“Tapi, percayalah aku hanya mencintai kamu saja. Cuma kamu, Sayang. Kamu tau pasti bagaimana perasaanku padamu.” Mas Satria masih saja berlindung di balik alasan yang sama.
“Aku bahkan ragu kalau mas benar-benar mencintaiku. Bukankan cinta itu tidak saling menyakiti, bukankah cinta itu saling menjaga. Tapi, apa yang mas lakukan? Bahkan mas tega membohongiku, berbohong kepada keluargaku.” Aku sudah tidak percaya apapun sekarang.“Aku terpaksa melakukan itu. Aku benar-benar minta maaf untuk semua ini, aku sudah berencana untuk jujur hanya aku butuh waktu.” Mas Satria meraih tanganku dan untuk kesekian kali aku hempaskan.“Dengan Aleya itu hanya rasa kasihan dan terpaksa karena desakan semua orang, aku ditempatkan pada posisi yang sangat sulit. Tapi, menikahimu itu adalah keinginanku, mimpiku. Aku bersalah padamu dan seluruh keluargamu, aku minta maaf. Kamu boleh mencaciku, memaki aku, tapi, jangan pernah meminta mengakhiri semua. Aku nggak bisa, aku bisa g“Sebelumnya saya minta maaf sebsar-besarnya, saya bersalah.” Kalimat mas Satria terhenti beberapa saat, semua terdiam menunggu apa yang akan di sampaikan oleh pria yang berdiri di sampingku itu.“Saya bersalah, tapi, saya benar-benar mencintai Rania. Saya tidak ingin berpisah dan mengakhiri hubungan ini.” Setelah beberapa saat akhirnya mas Satria melanjutkan kalimatnya.“Bersalah kenapa? Masalahnya apa, tolong kalian yang jelas kalau bicara.” Mama yang sedari diam akhirnya ikut bicara.Mas Satria terisak dan tidak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya.“Mas Satria … dia … dia sudah merujuk istri pertamanya sebelum menikahi Rania.” Akhirnya aku yang harus menyapaikan semua kebenaran ini kepada seluruh keluargaku.“Maksudnya?” tanya Kaka Sisil dengan mulut ternganga. “Satria rujuk dengan mantan istrinya, lalu menikahi kamu. Berarti sekarang Satria punya istri dua.” Kak Sisil menutup mulutnya dengan kedua tangan.“Iya,” jawabku singka
Hari pertama kembali ke kantor dalam keadaan yang berbeda, rasanya memang campur aduk. Seharusnya aku tersenyum bahagia hari ini dan menebar kebahagiaan kepada siapa saja. Bahkan dari beberapa waktu yang lalu aku sudah memesan nasi kotak yang akan aku bagikan sebagai bentuk rasa syukur dan ingin berbagi kebahagiaan dengan teman kantor. Makanan yang seharusnya aku bagi untuk teman kantor sudah aku salurkan ke sebuah yayasan sosial.Aku sedang berusaha berdamai dengan keadaan dan tidak akan membiarkan diriku terlalu lama terpuruk dalam kesedihan. Malu? Pasti … tapi, aku akan tetap berusaha mengendalikan diri dan juga emosiku. Semua ini sangat berat dan tidak mudah. Menghindari masalah tidak akan menyelesaikannya, yang benar adalah harus menghadapinya. Sehancur apapun hatiku saat ini biarlah diriku sendiri yang merasakannya.“Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, tapi, aku harap kamu bisa kuat. Itu masalah pribadi kalian berdua dan aku harap kamu tetap professional dal
