"Neve?!"
Beberapa saat lalu, Srikandi entah kenapa merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang buruk terjadi. Dia sulit tidur dan memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Namun, saat kakinya melewati kamar Neve, Srikandi mendengar rintihan seperti menahan sakit. Dia memanggil anaknya itu berkali-kali, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Yang didengarnya malah rintihan menahan sakit.Tanpa banyak bicara Srikandi mengambil kunci cadangan yang dia punya dan kembali ke depan kamar Neve. Dia membuka paksa pintu itu dan masuk ke dalam kamar."Neve?!"Dia sangat terkejut saat melihat tubuh Neve mengeluarkan cahaya dan Neve sendiri berkeringat. Neve jelas sedang kesakitan saat ini."Neve? Dengar, Nak, ini ibu, apa kau bisa mendengarku?" ucap Srikandi sambil menepuk-nepuk pelan pipi Neve."AAKHHH!!!"Tiba-tiba saja Neve berteriak kencang dan menutup telinganya. Di dalam sana, Neve kembali mendengar dengung yang sangat meKaribia, Puerto Rico. ***Sylphide Aure, gadis bertubuh kecil tersebut menatap takut kepada pria yang sedang memegang botol minuman keras di depannya. Pria beruban itu sempoyongan karena mabuk, bahkan dia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya untuk berdiri tegak. Sylphide menggenggam erat ujung dress-nya, mencoba untuk mengumpulkan keberanian. "A–ayah ... a–apa kau b–baik-baik saja? A–apa kau membutuhkan s–sesuatu?" tanya gadis itu. Karena tidak mendapatkan jawaban, Sylphide kembali membuka mulutnya. "A–ayah? AAAKHH!" Sayang sekali, tanpa aba-aba Sylphide mendapatkan lemparan botol yang sejak tadi dipegang Karl. Beruntung benda berbahan kaca itu tidak mengenai Sylphide secara langsung tapi pecah di dinding tepat di samping wajahnya.Sylphide menutup kepalanya dengan kedua tangan karena terlalu takut dan terkejut. Dia tidak mengerti di mana kesalahan yang dibuatnya. Bahkan hal ini terjadi hampir setiap hari. Ayahnya selalu marah
Langit malamnya cukup indah kali ini. Laut menjadi cermin besar yang memantulkan pemandangan ribuan bintang. Sylphide bisa merasakan ketenangan di tengah kesepiannya. Sendirian memang, tapi setidaknya tidak ada tekanan dari mana pun. Dengan netra hazelnya, Sylphide menangkap sosok wanita yang berdiri di ujung pantai. Rambut wanita itu melambai-lambai mengikuti arah angin. Dress putihnya seperti bersinar di tengah malam yang gelap. Apa dia sosok bulan yang sebenarnya? Sylphide bahkan tidak bisa untuk mengalihkan tatapan darinya. Dia sangat sempurna. Sylphide bisa mengetahui hal itu meskipun wanita tersebut membelakanginya. "Jika kau mendengarku," ucap wanita itu tiba-tiba. Padahal jarak di antara mereka cukup jauh, tapi suaranya terdengar sangat jelas di telinga Sylphide. Sylphide bingung, kepada siapa wanita itu bicara? Tidak ada siapapun di sini selain mereka. Apa mungkin bicara kepadanya? Namun, mereka sama sekali tidak saling mengenal."Aku
Setelah diselidiki, Karl terbukti melakukan kekerasan kepada Sylphide dan diancam hukuman penjara. Para penyidik merasa tidak puas dengan hal ini. Bukan karena hukumannya, tapi kasus rumah yang berantakan nyaris hancur itu sama sekali tidak bisa mereka simpulkan. Mereka memutuskan untuk menutup kasus tersebut, tapi mereka tidak bisa menutupi rasa penasaran di dalam hatinya. Sylphide dijanjikan perlindungan dan keamanan. Namun, Sylphide diharuskan selalu terbuka pada mereka. Katanya, Sylphide tidak perlu takut lagi pada Karl karena pria itu sudah dipenjara.Sejak saat itu juga, Sylphide terus mendengar suara dengungan dan permintaan tolong dari seorang wanita di dalam otaknya. Dia bahkan berhalusinasi, melihat seorang wanita yang Sylphide duga adalah sumber dari suara itu di tepi pantai malam. Penjelasan dari psikiaternya sama sekali tidak bisa dia cerna dengan baik. Konsentrasinya terbagi menjadi beberapa bagian. Beruntung kewarasan otaknya masih ada. "S
