“Aku akan melakukannya, seperti saat pertama kali Kita menghabiskan malam di pulau Bali.” Zain menyeringai dengan senyuman menggoda. “Omong kosong apa yang sedang Anda ucapkan, Tuan?” Erina bergidik ngeri saat melihat gestur tubuh Zain yang semakin berani mendekatinya.Erina tidak melanjutkan ucapannya ketika Zain sudah membungkam bibirnya dengan sebuah kecupan yang panjang. Perempuan itu hampir saja kehilangan pasokan oksigen andai saja Zain tidak memberinya ruang jeda agar Erina bisa mengontrol napasnya dengan baik.“Dasar maniak! Apa yang sudah Kamu lakukan? Kamu mau memperkosaku, dasar bedebah?!” Erina mencecarnya dengan banyak umpatan. Hingga membuat kemarahan Zain kembali datang.“Apa Kau benar-benar melupakan masa lalu Kita, Rose?” tanya Zain dengan tatapan yang nanar. Bola matanya menelisik setiap sudut wajah yang Rose yang terlihat begitu manis.“Sudah berapa kali aku bilang, Tuan. Aku, Erina. Bukan, Rose!” jawab Erina dengan sangat kesal. “Lepaskan aku sekarang juga, Tuan.
“Shit!” Zain melempar barang didekatnya ke udara. Ia meluapkan emosi saat mendapati sisi kiri kasur telah kosong. Rupanya Zain sudah kecolongan saat sedang tertidur. Erina atau yang dikenalnya dengan nama Rose telah pergi. Perempuan itu meninggalkan Zain ketika terlelap setelah pertempuran semalam.Ia menyambar piyama kimono dari dalam lemari dan lekas mencari ponselnya yang entah diletakkan di mana. Rasa dongkol yang ada dalam hatinya mengalahkan insting serta akal sehat, Zain. “Sialan! Kemana pula ponsel itu aku letakkan?” ia berkacak pinggang, lalu menyugar rambutnya dengan rasa kesal.“Kenapa dia tidak mengenalku? Apa ada yang salah dengannya? Aku yakin dia adalah, Rose. Aku tidak mungkin lupa dengan semua yang ada pada dirinya.” Terlihat Zain tengah berpikir dengan keras. Ia duduk di sebuah sofa dan mengingat kejadian kemarin saat bertemu kembali dengan Rose tanpa sengaja.Zain meraih jas yang sempat digunakan, pria itu berhasil mendapati ponselnya di sana. Tanpa menunggu lama,
Cittt ….Hingga tanpa disadari oleh, Erina. Ia sudah berlari cukup jauh, Erina kembali turun ke jalanan dan hampir saja membuat nyawanya melayang. Erina mengepalkan tangan, entah mengapa pandangannya kali ini mulai mengabur dengan napas yang naik turun seperti sebuah roller coaster.“Erina ….!” seru suara seseorang yang baru saja turun dari mobil Lexus berwarna gelap.Perempuan itu mendadak hilang keseimbangnnya. Erina pun jatuh ambruk setelah sebelumnya menoleh ke asal suara seseorang yang memanggil namanya.“D-Dokter Frans ….” ucapnya lirih dan setelah itu ia tidak mengingat apapun selain—kegelapan.“Oh, shit!” dokter Frans langsung lari menghambur pada tubuh yang sudah tergeletak di bawah jalan beraspal itu.Ia meminta bantuan pada beberapa orang yang melintas untuk memindahkan tubuh Erina ke dalam mobilnya. “Tolong bantu saya, Pak. Saya akan membawanya ke rumah sakit terdekat.”“Apa Anda mengenalnya, Tuan?” tanya pejalan yang mendekat ke arahnya. “I-Iya, Pak. Dia pasien saya, keb
“Jadi begitu?”Nadia menghisap rokoknya dengan santai. Ia berhadapan dengan salah satu pengawal terbaiknya. Ia telah mendapatkan satu informasi yang cukup mencengangkan, tapi perempuan itu bisa mengendalikan emosinya dengan baik.“Sekarang bagaimana kondisi mereka? Lantas apa yang membuatmu berpikir untuk jauh-jauh datang kemari dengan berita seperti itu?” Nadia melihatnya dari balik meja. Pria berpakaian rapi itu duduk dengan tenang, meski asap rokok sudah melingkar di sekitar dirinya.“Aku rasa Anda harus mengetahui perkembangan yang terjadi di Indonesia. Untuk itu, saya harus memberi informasi ini pada, Nyonya.” Ujar sang pengawal yang berusaha untuk mengimbangi percakapan yang dirasa tidak penting oleh, Nadia.“Apa Kamu tahu? Aku tidak peduli,” ujar Nadia dengan mendekatkan wajahnya. Pengawal tersebut menelan salivanya dengan paksa. Ia membalas tatapan Nadia tanpa ragu meski ada rasa canggung pada dirinya.“Mereka mati pun, aku tidak peduli.” Lanjut Nadia yang kembali mundur dan
