Vinza mencoba menelpon untuk kesekian kali dan tak juga diangkat. Di sana perasaan dia semakin aneh. Vinza lekas menghubungi agennya. “Iya, Mang Udin enggak bisa dihubungi. Tolong, Mbak. Cek kondisi keluargaku di sana. Ini sudah minggu kedua. Aku kerja pun enggak tenang.”
Menunggu beberapa hari, Vinza hanya mendapat kabar jika agen sendiri tak menemukan siapa-siapa di rumahnya. Mereka berjanji akan kembali dan menanyakan pada tetangga. “Enggak. Aku gak bisa nunggu. Tolong bantu aku pulang. Kontrakku tahun ini sudah selesai, ‘kan? Bisakah dipercepat? Perasaanku enggak enak, Mbak,” tegas Vinza.“Batalin kontrak itu susah, Vin,” jawab humas agen yang mengirim Vinza ke sana.“Gimana pun caranya. Aku mau pulang. Ada yang enggak beres.”Benar saja, keesokan harinya Vinza dapat kabar jika ibunya meninggal. Di sana Vinza merasa dunianya kembali runtuh. “Ibu! Ya Allah, Ibu! Kenapa enggak ada yang kasih tahu aku? Kenapa?” tanya Vinza.Ia duduk memeluk lutut di sudut ruangan sambil memegang telpon. “Yang sabar, Vin. Aku juga kaget dengarnya. Aku ke rumah Pak Udin dan rumahnya sudah dijual,” ungkap agen itu.“Mbak, aku mau ketemu ibuku. Anakku? Anakku gimana, Mbak? Mang Udin bawa dia ke mana?” tanya Vinza.Merasa iba akan keadaan Vinza, agen berusaha susah payah mengurus kepulangannya. Malam itu sambil memijiti Nenek, Vinza menangis.“Kenapa, cantik?” tanya Nenek merasakan tetesan air mata jatuh ke kakinya.“Ibuku meninggal, Nek. Bahkan aku tak sempat melihatnya. Dan anakku belum jelas ada di mana. Pamanku membawanya pergi. Aku ingin pulang, Nek. Maaf,” jelas Vinza.“Kasihan sekali kamu, Cantik. Tapi aku sudah senang kamu di sini.” Nenek mengawang. Ia membasahi kerongkongannya. “Dulu anakku selalu ada dalam asuhanku. Sekarang sudah menikah bahkan tak mau mengurusku. Sakit hatiku. Ibumu juga pasti menunggu kamu pulang. Kasian dia pergi tanpa melihat kamu.”“Iya, Nek. Aku mau pulang. Anakku, Nek.” Vinza meratap. Sakit di ulu hati setiap kali ia ingat nasib anaknya. “Ibu sakit bahkan aku enggak tahu. Kenapa dia enggak bilang sama aku? Aku bahkan belum sempat bikin dia bahagia. Malah aku terus bebanin dia, Nek. Ibu .... Kenapa enggak nunggu Vinza?”Vinza mencoba bertahan dengan sisa-sisa kesadarannya. Hatinya melambung kian hari menunggu bisa dipulangkan. Akhirnya ia pamitan dengan Nenek. Seorang TKW baru menggantikan sebulan setelah Vinza tahu kabar tentang ibunya.Vinza kembali ke Indonesia. Ia paketkan barang ke Cianjur sehari sebelumnya. Akhirnya Vinza pulang. Tiba di bandara, ia langsung dijemput naik bis ke terminal. Barulah dari terminal di Jakarta, ia naik bus umum ke Cianjur. Di perjalanan Vinza menatap ke luar jendela sambil sesekali menangis.Dua puluh jam lebih, akhirnya Vinza tiba di rumahnya yang sudah kotor dengan debu. “Ibu!” panggil Vinza. Tak ada yang menyaut.Bu Hamid melihat kedatangan wanita itu dari warungnya. “Vinza!” panggil Bu Hamid. Wanita paruh baya itu bersyukur akhirnya wanita yang dia tunggu kedatangan tiba kembali di kampung.Vinza berbalik. Ia simpan koper dan lari menghampiri Bu Hamid. “Bu, Rufy di mana, Bu? Ibu tahu enggak?” tanya Vinza histeris. Tangannya sampai bergetar saking panik. Wajah Vinza yang berkulit putih menjadi kusam lantaran rasa cemas yang sudah menjalar hingga ke tulang. Itu sifat alami yang seorang ibu miliki saat anaknya masih belum jelas kini ada di mana.“Duduk dulu. Tenang. Kita bicara.” Bu Hamid menunjuk bangku yang ada di depan warung. Vinza duduk di sana masih dengan perasaan tak karuan. Apalagi saat Bu Hamid menunjuk ekspresi duka di wajah. Tak mungkin reaksi itu muncul tanpa ada aksi di belakangnya.