean mengangguk dan bergerak mengambil cardigannya. Sebelum meninggalkan ruangan Yara, Dean berpamitan dengan Clarita ia mengecup punggung tan
“Hallo?” Atma memutuskan untuk menjawab sambungan telepon itu walau ia sendiri tak tahu siapa sosok dibalik deretan angka yang tidak berpemilik itu.Cukup lama, Atma menunggu sahutan dari seberang sana hingga akhirnya ia mengulangi ucapannya sekali lagi. Hingga sambungan telepon terputus secara sepihak. “Ini maksudnya apa sih? Telepon gak jelas!” Atma hendak membanting benda pipih di tangannya namun belum sampai terlepas ia tersadar jika benda tersebut bukan miliknya.Atma hanya menghabiskan waktu dengan duduk di sofa setelah ia selesai menidurkan Yandra, sedangkan Clarita belum juga sadar dari pingsannya. Ia sesekali memeriksa keadaan Yara yang terbaring lemah dengan selang infus menancap di lengan kirinya. Ia merintih lirih membayangkan jarum kecil yang menembus kulit lembut bayi berusia dua minggu itu.Detik berganti menit, menit berganti jam, kini jam di dinding menunjukkan waktu 12 s
“Bukan urusanmu!” ketus Clarita menyimpan kembali ponselnya. Atma berdecak kesal dan berkata, “Mengapa semua wanita selalu sulit dimengerti. Apa susahnya menjelaskan apa yang sebenarnya ia rasakan?” Clarita mengabaikan pernyataan Atma dan memilih untuk melanjutkan makan siangnya. Atma yang merasa terabaikan pun memilih untuk menjauh dan kembali ke sofa. Ia menatap tumpukan map tak bernafsu. Sedangkan Clarita menikmati makan siang dengan pikiran yang melayang jauh ke mana. ‘Setelah ini apa yang harus aku lakukan? Biaya rumah sakit tentu mahal, belum lagi kehidupanku setelah ini. Aku tak mungkin terus bergantung pada belas kasihan dari Dean ataupun orang lain. Aku tak boleh merepotkan orang lain lagi, tetapi apa yang bisa aku perbuat? Aku hanya lulusan sma dan memiliki anak?’ batin Clarita meratapi nasibnya. Seusai menikmati makan siangnya, ia membuka benda pipih berwarna rose gold itu. Ia membuka jejaring sosial, mencoba mencari pekerjaan yang bisa ia lakukan dari rumah. Mau tidak m
“Ih om nguping ya! Katanya berpendidikan tetapi malah mencuri dengar ucapan orang lain, tanpa izin‼” sindir Dean menatap Atma yang berdiri dengan kepala menyembul di balik tirai pembatas. Atma gugup. ‘Kenapa jadi begini? Perasaan aku bicara dalam hati?’ batin Atma heran dengan dirinya sendiri. Atma memalingkan wajahnya menghindari tatapan menyelidik Dean namun sayang, bukannya aman netranya justru terperangkap pada manik mata milik Clarita. Manik mata berwarna hitam pekat yang begitu menenangkan dan memberikan rasa damai. “Om! Ngapain sih?” tanya Dean bingung pada sikap aneh Atma. Pria itu hanya mengendikkan bahu acuh dan berjalan menjauh. “Ish aneh banget dasar. Memang ya Mba kalau orang sudah umur itu suka gak jelas tingkahnya.” Clarita hanya menggeleng dengan senyum di wajahnya. Clarita dan Dean pun kembali melanjutkan perbincangannya, dua insan berbeda usia itu tampak begitu akrab dan asyik membicarakan hari pertama Dean bekerja di perusahaan yang penuh persaingan itu. Dean wani
Mereka terdiam sejenak dengan kepala tertunduk dan tangan menengadah, meminta pada sang Pemilik Semesta, memanjatkan serangkaian doa baik pada-Nya. “Mau kamu duluan atau mba, De?” tanya Clarita setelah mereka selesai merapikan peralatan sholatnya. “Mba dulu deh, Dean mau main sosmed dulu,” sahut Dean seraya menyalakan ponselnya, Dean memilih untuk duduk kembali di sofa yang tersedia. Clarita pun mengangguk, langkah kaki jenjangnya berjalan menuju almari kecil dan mengambil beberapa peralatan mandi. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, ia menyempatkan diri untuk menengok buah hatinya yang masih terlelap dalam mimpi tenangnya. Wajah tenang mereka seakan menjadi booster semangat untuk Clarita dalam menjalani hidupnya lagi. Clarita mendaratkan kecupan lembut ke kening buah hatinya, kemudian berlalu menuju kamar mandi dan memulai ritual mandinya. Tak butuh waktu lama, Clarita bergegas menyudahi mandinya dan membiarkan Dean membersihkan dirinya pula. Jam menunjukkan pukul 7 pagi, Clarita
