Dasar brengsek, Kau!" BUG!Zain melayangkan bogem mentahnya. Pukulan itu tepat mengenai wajah, Ramon. Lelaki bertubuh kekar itu terpelanting ke arah samping dan, ….Brush ….Dari mulut Ramon telah menyembur cairan kental berwarna merah segar. Dan tak lama kemudian lelaki itu sudah jatuh tersungkur di bawah lantai yang dingin. Ramon sudah tidak sadarkan diri."Jangan bengong! Cepat bawa dia ke dalam kamar!" napas Zain terengah-engah. Ia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan yang semula mengepal dengan kuat. Zain mencoba untuk mengontrol keadaan yang semakin rumit."Obati semua lukanya. Jangan biarkan dia mati dulu! Aku masih membutuhkan banyak informasi darinya," perintah Zain yang tak lama kemudian dijalankan oleh beberapa pengawal lain. Mereka melepaskan ikatan yang membelit di tubuh, Ramon. Zain melihat sang bodyguard telah dibawa pergi dari ruangan pengap tersebut."Sial! Jika memang dia terbukti telah mengkhianatiku. Aku tidak akan membiarkannya hidup, seperti apa yang dilak
Dokter Frans mencari keberadaan suster, Kirana. Sudah hampir setengah hari semenjak mereka bertemu di ujung lorong rumah sakit, ia begitu khawatir.Bruk!Tiba-tiba saja ia menabrak seseorang. Lekas ia berbalik arah dan meminta maaf. Untung saja obat yang sudah dikantonginya tidak terjatuh. "M-Maaf, saya tidak sengaja," ucap dokter Frans dengan sedikit membungkuk."Tidak mengapa, lagian saya juga tidak hati-hati karena sedang terburu-buru." Jawab pria tersebut dengan canggung."Oh, bukankah Anda adalah dokter yang menangani kematian kakak saya tempo hari?" tanya Zain yang teringat akan kejadian beberapa waktu lalu. Dimana dokter Frans adalah salah satu petugas medis yang ikut andil dalam kasus yang menimpa, Alexander."Hem, ya, ya! Anda Tuan Dimitri, bukan?" dokter Frans mengangguk kecil sambil menunjuk berulang kali tepat di hadapan, Zain."Panggil saya Zain, Dok. Biar lebih akrab," Zain mencoba untuk tersenyum agar suasana yang kaku bisa sedikit mencair."Oh, iya! Maaf saya lupa, bu
"Dia sudah berselingkuh dengan istri saya," nada suaranya terdengar begitu nelangsa."Apa?!" dokter Frans meletakkan kembali cangkir kopinya di atas meja. Sepertinya dia sedikit tertarik dengan kasus keluarga Dimitri tersebut."Begitulah kenyataannya, Dok. Memang waktu itu saya terpancing emosi sehingga Kami terlibat sedikit cekcok, tapi sedikitpun saya tidak berniat membuatnya celaka," Zain memegang kedua pelipisnya yang terasa sakit. "Saya tahu perasaan Anda seperti apa saat ini, Zain. Saya sangat tahu, betapa sakitnya dikhianati oleh orang yang Kita cintai," dokter Frans menghela napas dengan kasar. Nasib mereka sama, tapi hanya berbeda dalam status saja.Zain memilih diam, ia memberi ruang pada dokter Frans untuk mencurahkan perasaannya. Hingga di satu titik, Zain menangkap sekelebat bayangan. Beberapa detik ia pun sedikit melamun.'Rose?' (gumam Zain dalam hati).Zain memicingkan kelopak matanya, tapi nihil. Ia menggeleng cepat, mana mungkin perempuan itu ada di dalam rumah saki
"Pasien itu, apakah pasien amnesia yang baru saja Kita bicarakan?" selidik Zain yang memecah keheningan saat keduanya berjalan bersama."Ya, karena tanpa identitas. Saya memanggilnya, Erina," dokter Frans berhenti tepat di depan kamar pasien yang dimaksud."Erina? Dia perempuan?" dahi Zain berkerut, bola matanyanya mengintip ke arah gorden yang terbuka separuh.Sayangnya, pergerakan di dalam kamar pasien tidak terpantau oleh, Zain. Sepertinya pasien yang telah mereka bicarakan sedang ke kamar mandi atau sudah terlelap di atas ranjangnya."Iya, saya belum bilang, ya?" dokter Frans memanyunkan bibirnya sambil mengingat sesuatu."Tidak masalah, Dok. Maaf jika sudah terlalu dalam ikut campur pada masalah yang bukan ranah saya," Zain merasa tidak enak hati. "Jangan begitu, saya berusaha mengungkap identitas pasien ini. Siapa tahu, melalui sharing dan tukar pikiran Kita hari ini. Bisa sedikit saja membuka jalan Erina untuk pulang," dokter Frans harus bisa bersikap dewasa. Ia menginginkan y
