Sebuah taman yang cukup luas berada di dekat perumahan, setiap pagi dan sore selalu ramai. Banyak tanaman bunga yang cantik-cantik, lapangan basket dan juga fasilitas bermain anak-anak seperti jungkat jungkit, perosotan, ayunan dan beberapa permainan lainnya. Banyak bangku permanen dari besi bercat putih yang di pasang di dalam taman.Di sisi luar taman sebelah kanan nada banyak penjual jajanan, mulai dari sosis bakar sampai cilok dan beraneka minuman. Sesampainya di taman kedua ponakanku sudah langsung sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Aku melipir ke pagar sisi kanan taman untuk memesan sosis bakar, cilok, telur gulung, dan sempol. Kalau banyak pikiran yang nanggung seperti sekarang, lariku ke makanan. Untuk minuman, Kak Regina membawakan keduanya jus jeruk dari rumah.“Aunty boleh?” teriak Al sambil menunjuk ke arah permaianan seperti jarring-jaring, aku tidak tau namanya. Aku mengoyangkan jari telunjuk tanda tidak boleh karena jarring itu terlalu lebar
“Kok tau nama cucu, tante?” tanya wanita itu terlihat bingung.“Oma.” Aku belum sempat menjawab, Ayra sudah tiba terlebih dahulu dan berhambur di pelukan wanita itu.“Hati-hati, jalannya pelan saja ya, saying.” Wanita itu meraih tubuh mungil itu kemudian menciumnya.“Mbak.” Baby sitter itu menyapaku, sepertinya dia menginggat diriku. Aku membalasnya dengan anggukan dan tersenyum.“Kalian saling kenal?” tanya ibu mas Satria melihat ke arahku dan ke baby sitter itu bergantian.“Iya, Oma. Mbak ini yang pernah bantuin Ayra sewaktu hampir hilang di Mall tempo hari.” Perempuan dengan baju merah muda itu memberi penjelasan. Sebenarnya aku juga tidak sengaja waktu itu hanya sebuah kebetulan juga.“Oh … begitu. Terima kasih banyak yah, Alhamdulilah bisa berjodoh jadi tante bisa mengucapkan terima kasih,” ucap Ibu mas Satria kemudian.“Sama-sama, Tante. Kebetulan saja waktu itu,” balasku dengan mengulas senyum.“Inum … inum.” Ayra terlihat menunjuk botol minuman yang aku bawa. “Ayra mau?” tany
“Langsung mandi, ya.” Sesampainya di depan rumah aku langsung berpesan kepada kedua keponakanku itu. “Keringetan tuh … kotor lagi badannya.”“Iya, Aunty.” Serempak kedua keponakanku itu menjawab kemudian berlari ke rumahnya masing-masing. Setelah memastikan keduanya masuk ke dalam rumah aku melangkah pelan menuju pagar. Perasaanku sedang tidak nyaman dan tidak dalam keadaan baik-baik saja. Semakin banyak hal yang aku tau semakin banyak pertanyaan yang berjejal dalam benakku. Juga rasa ragu yang entah mengapa kembali hadir. Aku tidak buta untuk dapat melihat arti tatapan Aleya pada Mas Satria, itu bukan perasaan biasa. Meski mungkin tatapan mata itu belum mampu meluluhkan hati Mas Satria, tapi, sampai kapan? Selama Aleya berada dalam lingkaran yang sama tidak ada jaminan untuk Mas Satria menyadarinya suatu saat.Apa Aleya bersalah dengan perasaannya? Tentu saja tidak. Siapa yang bisa mengatur perasaan seseorang, meski bisa menutupinnya bukan berarti bisa menghapusnya. Ah … pikiranku
