Share

6. Vinsmoke Alroy: Rat

Penulis: Eshalliee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Rio de Janeiro, Brasil.

***

"Lusa nanti ayah akan mengundang banyak tamu penting ke rumah. Sebaiknya kalian tidak banyak bertingkah dan memperlihatkan sikap yang baik."

Vins tidak mendengarkan perkataan ayahnya dengan baik. Dia memainkan makanannya menggunakan pisau. Menusuknya dengan brutal kemudian mencincangnya sampai menjadi bubur. Sementara itu, ibu dan saudaranya sedang makan dengan tenang sambil mendengarkan perkataan kepala keluarga di sana.

"Kau mendengarku, Vins?" tegur William, ayah dari Vins, setelah melihat sikap anaknya.

"Tidak," jawab Vins dengan santai. Dia masih mengaduk-aduk makanannya hingga menjadi tidak berbentuk.

"Apa?!"

"Apa kau tuli? Kau menanyaiku apa aku mendengarmu atau tidak, tapi kau sendiri tidak mendengarku," ejeknya.

"Berani sekali kau mengejek ayahmu seperti itu! Berhentilah membuat masalah, aku terus mendapat laporan karena kau mengacau."

"Benarkah? Masalah mana yang kau bicarakan? Aku tidak mengingatnya satupun. Lagipula, untuk apa mereka mengatakannya padamu? Apa hubunganmu denganku?" Vins mulai mengalihkan tatapannya kepada William. Kedua manik hitam itu saling bertemu dalam satu garis. Membuat suasana menjadi semakin tegang.

"Karena kau anakku, maka mereka melaporkannya padaku! Jika kau mengerti itu, seharusnya kau tidak melakukan apapun yang buruk dan membuatku repot karena terus membersihkan namamu!"

"Jadi kau ayahku? Sejak kapan?"

BUGH!!

Sebuah gelas melayang dan menabrak kening Vins dengan sempurna lalu pecah begitu saja. Akibatnya, kening Vins sobek dan terluka. Darah mengalir di sana dengan perlahan. Namun, Vins tidak merasa kesakitan, dia malah tersenyum dan tertawa lebar.

"BAWAKAN CAMBUK ITU!"

"Kenapa kau marah? Apa aku melakukan kesalahan? Kau memang bukan ayahku, berhentilah bertingkah seolah apa yang kukatakan itu salah."

Seorang pelayan langsung menuruti perkataan tuannya tanpa membantah. William mengambil cambuk besar itu dan mendekati Vins. Tanpa mengatakan apapun William menarik kerah Vins dan mendorongnya ke lantai. Dengan tubuh yang terduduk itu, Vins mendapatkan cambukan bertubi-tubi yang melukai tubuhnya.

"Kau semakin lemah, ini tidak ada rasanya," ejek Vins seolah menantang kemarahan William.

Pria itu semakin menguatkan cengkeramannya pada cambuk itu dan memusatkan perhatiannya untuk Vins. Dia benar-benar bertekad mengalahkan anaknya yang sulit diatur. Sementara itu, wanita yang seharusnya dipanggil ibu oleh Vins malah terus makan bersama anaknya yang lain dengan tenang. Dia seolah tidak melihat apa yang sedang terjadi.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Aku mengatakan kebenaran bahwa kau bukan ayahku. Oleh karena itu urus saja dirimu sendiri dan aku akan mengurus diriku sendiri," ucap Vins dengan santai. Dia bahkan tertawa kecil untuk menunjukkan secara terang-terangan bahwa dirinya sedang mengejek.

"Berhentilah bicara!" bentak William dengan suara menggelegar. Napasnya mulai memburu sementara Vins menatap pria tua itu seolah dia tidak merasakan apapun di bawah sana. Dia hanya tersenyum dan menyeringai melihat pria berusia lima puluhan itu. Tubuh tegapnya sama sekali tidak terlihat menyeramkan di mata Vins.

Setelah merasa lelah, William membuang cambuknya ke sembarang arah. Dia memperbaiki setelan jasnya yang berantakan lalu kembali ke meja makan seolah tidak pernah terjadi apapun. Dia meninggalkan Vins tanpa menoleh ke belakang.

