“Kalau kamu? Suka nggak?” tanya Mas Satria kemudian, suaranya terdengar manis membuat dadaku cenat cenut.“Suka, enak.” Entah mengapa jadi grogi.“Sama, aku juga suka. Tapi, bukan suka pudingnya. Suka sama yang dikirimi pudding.” Gombalan receh dari mas Satria berhasil membuat hidungku kembang kempis.“Ish … gombalin aja terus,” balasku kemudian. “Emm mas tadi katanya mau cerita, cerita apaan?”“Itu bukan gombalan, Sayang. Itu kenyataan, kenyataan yang sebenar-benarnya,” ucap mas Satria menangapiku. “Iya, em … tapi, janji dulu jangan marah ya.”“Marah, memangnya kenapa harus marah?” tanyaku. Aku berharap mas Satria akan bercerita tentang Aleya sehingga rasa kesal dan banyaknya pertanyaan yang berjejal akan segera mendapatkan jawaban.“Tadi siang, aku keluar dengan Aleya. Pembantu di rumah sedang ada acara persiapan pernikahan anaknya. Kami tadi kesana hanya sebentar siang tadi sewaktu jam istirahat. Mendadak sebenarnya karena Aleya lupa memberitahu. Jangan marah, ya.” Sesuai dugaan d
“Jadi bener kalian pacaran?” tanya Roni sore itu, saat aku sedang menyiapkan laporan harian, aku mengangguk mengiyakan.Sudah hampir dua minggu aku dan Mas Satria membuka hubungan dah akhirnya menjadi buah bibir di kantor. Apalagi dengan status Mas Satria sebagai duda dan juga sebagai seorang wakil kepala cabang. Tidak terkecuali sahabatku yang mencecarku dengan banyak pertanyaan tentang hubunganku dengan Mas Satria.Memang ini masalah pribadi antara aku dan Mas Satria, hanya saja kami adalah rekan kerja dan berada di bawah atap kantor yang sama. Mau tidak mau harus sedikit membuka cerita apalagi kami dalam waktu yang terlalu singkat bagi orang lain dalam memutuskan untuk bersama.“Jadi Pak Satria mantan kamu pas kuliah?” Itu pertanyaan dari Tika saat aku membuka jati diri dan membuka hubunganku dengan Mas Satria.Banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak bisa aku jawab semuanya. Aku hanya bercerita seperlunya saja, sebatas apa yang memang harus mereka tau. Tidak semua harus diungk
“Sekalian besok kamu ikut aku ke rumah ya, biar kamu bisa kenal sama Ibu.” Mas Satria kembali menambahkan.“Besok?” tanyaku lagi.“Iya, lebih cepat lebih baik bukan?!”"Mas yakin?" tanyaku kemudian untuk memastikan atas semua yang baru saja aku dengar."Kenapa memangnya?" Bukannya menjawab pertanyaanku Mas Satria justru balik bertanya, sepasang mata pria itu terlihat menyipit."Nggak … masih takut saja," jawabku pelan dengan sedikit mencembik.Bukan apa-apa, Ibu Mas Satria wanita baik. Aku bisa melihat dan merasakan hal itu, hanya saja dibanding dengan keberadaan Aleya? Tentu akan berbeda pastinya. Apalagi saat Mas Satria bercerita kalau Ibunya menginginkan dia kembali untuk rujuk dengan Aleya. “Ntar aku pegangin, apanya idungnya?” goda Mas Satria sambil menarik hidungku dan mengoyangkannya.“Ish …serius.” Aku sedang tidak bercanda tapi dia malah mengodaku.“iya Sayang, iya. Tapi, ini waktu yang tepat, aku sengaja mengunakan momen ini untuk memperkenalkanmu pada Ibu. Kan biar Ibu tah
