Kegiatan rumah sejenak mengalihkanku dari pikiran tentang Mas Satria, sengaja aku tidak melihat ponsel. Pasti banyak panggilan masuk dari pria itu, sengaja biarkan saja. Biar Mas Satria tau kalau aku tidak suka dengan keberadaan Aleya di sana. Aku rasa setiap orang juga akan merasakan hal yang aku rasakan apabila ada mantan pasangan tinggal bersama dengan dalih apapun.“Satria nunggu di depan.”Aku baru saja selesai bersiap untuk ke kantor saat Mama masuk ke dalam kamar dan memberi tahu kalau ada Mas Satria di depan. Wanita itu sejenak terlihat mengamati wajahku, mungkin Mama merasa ada yang berbeda dengan sikapku hari ini. Biasanya aku terlihat senang saat Mas Satria menjemput, tapi, pagi ini aku memang berbeda. Sisa rasa kesal semalam masih aku rasakan sampai sekarang.“Kalian baik-baik saja?” tanya Mama terlihat hati-hati.“Iya, Mah. Ya biasalah berantem dikit-dikit,” aku-ku kemudian.“Iya begitulah, bicarakan baik-baik kalau ada masalah. Jangan pernah dipendam sendiri, nanti jadi
“Dah jangan mikir aneh-aneh, kebiasaan pasti dah jauh mikirnya.” Mas Satria mengacak rambutku gemas. “Aku berjanji pada diriku waktu itu akan menyentuhnya saat aku telah benar-benar memiliki perasaan pada Aleya. Aku tidak ingin ada perasaan lain yang melandasi untuk melakukan hal itu.”“Misalnya?” tanyaku sambil merapikan rambutku.“Sungkan, kasihan, atau apalah selain cinta. Dan sampai akhirnya rasa itu memang benar-benar tidak ada. Aku melihat dia ya seperti aku ke Liana, hanya itu yang ada dan tertanam dalam pikiranku.” Mas Satria memberikan penjelasan.Aku tidak menimpali apa-apa lagi, aku juga percaya dengan apa yang Mas Satria sampaikan adalah hal yang sebenarnya. Waktu delapan tahun sedikit banyak kami cukup mengenal akan karakter kepribadian satu dengan yang lainnya meskipun dalam waktu itu kami tidak selalu bersama. Mas Satria memang orang yang selalu bisa memegang prinsipnya.Mobil masih berjalan dengan lambat meski akhirnya kami sudah lebih dari setengah perjalanan. Untuk
“Ish … itu cincin kawin Maseh,” ucapku kemudian.“Memangnya kenapa?” tanya Mas Satria sambil menoleh ke arahku.“Ini Mas.” Mbak pelayan toko itu memberikan kepada Mas Satria cincin yang baru saja dia ambil dari etalase.Cantik memang bentukannya dan terkesan elegan, simpel alias sederhana, tapi, terlihat mahal. Sesaat Mas Satria mengamati detail benda berkilau di tangannya, aku pun merapat mendekat untuk melihat detail dari cincin yang Mas Satria pegang.“Ukurannya pas nggak coba?” Mas Satria menarik tanganku dan mengamati jemariku. “Cantik kan? Kamu suka nggak?”Kenapa aku jadi deg-degan padahal cuma diminta ngepaskan ukuran saja, berasa akan dilamar. Kan unik juga kalau ngelamarnya disini, rencana beli kado untuk ibunya itu hanya alasan saja. Terus tiba-tiba Mas Satria melamarku di sini, pura-puranya ngepas ukuran cincin padahal mau melamarku. Lalu Mas Satria bilang ‘Will you marry me’ duh … aku harus jawab apa coba.“Yang … kok malah bengong.” Aku kaget saat Mas Satria menyentil uj