"Dengarkan aku," ucap Vins sambil berdiri menghadap keluarga kecil yang bahagia itu.

"Aku adalah anak dari kakakmu yang kau bunuh dengan sengaja. Aku adalah sandera yang kalian gunakan untuk memeras semua warisan kakekku yang seharusnya menjadi milik ayahku."

Vins kembali mengingatkan mereka kepada kenyataan yang sebenarnya itu. Kenyataan bahwa lima belas tahun yang lalu William meminta orang lain untuk menyabotase kendaraan orang tua asli Vins. Rencana yang berhasil itu menjadi awal dari sandiwara mereka yang gagal. Mereka bersikap manis kepada Vins pada awalnya. Namun, sejak Vins tahu kebenarannya tanpa sengaja, mereka mulai memperlihatkan taring tumpulnya. Mereka hanya bisa mempermainkan Vins tanpa bisa membunuhnya. Semua itu karena hak waris masih menjadi milik Vins dan belum berhasil mereka ubah karena ayah William mati lebih dulu.

Tanpa rasa malu mereka menggunakan harta Vins yang melimpah. Mereka bahkan menggunakan kekerasan kepada Vins selama bertahun-tahun. Mereka hanya tidak menyadari bahwa Vins sedang menyusun rencana untuk balas dendam. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjatuhkan mereka semua dengan satu serangan.

"Ya, kalian tenang saja, aku bukan anak cengeng yang senang mengadu. Tapi, bukankah seharusnya kalian menengadahkan tangan jika ingin meminta uang dari orang lain? Apa tangan kalian terlalu berat? Jika iya aku akan menghancurkannya untuk kalian." Itu adalah ancaman pertama dari Vins. Alhasil, mereka terkejut dan merasa merinding mendengarnya. Belum lagi wajah Vins yang berdarah dan menyeringai. Dia terlihat seperti iblis yang baru saja dikeluarkan dari neraka.

"Baiklah, nikmati makanannya, jika perut kalian belum merasa puas, gunakan saja uangku tanpa rasa malu, seperti yang biasa kalian lakukan, seperti anjing jalanan yang terus menggonggong pada orang yang sudah memberinya makan."

Vins meninggalkan ruang makan setelah mengatakan itu. Di dalam hati, dia merasa kesal pada dirinya sendiri karena dia tidak bisa melakukan apapun dengan lebih cepat. Dia terus membandingkan keluarga itu dengan anjing kotor, tapi dia juga merasa bahwa dirinya hanya seekor tikus kecil yang tidak memiliki kekuatan apapun.

Semua orang berpihak pada William karena kekuasaannya. Semua bukti dibawa mati oleh orang tua kandung Vins hingga dia tidak menemukan satu celah pun untuk menjatuhkan William. Semua orang menutup mata dari apa yang terjadi padanya. Benar-benar pecundang yang menyebalkan. Dia bahkan membutuhkan banyak waktu untuk membuat satu celah kecil.

"Tuan muda," panggil seorang gadis saat Vinsmoke hendak masuk ke mobilnya.

Panggilan itu membuat Vins berhenti. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap gadis dengan pakaian khusus pelayan di rumah ini.

"A–apa kau baik-baik saja?" tanya Lily dengan wajah berlinang air mata.

Tadi dia menyaksikan semua pertengkaran majikannya dalam diam. Dia ingin membantu Vins tapi orang tuanya melarang. Dia sangat ketakutan saat melihat darah mengalir di kening Vins dan cambuk yang terus menghantam tubuh itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

*****

"Some wounds are too painful to heal."

