Zain duduk di kursi penumpang. Ia meremas amplop coklat yang diberikan Jack beberapa saat lalu. Pandangannya menunduk dengan gurat wajah mengeras. Di depannya, sang sopir sudah bersiap di belakang kemudi untuk menunggu perintah jalan darinya. Tapi entah, apa yang sedang dipikirkannya kali ini. Sehingga 5 menit berlalu, Zain tak juga mengeluarkan suaranya.Ia sudah tidak sabar untuk mengetahui isi dari amplop yang diberikan oleh, Jack. Padahal Jack sudah memberikan pesan untuknya, agar membuka amplop tersebut di tempat yang aman. Ya, Jack takut jika misinya berantakan hanya gara-gara—lalai.“Tuan, apa Kita akan di sini untuk sementara waktu?” sang sopir melihatnya dari spion dalam. Pria paruh baya itu paham dengan situasi yang tengah dialami oleh majikannya. Zain butuh sebuah, ketenangan.“Huft, baiklah, Pak. Kita ke hotel Graha saja, cepat jalan!” perintahnya tanpa melihat ke arah sang sopir.“Baik, Tuan!” jawab sopir itu tanpa banyak bertanya. Meskipun sebenarnya ia ingin menanyakan,
"NADIA …. AWAS KAU!" Teriak zain dengan sorot mata yang tajam. Hampir saja ia melemparkan sesuatu ke arah layar televisi. Saat ia tahu, jika di dalam video tersebut istrinya adalah otak di balik masalah yang saat ini tengah terjadi.***"Jack, cepat temui aku di tempat biasanya!" perintah Zain yang langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari, Jack.Pria berwajah tegas itu berjalan menyusuri lobi dengan langkah lebar. Ia mengabaikan sapaan resepsionis yang menawarkan sebuah senyuman padanya."Terima kasih atas kunjungan Anda, Tuan," seorang satpam membukakan pintu mobil yang sudah terparkir rapi di depan pintu masuk hotel Graha.Ia duduk di kursi belakang, tatapannya yang garang membuat sang sopir mengintip sebentar dari arah spion dalam."Kita langsung menuju Moonlight Bar, Pak. Cepat!" ujar Zain dengan napas yang tertahan. "Baik, Tuan Zain," tanpa banyak bicara, sang sopir langsung menyalakan mesin mobil dan melaju ke arah jalanan beraspal.Pria itu pun kembali tenggelam d
Tiba di tujuan, ternyata gerimis menyambutnya. Zain membiarkan kancing jas bagian bawah terbuka agar bisa leluasa dalam bergerak. Ia pun berlari kecil menghindari hujan. Setelah sampai di teras sebuah bangunan, Zain mengibaskan bagian bahu yang terkena cipratan air. "Tuan Muda," sapa Jack yang menyembul dari arah dalam ruangan."Silahkan masuk, Tuan!" ujar Jack mempersilahkan Zain untuk masuk ke dalam. Ia melihat kondisi sekitarnya, masih tetap sama seperti beberapa tahun yang lalu. Dimana ia menemukan tubuh mama Johana, istri pertama ayahnya terkapar di tengah ruangan yang lembab dan dingin."Jack, …." entah kenapa Zain seakan tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya. Ia berdiri terpaku dengan lidah yang kelu."Tuan sudah melihat barang yang saya kirimkan?" tanya Jack menebak kegelisahan yang membelit pada majikannya.Zain mengangguk kecil, ia mengusap sebagian wajahnya untuk membuang satu rasa yang—entah."Tapi dia sudah aku jebloskan dalam penjara, Jack. Aku belum mendengar kaba
"Apa kedatanganmu kemari hanya untuk melamun?" suara dokter Frans mengejutkan Erina yang duduk termangu menatap keluar jendela. Rupanya gadis itu tengah melamun sendirian."Aku bosan, Dok," jawab Erina saat sudah menoleh ke belakang. Ia tidak menyadari kedatangan dokter Frans yang sudah memasuki ruangan. Bibirnya sedikit mengerucut karena Erina tidak menemukan sesuatu yang menarik."Apakah kamu suka membaca?" tanya dokter Frans sedikit memancing. Perlahan ia ingin mengorek informasi yang tidak diketahui olehnya saat ini. Siapa tahu dengan sebuah buku bisa mengusir rasa bosan gadis itu.Erina menggeleng perlahan, bibirnya berganti menjadi manyun. “Tidak seberapa sih, entahlah.” Erina mengedikkan kedua bahunya. Ternyata salah, sepertinya Erina kurang tertarik.“Aku akan membawakanmu beberapa buku. Cobalah untuk membaca, siapa tahu akan sangat bermanfaat dan bisa menyita waktumu agar tidak terbuang percuma.” Saran dokter Frans yang kini duduk menghadap padanya di kursi kerja.“Apakah nan
