Pagi di Paris selalu indah, dengan angin musim gugur yang berhembus lembut membawa aroma kopi dari kafe-kafe di sepanjang jalan. Anna dan Thea berjalan berdampingan menuju ENS Paris, universitas tempat mereka menimba ilmu. Di tangan masing-masing, ada setumpuk buku dan catatan, seolah menjadi perpanjangan dari diri mereka yang haus akan ilmu.“Aku masih belum terbiasa bangun pagi di sini,” keluh Thea sambil menguap, sesekali menyesap kopi dari gelas kertas yang ia bawa.Anna tertawa kecil. “Makanya, jangan begadang nonton film terus.”Thea hanya mendengus. “Bukan salahku kalau inspirasi datangnya pas malam.”Mereka akhirnya sampai di halaman kampus yang luas dan klasik. Gedung-gedung tua dengan pilar-pilar tinggi berdiri megah, membawa aura akademik yang serius namun menggoda untuk dieksplorasi. Saat mereka melewati gerbang utama, Thea menoleh ke arah Anna.“Oke, sampai sini kita berpisah. Jangan lupa makan siang,” pesan Thea.“Kamu juga,” jawab Anna sambil melambaikan tangan sebelum
Angin malam berembus pelan di Paris, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan sore tadi. Dari balik jendela apartemen, lampu-lampu kota menyala seperti kunang-kunang yang menari di antara bangunan tua nan kokoh. Anna duduk bersila di sofa, matanya berbinar, bibirnya tak henti-hentinya berceloteh tentang sesuatu yang membuatnya begitu bersemangat. Atau lebih tepatnya, seseorang. "Thea, kamu nggak ngerti! Ini takdir!" seru Anna sambil merentangkan tangannya dramatis. Thea, yang tengah bersandar dengan sebuah buku di pangkuannya, hanya mengangkat sebelah alis. "Takdir? Kamu baru ketemu dia sekali, Anna." Anna mendesah panjang. "Bukan masalah berapa kali ketemu. Tapi gimana rasanya saat pertama kali melihat dia. Dadaku langsung berdebar, kakiku melemah, dan dunia serasa berhenti berputar!" Thea menahan tawa. "Kamu yakin itu bukan karena kamu kelaparan?" Anna melempar bantal ke arah saudara kembarnya. "Aku serius! Ini yang namanya cinta pada pandangan pertama!" Thea menan
Suasana apartemen terasa sunyi. Bukan sunyi yang menenangkan, melainkan sunyi yang menggantung, seperti angin sebelum badai. Jaden duduk di sofa, matanya tajam menelisik kedua putrinya yang berdiri di hadapannya. Seolah ini adalah sebuah persidangan, di mana ia adalah hakim, dan kedua putrinya adalah terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anna, yang biasanya penuh percaya diri, tampak menciut. Punggungnya sedikit membungkuk, kepalanya menunduk, tangannya saling meremas. Sementara itu, Thea duduk di sandaran sofa dengan ekspresi santai. Ia menatap ayahnya dengan mata jernih, tidak gentar sedikit pun. Mungkin karena ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak seperti kembarannya yang terlihat seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang dilarang. Jaden menghela napas panjang, lalu bersuara. Suaranya dalam, berwibawa, namun ada nada marah yang berusaha ia tahan. “Siapa laki-laki itu?” Anna menelan ludah. “Dia... Dylan Louise. Salah satu mahasiswa di ENS,” j
Anna tidak pernah menyangka, hanya dalam hitungan detik, dunia yang selama ini ia kenal bisa runtuh begitu saja. Dua hari sudah ia mendiamkan Thea, dan saudari kembarnya itu pun tampaknya menyerah. Biasanya, Thea akan menggedor pintu kamarnya dan memaksa bicara, atau setidaknya menyelinap ke tempat tidurnya dengan alasan ingin tidur bersama seperti dulu. Tapi kali ini berbeda. Thea hanya membiarkan Anna dengan amarah dan kekecewaannya sendiri. Bahkan di kampus, mereka saling menghindar, seolah-olah tidak pernah mengenal satu sama lain. Pagi itu, ketika bel apartemen berbunyi, Anna yang pertama kali membukanya. Dan di sana berdiri ibunya, Anyelir, dengan senyum lembut dan sekantong besar makanan. "Pagi, anak-anak Ibu. Kok cemberut?" tanya Anyelir sambil melangkah masuk. Thea yang baru keluar dari kamar langsung menyambut ibunya, sementara Anna mencoba bersikap biasa, meskipun ada kecanggungan yang tak bisa ia sembunyikan. Anyelir, dengan insting keibuannya, langsung menangkap sesua