“Jadi selama ini Si Udin itu nipu? Astaghfirullah, tega sekali dia. Kok bisa kamu enggak nanyain berapa uang yang ibu kamu terima?” tanya Pak Hamid syok. “Aku pikir Mang Udin enggak gitu. Habis Ibu enggak ngomong apa-apa. Ternyata dia cuman enggak mau bebanin aku. Kasian Ibu. Rufy juga gimana?” Vinza berderai air mata. Ia tepuk-tepuk dadanya. “Kita lapor polisi. Mana kejadiannya sudah lama. Si Udin bilangnya mau diantar ke kamu. Katanya kamu pulang dari Taiwan lanjut kerja di Bandung. Makanya mau bawa Rufy ke sana,” jelas Pak Hamid. Vinza membuat laporan ke polsek setempat. Ia pun bingung hendak mencari Rufy ke mana. Polisi sendiri masih mencoba menyelidiki kasusnya. Selain sudah sangat lama pun tak banyak saksi saat kejadian. Vinza duduk di makam ibunya. “Bu, Rufy belum juga ketemu. Aku takut, Bu. Takut kalau anakku jatuh ke orang yang salah. Gimana kalau dia disakiti?” tangan Vinza mengusap nisan ibunya. Air mata berderai. Hasil kerjanya selama dua tahu lebih lenyap tak bersisa
Mobil itu menepi di sebuah desa. Selama tiga tahun ia pergi, kampung itu tak banyak berubah. Jalanannya masih bebatuan dan rimbun pepohonan tinggi di mana warga mengaitkan kehidupan, ada pohon jati, kemiri, petai, jengkol hingga melinjo. Mengenakan hoodie, ia berjalan menyusuri jalan kampung. Beberapa anak-anak kagum melihat betapa mengkilat mobil yang ia parkir di sana. Hitam dan bersih pun bodynya besar juga garang. Beberapa ada yang berubah. Kandang kambing yang biasa digunakan siswa-siswa SMP dekat kampung itu untuk buang air kini tak ada. Sawah berganti menjadi rumah dan lahan cabe rawit. Kini ia berhenti di depan sebuah rumah yang sudah reot. Kacanya pecah dan halaman terlihat kotor penuh debu dan daun berserakan. “Mereka pindah?” pikir David. Ia berbalik. Kembali David berjalan ke rumah besar tak jauh dari sana. Ada rumah gedung berlantai dua dengan cat jingga. Ada seorang perempuan tengah mengandung. Ia menyapu halaman dengan sapu lidi. “Ini rumah Pak Dedih?” tanya David.
“Assalamu’alaikum, Bu Ifa?” tanya Vinza. “Neng, David ke sini tadi. Dia nitipin surat ke satpam. Tapi Ibu enggak sempat ketemu. Tapi dari surat yang dia tinggalin katanya mungkin nanti ada orangnya datang ke sini kasih sumbangan. Ibu nanti akan titip pesan ke mereka, ya?” ungkap Bu Ifa. “Iya, Bu. Makasih. Sekalian ngomong sama Si Berengsek itu kalau anaknya ilang!” timpal Vinza. “Iya, Neng. Gimana? Belum ada kabar soal Rufy?”“Boro-boro, Bu. Ada yang nelpon malah orang aneh semua. Kemarin Vizna di PHPin. Katanya nemuin Rufy dan ajak ketemuan di alun-alun. Vinza tungguin sampai berjam-jam, orangnya enggak ada, Bu.”“Astaghfirullah. Kasian sekali kamu. Yang tabah, Neng.”“Iya, Bu. Makasih banyak.”Setelah menutup telpon. Vinza menghentakan kaki ke lantai. “Emang enggak tahu diri dia! Harusnya dia tanya-tanya sama orang! Andai saja aku ketemu sama dia! Sudah aku lelepin ke balong (kolam)!” pekik Vinza kesal. David tiba di apartemennya. Ia melepas hoodie dan melempar ke atas meja. Tub
Hari itu diadakan acara makan bersama di rumah Biru. David datang dengan setelan kemejanya. Sudah ada teman-teman Biru di sana. Rencananya David hendak pamitan sebelum pulang ke Hongkong. “Sekarang Ara sudah segede gini, tapi Oomnya masih jomlo saja,” ledek Randy, teman Biru. Jelas itu hantaman terbesar bagi Miki dan Roland, teman mereka. “Itu takdir, woy. Mana mungkin aku bisa melawan,” alasan Rolan. “Inget, Bro. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, tanpa kaum itu merubah nasibnya sendiri,” ceramah Biru. Rolan tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya menerima nasibnya. Jadi jomlo di antara teman yang sudah menikah memang menyakitkan. “Dengar kawan. Bukannya aku tak berjuang merubah nasib. Hanya saja mencari wanita baik itu seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Contoh saja David, kurang apa coba? Ganteng dan mulus kayak panci masih dalam dus, masih jomlo. Apalagi aku yang kayak panci gosong.” Miki bisa saja membuat alasan. Sedang orang yang ia sebut hanya senyum. David sel