Bab terkait

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   7. Vinsmoke Alroy: CIPA

    Vins hendak mengusap keningnya yang dialiri darah menggunakan lengan bajunya yang panjang, tapi Lily menghentikan dengan cepat. Tangan kecil itu menggenggam tangan Vins tanpa rasa takut. Dia berusia tiga tahun lebih muda dari tuannya, tapi dia sudah mengerti dengan ketidak adilan yang diterima Vins sejak lama. "Jangan lakukan itu, aku mohon ikutlah denganku dan biarkan aku mengobati semua lukamu," pinta Lily. "Lepaskan aku," bentak Vins dan dengan sedikit tenaga menghempaskan tangan Lily. Meski begitu, Lily yang sempat terdorong kembali memegang tangan Vins dengan kencang. Dia bahkan menarik Vins untuk mengikutinya ke gazebo di halaman belakang rumah. "Apa yang kau lakukan?! Jangan kurang ajar! Lepaskan aku!" perintah Vins di tengah kondisinya yang ditarik paksa oleh Lily "Tidak mau! Aku harus mengobati lukamu itu lebih dulu!" tolak Lily dengan suara lebih keras. Dia bahkan menghentikan langkahnya dan menyempatkan untuk menatap Vins dengan tajam meskipun air mata menganggu pandan

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   8. Vinsmoke Alroy: Fire

    Vins meneguk minuman keras yang ada di tangannya. Dia seperti orang yang kehausan selama tiga hari. Namun, bukannya minum air mineral, dia malah minum alkohol. "Berani sekali dia masuk ke dalam kamarku seperti itu," kesal Vins. Dia mengingat kembali kejadian malam kemarin saat dirinya sedang dalam pengaruh alkohol. Dia sedang tertidur dengan nyaman, tapi tiba-tiba saja seseorang berbisik padanya dan terus meminta tolong. Vins sudah mengusirnya berkali-kali meskipun tanpa membuka matanya yang terpejam. Namun, wanita itu tidak juga pergi selama beberapa saat. Kini dia tahu bisikan itu berasal dari Lily. Bisikan di taman belakang tadi sudah membuktikan semuanya. Apa yang sedang direncanakan gadis itu? Apa dia sedang mencoba untuk menggoda Vins?"Minuman jenis apa ini?! Kenapa tidak memberikan efek apapun?! Berikan aku sesuatu yang lebih!" bentak Vins kepada para bartender khusus yang menjamunya. "Tuan, apa kau tidak puas dengan pelayanan mereka? Maukah kau jika aku yang melayanimu?" g

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   9. Neve Alba: Ice Prince

    Palembang, Indonesia.***"Kau lihat pria yang sedang duduk di bawah pohon itu?" "Wah, dia tampan sekali, kenapa dia diam di sana sendiri?" Mereka menatap seorang pria yang memiliki tinggi lebih dari enam kaki itu. Dia terlihat tenang dengan headphone yang menutupi kedua telinganya. Matanya tidak bergerak sedikitpun dari buku yang entah apa judulnya itu. Yang jelas, dia terlihat sangat menikmati dunianya sendiri. "Dia Neve Alba, mahasiswa tahun terakhir yang kabarnya sama sekali tidak pernah memulai interaksi dan pembicaraan dengan siapapun selama dia kuliah di sini," jelas wanita pertama kepada juniornya. "Benarkah?" Wanita kedua yang baru memulai masa kuliahnya itu menatap tertarik pada Neve yang berada tak jauh darinya. "Ya, dia sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan kemauannya sendiri. Meski begitu, dia memiliki banyak penggemar dan para pria tidak ingin mengganggunya." "Kenapa?" tanya seorang pria yang juga merupakan mahasiswa ta

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   10. Neve Alba: Secret

    Prediksi semua orang benar, Neve menang, sekali lagi. Namun, Neve sama sekali tidak peduli. Dia hanya ingin menjalani harinya dengan tenang. Diraihnya tas yang tergeletak di pinggir lapangan. Baru saja dia ingin pergi, tapi seseorang menghentikannya. Gadis itu, yang menjadikan dirinya sendiri sebagai barang taruhan. "Kau menang," ucap Zia. Dia datang dengan senyum yang merekah, entah apa yang sedang dia pikirkan di otaknya yang kecil itu. Sementara itu, Jack, pacarnya yang baru saja dikalahkan memandang tidak suka pada Neve. Dia sama sekali tidak rela pacarnya direbut dengan cara seperti ini. Namun, dia sendiri sudah menyetujui hal itu. "Aidan!" panggil Neve. Untuk pertama kalinya pria itu membuka mulut lebih dulu dan menyebut nama orang lain. Aidan yang dipanggil pun merasa terkejut, begitu juga dengan semua orang yang mendengar. Aidan langsung mendatangi Neve sambil berlari. "Kau memanggilku? Serius? Hahaha akhirnya kau memanggilku!" serunya. Dia bahk