Mereka tertawa dengan kencang. Menikmati setiap detik kegelisahan yang Sylphide rasakan. Mereka bahkan tidak peduli apakah Sylphide kesakitan atau tidak. Yang jelas mereka bersenang-senang. Mungkin setan pun akan ikut tertawa melihat Sylphide yang tidak bisa melakukan apapun. Gunting yang dipegang salah satunya terlihat sangat menyeramkan bagi Sylphide. Dia tidak tahu apa yang akan mereka lakukan, yang jelas hal itu adalah sesuatu yang buruk. Ketika ujung gunting itu hampir sampai di rambut Sylphide, seseorang berteriak. Nada suara yang sedikit tinggi itu mengalihkan perhatian mereka semua. Mereka menatap anak itu bersamaan. Dia dengan wajahnya yang diusahakan terlihat garang mengangkat tinggi-tinggi sebuah ponsel. "Hahaha! Aku tahu kalian akan takut! Aku merekam kalian dan akan melaporkan kalian!" ucapnya.Kedua perundung itu terdiam sejenak, mencerna apa yang sedang mereka lihat. Namun, sedetik kemudian mereka tertawa lebar. Mereka bahkan mem
Akhirnya Sylphide datang ke sini. Di tepi pantai dengan cahaya bulan yang indah. Sylphide bisa merasakan hawa malam yang hangat menyentuh kulitnya. Sayang sekali Sylphide tidak mempedulikannya, hatinya terlanjur mendingin. Sylphide menyusuri pantai dengan kaki telanjang. Banyak orang menyewa perahu kecil untuk menjelajahi teluk ini. Mungkin para pelancong itu penasaran bagaimana bisa laut di malam hari mengeluarkan cahaya biru. Padahal itu hanya karena ulah bioluminesensi yang dihasilkan dari Dinoflagellata Pyrodinium Bahamense, mereka yang menyebabkan cahaya biru itu muncul. Dulu sekali, ketika semuanya masih membaik, saat ibunya masih bersama Sylphide dan monster itu belum muncul, mereka sering pergi ke sini. Hanya berjalan-jalan atau sesekali naik perahu untuk merasakan air yang tenang itu. Namun, kini semuanya tidak sama lagi. Sylphide sering datang sendiri hanya untuk menangisi hidupnya. Harus dia akui, tempat ini sangat tenang dan sangat cocok untuk menangi
Vins menatap Sylphide, merasa bingung harus apa. Dia sangat penasaran dengan tatto yang ada pada gadis itu tapi tidak mungkin dia memaksanya untuk membuka pakaian. Bisa-bisa Sylphide berteriak dan semua orang akan datang. Pastinya itu sangat merepotkan. Vins merasa kesal setelah berhari-hari mendapatkan bisikan dan halusinasi aneh di kepalanya. Dia yang awalnya menikmati api tersebut mulai kembali penasaran. Akhirnya Vins memutuskan untuk mencari tempat yang selalu muncul di dalam pikirannya tersebut. Dia bahkan mendatangi laut-laut di malam hari yang terlihat mirip untuk memastikannya dan berakhir di sini, Puerto Rico. Vins tidak pergi ke mana pun selama dua hari ini. Setiap malam dia menunggu di tepi pantai, mengelilingi teluk, dan mencari-cari di sekitar tebing. Vins kira dia akan menemukan gadis yang meminta tolong itu, tapi yang dilihatnya malah gadis kecil yang ingin bunuh diri. Vins datang tidak untuk melihat seorang gadis bunuh diri. Mungkin dia akan menjadi saksi atau bahka