“Gak mungkin kenapa, Mba?” tanya Dean dengan tatapan bingung.“Hah? Apa kenapa, De?” tanya Clarita terkejut dengan ucapan Dean.Dean pun menghela napas. “Mba tadi bilang gak mungkin, nah itu kenapa?”Clarita menatap Dean ia pun terdiam sejenak memikirkan jawaban apa yang tepat tanpa harus mengatakan yang sebenarnya pada Dean. “Ah itu, gak mungkin mba bisa hidup kalau gak ada kamu. Bagaimana pun juga kamu banyak membantu mba dan kamu bak malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantu dan menolong, Mba,” alibi Clarita pada Dean yang kini menatapnya penuh haru.Dean tak merespon ucapan Clarita, wanita itu hanya mengusap sebelah tangan Clarita. Setelah itu Clarita kembali terdiam, ia memikirkan mobil yang ia lihat beberapa menit lalu. Ia merenung dan mencoba menggabungkan semua kejadian yang terjadi hari ini.Mulai dari telepon dari n
“Apa tujuan mereka datang ke sini? Apa mereka ingin … ah tidak mungkin. Mereka saja membuangku mana mungkin mereka datang ke sini hanya untuk mengajak aku pulang lagi. Tetapi –““Assalamualaikum, aku pulang‼” pekik Dean seraya mengetuk pintu rumah.Clarita pun menghentikan ucapannya, menyimpan kembali ponsel miliknya dan bergegas membuka pintu rumah. “Walaikumsalam,” sahut Clarita seraya membuka pintu.Dean tersenyum, ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan tangan yang penuh belanjaan. Clarita pun bergerak membantu membawakan barang belanjaan Dean. Setelah itu menutup pintu dan kembali menguncinya. Kini kedua wanita terpaut tiga tahun itu duduk di ruang tengah dan membuka belanjaannya.“Ini ovennya mba, trus ini alat-alatnya. Nah yang di situ bahan-bahan kuenya. Kalau ada yang kurang nanti mba bilang aja yah, biar De carikan sepulang kerja nanti.
Atma merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel berlogo apel tergigit kemudian mengetikkan deretan angka kemudian mendial nomor teersebut. Bertepatan dengan nada sambung ketiga sebuah suara berat khas bangun tidur terdengar di telinganya. “Cari rumah Clarita, kutunggu sebelum jam makan siang,” ujar Atma tanpa basa-basi. “Bisa gak sih, Jay lu tuh kalau telepon ucap salam dulu, basa-basi dulu. To the point bener,” keluh sang lawan bicara. “Lagian ngapain seorang Atma Wijaya Mahendra nyariin alamatnya Clarita. Bukannya lu gak ada apa-apa sama mereka ya? Kesannya lu kayak suaminya saja, Jay.” “Ck!” Atma memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Membiarkan sahabat sekaligus assistennya itu mengumpat tertahan atas sikapnya. Ia termenung beberapa saat, memikirkan ucapan Bara. ‘Kesannya lu kayak suaminya’ perkataan itu terus terngiang di benaknya, ia mencoba mencerna ucapan Bara. “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorang suster membuyarkan lamunan Atma. Atma menoleh
“Saya sebagai orang tua kandung Danila Ayudia tentu menyerahkan semua keputusan di tangan putri kami. Kebahagiannya adalah kebahagian kami juga,” sahut Ganesha mengabaikan pertanyaan Danila. “Apa? Orang tua kandung? Maksudnya?” tanya Danila bingung ia pun melemparkan tatapan menuntut ke arah Bram. “Sayang, Tante Ratasya dan Om Ganesha adalah orang tua kandung kamu, yang selama ini disembunyikan oleh Pak Brahma, mereka –“ “Apaa‼” pekik Danila tak percaya. “Jadi? Yang kalian bicarakan saat persidangan itu aku?” tanya Danila tak percaya. “Iya sayang, kami memang orang tua kandungmu. Semua bermula dari … .” Ganesha mulai menceritakan awal mula Brahma merebut Danila darinya. Mulai saat Brahma merebut harta miliknya hingga ke kasus penculikan juga penyekapannya. Danila menyimak ucapan orang tuanya dengan begitu seksama, ia tak mau terlewatkan barang satu kata pun. Hingga ia sampai pada cerita tentang percobaan pembunuhan yang Brahma lakukan pada mereka, Danila mengeram tertahan, selama