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   11. Neve Alba: Curse or Boon

    "Neve?!" Beberapa saat lalu, Srikandi entah kenapa merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang buruk terjadi. Dia sulit tidur dan memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Namun, saat kakinya melewati kamar Neve, Srikandi mendengar rintihan seperti menahan sakit. Dia memanggil anaknya itu berkali-kali, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Yang didengarnya malah rintihan menahan sakit. Tanpa banyak bicara Srikandi mengambil kunci cadangan yang dia punya dan kembali ke depan kamar Neve. Dia membuka paksa pintu itu dan masuk ke dalam kamar. "Neve?!" Dia sangat terkejut saat melihat tubuh Neve mengeluarkan cahaya dan Neve sendiri berkeringat. Neve jelas sedang kesakitan saat ini. "Neve? Dengar, Nak, ini ibu, apa kau bisa mendengarku?" ucap Srikandi sambil menepuk-nepuk pelan pipi Neve. "AAKHHH!!!" Tiba-tiba saja Neve berteriak kencang dan menutup telinganya. Di dalam sana, Neve kembali mendengar dengung yang sangat me

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   12. Sylphide Aure: Silent Voice

    Karibia, Puerto Rico. ***Sylphide Aure, gadis bertubuh kecil tersebut menatap takut kepada pria yang sedang memegang botol minuman keras di depannya. Pria beruban itu sempoyongan karena mabuk, bahkan dia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya untuk berdiri tegak. Sylphide menggenggam erat ujung dress-nya, mencoba untuk mengumpulkan keberanian. "A–ayah ... a–apa kau b–baik-baik saja? A–apa kau membutuhkan s–sesuatu?" tanya gadis itu. Karena tidak mendapatkan jawaban, Sylphide kembali membuka mulutnya. "A–ayah? AAAKHH!" Sayang sekali, tanpa aba-aba Sylphide mendapatkan lemparan botol yang sejak tadi dipegang Karl. Beruntung benda berbahan kaca itu tidak mengenai Sylphide secara langsung tapi pecah di dinding tepat di samping wajahnya.Sylphide menutup kepalanya dengan kedua tangan karena terlalu takut dan terkejut. Dia tidak mengerti di mana kesalahan yang dibuatnya. Bahkan hal ini terjadi hampir setiap hari. Ayahnya selalu marah

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   13. Sylphide Aure: Solitude

    Langit malamnya cukup indah kali ini. Laut menjadi cermin besar yang memantulkan pemandangan ribuan bintang. Sylphide bisa merasakan ketenangan di tengah kesepiannya. Sendirian memang, tapi setidaknya tidak ada tekanan dari mana pun. Dengan netra hazelnya, Sylphide menangkap sosok wanita yang berdiri di ujung pantai. Rambut wanita itu melambai-lambai mengikuti arah angin. Dress putihnya seperti bersinar di tengah malam yang gelap. Apa dia sosok bulan yang sebenarnya? Sylphide bahkan tidak bisa untuk mengalihkan tatapan darinya. Dia sangat sempurna. Sylphide bisa mengetahui hal itu meskipun wanita tersebut membelakanginya. "Jika kau mendengarku," ucap wanita itu tiba-tiba. Padahal jarak di antara mereka cukup jauh, tapi suaranya terdengar sangat jelas di telinga Sylphide. Sylphide bingung, kepada siapa wanita itu bicara? Tidak ada siapapun di sini selain mereka. Apa mungkin bicara kepadanya? Namun, mereka sama sekali tidak saling mengenal."Aku

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   14. Sylphide Aure: Bad Memories