“Kalau kamu? Suka nggak?” tanya Mas Satria kemudian, suaranya terdengar manis membuat dadaku cenat cenut.“Suka, enak.” Entah mengapa jadi grogi.“Sama, aku juga suka. Tapi, bukan suka pudingnya. Suka sama yang dikirimi pudding.” Gombalan receh dari mas Satria berhasil membuat hidungku kembang kempis.“Ish … gombalin aja terus,” balasku kemudian. “Emm mas tadi katanya mau cerita, cerita apaan?”“Itu bukan gombalan, Sayang. Itu kenyataan, kenyataan yang sebenar-benarnya,” ucap mas Satria menangapiku. “Iya, em … tapi, janji dulu jangan marah ya.”“Marah, memangnya kenapa harus marah?” tanyaku. Aku berharap mas Satria akan bercerita tentang Aleya sehingga rasa kesal dan banyaknya pertanyaan yang berjejal akan segera mendapatkan jawaban.“Tadi siang, aku keluar dengan Aleya. Pembantu di rumah sedang ada acara persiapan pernikahan anaknya. Kami tadi kesana hanya sebentar siang tadi sewaktu jam istirahat. Mendadak sebenarnya karena Aleya lupa memberitahu. Jangan marah, ya.” Sesuai dugaan d
“Jadi bener kalian pacaran?” tanya Roni sore itu, saat aku sedang menyiapkan laporan harian, aku mengangguk mengiyakan.Sudah hampir dua minggu aku dan Mas Satria membuka hubungan dah akhirnya menjadi buah bibir di kantor. Apalagi dengan status Mas Satria sebagai duda dan juga sebagai seorang wakil kepala cabang. Tidak terkecuali sahabatku yang mencecarku dengan banyak pertanyaan tentang hubunganku dengan Mas Satria.Memang ini masalah pribadi antara aku dan Mas Satria, hanya saja kami adalah rekan kerja dan berada di bawah atap kantor yang sama. Mau tidak mau harus sedikit membuka cerita apalagi kami dalam waktu yang terlalu singkat bagi orang lain dalam memutuskan untuk bersama.“Jadi Pak Satria mantan kamu pas kuliah?” Itu pertanyaan dari Tika saat aku membuka jati diri dan membuka hubunganku dengan Mas Satria.Banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak bisa aku jawab semuanya. Aku hanya bercerita seperlunya saja, sebatas apa yang memang harus mereka tau. Tidak semua harus diungk
“Sekalian besok kamu ikut aku ke rumah ya, biar kamu bisa kenal sama Ibu.” Mas Satria kembali menambahkan.“Besok?” tanyaku lagi.“Iya, lebih cepat lebih baik bukan?!”"Mas yakin?" tanyaku kemudian untuk memastikan atas semua yang baru saja aku dengar."Kenapa memangnya?" Bukannya menjawab pertanyaanku Mas Satria justru balik bertanya, sepasang mata pria itu terlihat menyipit."Nggak … masih takut saja," jawabku pelan dengan sedikit mencembik.Bukan apa-apa, Ibu Mas Satria wanita baik. Aku bisa melihat dan merasakan hal itu, hanya saja dibanding dengan keberadaan Aleya? Tentu akan berbeda pastinya. Apalagi saat Mas Satria bercerita kalau Ibunya menginginkan dia kembali untuk rujuk dengan Aleya. “Ntar aku pegangin, apanya idungnya?” goda Mas Satria sambil menarik hidungku dan mengoyangkannya.“Ish …serius.” Aku sedang tidak bercanda tapi dia malah mengodaku.“iya Sayang, iya. Tapi, ini waktu yang tepat, aku sengaja mengunakan momen ini untuk memperkenalkanmu pada Ibu. Kan biar Ibu tah
“Iya, saya.” Aku menjawab sambil mengangguk, perempuan itu kemudian memberikan helm yang dibawanya kepadaku. Dengan tangan kanan aku menerima helm dan kemudian mengenakannya,Alamat tujuan kembali aku sebutkan sambil naik ke bocengan sepeda motor matic itu. Perlahan sepeda motor berjalan menyibak padatnya kendaraan lain di jalan. Biasa jam-jam pulang kerja, berangkat kerja, atau sewaktu istirahat jalanan pasti padat. Sepeda motor yang aku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang, meliuk mencari celah untuk maju di antara kendaraan lainnya. Memerlukan waktu sepuluh menit lebih lama dari waktu tempuh pada kondisi biasa. “Jangan lupa bintang limanya, Kakak.” Pengemudi ojek online itu tersenyum ramah saat aku mengembalikan helm yang tadi aku kenakan.“Siap,” jawabku dengan membalas senyumnya. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih perempuan dengan jaket hijau itu mulai menyalakan motornya. Pelan sepeda motor itu bergerak menjauh dan pada akhirnya menghilang berbelok menuju jal