“Aku ingin selalu seperti ini selamanya? Bisa ‘kan?” “Kamu ini bikin mas hampir jantungan saja. Sayang, hanya maut yang bisa memisahkan kisah cinta kita. Aku akan selalu berusaha selalu berada di sampingmu,” tutur Byan membuat hati Clarita menghangat dan kupu-kupu si perutnya berterbangan. “Mas nanti malam kita pakai ini saja ya? Acaranya kan di tepi pantai, aku juga gak bisa kalau pakai baju terbuka, alergi dingin. Untung suami aku gak dingin,” canda Clarita seraya menatap sang Suami manja. “Sayangg,” ujar Byan salah tingkah, pria itu menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal itu. Matahari pun mulai bergeser, menyisakan langit berwarna jingga dengan suara hiruk pikuk mobil yang berlalu lalang. Clarita baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di kepalanya, sedangkan sang Suami masih berkutat di meja kerjanya yang bersebelahan dengan kamar tidur mereka, Byan sengaja mendesain ruang kerjanya di dalam kamar hanya dengan memberi sekat kaca yang membatasi antara kama
“Perusahaan koleps, seluruh perusahaan besar menunda penanda tangannya MOU. Harga saham menurun drastis, beberapa vendor menagih pelunasan segera, kau ke mana saja?” ucap Mahen seraya membiarkan putranya membaca seluruh isi mapnya.“Kita bisa menangani ini sem –““Dengan cara apa? Sekarang saja perusahaan sudah tak ada kerja sama, oke masih ada tetapi itu hanya project remahan, kamu pikir itu bisa membayar semua tagihan? Belum lagi gaji pegawai. Seharusnya kamu memikirkan itu, kamu fokus membesarkan perusahaan ini bukan justru sibuk mengurus wanita dan anaknya yang penyakitan itu!”“Shut up, Pah! Apa papah tahu aku jadi seperti ini karena siapa? Karena anda! Anda yang selalu mengagalkan percintaanku anda yang selalu menghancurkan urusan hidupku sendiri. Kenapa? Karena anda terlalu ingin terlihat sempurna, padahal anda jauh lebih busuk daripada bangkai tikus.” Atma ber
“Gak papa kok, ya sudah kita masuk lagi yuk? Kayanya sudah waktunya mulai lagi persidangannya.” Mereka pun mengangguk setuju dengan ucapan Byan. Mereka pun kembali berjalan beriringan memasuki ruang sidang, siang ini mereka akan mendengar keputusam hakim atas perbuatan Brahma bertahun-tahun lalu.“Mas,” lirih Clarita mencekal lengan Byan. Pria itu menoleh dan menatap teduh sang Istri. “Aku takut.”“Pasrahkan semua ke Allah, ya. Semua akan baik-baik saja.” Clarita menghela napas seraya mengeratkan genggamannya di tangan sang Suami.Hakim dan seluruh jajaran pun mulai memasuki ruangan, setelah itu Brahma selaku tersangka utama telah hadir kembali di ruang sidang. Setelah persidangan kembali dibuka Jaksa penuntut umum kembali membacakan dakwaannya.“Dengan ini, kami memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kepada Brahma Wijaya dengan pasal tersebut selama 25 tahun kurungan.”Bola mata Clarita nyaris terlepas dari tempatnya kala mendengar putusan hakim kepada pria yang selama ini anggap sebag
“Kita hanya bisa berpasrah diri, Dan. Kita sudah berusaha menegakkan keadilan semoga semua sesuai dengan harapan kita ya.”Waktu seakan begitu cepat berlalu, hari-hari berlalu begitu cepat. Sejak persidangan pertama kemarin kehidupan Danila terasa begitu nikmat dan ringan. Ia masih bekerja di toko kue milik sang Kakak. Sedangkan hubungan asmaranya masih terjalin dengan baik. Bram tak pernah menuntut hubungan ranjang pria itu justru mengarahkan Danila menjadi wanita yang lebih elegant.Lain halnya dengan Atma, pria itu justru semakin gencar mendekati Hanna. Ia bahkan tak peduli dengan penolakan yang terus Hanna berikan padanya. Hanna adalah harapan terakhir untuknya mendapatkan warisan dari sang Nenek, ia pun tak menyerah untuk mendapatkan Hanna kembali.“Han, percayalah padaku. Aku tak hanya membutuhkan Bayu, sejujurnya aku masih menyimpan rasa padamu, tetapi aku terlalu malu untuk mengakuinya. Apa tida