“Dokter Frans!” sapa Zain dengan setengah berteriak ketika ia melihat dokter muda itu berada di basement yang sama.“Oh, hai, Zain! Apa Kamu mau bertemu denganku?” tanya dokter Frans yang menoleh ke arah asal suara.“Apa kabar, Dok?” Zain tidak menjawab, ia mengulurkan tangannya dengan reflek.“Baik, Zain. Kamu sendiri?” dokter Frans bisa melihat jika pria jangkung di hadapannya itu terlihat sangat lelah. Ia menyambut uluran tangan Zain dengan sekali sentakan.“Apa Kamu kurang tidur?” dokter Frans mendekat dan melihat lingkaran di bawah mata Zain yang menyerupai warna hitam keabuan.“Kebetulan salah satu pekerjaku sedang dirawat di sini, jadi ….” Zain melihat ke arah dokter Frans yang sepertinya tidak nyaman dengan kehadiran dirinya. Lalu Zain melirik sekilas ke dalam mobil sang dokter, ternyata ada bayangan seseorang yang sedang duduk di kursi penumpang. “Begitu, ya? Pasti kejadian ini membuat dirimu merasa sangat berat, Zain.” Dokter Frans bersimpati dengan semua kejadian yang tela
PLAK ….!sebuah tamparan sudah dilayangkan dokter Rhea pada wajah, Erina. Perempuan itu terlihat syok dengan apa yang dilakukan oleh dokter Rhea kepadanya.“Hei! Apa yang sudah Kau lakukan?!” dokter Frans melihat perseteruan yang terjadi di antara dokter, rhea da Erina. Ia berusaha melerai pertarungan yang semakin sengit. DUG!Tanpa sengaja, wajah dokter Frans terkena siku dokter, Rhea. Sehingga dokter Frans terhuyung ke belakang sambil memegang hidungnya yang terasa perih. Ia melihat dokter Rhea dan Erina yang kini saling menjambak dan melayangkan cakaran satu sama lain.“Alamak, ….” gumam dokter Frans saat melihat betapa brutalnya dua perempuan di depan sana.Dokter Frans menarik napas panjang. Setelah ia menghembuskannya dengan perlahan, ia pun bersiap untuk memisahkan Erina dan dokter Rhea yang sedang adu fisik di lantai basement.“Sudah, hentikan!” dokter Frans menarik paksa dokter, Rhea. Posisinya yang dominan di atas dominan lebih unggul untuk menyakiti Erina seperti apa yang
“Aku tidak tahu kalau Dokter sudah memiliki seorang kekasih,” ucap Erina dengan ragu. Walau bagaimanapun, Erina merasa bersalah telah berada di tengah-tengah dokter Frans dan dokter Rhea.Dokter Frans meliriknya sekilas, ia berusaha mengendalikan emosinya. Napas dokter muda itu terlihat begitu memburu, hingga Erina melihat dada dokter Frans naik turun berirama.“Dok, apakah Dokter baik-baik saja?” Erina menautkan kedua alisnya saat melihat dokter Frans menenggelamkan kepalanya di atas kemudi mobil. Dokter Fras tidak bergerak, cukup lama. Hingga Erina merasa jika dokter Frans membutuhkan ruang untuk sendiri.Erina menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Ia melihat jalanan yang sepi dari lalu lalang kendaraan. Tapi setidaknya, itu bisa mengalihkan perhatiannya daripada sibuk melihat kondisi dokter Frans yang—menyedihkan.“Maafkan aku,” dokter Frans mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah, Erina. Sehingga keduanya saling menatap dengan dalam.“Seharusnya aku tidak melibatkanmu dal
Kenapa berdiam diri di sini?” tiba-tiba suara seseorang terdengar di telinganya. Erina melihat sepasang sepatu pantofel saat wajahnya masih menunduk. Hatinya bersorak gembira karena dokter Frans berhasil menemukannya.“Dokter, aku ….” wajahnya terangkat dengan senyum yang mengembang. Tapi senyuman itu mendadak hilang ketika mengetahui jika pria di hadapannya bukanlah dokter, Frans.“Mari Kita pulang, Rose ….!”Erina menautkan kedua alisnya saat melihat pria bertubuh tegap di hadapannya mengulurkan tangan. Sementara tangan yang lain telah memegang sebuah payung agar dirinya tidak terkena percikan air hujan yang semakin deras. Hingga beberapa menit berlalu, keduanya masih dalam posisi yang sama, Erina—terpaku."Rose?" dahi Erina mengernyit kebingungan. Ia melihat orang asing berdiri tepat di hadapannya."Ayolah! Jangan membuat kesabaranku hilang, Rose!" ucap Zain yang masih mengulurkan tangannya meskipun sampai di sekian detik tidak mendapatkan sambutan dari perempuan itu."T-Tapi aku b
BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang
Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak
“Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?
“Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr
“A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le
“Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S
BRUK ….!Tanpa sengaja Zain telah menabrak seseorang saat ia hendak berjalan ke luar ruangan. Ia sudah berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, tapi sepertinya tidak seperti itu. Suasana hatinya yang buruk telah membuat dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih apalagi berjalan dengan benar. Walau bagaimanapun Zain harus minta maaf pada pria yang telah ditabraknya itu.“M-Maaf Tuan, saya tidak sengaja melakukannya.” Zain berhenti dan membalikkan tubuhnya untuk lekas minta maaf.Pria yang mengenakan topi itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya yang tertutup masker membuat Zain memicingkan kedua kelopak matanya. Timbul rasa curiga saat pria itu berusaha mengalihkan tatapan, Zain. Ia seakan mengenal gestur pria itu, tapi entah di mana?Tapi apa peduli Zain saat ini. Ia pun berjalan menuju area parkir dan menjumpai Jack yang diperintahkan untuk menunggu di sana. Jack menyambutnya dengan hormat, tidak ada basa-basi di antara keduanya
“Rose, tunggu! Setidaknya berikan aku penjelasan untuk ini,” Zain mencegahnya kmbali, ia tidak terima jika perempuan itu menolaknya secara mentah-mentah.Hening untuk beberapa saat, hingga Rose mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun mengangguk kecil, lalu mengatakan sesuatu yang semestinya tanpa bermaksud menentang hukum yang sedang berjalan.“Aku tidak membunuhnya! Sudah berapa kali aku bilang padamu. Aku tidak membunuh istrimu,” ujar Rose yang terpaku untuk beberapa saat.Ia meninggalkan Zain di tengah ruang sidang sendirian, pria itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun harus mematuhi aturan yang berlaku di negeri orang. Dan ia baru menyadari jika telah melakukan satu kesalahan yang fatal.***“Hei, Tuan! Jaga sikap Anda!” kedua petugas itu terkejut saat melihat Zain melompati pagar pembatas. Pria itu nekat mendatangi Rose yang tidak mau bertegur sapa dengannya. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, Zain sudah berdiri tepat di hadapan Rose dengan napas yan
Proses hukum yang kini telah membelitnya membuat Rose tidak dapat berbuat banyak selain satu kata—menunggu."Kenapa rasanya sangat sakit? Apakah aku benar mencintai pria berengsek itu?" gumam Rose sambil duduk di tepi ranjang yang ada di dalam sel tahanan kota."Aku hanya ingin bertemu dengan putriku," tatapannya berubah menjadi nanar, bola matanya berkaca-kaca."Tidak. Aku tidak akan menangis, apalagi menyesali tentang semua masa laluku dengannya." Ia menggeleng pelan, Rose bertarung dengan perasaannya sendiri.Rose mendengus dengan kasar. Rasa kesal di dalam hatinya, membuat tekad Rose mengalahkan emosinya yang begitu besar."Mau sampai kapan kau mendiamkan kopi ini? Aku tidak mau membuang makanan dengan sia-sia." Suara seseorang membuyarkan lamunan Rose seketika.Ia menoleh ke sumber suara, perlahan ia menatap wanita paruh baya yang bekerja sebagai office girl di kantor tahanan kota Perth itu dengan lirikan yang tajam. Rose tidak menjawab, ia pun kembali menghabiskan waktunya denga