Sebuah hal yang membuatku merasa tidak nyaman, seharusnya tidak seperti itu apapun dalih dan alasannya. Bukankah mereka sudah berpisah, sudah bercerai tidak seharusnya mereka tinggal bersama meski bersama yang lainnya. Dugaanku tentang perasaan Aleya pada mas Satria sepertinya mendekati kebenaran. Perempuan itu menyimpan rasa suka mungkin juga cinta pada Mas Satria.“Mbak … ketemu lagi.” Baby Sitter Ayra menyapaku terlebih dahulu, aku membalasnya dengan mengulas senyum.“Wah … dekat sini ya rumahnya?” Aleya yang berjalan sedikit di belakang Baby Sitter Ayra ikut menyapaku.“Iya, dekat sini.” Aku menjawab sambil berdiri, karena saat bersamaan Bang Ole mengatakan pesananan sotoku sudah selesai. “Saya duluan,” pamitku kemudian. Tidak ada yang salah dengan mereka, aku hanya sedang malas untuk berbicara meski hanya basa-basi. Rasa kesal dan jengkel pastinya pada Mas Satria, pastinya juga rasa cemburu. Wajar saja bukan, bagaimanapun mereka pernah hidup bersama. Tidak ada jaminan bagiku mer
“Mama? kalau mama nyerahin sepenuhnya sama aku. Intinya yang penting aku bisa bahagia dan yang aku pilih juga harus pria baik-baik. Mama tidak netapin kriteria tertentu yang harus gimana-gimana gitu,” jelas AlethaSebuah kabar baik tentunya buat aku saat tidak ada kendalq baik di keluargaku maupun keluarga Aletha. Besar harapan niat baik ini akan berjalam sesuai dengan harapan.“ Mmm ... Apa siang nanti bisa keluar,? aku jemput. Setidaknya kita butuh bicara lagi untuk membahas lebih banyak hal tentang hal ini.”Ini sebuah hal yang perlu pembahasan lebih dalam karena kami akan melangkah ke jenjang yang serius. Akan banyak orang pula yang dilibatkan nantinya teritama keluarga. Perlu juga membangun komitmen lebih jauh antara aku dan Aletha.“Bisa, nggak usah dijemput, sekalian nanti aku ada keperluan keluar jadi Om mau ketemuan dimana?” tanya Aletha.“Di mana?” tanyaku membalikkan pertanyaan karena aku tidak terlalu tahu kafe-kafe
"Menikah?” tanya ibu kemudian.“Iya,” jawabku sambil mengangguk.“Rania?” tanya Ibu ragu.“Bukan, Dia sudah bahagia dengan kehidupannya. Mungkin sekarang waktunya aku untuk bisa menata kembali kehidupanku. Ibu pernah meminta aku untuk kembali mendapatkan hati Rania karena dia tidak tahu kalau Rania sudah menikah. Aku mengatakan pada Ibu kalau Rania sudah menikah dengan pria lain dan hal itu membuat Ibu merasa semakin bersalah padaku dan juga Rania.“Kamu yakin bisa mencintai perempuan lain?” tanya Ibu kemudian. Sebuah pertanyaan yang wajar karena Ibu tahu aku sangat mencintai Rania dan betapa terpuruknya aku karena patah hati.“Aku harus bisa meski semua membutuhkan waktu. Rania … sampai saat ini aku masih mencintainya, tetapi, aku juga harus melanjutkan kehidupanku. Dia juga sudah bahagia dengan kehidupannya dan tidak seharusnya aku masih berharap untuk dapat bersamanya.”Aku lega melihat Rania bahagia dengan