“Katakan apa yang sedang kau rencanakan?” tanya Hanna dengan tatapan penuh selidik.“Begini, aku dituntut untuk memiliki seorang anak. Dan kamu butuh sumsumku bukan? Bagaimana jika kita bekerja sama? Aku akan mencukupi semua kebutuhanmu dan Bayu tetapi menikahlah denganku.”Hanna pun tersenyum miring. “Jadi benar ‘kan dugaanku? Kamu mengejarku dan berbuat baik padaku itu tidak tulus dari dalam hati, apa ini memang sifat aslimu?”“Ayolah, Han. Aku butuh kerja sama ini, agar aku bisa terlepas dari ayahku. Aku akan menghidupi kalian dengan baik, aku juga akan memperlakukanmu dengan baik. Aku hanya butuh Bayu dan status ini agar warisan nenekku bisa segera aku miliki.”“Kamu berubah, At! Ini bukan Atma yang aku kenal!” pekik Hanna seraya berjalan menjauhi pria itu.“Han aku berubah begini karenamu! Aku tak lagi p
Tanpa mendengar ucapan karyawannya Clarita segera berjalan menuju tokonya. Ia menapaki setia anak tangga, samar-samar ia mendengar pertikaian dua orang wanita dan benar saja, ketika langkahnya tiba di lantai dua ia menemukan Danila tengah berdebat dengan seorang wanita paruh baya.“Danila tidak akan mau mencabut tuntutan Danila! Kalian berdua itu licik!” pekik Danila di depan wanita setengah baya. Dari posisinya berdiri Clarita tak dapat melihat dengan jelas siapa sosok yang tengah bertengkar dengannya.Langkah kaki Clarita semakin mendekat ke arah Danila, ia pun tiba di samping tubuh wanita yang menjadi lawan bicara adiknya itu. “Maaf ada apa ya?”“Clarita!” ujar wanita itu terkejut melihat sosok ayu Clarita berdiri di sampingnya. “Kau juga! Mengapa kau tidak tahu terima kasih? Suamiku mengurusmu sejak kecil! Jika tidak ada suamiku maka –“&ldquo
“Kamu ngomong apa sih sayang? Tanpa diminta pun aku akan segera meminangmu. Aku tidak akan membuang kamu begitu saja. Sesuai janjiku padamu, dan juga kamu berhasil membuatku merasakan getaran yang sudah lama tak pernah aku rasakan lagi, bahkan kamu ada untukku di kala aku down kemarin. Kamu ingat ‘kan?” Danila pun mengangguk dan mengulas senyum. Ia lantas kembali melanjutkan aktivitas ranjangnya. Matahari semakin berani menampakkan dirinya, ia mulai menyinari langit kota Semarang menjadi teman warga di sana memulai aktivitasnya. Ada yang berangkat ke sekolah, ada yang berangkat bekerja, ada juga yang berangkat bergosip. Dua insan yang baru saja berubah status percintaannya masih asyik bergelung di dalam selimut tebal dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Selepas shubuh tadi mereka memang kembali mengulang kegiatannya hingga tertidur karena kelelahan. Ketukan dan suara tangis bayi membangunkan keduanya. Clarita mengerjapkan kedua matanya, ia lantas bangkit dari tidurnya dan memilih
“Ini semua adalah dosa yang harus aku tanggung! Tetapi kenapa harus Bayu? Aku … aku tidak bisa hidup tanpanya.”Kening Atma semakin berkerut, ia semakin bingung dengan ucapan Hanna, wanita itu seolah membuat teka-teki untuknya. “Seharusnya malam itu aku tidak melakukan perbuatan dosa, dan berakhir seperti ini. Ke mana aku harus mencari pendonor yang cocok?”“Donor?”Saat Hanna akan menjelaskan ucapannya, pintu UGD terbuka menampilkan sosok wanita setengah baya dengan jas putih yang melekat di tubuhnya. “Dengan keluarga pasien?”“Saya ibunya, Dok!” Hanna berjalan cepat mendekati dokter itu.“Begini bu, kondisi adik Bayu semakin mengkhawatirkan. Kita harus segera menemukan pendonor tulang sumsum belakang untuk keselamatan putra Ibu. Karena kelainan darah bawaan yang Bayu idap sudah di tahap mengkhawatirkan. Saya berharap ibu bisa segera menemukan pendonor yang tepat, untuk saat ini kami hanya bisa memberikan transfusi darah namun itu tidak bisa kita lakukan terus menerus.”Mendengar per