David pamitan lebih dulu. Ia berjalan keluar setelah mendengar kedatangan Viane ke Indonesia. “Pastikan jangan sampai dia tahu aku tinggal di mana. Aku tak mau dia ganggu aku!” tegas David. Di teras ia hampir menabrak anak kecil yang tadi mengintip di tiang."Kenapa juga aku harus berurusan dengan bocah?" David memutar bola mata. Tak tahu kenapa dia merasa anak kecil itu ribet dan berisik. Meski dia pernah menjadi anak kecil. Mungkin karena dia tinggal di panti dan terpaksa jadi mandiri, karena itu dia tak memaklumi sikap manja anak lainnya.“Kamu bisa, tidak berkeliaran di rumah ini sembarangan, ‘kan? Kalau aku nabrak kamu, aku bisa disalahkan!” omel David sambil berkacak pinggang. Matanya melotot dengan sedikit merah di bagian bawah kelopak mata.Rufy menunduk. “Maaf,” timpal Rufy. Dia masiu terlalu kecil sehingga mudah merasa takut. Tubuhnya yang mungil dipaksa menghadapi dunia yang penuh dengan orang dewasa yang tinggi dan besar.“Mana orang tua kamu? Biar aku bicara dengan mereka
“Dak mau, Upi mo cali Bunda Insa,” rengeknya. Tangisnya pecah di dalam mobil David. Anak itu sampai menendang-nendang sisi jok sambil terduduk meluruskan kaki. David bingung bagaimana harus menghadapi anak sekecil ini. Dia tak punya pengalaman dan tak ingin mengalami.“Gini, Oom kasih kamu permen? Cokelat? Mobil-mobilan?” tanya David mencoba melakukan berbagai cara. Dia tak tahan dengan keberisikan ini.“Upi mo Bunda .... Mo Bunda .... Cali Bunda ....” Rufy masih terus saja merengek tiada henti. Bahkan sampai merosot dia ke lantai mobil lalu memanjat lagi ke jok.Ini bukan pertama kalinya Rufy kabur dari rumah Bamantara. Ia tak pernah berhasil. Kadang baru sampai gerbang sudah ketahuan. Baru kali ini dia berhasil kabur sangat jauh. Mana mungkin anak ini mau dipulangkan kembali. Apalagi jika kesempatan bertemu dengan ibunya hilang lenyap karena itu.“Orang tua angkat kamu sangat sayang kamu.” David mencoba memberikan anak itu pengertian. Paling tidak dia bisa menghargai apa yang dimili
David tertegun. Matanya terbelalak. Ia tatap anak di hadapannya yang tengah duduk menghadap polisi. “Iya. Bunda Insa. Keja jauh. Upi bayi, Bunda Insa keja jauh,” jawab anak itu. David sampai mundur. Ia berpegangan ke tembok takut terjungkal. “Vinza?” pikirnya. Sejenak David ingat ucapan Minara. “Anak ini mirip Oom David.”“Bunda Vinza cari Rufy. Nanti Oom telpon Bunda Vinza supaya jemput Rufy ke sini, ya?” Polisi mengangkat tangan agar Rufy mau ‘tos’. Anak itu menanggapi sebagai rasa persetujuan. “Vinza? Jadi Vinza masih hidup. Istri Hadi yang meninggal itu bukan Vinza. Terus anak ini?” batin David. “Pak, boleh saya lihat data ibunya?” David mendekat pada polisi yang tengah menanyai Rufy. Polisi mengangguk. Ia perlihatkan data Rufy di layar komputer. Foto ibu Rufy benar wanita yang putus dengannya tiga tahun lalu. David tersenyum sinis. Ia tatap anak yang kini tengah duduk sambil memeluk ember es krim. Rufy melihat-lihat ke sekitar. David duduk berlutut agar sejajar dengan mata R
Pagi itu, David bangun sambil meminum kopi di balkon. Rufy masih tidur di kamar lain. Semalam dia merengek karena tak mau tidur sendiri. Akhirnya David suruh pelayan menemani anak itu. Sekretarisnya datang ke balkon. Pria itu menunduk di depan David sebagai tanda hormat. “Hasilnya sudah keluar, Tuan Muda.”David sempatkan ke rumah sakit untuk melihat kecocokan DNA dirinya dengan Rufy tadi malam. Sesuai keinginannya, tes itu dilakukan secara cepat. David terima lembaran hasil tes dari tangan sekretarisnya. Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sample yang diperiksa menunjukan bahwa 23 alel loci marka STR yang dianalisis dari terduga ayah Damier Lau COCOK dengan alel paternal dari anak Rufy Hartawan Pisada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Damier Lau sebagai ayah biologis dari Rufy Hartawan Pisada adalah >99,99%. Oleh karena itu Damier Lau sebagai terduga ayah tidak dapat disingkirkan dari kemungkinan sebagai ayah biologis dari Rufy Hartawan Pisada.Glek,
“Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa
Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen
“Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr
“Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb
“Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy
“Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me
David berdiri di luar ruang bersalin. Vinza masih berada di dalam menunggu waktu untuk melahirkan. Sudah berjam-jam David menunggu. Vinza belum juga melahirkan. Tak lama dokter keluar. David lekas menghampiri dokternya. “Pak, istri anda harus melalui operasi Caesar karena ukuran bayinya cukup besar. Jadi anda tak bisa melihat prosesnya,” ucap dokter. “Tak apa, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya,” jawab David. Tak lama tindakan operasi langsung dilakukan. David semakin merasa tak tenang. Dia menunggu dengan Rufy di ruang tunggu VIP. Dalam pangkuan David, Rufy sempat tertidur pulas. Tak lama bayi mereka dibawa keluar ruangan menuju ruang bayi. David sempat melihat putrinya dan meminta untuk mengazani. Suster sempat menanyakan tentang nama bayi David dan Vinza, tetapi pria itu malah bengong. Dia sudah siapkan masah persalinan sampai penyambutan istri dan bayinya. Namun, masalah nama dia lupa. David melihat ke sisi kanan dan kiri. Dia melihat sebuah merk Waruna dengan logo de
“Hal yang harus dilakukan suami ketika menghadapi istri yang hendak melahirkan. Satu, tenangkan diri. Pastikan semua keperluan melahirkan sudah siap. Dua, telpon ambulan jika memang istri sudah terlihat banyak mengeluarkan keringat, atau lemas ....” David hampir setiap hari menonton video itu. Dia sudah sangat kecewa tak bisa menemani Vinza saat hamil Rufy pun tak melihat proses putranya lahir. Kali ini David ingin menjadi suami siaga yang akan menjaga istri dan bayinya dengan baik. “Ayah tonton pa, tuh?” tanya Rufy. Anak itu menyimpan tabletnya di atas nakas. Ia tengah belajar huruf mandari dengan aplikasi yang diberikan gurunya. Tablet itu akan membunyikan alarm jika waktu main tablet sudah habis. Karena itu Rufy menyimpan tabletnya. Ia selalu mematuhi peraturan yang dibuat dirumah karena aturan di rumah ini dibuat bersama-sama dengan Rufy. “Ini apa yang harus Ayah lakukan kalau dedek lahir,” jawab David. “Ouh, dedek mo ahin, ya?” tanya Rufy lagi. “Iya, kayaknya minggu depan. M
Sebelum Cyan lahir ....Vinza merenung di rooftop rumah. Hari ini dia tak punya semangat, hanya mengusap perut sambil manyun. Rufy sedang ada kelas. Karena masalah bahasa, anak itu harus homeschooling untuk belajar Bahasa Inggris dan mandarin sebelum memasuki taman kanak-kanak. Apalah daya ibunya. Bahasa Mandarin Vinza pun hanya sebatas bahasa untuk sehari-hari. Itu pun Vinza tak mampu membaca tulisan mereka. Cahaya matahari terasa hangat di awal musim gugur. Pepohonan mengalami kerontokan daun di bulan Oktober ini. “Aku mau jalan-jalan. Mau beli bala-bala,” batinnya. Di saat seperti ini, Vinza lekas mengambil ponselnya. Ia telpon David saat itu juga. “Kenapa?” tanya David. “Mau bala-bala,” pinta Vinza. “Bercanda kamu? Beli bala-bala di mana di Hongkong?” “Dulu di Taiwan ada,” keluh Vinza. “Terus aku harus ke Taiwan dulu gitu? Dateng ke rumah sudah basi itu bala-bala,” omel David. Vinza menunduk lesu. “Vid, ternyata cinta kita hanya sampai gorengan bala-bala,” keluh Vinza. “Tu