Hujan turun dengan lembut di luar jendela ketika Thea duduk di ruang tamu rumah orang tuanya, menatap kedua orang yang telah membesarkannya dengan sorot mata serius. Ia sudah mempertimbangkan ini sejak lama, tetapi malam itu, ia tahu bahwa ia tidak bisa menunda lagi."Ayah, Ibu, aku ingin bicara soal Anna," ucapnya, suaranya bergetar sedikit. Ia sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini pada kedua orang tuanya. Salah-salah, ia dan Anna bisa diseret pulang ke rumah dan ttidak akan diizinkan lagi tinggal terpisah di apartemen. Tapi sepertinya, setelah dipikir lagi, ini urgent. Perubahan Anna terlalu menakutkan bagi Thea.Jaden dan Anyelir bertukar pandang. Sudah beberapa hari ini mereka memang merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Thea, tapi mereka tidak menduga bahwa itu berhubungan dengan Anna."Ada apa dengan Anna?" tanya Anyelir, suaranya lembut namun penuh perhatian.Thea menarik napas dalam, mencoba merangkai kata dengan hati-hati. "Sejak dia bertemu dengan Dylan Louise, dia ber
barang-barangnya. Tangannya bergerak cekatan, melipat setiap potong pakaian dengan rapi dan memasukkannya ke dalam koper kecil yang biasa ia gunakan untuk perjalanan singkat. Ia berhati-hati, memastikan bahwa tidak ada suara berisik yang bisa menarik perhatian Thea.Di sudut ruangan, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan dari Dylan muncul di layar: "Aku sudah di tempat yang kita sepakati. Aku tunggu di dekat Seine."Hati Anna berdegup lebih cepat. Ada ketegangan, ada keberanian yang ia paksakan, dan ada luka yang menganga dalam dadanya. Sejak melihat foto Thea berada dalam pelukan Dylan, ia merasa dikhianati. Meski Thea mengaku membenci Dylan, tapi bagaimana bisa ada foto yang menunjukkan sebaliknya? Thea mungkin hanya berpura-pura. Mungkin Thea juga menginginkan Dylan, dan semua ini hanyalah tipu daya agar Anna menjauh.Perlahan, ia melangkah keluar dari kamar. Apartemen masih sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan. Ia tahu Thea sedang bertemu dengan ayah merek
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.
barang-barangnya. Tangannya bergerak cekatan, melipat setiap potong pakaian dengan rapi dan memasukkannya ke dalam koper kecil yang biasa ia gunakan untuk perjalanan singkat. Ia berhati-hati, memastikan bahwa tidak ada suara berisik yang bisa menarik perhatian Thea.Di sudut ruangan, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan dari Dylan muncul di layar: "Aku sudah di tempat yang kita sepakati. Aku tunggu di dekat Seine."Hati Anna berdegup lebih cepat. Ada ketegangan, ada keberanian yang ia paksakan, dan ada luka yang menganga dalam dadanya. Sejak melihat foto Thea berada dalam pelukan Dylan, ia merasa dikhianati. Meski Thea mengaku membenci Dylan, tapi bagaimana bisa ada foto yang menunjukkan sebaliknya? Thea mungkin hanya berpura-pura. Mungkin Thea juga menginginkan Dylan, dan semua ini hanyalah tipu daya agar Anna menjauh.Perlahan, ia melangkah keluar dari kamar. Apartemen masih sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan. Ia tahu Thea sedang bertemu dengan ayah merek
Hujan turun dengan lembut di luar jendela ketika Thea duduk di ruang tamu rumah orang tuanya, menatap kedua orang yang telah membesarkannya dengan sorot mata serius. Ia sudah mempertimbangkan ini sejak lama, tetapi malam itu, ia tahu bahwa ia tidak bisa menunda lagi."Ayah, Ibu, aku ingin bicara soal Anna," ucapnya, suaranya bergetar sedikit. Ia sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini pada kedua orang tuanya. Salah-salah, ia dan Anna bisa diseret pulang ke rumah dan ttidak akan diizinkan lagi tinggal terpisah di apartemen. Tapi sepertinya, setelah dipikir lagi, ini urgent. Perubahan Anna terlalu menakutkan bagi Thea.Jaden dan Anyelir bertukar pandang. Sudah beberapa hari ini mereka memang merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Thea, tapi mereka tidak menduga bahwa itu berhubungan dengan Anna."Ada apa dengan Anna?" tanya Anyelir, suaranya lembut namun penuh perhatian.Thea menarik napas dalam, mencoba merangkai kata dengan hati-hati. "Sejak dia bertemu dengan Dylan Louise, dia ber