    Setelah diselidiki, Karl terbukti melakukan kekerasan kepada Sylphide dan diancam hukuman penjara. Para penyidik merasa tidak puas dengan hal ini. Bukan karena hukumannya, tapi kasus rumah yang berantakan nyaris hancur itu sama sekali tidak bisa mereka simpulkan. Mereka memutuskan untuk menutup kasus tersebut, tapi mereka tidak bisa menutupi rasa penasaran di dalam hatinya. Sylphide dijanjikan perlindungan dan keamanan. Namun, Sylphide diharuskan selalu terbuka pada mereka. Katanya, Sylphide tidak perlu takut lagi pada Karl karena pria itu sudah dipenjara.Sejak saat itu juga, Sylphide terus mendengar suara dengungan dan permintaan tolong dari seorang wanita di dalam otaknya. Dia bahkan berhalusinasi, melihat seorang wanita yang Sylphide duga adalah sumber dari suara itu di tepi pantai malam. Penjelasan dari psikiaternya sama sekali tidak bisa dia cerna dengan baik. Konsentrasinya terbagi menjadi beberapa bagian. Beruntung kewarasan otaknya masih ada. "S

Bab terbaru

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   30. Destined Meeting

    Adrea menatap wajahnya di cermin. Bayangan cantik yang sangat dibencinya itu benar-benar membuat Adrea muak. Seakan terus mengingatkan Adrea tentang seberapa kotor dirinya. Dulu, Adrea bahkan tidak ingin bercermin sedetik pun. Namun, kini dia merasa lelah. Rasanya masih menyakitkan, masih membuat hatinya marah, tapi Adrea sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkannya dan hal ini adalah yang paling menyedihkan. Setelah berhari-hari bahkan berminggu-minggu Adrea memohon, tidak ada siapa pun yang datang untuk menolongnya. Sampai semalam pun Adrea masih memohon dan berdoa untuk kehadiran mereka, dia masih percaya. Meski begitu, kini dia merasa segalanya mustahil. Bantuan itu tidak akan pernah datang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Tiba-tiba saja sepasang tangan melingkar di pinggang Adrea. Raja itu datang begitu saja dengan kekuatannya. Adrea sudah terbiasa, dia bahkan tidak terkejut lagi. Adrea hanya membiarkan pria itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma tubuh yang

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   29. Drama and Screenplay

    Tepat di malam itu, berita-berita tentang gempa yang terjadi di kota mereka mulai muncul satu per satu. Informasi menyebar dengan sangat cepat. Seluruh proyektor yang ada di negeri itu menampilkan sinar biru yang membentuk berita tiga dimensi. Mereka bisa melihat dengan jelas depan belakang si pembawa acara dan kondisi tempat-tempat yang diliput para reporter. Di antara banyaknya tempat yang terdampak, ada satu tempat yang hancur total. Semuanya runtuh dan merata dengan tanah. Bahkan setelah itu terjadi masalah listrik yang mengakibatkan kobaran api muncul dan membesar di sana. Dua kecelakaan itu terjadi dengan mendadak hingga tidak ada yang mewaspadainya. Tidak ada peringatan dari organisasi yang menangani masalah bencana alam. Bahkan alat pendeteksi api rusak sebelum sempat mengeluarkan sirinenya. Riany, ibu Eve menangis tersedu-sedu setelah menyadari anaknya itu sedang berada di sana saat kejadian. Petugas yang menangani masalah ini mengatakan bahwa dia mungkin tertimbun dan ter