pov SatriaGerimis baru saja turun menjatuhkan bulir airnya ke bumi, membasahi dedaunan, bunga dan tanah di sekitar. Hawa dingin mulai menusuk kulit dan aku membiarkan tubuhku diterpa angin malam yang menyertai turunnya gerimis. Sebuah kesalahan fatal telah aku lakukan dan masih berharap sebuah maaf dan kesempatan. Akan tetapi, sepertinya semua itu semakin jauh dari harapan selepas keluarga Rania datang.Aku hanya bisa terdiam tidak mampu menjawab atau pun membela diri karena memang semua itu adalah kesalahanku. Aku yang tidak mampu menjaga pendirianku, aku yang lemah oleh tekanan dan aku yang tidak berpikir panjang akan sebuah hal.“Ibu sudah membantumu sesuai janji Ibu di rumah sakit.” Suara Ibu memecah hening malam. Aku masih duduk di teras belakang, melepas pandangan dan pikiranku jauh. Tidak aku jawab atau berusaha aku menoleh, pandanganku tetap ke atas ke langit gelap yang tertutup mendung. Aku sedang marah pada diriku sendiri, juga pada k
Hidup harus terus berjalan seberapa terpuruknya kita dan jangan terlalu lama menikmati kesakitan. Bahagia tidak begitu saja akan menghampiri saat kita terus menerus menikmati rasa sakit dari sebuah kisah pahit. Biarkan puing kenangan yang berserak itu akhirnya terbang bersama datangnya sebuah harapan. Meski aku trauma atas sebuah hubungan, tapi, hidup tidak melulu soal asmara.Mungkin aku sedang dalam fase ingin menikmati hidup dan bangun dari sebuah mimpi buruk yang terjadi dalam kisah hidupku. Apa yang terjadi tidak mungkin bisa aku lupakan begitu saja, namun tidak akan terus menerus aku ratapi. Yah … meski sakit, tapi, itu semua pasti akan sampai pada sebuah titik, titik ikhlas. Semua sudah menjadi bagian dari takdir hidupku yang pastinya sudah digariskan. Hidup, mati dan jodoh adalah rahasia Tuhan dan semua yang telah ditentukan tidak akan sanggup manusia tolak. Demikian halnya dengan diriku, bukankah manusia hanya bisa berencana sedangkan semua hal
“Gimana … mau mulai kapan ini?” Mas Danta melihat ke arahku.“Maaf permisi ke toilet sebentar.” Aku belum menjawab pertanyaan Mas Danta, saat Kak Sisil berdiri untuk permisi ke toilet.”“Ya udah sekalian, aku mau ambil beberapa berkas laporan dulu, nanti bisa Rania pelajari terlebih dahulu di rumah.” Kak Rahma ikut bangun dari kursinya.“Kak, kopi yes,” ucap Mas Danta kepada Kak Rahma.Perempuan cantik itu hanya mengangguk dan mengiyakan kemudian berjalan keluar bersisian dengan Kak Sisil. Aku meraih gelasku yang berisi jus alpukat yang esnya mulai mencair, beberapa tegukkan cukup membuat dingin tengorokanku.“Jadi kapan?” Mas danta mengulangi pertanyaanya.“Mungkin Jumat, nunggu urusan di kantor selesai dulu,” jawabku kemudian.“Baguslah,” guman Mas Danta kemudian.“Apanya?” tanyaku belum memahami arti kata bagus yang baru saja Mas Danta ucapkan.“Bagus, kal
"Ngalamun aja." Entah kapan Roni datang, aku sama sekali tidak menyadarinya. "Aku bantu apa?" tanyanya kemudian."Udah kok, nggak banyak." Hanya perlengkapan salat, beberapa pasang alas kaki juga beberapa barang pribadi lainnya yang memang sengaja aku tinggal di kantor."Aku nggak tau, harus senang atau sedih," ucap Roni lagi sambil menarik kursi dan kemudian duduk di depan mejaku."Maren chat katanya ikut sedih," celetukku kemudian."Jangan-jangan kau menari di atas lukaku," lanjutku, Roni tertawa."Kayak lagu dangdut," balasnya kemudian. "Tapi, apapun itu seperti yang aku katakan sebelumnya yang terpenting itu semua demi kebaikan kamu. Yah siapa tau suatu waktu ada hikmah dibalik ini semua.""Amin," timpalku kemudian.Setelah Roni tau apa yang terjadi sebenarnya tempo hari, dia langsung menghubungi dan menanyakan keadaanku. "Tuhan menguji manusia sudah sesuai kemampuannya. Dan aku yakin ini cara Tuhan untuk