Dahi Zain berkerut, baru saja mereka duduk beberapa menit di sebuah coffee shop. Keduanya memilih tempat yang lebih tenang agar bisa leluasa dalam mengungkapkan pendapat."Apa ini, Dine?" Zain meraih sebuah ponsel yang diangsurkan kepadanya."Saya mendapatkannya dari seseorang. Ada yang melihat kejadian di malam itu, setelah Bapak pulang mengantarkan mereka. Tapi …." Nadine menghela napas dengan berat, rasanya ia tak sanggup untuk menjelaskan lebih lanjut.Tanpa berpikir panjang, Zain mengusap layarnya. Ia menekan tombol video untuk menyalakan alat perekam. Tampak pria itu sangat serius menatap tajam pada layar ponsel, sehingga rahangnya terlihat mengeras."Ini video amatir, orangnya tidak mau terlibat lebih jauh. Dia tidak bisa melakukan apapun, karena semua orang yang berada di dalam video bersenjata." Jelas Nadine untuk memecah keheningan."Darimana Kamu dapatkan ini, Dine?" Zain menoleh ke arahnya, ia terlihat begitu—syok."Salah satu warga, kebetulan sedang lewat. Dia tahu saya a
"Jangan pergi! Jangan meninggalkan aku lagi ….!" ucap Erina setelah sekian lama bibirnya membisu.Dokter Frans menelan salivanya. Seharusnya ia merasa senang saat Erina menunjukkan perkembangan. Tapi ia merasa, ada yang aneh dengan ucapan perempuan itu.'Lagi? Kapan aku pernah meninggalkannya? Sedangkan bertemu saja saat dia dirawat di rumah sakit,' (kata hati dokter Frans bertanya-tanya). Semilir angin telah menyadarkan dirinya. Dokter Frans harus bisa mengendalikan situasi yang bisa dibilang—membingungkan."Tidak, aku tidak akan pergi meninggalkanmu," akhirnya ia harus bisa mengikuti alur permainan yang telah diinginkan oleh, Erina.Dokter Frans perlahan berjongkok kembali di depan kursi roda milik, Erina. Baru pertama kalinya ia melihat retina itu mengikuti gerakan tubuhnya. "Jangan pergi! Aku sangat takut," kedua netra itu mulai berkaca-kaca. Dokter Frans melihat tangan Erina mencengkram kuat pegangan kursi roda. "Hei, tenanglah! Jangan takut apapun! Ada aku," diusapnya pipi it
Zain duduk di kursi penumpang. Ia meremas amplop coklat yang diberikan Jack beberapa saat lalu. Pandangannya menunduk dengan gurat wajah mengeras. Di depannya, sang sopir sudah bersiap di belakang kemudi untuk menunggu perintah jalan darinya. Tapi entah, apa yang sedang dipikirkannya kali ini. Sehingga 5 menit berlalu, Zain tak juga mengeluarkan suaranya.Ia sudah tidak sabar untuk mengetahui isi dari amplop yang diberikan oleh, Jack. Padahal Jack sudah memberikan pesan untuknya, agar membuka amplop tersebut di tempat yang aman. Ya, Jack takut jika misinya berantakan hanya gara-gara—lalai.“Tuan, apa Kita akan di sini untuk sementara waktu?” sang sopir melihatnya dari spion dalam. Pria paruh baya itu paham dengan situasi yang tengah dialami oleh majikannya. Zain butuh sebuah, ketenangan.“Huft, baiklah, Pak. Kita ke hotel Graha saja, cepat jalan!” perintahnya tanpa melihat ke arah sang sopir.“Baik, Tuan!” jawab sopir itu tanpa banyak bertanya. Meskipun sebenarnya ia ingin menanyakan,
"NADIA …. AWAS KAU!" Teriak zain dengan sorot mata yang tajam. Hampir saja ia melemparkan sesuatu ke arah layar televisi. Saat ia tahu, jika di dalam video tersebut istrinya adalah otak di balik masalah yang saat ini tengah terjadi.***"Jack, cepat temui aku di tempat biasanya!" perintah Zain yang langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari, Jack.Pria berwajah tegas itu berjalan menyusuri lobi dengan langkah lebar. Ia mengabaikan sapaan resepsionis yang menawarkan sebuah senyuman padanya."Terima kasih atas kunjungan Anda, Tuan," seorang satpam membukakan pintu mobil yang sudah terparkir rapi di depan pintu masuk hotel Graha.Ia duduk di kursi belakang, tatapannya yang garang membuat sang sopir mengintip sebentar dari arah spion dalam."Kita langsung menuju Moonlight Bar, Pak. Cepat!" ujar Zain dengan napas yang tertahan. "Baik, Tuan Zain," tanpa banyak bicara, sang sopir langsung menyalakan mesin mobil dan melaju ke arah jalanan beraspal.Pria itu pun kembali tenggelam d
BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang
Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak
“Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?
“Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr
“A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le
“Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S
BRUK ….!Tanpa sengaja Zain telah menabrak seseorang saat ia hendak berjalan ke luar ruangan. Ia sudah berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, tapi sepertinya tidak seperti itu. Suasana hatinya yang buruk telah membuat dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih apalagi berjalan dengan benar. Walau bagaimanapun Zain harus minta maaf pada pria yang telah ditabraknya itu.“M-Maaf Tuan, saya tidak sengaja melakukannya.” Zain berhenti dan membalikkan tubuhnya untuk lekas minta maaf.Pria yang mengenakan topi itu tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya yang tertutup masker membuat Zain memicingkan kedua kelopak matanya. Timbul rasa curiga saat pria itu berusaha mengalihkan tatapan, Zain. Ia seakan mengenal gestur pria itu, tapi entah di mana?Tapi apa peduli Zain saat ini. Ia pun berjalan menuju area parkir dan menjumpai Jack yang diperintahkan untuk menunggu di sana. Jack menyambutnya dengan hormat, tidak ada basa-basi di antara keduanya
“Rose, tunggu! Setidaknya berikan aku penjelasan untuk ini,” Zain mencegahnya kmbali, ia tidak terima jika perempuan itu menolaknya secara mentah-mentah.Hening untuk beberapa saat, hingga Rose mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia pun mengangguk kecil, lalu mengatakan sesuatu yang semestinya tanpa bermaksud menentang hukum yang sedang berjalan.“Aku tidak membunuhnya! Sudah berapa kali aku bilang padamu. Aku tidak membunuh istrimu,” ujar Rose yang terpaku untuk beberapa saat.Ia meninggalkan Zain di tengah ruang sidang sendirian, pria itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun harus mematuhi aturan yang berlaku di negeri orang. Dan ia baru menyadari jika telah melakukan satu kesalahan yang fatal.***“Hei, Tuan! Jaga sikap Anda!” kedua petugas itu terkejut saat melihat Zain melompati pagar pembatas. Pria itu nekat mendatangi Rose yang tidak mau bertegur sapa dengannya. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, Zain sudah berdiri tepat di hadapan Rose dengan napas yan
Proses hukum yang kini telah membelitnya membuat Rose tidak dapat berbuat banyak selain satu kata—menunggu."Kenapa rasanya sangat sakit? Apakah aku benar mencintai pria berengsek itu?" gumam Rose sambil duduk di tepi ranjang yang ada di dalam sel tahanan kota."Aku hanya ingin bertemu dengan putriku," tatapannya berubah menjadi nanar, bola matanya berkaca-kaca."Tidak. Aku tidak akan menangis, apalagi menyesali tentang semua masa laluku dengannya." Ia menggeleng pelan, Rose bertarung dengan perasaannya sendiri.Rose mendengus dengan kasar. Rasa kesal di dalam hatinya, membuat tekad Rose mengalahkan emosinya yang begitu besar."Mau sampai kapan kau mendiamkan kopi ini? Aku tidak mau membuang makanan dengan sia-sia." Suara seseorang membuyarkan lamunan Rose seketika.Ia menoleh ke sumber suara, perlahan ia menatap wanita paruh baya yang bekerja sebagai office girl di kantor tahanan kota Perth itu dengan lirikan yang tajam. Rose tidak menjawab, ia pun kembali menghabiskan waktunya denga