“Kalau yang disana itu pasar juga, tapi, untuk hewan peliharaan kayak ikan, burung, kura-kura, kucing dan banyak lagi lainnya.” Aku kembali menambahkan sambil menunjuk jalan turun kea rah pasar hewan. “Kayak tour guide jadinya,” celetukku kemudian.“Kalau tour guidenya kayak kamu yang ada malas pulang, mau netep disini aja.” Mas Satria tertawa sambil meraih tanganku dan mengandengnya.“Ibu suka tanaman, ntar kapan-kapan ajakin sini pasti beliau senang,” ucap mas Satria kemudian.“Ap aitu salah satu jurus menaklukkan hati calon Ibu mertua?” tanyaku dengan senyum.“Ya begitulah kira-kira,” jawab Mas Satria kemudian.Akhirnya kami tiba disalah satu kios penjual bunga yang biasanya menjadi langanan kantor. Berbagai macam bunga potong terpajang di wadah mulai dari depan kios sampai ke dalam. Untuk bunga mawar saja ada beberapa warna, mulai dari warna merah, putih, merah muda dan beberapa warna yang aku sendiri tidak bisa menyebut itu warna apa.Selain itu juga ada beberapa jenis bunga pot
Akhirnya setelah menunggu untuk beberapa saat bunga yang kami pesan selesai juga. Biasanya pesan bunga di tinggal terus akan dikirim oleh penjualnya ke rumah. Bahkan seringnya juga pesan hanya lewat telepon atau hanya chat WA. Sejumlah uang Mas Satria bayarkan untuk rangkaian mawar cantiknya, cukup mahal. Tapi, memang barang yang digunakan juga semua berkualitas dan masih segar.“Mas … aku deg-degan,” kataku pada Mas Satria saat kami dalam perjalanan ke rumah pria itu. Jujur aku benar-benar deg-degan dan takut. Yah … takut, takut kalau ternyata Ibunya Mas Satria tidak menyukaiku atau dia lebih menginginkan anak laki-lakinya itu tetap merujuk Aleya. Bagaiamana juga Aleya adalah sosok yang baik dan Ibu Mas Satria terlihat sangat menyayangi mantan istri anaknya itu. Apa aku bisa mendapatkan tempat, sedangkan masi ada Aleya disana.“Aku juga,” tutur Mas Satria seraya mengenggam tangan kananku.Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam dan sibuk dengan pemikiran masing-masing. Bukan ha
Duda Itu Mantan PacarkuPart 32Oleh : LinDaVin“Rania?” ulang Ibunya Mas Satria saat mendengar aku menyebutkan namaku. Mata wanita paruh baya itu menyipit dengan kening berkerut, dia lalu menoleh pada Mas Satria. “Ra … Rania.”“Iya Rania,” jawab Mas Satria disertai anggukan kemudian melihat ke arahku dengan raut wajah yang terlihat tegang. Aku tidak bisa berpikir apapun dan detak jantung ini kian cepat saja sepertinya. Debarannya semakin mengencang membuat perasaanku semakin tegang. Telapak tanganku terasa semakin dingin, napasku tertahan untuk sesaat.“Rania yang dari Jogja?” tanya wanita itu lagi seperti ingin memastikan apa yang dia maksud itu adalah orang yang sama.Mas Satria mengangguk pelan mengiyakan apa yang Ibunya maksud. Raut wajah wanita paruh baya yang tadi terlihat penuh tanya itu kini berubah. Aku menelan saliva melihat perubahan wajah wanita itu, merasa takut dan tidak nyaman. Yah … pasti dia mulai menginggatku dengan segala hal yang pernah aku lakukan dulu pada Mas
“Ibu tidak menyukaimu sebagai gadis yang Satria sukai, tapi, Ibu menyukaimu sebagai gadis yang Ibu kenal sewaktu di taman.” Ibu kembali melanjutkan kata-katanya.Apa yang ibu sampaikan membuatku semakin menjadi semakin bingung, dia tidak menyukaiku, tapi, dia juga menyukaiku. Lalu apa maksud dari perkataannya, aku tidak mengerti apa yang ibu maksud dan yang dia inginkan sebenarnya. Mas Satria juga terlihat mengernyitkan dahi seperti sedang mencari pemahaman atas apa yang Ibunya sampaikan.“Maksud Ibu?” tanya Mas Satria kemudian.“Maksud ibu? Maksud Ibu agar Rania tau ibu kecewa padanya dan belum bisa lupa atas apa yang pernah dia lakukan dulu.” Ibu menjawab pertanyaan dari Mas Satria. “Lalu?” tanya Mas Satria lagi.“Lalu apa?” Ibu balik bertanya pada anak laki-lakinya itu.“Satria dan Rania?” “Kalian kenapa? Kan tadi sudah ibu bilang, andai pun ibu melarang kalian berhubungan, apa itu akan lantas membuatmu mengakhiri hubungan dengan Rania, tidak kan?” Ibu terdengar menarik napas dal