"Silahkan Dokter tunggu di sini! Kami akan mengurusnya dengan baik di dalam." Cegah perawat tersebut ketika dokter Frans hendak masuk ke dalam."Aku mau masuk, Sus." Ia bersikukuh untuk bisa memantau secara langsung proses tindakan medis, Erina."Maaf, Dok. Sudah menjadi prosedur, tolong kerjasamanya." Lanjut perawat itu yang tetap tidak mengizinkan dokter Frans untuk masuk.Akhirnya dokter Frans mengalah, ia mengangguk kecil dan mundur dari depan ambang pintu.Ia berkacak pinggang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku yang bersalah, andai saja Rhea tidak melakukan tindakan bodoh itu. Pasti semua ini tidak akan terjadi." Dokter Frans berusaha menenangkan perasaannya yang terlihat amburadul. Ia hendak melangkahkan kaki ke sebuah kursi tunggu di luar ruangan, dan tiba-tiba ….PLAK ….!Dokter Frans tercengang, ia memegang pipinya yang terasa sakit. Wajahnya mendongak, dokter Frans mendapati dokter Rhea sudah di hadapannya."Apa yang sudah Kamu lakukan, Rhea?!" ia menatap nyalang pa
Suasana sunyi meliputi sebuah ruangan. Tampak pengap dengan kesendirian, seorang pria dengan bekas luka di hampir seluruh tubuhnya. Ia duduk terpekur di tepi ranjang yang terasa dingin tanpa hadirnya seseorang yang menemani. “Selamat pagi, Tuan. Permisi, saya buka jendelanya, ya?” seorang gadis berpostur 155 centimeter masuk ke dalam kamarnya.Ia memalingkan wajah saat silau matahari mulai menerpa. Dengan cekatan pelayan tersebut membersihkan ruangan tanpa banyak berkata. Setelah selesai dengan tugasnya, ia berdiri di samping ranjang dan menyapanya kembali dengan sikap yang sopan.“Sarapan Anda sudah siap, Tuan. Apa perlu saya bawa ke sini?” senyuman manis itu ditawarkan oleh, Cynthia. “Tidak perlu! Siapkan saja di meja makan, aku ingin menghirup udara luar hari ini.” Tuturnya tanpa melihat ke arah gadis itu.“Baik, Tuan. Saya akan menyiapkan dengan segera, permisi ….” Cynthia pun lekas pergi dari dalam kamar. Ia segera menyiapkan makanan untuk dihidangkan di atas meja makan pagi in
Ada bekas codet di bagian pelipis. Mungkin, itu adalah akibat kekerasan yang menimpanya beberapa waktu lalu. Nyawanya selamat, ternyata Tuhan masih memberinya satu kesempatan. Cynthia, gadis itu memberikan secangkir teh hangat sore hari dengan langkah ragu. “Taruh saja di situ! Jangan mengendap-endap!” tegur Alex saat mengetahui kedatangan Cynthia di ruang kerjanya. “B-Baik, Tuan.” Jawabnya sambil meletakkan cangkir tersebut di sisi meja kerja tuannya. “Tunggu!” cegah Alexander Dimitri dengan suara yang membuat Cynthia terkejut dan berhenti mendadak. Cynthia mengurungkan langkahnya untuk pergi dari dalam ruangan tersebut. Ia yang semula tidak ingin mengganggu keseriusan, Alex. Terpaksa harus menuruti perintah dari pria itu. "Apa Anda memerlukan sesuatu, Tuan?" tanya Cynthia yang menatap Alex dengan takut. Ia meremas kedua tangannya dengan cemas. Cynthia teringat akan perkataan dari mbok Darsih kemarin. “Sejak Kamu datang ke sini di rekrut si Dirman itu, Tuan sudah tidak marah-ma
“Kamu tidak ada di kamar semalam, dari mana saja Kamu, Neng?” tanya mbok Darsih yang sedang membersihkan bak cuci piring.Cynthia yang baru saja masuk ke dalam dapur tercekat, ia menghentikan langkahnya. Cynthia menyentuh tengkuknya karena merasa salah tingkah. “Neng ….?” sepertinya mbok Darsih sedang menunggu jawaban darinya. Wanita paruh baya itu menatap ke arahnya dengan tatapan penuh selidik.“Oh, a-ada kok, Mbok.” Jawabnya dengan suara tergagap.“Benarkah? Si mbok nggak lihat si Eneng tidur di kamar semalam. Jangan bohong lho, Neng! Nggak takut dosa apa?” mbok Darsih menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia melihat Cynthia yang berpura-pura menyibukkan dengan mengelap piring di sudut dapur.Tanpa di sangka, mbok Darsih sudah mendekat. Wanita kurus berbobot 45 kilogram tersebut sudah berdiri tepat di samping, Cynthia.“Ups!” hampir saja piring yang dipegang Cynthia terjatuh karena begitu terkejut dengan keberadaan mbok Darsih yang tiba-tiba.“Apa Kamu terkejut melihatku, Neng?
BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang
Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak
“Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?
“Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr
“A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le
“Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S
BRUK ….!Tanpa sengaja Zain telah menabrak seseorang saat ia hendak berjalan ke luar ruangan. Ia sudah berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, tapi sepertinya tidak seperti itu. Suasana hatinya yang buruk telah membuat dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih apalagi berjalan dengan benar. Walau bagaimanapun Zain harus minta maaf pada pria yang telah ditabraknya itu.“M-Maaf Tuan, saya tidak sengaja melakukannya.” Zain berhenti dan membalikkan tubuhnya untuk lekas minta maaf.Pria yang mengenakan topi itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya yang tertutup masker membuat Zain memicingkan kedua kelopak matanya. Timbul rasa curiga saat pria itu berusaha mengalihkan tatapan, Zain. Ia seakan mengenal gestur pria itu, tapi entah di mana?Tapi apa peduli Zain saat ini. Ia pun berjalan menuju area parkir dan menjumpai Jack yang diperintahkan untuk menunggu di sana. Jack menyambutnya dengan hormat, tidak ada basa-basi di antara keduanya
“Rose, tunggu! Setidaknya berikan aku penjelasan untuk ini,” Zain mencegahnya kmbali, ia tidak terima jika perempuan itu menolaknya secara mentah-mentah.Hening untuk beberapa saat, hingga Rose mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun mengangguk kecil, lalu mengatakan sesuatu yang semestinya tanpa bermaksud menentang hukum yang sedang berjalan.“Aku tidak membunuhnya! Sudah berapa kali aku bilang padamu. Aku tidak membunuh istrimu,” ujar Rose yang terpaku untuk beberapa saat.Ia meninggalkan Zain di tengah ruang sidang sendirian, pria itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun harus mematuhi aturan yang berlaku di negeri orang. Dan ia baru menyadari jika telah melakukan satu kesalahan yang fatal.***“Hei, Tuan! Jaga sikap Anda!” kedua petugas itu terkejut saat melihat Zain melompati pagar pembatas. Pria itu nekat mendatangi Rose yang tidak mau bertegur sapa dengannya. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, Zain sudah berdiri tepat di hadapan Rose dengan napas yan
Proses hukum yang kini telah membelitnya membuat Rose tidak dapat berbuat banyak selain satu kata—menunggu."Kenapa rasanya sangat sakit? Apakah aku benar mencintai pria berengsek itu?" gumam Rose sambil duduk di tepi ranjang yang ada di dalam sel tahanan kota."Aku hanya ingin bertemu dengan putriku," tatapannya berubah menjadi nanar, bola matanya berkaca-kaca."Tidak. Aku tidak akan menangis, apalagi menyesali tentang semua masa laluku dengannya." Ia menggeleng pelan, Rose bertarung dengan perasaannya sendiri.Rose mendengus dengan kasar. Rasa kesal di dalam hatinya, membuat tekad Rose mengalahkan emosinya yang begitu besar."Mau sampai kapan kau mendiamkan kopi ini? Aku tidak mau membuang makanan dengan sia-sia." Suara seseorang membuyarkan lamunan Rose seketika.Ia menoleh ke sumber suara, perlahan ia menatap wanita paruh baya yang bekerja sebagai office girl di kantor tahanan kota Perth itu dengan lirikan yang tajam. Rose tidak menjawab, ia pun kembali menghabiskan waktunya denga