Kicauan burung dan cahaya matahari membuat Sylphide terbangun. Tanpa sadar dia tertidur di samping Vins semalaman. Namun, pagi ini dia tidak menemukan Vins, mungkin pria itu sudah pergi entah ke mana tanpa membangunkan Sylphide. Gadis itu duduk dan memperhatikan sekitarnya. Tempat ini cukup terpencil dan jarang dilalui orang, pantas saja dia bisa tertidur nyenyak semalam. Tidak disangka juga dia bisa tertidur di tempat umum seperti ini. Sylphide memutuskan untuk berdiri dan pergi dari sana. Kakinya melangkah menyusuri pantai. Sedikit ke pinggir untuk merasakan air pantai yang tenang. "Hei, permisi," ucap seseorang. Sylphide menatap gadis tinggi di depannya, sedikit terpesona karena bentuk wajah yang sempurna itu. Dia membawa tas ransel yang besar di belakang punggungnya dan menggunakan topi serta kacamata hitam. "Apa kau orang asli sini?" Gadis itu membuka kacamatanya dan langsung bertanya karena Sylphide tidak juga menjawab sapaan tersebut. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun,
"Apa?" tanya Vins setelah menyadari tatapan Sylphide kepadanya. Gadis yang ditanyainya malah terkejut dan mundur selangkah semakin menjauh dari Vins. Dengan cepat Sylphide menggeleng. Dia tidak ingin mencari masalah dengan Vins. Namun, sebenernya Sylphide takut jika hanya berdua saja dengan seorang pria di dalam rumah. Memori otaknya terus membawa Sylphide pada ingatan saat dia tersiksa. Jantungnya terus berdegup kencang dan perasaan waspada selalu menghantuinya. Kenapa Vins tidak ikut saja dengan Gaia ke swalayan?"Sudahlah" ujar Vins lalu pergi entah kemana. Diam-diam Sylphide menghembuskan nafas lega dan menurunkan bahunya. Dia kembali duduk di sofa yang ada di sana dan menatap Gaia yang sedang memakai topi. "Apa kau sungguh tidak ingin ikut Sylphide?" tanya Gaia."Ya? Oh, tidak, aku ... aku akan di rumah saja," jawab Sylphide. "Baiklah, aku pergi dulu, dah!" Gaia keluar dari rumah dan berjalan menjauh. Sepanjang perjalanan, gadis itu mengarahkan kamera ke sekitarnya. Dia memo
Adrea menatap wajahnya di cermin. Bayangan cantik yang sangat dibencinya itu benar-benar membuat Adrea muak. Seakan terus mengingatkan Adrea tentang seberapa kotor dirinya. Dulu, Adrea bahkan tidak ingin bercermin sedetik pun. Namun, kini dia merasa lelah. Rasanya masih menyakitkan, masih membuat hatinya marah, tapi Adrea sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkannya dan hal ini adalah yang paling menyedihkan. Setelah berhari-hari bahkan berminggu-minggu Adrea memohon, tidak ada siapa pun yang datang untuk menolongnya. Sampai semalam pun Adrea masih memohon dan berdoa untuk kehadiran mereka, dia masih percaya. Meski begitu, kini dia merasa segalanya mustahil. Bantuan itu tidak akan pernah datang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Tiba-tiba saja sepasang tangan melingkar di pinggang Adrea. Raja itu datang begitu saja dengan kekuatannya. Adrea sudah terbiasa, dia bahkan tidak terkejut lagi. Adrea hanya membiarkan pria itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma tubuh yang
Tepat di malam itu, berita-berita tentang gempa yang terjadi di kota mereka mulai muncul satu per satu. Informasi menyebar dengan sangat cepat. Seluruh proyektor yang ada di negeri itu menampilkan sinar biru yang membentuk berita tiga dimensi. Mereka bisa melihat dengan jelas depan belakang si pembawa acara dan kondisi tempat-tempat yang diliput para reporter. Di antara banyaknya tempat yang terdampak, ada satu tempat yang hancur total. Semuanya runtuh dan merata dengan tanah. Bahkan setelah itu terjadi masalah listrik yang mengakibatkan kobaran api muncul dan membesar di sana. Dua kecelakaan itu terjadi dengan mendadak hingga tidak ada yang mewaspadainya. Tidak ada peringatan dari organisasi yang menangani masalah bencana alam. Bahkan alat pendeteksi api rusak sebelum sempat mengeluarkan sirinenya. Riany, ibu Eve menangis tersedu-sedu setelah menyadari anaknya itu sedang berada di sana saat kejadian. Petugas yang menangani masalah ini mengatakan bahwa dia mungkin tertimbun dan ter