“Kamu serius?” tanyaku yang sedikit merasa kaget dengan pertanyaan Aletha. “Nggak,” jawab gadis itu enteng. “Ya seriuslah, Om.”“Beneran?” tanyaku lagi, padahal aku yang membuat pembicaraan ini dan aku sendiri pula yang masih merasa belum percaya.“Iya, ada beberapa point yang aku sepakat dengan pemikiran, Om. Karena dunia akan tetap berjalan bagaimanapun keadaan kita. Tidak akan ada yang peduli pada diri kita selain diri kita sendiri dan hidup juga sebuah pilihan bukan? apakah kita akan tetap berdiam membenamkan diri dalam kesakitan atau kita mulai berusaha membebaskan diri dari sebuah belenggu luka.” Aletha terlihat serius dengan bicaranya.“Sebuah hal baik katanya harus disegerakan, setidaknya untuk menghindari fitnah dan membuang waktu hanya untuk sekedar pengenalan. Setidaknya kita memiliki niat yang sama, sama-sama ingin lepas dari masa lalu dan melangkah ke depan untuk kehidupan baru. Aku berharap ini sebuah keputusan yang tepat dan aku ha
“Nggak suka becandanya, bisa bahas hal lainnya.” Raut wajah Aletha berubah.Wajar saja dia berpikir demikian sedangkan kami memang belum lama saling mengenal, apalagi aku selalu bersikap ketus padanya selama ini. Aku juga belum yakin denga napa yang aku katakana, tetapi, ada sebuah dorongan yang tidak aku mengerti untuk aku mengatakan hal ini padanya. Aku merasa tidak ada yang buruk dengan pemikiran dari Pak Agus meski aku tidak tahu dia sedang serius atau hanya mencandaiku.Kami sama-sama terluka oleh masa lalu dan kami butuh seseorang untuk saling menguatkan. Tetapi, aku tidak yakin juga apa dia bisa menerimaku. Tetapi, akan lebih baik aku ungkapkan apa yang menjadi keinginanku masalah diterima atau ditolak itu urusan nanti. Setidaknya aku sudah berusaha keluar dari kubangan nestapa masa lalu yang selalu membayangi perjalanan hidupku. “Aku serius,” jawabku kemudian.“Tapi kenapa?” tanya Aletha, kedua tangannya mengenggam gelas minumnya dengan p
Aku belum menjawab pertanyaan Aletha saat terdengar suara panggilan di ponselnya.“Assalamualaikum, Ma.” Terdengar gadis itu mengucapkan salam kepada penelepon yang dipanggilnya dengan sebutan Ma. Mungkin itu telepon dari mamanya.“Iya ditutup nggak bisa lewat, ini aku sama teman pulangnya.” Aku memelankan laju mobilku mengikuti pergerakan kendaraan lainnya yang juga merayap dan mengambil ke arah lurus kanan.“Belakang di tutup juga? Berarti semua di tutup kalau begitu. Ya sudah deh mah, aku nunggu sampai kelar. Paling jam sebelasan ya? Ya sudah nanti aku kabari lagi. Assalamualaikum.” Aletha mengakhiri panggilan dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.“Kadang jalur belakang yang lewat kampung bisa, tapi, kata mama ditutup juga.” Aletha menoleh ke arahku.Rumah kami memang beda kompleks, tapi, arah kami sama saja. Aku juga tidak bisa pulang kalau jalan itu ditutup karena itu akses jalan utama untuk aku sampai di