"Ada Pak Danta di ruangan Ibu," beritahu Maya salah satu karyawan saat aku baru memasuki kafe dari pintu belakang."Oh … okay, makasih. Minta tolong Hari buatkan kopi ya, dua." Entah sejak kapan aku mulai kecanduan kopi, sepertinya setelah aku bekerja disini."Baik, Bu. Permisi," pamit Maya kemidian berlalu.Aku berjalan pelan kemudian menaiki anak tangga karena ruangan kerjaku berada di lantai dua. Sebagai salah satu pemilik kafe ini, Mas Danta memang sering datang sekerdar melakukan kontrol di sela kesibukannya sebagai dokter."Assalamualaikum, Mas." Dengan tangan kanan aku mendorong pintu ruanganku yang setengah terbuka itu."Waalaikumsalam," jawab Mas Danta yang sedang duduk di kursi kerjaku."Pagi banget," ucapku sambil berjalan mendekati meja kerjaku.Aku melewati Mas Danta yang duduk di kursi kerjaku untuk meletakkan tas di meja yang berada di belakang Mas Danta."Iya tadi habis jogging sekalian
Aku menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan untuk mengatur perasaan yang sedikit kacau. Bagaimanapun aku harus meyakinkan diriku sendiri kalau aku pasti bisa menghadapi dan melewati semua ini meski tidak mudah pastinya. Ayolah Rania … kamu pasti bisa, jangan terlihat lemah dihadapan orang yang telah menyakitimu, jangan perlihatkan sakitmu pada orang yang tidak menghargai cintamu. Sisi lain dalam diriku terus saja meyakinkan sisi lainnya untuk tidak memperlihatkan rasa sedih dan sakit yang masih aku rasakan.“Situ kosong,” tunjuk Mas Danta saat kami baru saja melewati pintu. Aku lihat sebuah meja yang berada di sudut warung dan baru saja di bersihkan.Aku mengangguk mengedarkan pandangan kea rah dalam akan tetapi tidak aku lihat keberadaan Mas Satria. Sisi lain ruangan tidak terjangkau oleh pandangan mataku kalau berdiri di sini. Mungkin saja Mas Satria duduk di dalam sana. Lah … kenapa aku malah mencarinya, tapi, memang semua terjadi secara reflek s
Pandanganku terhenti pada sosok yang cukup aku kenal, meski mungkin dia tidak mengenalku. Satria, pria dari masa lalu Rania istriku terlihat berada di depan ruang praktek dokter Anna. Di sampingnya terlihat seorang perempuan berperawakan kecil seperti anak SMA, yang jelas itu bukan istrinya yang dulu. Karena kalau istrinya yang dulu aku sempat tahu saat dirawat disini.Tidak mungkin adiknya juga karena setahuku adiknya sudah meninggal, itu aku dapat dari cerita Rania. Apa mungkin itu istrinya dan Satria sudah menikah lagi, tetapi, perempuan itu terlihat sangat muda. Keduanya seperti sedang menunggu antrian periksa di dokter Anna di poli kandungan.Hamil?Kenapa jadi aku yang kepo dan ingin tahu, sudahlah. Aku melanjutkan langkah untuk menuju ruang praktekku. Kalau pun itu memang benar istrinya dan sekarang hamil itu akan lebih baik. Berarti Satria sudah menemukan kebahagiaannya sekarang. Aku tahu masih ada rasa bersalah atau apalah yang Rania rasakan selama ini
PoV Danta Aroma wangi masakan menguar dan menghampiri Indera penciumanku saat aku berjalan mendekat ke arah dapur tempat Rania berada sekarang. Selepas salat Subuh tadi dia sudah berkutat di dapur untuk mengeksekusi resep masakan yang baru dilihatnya semalam di sebuah channel youtube. Wanita yang sudah hampir setahun aku nikahi itu memang punya kegemaran baru sekarang, yaitu mencoba resep masakan. “Wangi banget,” ucapku saat memasuki dapur, Rania menoleh dan tersenyum.“Semoga nggak keasinan lagi seperti kemarin,” jawab Rania dan kembali menarik pandangannya ke arah panci di depannya.Aku tersenyum mengingat kejadian kemarin, entah berapa sendok garam yang dia masukkan ke dalam masakannya. Kalau ada pepatah buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, hal ini tidak berlaku untuk Rania. Mama mertuaku pintar memasak dan enak bahkan pernah membuka catering juga cerita Rania, tetapi, berbenda dengan anak perempuannya yang juga istriku ini. Tetapi, R