Gaia menatap tubuh yang sudah tidak bernyawa di hadapannya. Tidak seperti yang dia bayangkan, ternyata Eve sangat lemah. Padahal Gaia baru bersenang-senang selama beberapa jam. Sayang sekali. Tubuh Eve terlihat kacau. Rambutnya yang terpotong tak karuan, sekujur tubuhnya yang dikuliti, dan wajah yang penuh darah. Beruntung tidak ada satu bagian tubuhnya yang terpisah, kecuali satu. Gaia melihat kembali sebuah bola mata yang dia simpan di dalam wadah berbentuk tabung. Hanya mata berwarna hazel itu yang bisa menjadi kenangan untuk Gaia. Bagaimana pun Gaia harus mengingat Eve yang sudah menemaninya bermain. "Aku tidak tertarik pada bangkai," ucap Gaia. Gadis itu berdiri dan menatap rendah mayat tak berdaya Eve. Rambut pendeknya terlihat sempurna untuk gadis itu, tapi Eve harus merelakan Gaia karena dia harus berhenti di sini. Eve sudah tidak menarik di matanya. "Aku akan meratakan tempat ini dengan tanah, sebaiknya kau sedikit menjauh jika tidak ingin terkubur." Gaia membalikkan tubu
Semuanya menjadi hening saat Eve tidak melontarkan kalimat dinginnya lagi. Mereka bahkan bisa mendengar suara angin berdesir. Malam yang sepi itu semakin terasa dingin. Padahal tidak ada tragedi yang terjadi di sana. Setidaknya belum terjadi. "Baiklah, maafkan aku, aku akan mengajarimu setelah aku menemukan ibuku," ucap Eve akhirnya. Gaia mengulum bibir bawahnya beberapa kali. Dia sedang menimbang-nimbang, apakah harus memaafkan Eve atau tidak. Selang beberapa menit, akhirnya, gadis itu menganggukkan kepala. "Baiklah, aku maafkan," ucapnya. Eve menjawab dengan anggukan lalu langsung berbalik badan, berniat mencari ibunya lagi. Namun, ketika dia ingin melangkah, kakinya tertahan oleh sesuatu. Tanpa Eve sadari kakinya tertanam di dalam tanah. Dia menatap sekitar lantai yang tadinya dilapisi keramik kini berubah menjadi tanah sepenuhnya. Tanah itu terlihat seperti pasir yang ada di pantai, tapi saat Eve mencoba bergerak, pasir-pasir itu mengeras seperti tanah liat. "Kau berniat untu
Mereka menikmati makanannya dengan lahap. Tidak ada yang bisa membuat mereka berhenti makan di rumah yang juga merupakan sebuah kedai ini. Para gelandangan itu terkesan sudah menahan lapar selama tiga hari. "Aku pula-" Seorang gadis datang dan mengalihkan perhatian mereka semua. Ke tujuh orang tersebut saling pandang dengan gadis berwajah manis itu. Gadis itu menggunakan nada yang ceria tadi, tapi dia mulai menatap dengan pandangan tidak suka setelah menyadari kehadiran tujuh orang yang asing di tempatnya. "Eve? Kau sudah pulang?" sahut si ibu yang baru saja keluar dari dapur. "Ibu? Siapa mereka semua?" tanya gadis yang dipanggil Eve tersebut dengan nada ketus.Ibunya hanya bisa tersenyum tidak enak kepada para gelandangan yang dia bawa lalu mengajak paksa anaknya ke tempat lain di rumah. Setelah mereka menghilang, Gaia memutuskan untuk kembali makan diikuti yang lain. Sementara itu, di dalam dapur, sepasang ibu dan anak sedang berdebat mengenai hal yang sudah pernah mereka bicara