“Bawa apa itu?” tanya Ibu lagi sambil berjalan mendekat. Aleya memindahkan tote bag dari tangan kananya ke kiri dan kemudian meraih tangan Ibu untuk salim.“Ada deh … Leya yang bikin loh, Leya bawa ke belakang ya, Bu.” Aleya tersenyum pada wanita paruh baya yang juga mantan ibu mertuanya itu.“Mbak,” sapa Aleya padaku, aku mengangguk dan memaksa senyum meski terasa canggung dan kikuk. “Ayra … sini sama Bunda.” Aleya memanggil Ayra yang masih duduk di pangkuanku.“Ayra nggak salim Bunda,” bisikku pada Ayra kemudian. Bocah kecil menggemaskan itu turun dari pangkuanku dan berjalan menuju ke Aleya.Aleya mengulurkan tangannya yang disambut oleh Ayra. Perempuan dengan setelan biru itu menunduk untuk mencium pipi Ayra. Terlihat Aleya menurunkan badannya kemudian berdiri dengan lututnya untuk menyamakan tingginya dengan Aleya.“Ayuk ke belakang sama Bunda,” ajak Aleya, sosok kecil itu mengangguk. Dengan tangan kanannya dia mengendong Aleya dan k
Pandanganku terhenti pada sosok yang cukup aku kenal, meski mungkin dia tidak mengenalku. Satria, pria dari masa lalu Rania istriku terlihat berada di depan ruang praktek dokter Anna. Di sampingnya terlihat seorang perempuan berperawakan kecil seperti anak SMA, yang jelas itu bukan istrinya yang dulu. Karena kalau istrinya yang dulu aku sempat tahu saat dirawat disini.Tidak mungkin adiknya juga karena setahuku adiknya sudah meninggal, itu aku dapat dari cerita Rania. Apa mungkin itu istrinya dan Satria sudah menikah lagi, tetapi, perempuan itu terlihat sangat muda. Keduanya seperti sedang menunggu antrian periksa di dokter Anna di poli kandungan.Hamil?Kenapa jadi aku yang kepo dan ingin tahu, sudahlah. Aku melanjutkan langkah untuk menuju ruang praktekku. Kalau pun itu memang benar istrinya dan sekarang hamil itu akan lebih baik. Berarti Satria sudah menemukan kebahagiaannya sekarang. Aku tahu masih ada rasa bersalah atau apalah yang Rania rasakan selama ini
PoV Danta Aroma wangi masakan menguar dan menghampiri Indera penciumanku saat aku berjalan mendekat ke arah dapur tempat Rania berada sekarang. Selepas salat Subuh tadi dia sudah berkutat di dapur untuk mengeksekusi resep masakan yang baru dilihatnya semalam di sebuah channel youtube. Wanita yang sudah hampir setahun aku nikahi itu memang punya kegemaran baru sekarang, yaitu mencoba resep masakan. “Wangi banget,” ucapku saat memasuki dapur, Rania menoleh dan tersenyum.“Semoga nggak keasinan lagi seperti kemarin,” jawab Rania dan kembali menarik pandangannya ke arah panci di depannya.Aku tersenyum mengingat kejadian kemarin, entah berapa sendok garam yang dia masukkan ke dalam masakannya. Kalau ada pepatah buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, hal ini tidak berlaku untuk Rania. Mama mertuaku pintar memasak dan enak bahkan pernah membuka catering juga cerita Rania, tetapi, berbenda dengan anak perempuannya yang juga istriku ini. Tetapi, R