Duda itu Mantan PacarkuPart xtra 22*** Ketukan di kaca mobil sontak membuat dua insan yang tengah terbuai dalam debar asmara itu saling menjauhkan diri satu dengan yang lain. Wajah keduanya menghangat seketika dengan debaran di dada yang semakin kencang terasa. Aletha lekas menurunkan kaca mobil saat melihat keluar telah berdiri sahabatnya, Titan yang mengetuk pintu mobil Satria.“Ada apa?” tanya Aletha yang masih sedikit gugup kaget.“Jangan lewat sepanjang jalan Plaosan Timur ada kegiatan warga nutup jalan katanya, nanti lurus aja terus masuk ke kiri selepas lampu merah dekat pom bensin.” Titan memberi tahu kondisi jalan yang akan mereka lewati nanti ke tempat acara syukuran yang diadakan di sebuah restoran.“Oh … gitu, okay. Ya udah ini mau langsung ke sana.” Aletha mengangguk mengerti, Satria yang duduk di belakang kemudi ikut mengangguk.Sepasang pengantin baru itu tengah menetralisir perasaannya masing-masing karena
Sepertinya ini adalah persiapan pernikahan tercepat dari sebelumnya yang pernah aku lakukan, karena setelah aku melamar Aletha hanya butuh waktu kurang dari 2 minggu saja sampai hari yang di tentukan, yaitu hari ini. Aku dan Aletha sepakat untuk menikah di Masjid samping KUA dengan disaksikan keluarga dekat saja, tidak ada resepesi yang akan digelar karena Aletha tidak menghendakinya. Keluarga Aletha hanya mengundang kerabat dekat untuk syukuran selepas ijab kabul.Ini bukan yang pertama, bukan juga yang kedua aku akan mengucapkan kalimat sakral sebuah janji suci, tetapi, aku berdoa ini menjadi yang terakhir aku melakukannya. Aku tidak ingin mengulang lagi untuk suatu masa nanti, biarlah kegagalan pernikahanku dulu menjadi sebuah pelajaran yang berharga untukku. Hari Sabtu jam 9 pagi ini kesendirianku akan aku akhiri dan aku akan membuka sebuah lembaran baru dengan cerita baru.Aku menyetir sendiri dan mempersiapkan semuanya sendiri, kemeja putih dengan jas d
Pov Aletha *** [Dari kantor aku langsung ke rumahmu] [Aku sudah OTW] Aku membuka aplikasi chat berlogo warna hijau di ponselku, dua pesan masuk dari Mas Satria yang biasa aku panggil dengan sebutan Om itu beberapa waktu yang lalu. [Iya, hati-hati di jalan] Sebuah kalimat balasan aku kirimkan kemudian, belum terbaca setelah beberapa detik. Mungkin dia sedang menyetir. Aku kemudian meletakkan ponselku di meja dan beranjak ke lemasri untuk memilih baju yang akan aku kenakan. Masih merasa aneh dengan semuanya, serasa mimpi, tapi, bukan mimpi. Bahkan beberapa hari yang lalu pria itu masih sangat ketus padaku, tapi, entah apa yang terjadi padanya hinga dia sampai mengatakan hal itu. Lalu bagaimana denganku? Aku juga tidak tahu kenapa mengatakan iya, tapi, aku juga sedang tidak main-main denga