"Berapa lama lagi kita akan berjalan?" tanya Gaia. Untuk ke sekian kalinya Gaia melihat ke atas langit hanya untuk memastikan apa awan sudah berbaik hati menutupi matahari. Namun, nyatanya matahari itu masih bersinar dengan sombong. Dia bahkan tidak mau mengalah dan menurunkan panasnya sedikit. Hampir seharian mereka terluntang-lantung di tempat aneh ini tanpa makan dan minum. Mereka bahkan tidak memiliki tujuan, hanya berjalan tanpa arah. Keringat pun sudah mengalir di sekujur tubuh mereka. Padahal mereka sudah meninggalkan kawasan laut cukup jauh dan ini pun bukan padang pasir. Hanya lapangan hijau dan dikelilingi pohon-pohon besar. Mereka memutuskan untuk mengambil jalan tengah sejak tadi karena takut berurusan dengan hewan buas jika melewati pohon-pohon besar itu. Akan lebih parah jika mereka tersesat tanpa persiapan apa pun. "Aku lapar," keluh Gaia lagi. Matanya sudah mulai berkabut. Meski begitu, dia masih berusaha mengendalikan dirinya sekuat mungkin agar tetap sadar. "Aku–
Rasanya sangat hening. "Jalang sialan!"Ah, tiba-tiba saja suara itu muncul di indra pendengaran Sylphide. Apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya tadi dia melewatkan sesuatu. Di mana dia sekarang? Apa ruangan kosong? Di sini sangat gelap hingga Sylphide bahkan tidak bisa melihat setitik cahaya pun. Dia berusaha mencari dengan matanya, tapi dia tidak menemukan apa pun. Terkadang dia ragu saat mengayunkan tangannya dan meraba udara. Apa dia sudah bergerak sungguhan atau hanya imajinasinya saja? Pasalnya dia tidak bisa merasakan hembusan angin dan melihat apa pun. Sedang apa pula monster itu ada di sini? Bukankah seharusnya dia ada di penjara?"Ini adalah hukuman yang pantas untukmu!" Satu cambukan.Rasanya sangat perih. Sylphide bisa merasakannya, tapi entah kenapa Sylphide tidak bisa melihat apa pun. Sekali lagi, sangat gelap dan sekarang ditambah perasaan menyesakkan. Dia bingung dan ketakutan. Suara Sylphide tertinggal di tenggorokan. Untuk merintih pun dia tidak bisa. "Beraninya ka
Langitnya sangat indah di atas sana. Bintang bersinar sangat cerah dan bulan membentuk sabit yang bercahaya. Ditambah dengan pemandangan laut yang juga bersinar, bisakah Bella menyebutnya sebagai kesempurnaan?Kaki Bella menekuk dan dia memeluk dirinya sendiri di atas pasir pantai. Menikmati angin malam sambil menunggu teman-temannya datang. Tadi Bella memutuskan untuk pergi lebih dulu ke pantai karena sudah selesai dengan urusannya. Bella hanya bisa tertawa saat matanya melihat perkelahian Gaia dan Orion di penginapan. Mereka bertengkar hanya karena berebut kamar mandi sementara di dalam kamar mandi itu ada Neve yang sudah mandi selama satu jam. Mereka berdua berdebat tentang siapa yang akan menggunakan kamar mandi setelah Neve. Entah saat ini mereka sudah selesai atau belum. "Emm ... halo, Bella," sapa Sylphide yang datang tiba-tiba. Bella bahkan tidak menyadari suara langkah Sylphide karena terlalu menyelami pikirannya. "Oh, kau datang." Bella menatap Sylphide yang berdiri di sam
Daedalus kecil membaca bukunya dengan serius, di depannya bahkan terpampang layar komputer yang memperlihatkan informasi mengenai Atlantis, kota yang katanya pernah ada tapi hilang. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Plato dalam buku Timaeus dan Kritias. Setelah itu, muncul berbagai pro dan kontra sebagai respon dari teori tersebut. Namun, banyak juga yang membahasnya, menguliknya kembali dalam tulisan bahkan menjadikan tempat yang 'entah ada atau tidak' itu sebagai karya seni. "Tentu saja! Dia adalah anakku, tidak mungkin terlahir bodoh." Dari luar kamarnya, Daedalus dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang diperbincangkan oleh kedua orang tuanya. Umur Daedalus saat ini hanya sembilan tahun, tapi anak tersebut sudah menguasai empat bahasa dan diklaim memiliki kemampuan berpikir serta berkonsentrasi lebih dari anak seusianya. Dia dikatakan memiliki IQ di atas 170. Tentu saja semua orang akan terkagum-kagum dengan angka itu, terlebih lagi usianya masih sangat kecil. Entah b