pov SatriaDari sebelum berangkat tadi sebenarnya aku sudah mempersiapkan diri, bagaimanapun kemungkinan bertemu dengan Rania pasti lebih besar mengingat dia bekerja di sini. Akan tetapi, tetap saja ada rasa perih yang menyeruak dalam hatiku. Entah mengapa sulit sekali untuk menghempas rasa yang sudah tidak ada artinya ini. Rania terlihat bahagia dengan kehidupannya yang sekarang, harusnya aku ikut bahagia melihatnya. Hanya saja itu tidak semudah seperti harapanku, aku terluka dengan rasaku sendiri.Waktu terasa panjang malam ini dan aku hanya banyak berdiam sambil menunggu acara makan malam selesai. Sesekali tersenyum atau menimpali satu dua patah kata saja atas obrolan yang terjadi selama acara mala mini. Aku sama sekali tidak bisa menikmati baik makanan maupun suasana di tengah atmosfer yang membuat hatiku kacau. “Om sakit?” tanya Aletha yang berada di dekatku.“Kenapa?” tanyaku kemudian sambil menoleh ke arah gadis itu.“Enggak, kok diam saja dari tadi. Ya, biasanya sih memang di
Rania POV•••“Rania.”Suara panggilan membuatku menoleh mencari sumber suara, senyumku langsung terkembang saat melihat sosok yang cukup aku kenal. Namanya Titan, dia teman sewaktu aku bekerja di kantor dulu. Hanya saja sewaktu aku keluar dia sedang ditempatkan di RO Batu seingetku. Aku langsung melangkah mendekati Titan yang terlihat datang bersama tetan-temannya itu.“Hai, apa kabar?” sapaku kemudian dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman.“Baik, kamu kerja disini?” tanya pria dengan kulit sawo matang itu.“Huum aku kerja di sini,” jawabku sembari mengangguk dan tersenyum. Tangan kananku berganti menyalami semua teman Titan yang berdiri di sampingnya.“Padahal aku sering kesini, kok nggak pernah ketemu ya?” “Oh, yah. Padahal aku biasa juga keluar-keluar ruangan buat cek,” balasku kemudian. “Oh yah … silahkan, mau di sini atau mau di rooftop?” “Nggak kuat angin di sana saja.” Titan menunjuk sudut rua
** Aletha tidak segera menimpali ucapanku sehingga aku menekan tangannya yang tengah aku pegang. Terlihat ketiga orang di depanku itu masih melihat ke arahku dengan tatapan tidak percaya atau curiga entah. Yang jelas bukan tatapan dan ekspresi yang enak untuk dilihat. “I-Iya, tapi, untuk apa ini tidak ada hubungannya dengan mereka, bukan? Tapi, ya sudah berhubung bertemu di sini sekalian saja ini Mas Satria calon suamiku.” Aletha melihatku dengan senyum sedikit canggung. “Bulan depan kami akan menikah,” imbuh Aletha yang membuat aku sedikit kaget juga, mendengar kata pernikahan entah kenapa rasanya tidak enak. “Iya kan, Sayang?!” Aletha sedikit memiringkan kepala melihat ke arahku masih dengan senyum yang sekarang lebih natural. “Apa kita perlu mengundang mereka?” tanya Aletha lagi dan dia sudah mulai masuk dalam perannya dengan cukup baik. Ini hanya sandiwara dan aku yang memulai,
xtra 7“Ya sudah, ngapain masih disini. Jalan ke atas,” ucapku lagi saat mendapati gadis itu belum beranjak.“Itu punya saya kan?” Aletha menunjuk Name Tag yang tadi aku keluarkan dari saku kemeja.“Iya,” jawabku sambil mengulurkan name tag yang aku bawa dan langsung diraih oleh Aletha. “Lain kali jangan sembarangan taruh, masih muda sudah pikun.”“Iya,” jawab Aletha kemudian memutar sedikit tubuhnya akan beranjak. “Terima kasih,” ucapnya lagi kemudian berjalan cepat meninggalkan aku yang masih berdiri di tempat yang sama.Aku bergegas mengayun langkah mengikuti Aletha yang sudah berjalan terlebih dahulu. Satu jam lagi acara akan dimulai aku harus memastikan semua sudah dipersiapkan dengan baik. Setelah menaiki tangga eskalator aku tiba di tempat acara. Kursi dengan cover kuning dan putih terlihat berjajar rapi, sebuah panggung berukuran sedang juga sudah di dekorasi dengan beberapa ornamen hiasan. Banner yang didominasi warna kuning menj