Duda itu Mantan PacarkuPart xtra 22*** Ketukan di kaca mobil sontak membuat dua insan yang tengah terbuai dalam debar asmara itu saling menjauhkan diri satu dengan yang lain. Wajah keduanya menghangat seketika dengan debaran di dada yang semakin kencang terasa. Aletha lekas menurunkan kaca mobil saat melihat keluar telah berdiri sahabatnya, Titan yang mengetuk pintu mobil Satria.“Ada apa?” tanya Aletha yang masih sedikit gugup kaget.“Jangan lewat sepanjang jalan Plaosan Timur ada kegiatan warga nutup jalan katanya, nanti lurus aja terus masuk ke kiri selepas lampu merah dekat pom bensin.” Titan memberi tahu kondisi jalan yang akan mereka lewati nanti ke tempat acara syukuran yang diadakan di sebuah restoran.“Oh … gitu, okay. Ya udah ini mau langsung ke sana.” Aletha mengangguk mengerti, Satria yang duduk di belakang kemudi ikut mengangguk.Sepasang pengantin baru itu tengah menetralisir perasaannya masing-masing karena
Sepertinya ini adalah persiapan pernikahan tercepat dari sebelumnya yang pernah aku lakukan, karena setelah aku melamar Aletha hanya butuh waktu kurang dari 2 minggu saja sampai hari yang di tentukan, yaitu hari ini. Aku dan Aletha sepakat untuk menikah di Masjid samping KUA dengan disaksikan keluarga dekat saja, tidak ada resepesi yang akan digelar karena Aletha tidak menghendakinya. Keluarga Aletha hanya mengundang kerabat dekat untuk syukuran selepas ijab kabul.Ini bukan yang pertama, bukan juga yang kedua aku akan mengucapkan kalimat sakral sebuah janji suci, tetapi, aku berdoa ini menjadi yang terakhir aku melakukannya. Aku tidak ingin mengulang lagi untuk suatu masa nanti, biarlah kegagalan pernikahanku dulu menjadi sebuah pelajaran yang berharga untukku. Hari Sabtu jam 9 pagi ini kesendirianku akan aku akhiri dan aku akan membuka sebuah lembaran baru dengan cerita baru.Aku menyetir sendiri dan mempersiapkan semuanya sendiri, kemeja putih dengan jas d
Pov Aletha *** [Dari kantor aku langsung ke rumahmu] [Aku sudah OTW] Aku membuka aplikasi chat berlogo warna hijau di ponselku, dua pesan masuk dari Mas Satria yang biasa aku panggil dengan sebutan Om itu beberapa waktu yang lalu. [Iya, hati-hati di jalan] Sebuah kalimat balasan aku kirimkan kemudian, belum terbaca setelah beberapa detik. Mungkin dia sedang menyetir. Aku kemudian meletakkan ponselku di meja dan beranjak ke lemasri untuk memilih baju yang akan aku kenakan. Masih merasa aneh dengan semuanya, serasa mimpi, tapi, bukan mimpi. Bahkan beberapa hari yang lalu pria itu masih sangat ketus padaku, tapi, entah apa yang terjadi padanya hinga dia sampai mengatakan hal itu. Lalu bagaimana denganku? Aku juga tidak tahu kenapa mengatakan iya, tapi, aku juga sedang tidak main-main denga
“Tidak.” Aku menggeleng meski Pak agus juga tidak akan melihatnya. “Kami tidak sedang mencari tempat pelarian, tetapi, mencari tempat untuk kami bisa saling mengisi dan melengkapi,” jawabku kemudian. “Aku mengerti, aku senang dengan hal ini. Aku menganggapmu bukan hanya rekan kerja, lebih dari itu dan Aletha adalah keponakan kesayanganku. Yang aku minta jangan pernah membuatnya patah lagi dan berbahagialah kalian. Aku akan bicara dengan mamanya Aletha setelah ini. Lebih cepat juga lebih baik daripada ada apa-apa nanti kalau ditunda- tunda.” Pak Agus memberikan dukungannya dan aku merasa lega untuk itu. Sekarang tinggal bicara lagi dengan Aletha untuk mempersiapkan semuanya dengan lebih matang. Mungkin aku hanya bisa pergi sendiri saat nanti mengutarakan niatku kepada keluarga Aletha karena di kota ini aku tidak memiliki keluarga selain Ibu saja. Aku menutup panggilan selepas mengucapkan salam, sudah jam 6 lebih dan aku haru