“Tidak.” Aku menggeleng meski Pak agus juga tidak akan melihatnya. “Kami tidak sedang mencari tempat pelarian, tetapi, mencari tempat untuk kami bisa saling mengisi dan melengkapi,” jawabku kemudian. “Aku mengerti, aku senang dengan hal ini. Aku menganggapmu bukan hanya rekan kerja, lebih dari itu dan Aletha adalah keponakan kesayanganku. Yang aku minta jangan pernah membuatnya patah lagi dan berbahagialah kalian. Aku akan bicara dengan mamanya Aletha setelah ini. Lebih cepat juga lebih baik daripada ada apa-apa nanti kalau ditunda- tunda.” Pak Agus memberikan dukungannya dan aku merasa lega untuk itu. Sekarang tinggal bicara lagi dengan Aletha untuk mempersiapkan semuanya dengan lebih matang. Mungkin aku hanya bisa pergi sendiri saat nanti mengutarakan niatku kepada keluarga Aletha karena di kota ini aku tidak memiliki keluarga selain Ibu saja. Aku menutup panggilan selepas mengucapkan salam, sudah jam 6 lebih dan aku haru
“Iya,” jawabku sambil mengangguk. “Rania?” tanya Ibu ragu. “Bukan, Dia sudah bahagia dengan kehidupannya. Mungkin sekarang waktunya aku untuk bisa menata kembali kehidupanku. Ibu pernah meminta aku untuk kembali mendapatkan hati Rania karena dia tidak tahu kalau Rania sudah menikah. Aku mengatakan pada Ibu kalau Rania sudah menikah dengan pria lain dan hal itu membuat Ibu merasa semakin bersalah padaku dan juga Rania. “Kamu yakin bisa mencintai perempuan lain?” tanya Ibu kemudian. Sebuah pertanyaan yang wajar karena Ibu tahu aku sangat mencintai Rania dan betapa terpuruknya aku karena patah hati. “Aku harus bisa meski semua membutuhkan waktu. Rania … sampai saat ini aku masih mencintainya, tetapi, aku juga harus melanjutkan kehidupanku. Dia juga sudah bahagia dengan kehidupannya dan tidak seharusnya aku masih berharap untuk dapat bersamanya.” Aku lega melihat Rania bahagia deng
“Kamu serius?” tanyaku yang sedikit merasa kaget dengan pertanyaan Aletha. “Nggak,” jawab gadis itu enteng. “Ya seriuslah, Om.”“Beneran?” tanyaku lagi, padahal aku yang membuat pembicaraan ini dan aku sendiri pula yang masih merasa belum percaya.“Iya, ada beberapa point yang aku sepakat dengan pemikiran, Om. Karena dunia akan tetap berjalan bagaimanapun keadaan kita. Tidak akan ada yang peduli pada diri kita selain diri kita sendiri dan hidup juga sebuah pilihan bukan? apakah kita akan tetap berdiam membenamkan diri dalam kesakitan atau kita mulai berusaha membebaskan diri dari sebuah belenggu luka.” Aletha terlihat serius dengan bicaranya.“Sebuah hal baik katanya harus disegerakan, setidaknya untuk menghindari fitnah dan membuang waktu hanya untuk sekedar pengenalan. Setidaknya kita memiliki niat yang sama, sama-sama ingin lepas dari masa lalu dan melangkah ke depan untuk kehidupan baru. Aku berharap ini sebuah keputusan yang tepat dan aku ha
Pov Satria “Nggak suka becandanya, bisa bahas hal lainnya.” Raut wajah Aletha berubah. Wajar saja dia berpikir demikian sedangkan kami memang belum lama saling mengenal, apalagi aku selalu bersikap ketus padanya selama ini. Aku juga belum yakin denga napa yang aku katakana, tetapi, ada sebuah dorongan yang tidak aku mengerti untuk aku mengatakan hal ini padanya. Aku merasa tidak ada yang buruk dengan pemikiran dari Pak Agus meski aku tidak tahu dia sedang serius atau hanya mencandaiku. Kami sama-sama terluka oleh masa lalu dan kami butuh seseorang untuk saling menguatkan. Tetapi, aku tidak yakin juga apa dia bisa menerimaku. Tetapi, akan lebih baik aku ungkapkan apa yang menjadi keinginanku masalah diterima atau ditolak itu urusan nanti. Setidaknya aku sudah berusaha keluar dari kubangan nestapa masa lalu yang selalu membayangi perjalanan hidupku. “Aku serius,” jawabku kemudian. “Tapi kenapa?” tanya Aletha, kedua tangannya mengenggam gelas minumnya dengan pandangan mata yang me