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   28. Time

    Gaia menatap tubuh yang sudah tidak bernyawa di hadapannya. Tidak seperti yang dia bayangkan, ternyata Eve sangat lemah. Padahal Gaia baru bersenang-senang selama beberapa jam. Sayang sekali. Tubuh Eve terlihat kacau. Rambutnya yang terpotong tak karuan, sekujur tubuhnya yang dikuliti, dan wajah yang penuh darah. Beruntung tidak ada satu bagian tubuhnya yang terpisah, kecuali satu. Gaia melihat kembali sebuah bola mata yang dia simpan di dalam wadah berbentuk tabung. Hanya mata berwarna hazel itu yang bisa menjadi kenangan untuk Gaia. Bagaimana pun Gaia harus mengingat Eve yang sudah menemaninya bermain. "Aku tidak tertarik pada bangkai," ucap Gaia. Gadis itu berdiri dan menatap rendah mayat tak berdaya Eve. Rambut pendeknya terlihat sempurna untuk gadis itu, tapi Eve harus merelakan Gaia karena dia harus berhenti di sini. Eve sudah tidak menarik di matanya. "Aku akan meratakan tempat ini dengan tanah, sebaiknya kau sedikit menjauh jika tidak ingin terkubur." Gaia membalikkan tubu

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   27. Hunter

    Semuanya menjadi hening saat Eve tidak melontarkan kalimat dinginnya lagi. Mereka bahkan bisa mendengar suara angin berdesir. Malam yang sepi itu semakin terasa dingin. Padahal tidak ada tragedi yang terjadi di sana. Setidaknya belum terjadi. "Baiklah, maafkan aku, aku akan mengajarimu setelah aku menemukan ibuku," ucap Eve akhirnya. Gaia mengulum bibir bawahnya beberapa kali. Dia sedang menimbang-nimbang, apakah harus memaafkan Eve atau tidak. Selang beberapa menit, akhirnya, gadis itu menganggukkan kepala. "Baiklah, aku maafkan," ucapnya. Eve menjawab dengan anggukan lalu langsung berbalik badan, berniat mencari ibunya lagi. Namun, ketika dia ingin melangkah, kakinya tertahan oleh sesuatu. Tanpa Eve sadari kakinya tertanam di dalam tanah. Dia menatap sekitar lantai yang tadinya dilapisi keramik kini berubah menjadi tanah sepenuhnya. Tanah itu terlihat seperti pasir yang ada di pantai, tapi saat Eve mencoba bergerak, pasir-pasir itu mengeras seperti tanah liat. "Kau berniat untu

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   26. Knitted

    Mereka menikmati makanannya dengan lahap. Tidak ada yang bisa membuat mereka berhenti makan di rumah yang juga merupakan sebuah kedai ini. Para gelandangan itu terkesan sudah menahan lapar selama tiga hari. "Aku pula-" Seorang gadis datang dan mengalihkan perhatian mereka semua. Ke tujuh orang tersebut saling pandang dengan gadis berwajah manis itu. Gadis itu menggunakan nada yang ceria tadi, tapi dia mulai menatap dengan pandangan tidak suka setelah menyadari kehadiran tujuh orang yang asing di tempatnya. "Eve? Kau sudah pulang?" sahut si ibu yang baru saja keluar dari dapur. "Ibu? Siapa mereka semua?" tanya gadis yang dipanggil Eve tersebut dengan nada ketus.Ibunya hanya bisa tersenyum tidak enak kepada para gelandangan yang dia bawa lalu mengajak paksa anaknya ke tempat lain di rumah. Setelah mereka menghilang, Gaia memutuskan untuk kembali makan diikuti yang lain. Sementara itu, di dalam dapur, sepasang ibu dan anak sedang berdebat mengenai hal yang sudah pernah mereka bicara

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   25. Hidden City

    "Berapa lama lagi kita akan berjalan?" tanya Gaia. Untuk ke sekian kalinya Gaia melihat ke atas langit hanya untuk memastikan apa awan sudah berbaik hati menutupi matahari. Namun, nyatanya matahari itu masih bersinar dengan sombong. Dia bahkan tidak mau mengalah dan menurunkan panasnya sedikit. Hampir seharian mereka terluntang-lantung di tempat aneh ini tanpa makan dan minum. Mereka bahkan tidak memiliki tujuan, hanya berjalan tanpa arah. Keringat pun sudah mengalir di sekujur tubuh mereka. Padahal mereka sudah meninggalkan kawasan laut cukup jauh dan ini pun bukan padang pasir. Hanya lapangan hijau dan dikelilingi pohon-pohon besar. Mereka memutuskan untuk mengambil jalan tengah sejak tadi karena takut berurusan dengan hewan buas jika melewati pohon-pohon besar itu. Akan lebih parah jika mereka tersesat tanpa persiapan apa pun. "Aku lapar," keluh Gaia lagi. Matanya sudah mulai berkabut. Meski begitu, dia masih berusaha mengendalikan dirinya sekuat mungkin agar tetap sadar. "Aku–