“Iya,” jawabku sambil mengangguk. “Rania?” tanya Ibu ragu. “Bukan, Dia sudah bahagia dengan kehidupannya. Mungkin sekarang waktunya aku untuk bisa menata kembali kehidupanku. Ibu pernah meminta aku untuk kembali mendapatkan hati Rania karena dia tidak tahu kalau Rania sudah menikah. Aku mengatakan pada Ibu kalau Rania sudah menikah dengan pria lain dan hal itu membuat Ibu merasa semakin bersalah padaku dan juga Rania. “Kamu yakin bisa mencintai perempuan lain?” tanya Ibu kemudian. Sebuah pertanyaan yang wajar karena Ibu tahu aku sangat mencintai Rania dan betapa terpuruknya aku karena patah hati. “Aku harus bisa meski semua membutuhkan waktu. Rania … sampai saat ini aku masih mencintainya, tetapi, aku juga harus melanjutkan kehidupanku. Dia juga sudah bahagia dengan kehidupannya dan tidak seharusnya aku masih berharap untuk dapat bersamanya.” Aku lega melihat Rania bahagia deng
“Kamu serius?” tanyaku yang sedikit merasa kaget dengan pertanyaan Aletha. “Nggak,” jawab gadis itu enteng. “Ya seriuslah, Om.”“Beneran?” tanyaku lagi, padahal aku yang membuat pembicaraan ini dan aku sendiri pula yang masih merasa belum percaya.“Iya, ada beberapa point yang aku sepakat dengan pemikiran, Om. Karena dunia akan tetap berjalan bagaimanapun keadaan kita. Tidak akan ada yang peduli pada diri kita selain diri kita sendiri dan hidup juga sebuah pilihan bukan? apakah kita akan tetap berdiam membenamkan diri dalam kesakitan atau kita mulai berusaha membebaskan diri dari sebuah belenggu luka.” Aletha terlihat serius dengan bicaranya.“Sebuah hal baik katanya harus disegerakan, setidaknya untuk menghindari fitnah dan membuang waktu hanya untuk sekedar pengenalan. Setidaknya kita memiliki niat yang sama, sama-sama ingin lepas dari masa lalu dan melangkah ke depan untuk kehidupan baru. Aku berharap ini sebuah keputusan yang tepat dan aku ha
Pov Satria “Nggak suka becandanya, bisa bahas hal lainnya.” Raut wajah Aletha berubah. Wajar saja dia berpikir demikian sedangkan kami memang belum lama saling mengenal, apalagi aku selalu bersikap ketus padanya selama ini. Aku juga belum yakin denga napa yang aku katakana, tetapi, ada sebuah dorongan yang tidak aku mengerti untuk aku mengatakan hal ini padanya. Aku merasa tidak ada yang buruk dengan pemikiran dari Pak Agus meski aku tidak tahu dia sedang serius atau hanya mencandaiku. Kami sama-sama terluka oleh masa lalu dan kami butuh seseorang untuk saling menguatkan. Tetapi, aku tidak yakin juga apa dia bisa menerimaku. Tetapi, akan lebih baik aku ungkapkan apa yang menjadi keinginanku masalah diterima atau ditolak itu urusan nanti. Setidaknya aku sudah berusaha keluar dari kubangan nestapa masa lalu yang selalu membayangi perjalanan hidupku. “Aku serius,” jawabku kemudian. “Tapi kenapa?” tanya Aletha, kedua tangannya mengenggam gelas minumnya dengan pandangan mata yang me