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   24. Unknown Place

    Rasanya sangat hening. "Jalang sialan!"Ah, tiba-tiba saja suara itu muncul di indra pendengaran Sylphide. Apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya tadi dia melewatkan sesuatu. Di mana dia sekarang? Apa ruangan kosong? Di sini sangat gelap hingga Sylphide bahkan tidak bisa melihat setitik cahaya pun. Dia berusaha mencari dengan matanya, tapi dia tidak menemukan apa pun. Terkadang dia ragu saat mengayunkan tangannya dan meraba udara. Apa dia sudah bergerak sungguhan atau hanya imajinasinya saja? Pasalnya dia tidak bisa merasakan hembusan angin dan melihat apa pun. Sedang apa pula monster itu ada di sini? Bukankah seharusnya dia ada di penjara?"Ini adalah hukuman yang pantas untukmu!" Satu cambukan.Rasanya sangat perih. Sylphide bisa merasakannya, tapi entah kenapa Sylphide tidak bisa melihat apa pun. Sekali lagi, sangat gelap dan sekarang ditambah perasaan menyesakkan. Dia bingung dan ketakutan. Suara Sylphide tertinggal di tenggorokan. Untuk merintih pun dia tidak bisa. "Beraninya ka

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   23. Moon, Stars and Destiny

    Langitnya sangat indah di atas sana. Bintang bersinar sangat cerah dan bulan membentuk sabit yang bercahaya. Ditambah dengan pemandangan laut yang juga bersinar, bisakah Bella menyebutnya sebagai kesempurnaan?Kaki Bella menekuk dan dia memeluk dirinya sendiri di atas pasir pantai. Menikmati angin malam sambil menunggu teman-temannya datang. Tadi Bella memutuskan untuk pergi lebih dulu ke pantai karena sudah selesai dengan urusannya. Bella hanya bisa tertawa saat matanya melihat perkelahian Gaia dan Orion di penginapan. Mereka bertengkar hanya karena berebut kamar mandi sementara di dalam kamar mandi itu ada Neve yang sudah mandi selama satu jam. Mereka berdua berdebat tentang siapa yang akan menggunakan kamar mandi setelah Neve. Entah saat ini mereka sudah selesai atau belum. "Emm ... halo, Bella," sapa Sylphide yang datang tiba-tiba. Bella bahkan tidak menyadari suara langkah Sylphide karena terlalu menyelami pikirannya. "Oh, kau datang." Bella menatap Sylphide yang berdiri di sam

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   22. Ancient Fairy Tales

    Daedalus kecil membaca bukunya dengan serius, di depannya bahkan terpampang layar komputer yang memperlihatkan informasi mengenai Atlantis, kota yang katanya pernah ada tapi hilang. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Plato dalam buku Timaeus dan Kritias. Setelah itu, muncul berbagai pro dan kontra sebagai respon dari teori tersebut. Namun, banyak juga yang membahasnya, menguliknya kembali dalam tulisan bahkan menjadikan tempat yang 'entah ada atau tidak' itu sebagai karya seni. "Tentu saja! Dia adalah anakku, tidak mungkin terlahir bodoh." Dari luar kamarnya, Daedalus dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang diperbincangkan oleh kedua orang tuanya. Umur Daedalus saat ini hanya sembilan tahun, tapi anak tersebut sudah menguasai empat bahasa dan diklaim memiliki kemampuan berpikir serta berkonsentrasi lebih dari anak seusianya. Dia dikatakan memiliki IQ di atas 170. Tentu saja semua orang akan terkagum-kagum dengan angka itu, terlebih lagi usianya masih sangat kecil. Entah b

DMCA.com Protection Status