“Iya, saya.” Aku menjawab sambil mengangguk, perempuan itu kemudian memberikan helm yang dibawanya kepadaku. Dengan tangan kanan aku menerima helm dan kemudian mengenakannya,Alamat tujuan kembali aku sebutkan sambil naik ke bocengan sepeda motor matic itu. Perlahan sepeda motor berjalan menyibak padatnya kendaraan lain di jalan. Biasa jam-jam pulang kerja, berangkat kerja, atau sewaktu istirahat jalanan pasti padat. Sepeda motor yang aku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang, meliuk mencari celah untuk maju di antara kendaraan lainnya. Memerlukan waktu sepuluh menit lebih lama dari waktu tempuh pada kondisi biasa. “Jangan lupa bintang limanya, Kakak.” Pengemudi ojek online itu tersenyum ramah saat aku mengembalikan helm yang tadi aku kenakan.“Siap,” jawabku dengan membalas senyumnya. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih perempuan dengan jaket hijau itu mulai menyalakan motornya. Pelan sepeda motor itu bergerak menjauh dan pada akhirnya menghilang berbelok menuju jal
Sebuah hal yang membuatku merasa tidak nyaman, seharusnya tidak seperti itu apapun dalih dan alasannya. Bukankah mereka sudah berpisah, sudah bercerai tidak seharusnya mereka tinggal bersama meski bersama yang lainnya. Dugaanku tentang perasaan Aleya pada mas Satria sepertinya mendekati kebenaran. Perempuan itu menyimpan rasa suka mungkin juga cinta pada Mas Satria.“Mbak … ketemu lagi.” Baby Sitter Ayra menyapaku terlebih dahulu, aku membalasnya dengan mengulas senyum.“Wah … dekat sini ya rumahnya?” Aleya yang berjalan sedikit di belakang Baby Sitter Ayra ikut menyapaku.“Iya, dekat sini.” Aku menjawab sambil berdiri, karena saat bersamaan Bang Ole mengatakan pesananan sotoku sudah selesai. “Saya duluan,” pamitku kemudian. Tidak ada yang salah dengan mereka, aku hanya sedang malas untuk berbicara meski hanya basa-basi. Rasa kesal dan jengkel pastinya pada Mas Satria, pastinya juga rasa cemburu. Wajar saja bukan, bagaimanapun mereka pernah hidup bersama. Tidak ada jaminan bagiku mer
Kegiatan rumah sejenak mengalihkanku dari pikiran tentang Mas Satria, sengaja aku tidak melihat ponsel. Pasti banyak panggilan masuk dari pria itu, sengaja biarkan saja. Biar Mas Satria tau kalau aku tidak suka dengan keberadaan Aleya di sana. Aku rasa setiap orang juga akan merasakan hal yang aku rasakan apabila ada mantan pasangan tinggal bersama dengan dalih apapun.“Satria nunggu di depan.”Aku baru saja selesai bersiap untuk ke kantor saat Mama masuk ke dalam kamar dan memberi tahu kalau ada Mas Satria di depan. Wanita itu sejenak terlihat mengamati wajahku, mungkin Mama merasa ada yang berbeda dengan sikapku hari ini. Biasanya aku terlihat senang saat Mas Satria menjemput, tapi, pagi ini aku memang berbeda. Sisa rasa kesal semalam masih aku rasakan sampai sekarang.“Kalian baik-baik saja?” tanya Mama terlihat hati-hati.“Iya, Mah. Ya biasalah berantem dikit-dikit,” aku-ku kemudian.“Iya begitulah, bicarakan baik-baik kalau ada masalah. Jangan pernah dipendam sendiri, nanti jadi
“Dah jangan mikir aneh-aneh, kebiasaan pasti dah jauh mikirnya.” Mas Satria mengacak rambutku gemas. “Aku berjanji pada diriku waktu itu akan menyentuhnya saat aku telah benar-benar memiliki perasaan pada Aleya. Aku tidak ingin ada perasaan lain yang melandasi untuk melakukan hal itu.”“Misalnya?” tanyaku sambil merapikan rambutku.“Sungkan, kasihan, atau apalah selain cinta. Dan sampai akhirnya rasa itu memang benar-benar tidak ada. Aku melihat dia ya seperti aku ke Liana, hanya itu yang ada dan tertanam dalam pikiranku.” Mas Satria memberikan penjelasan.Aku tidak menimpali apa-apa lagi, aku juga percaya dengan apa yang Mas Satria sampaikan adalah hal yang sebenarnya. Waktu delapan tahun sedikit banyak kami cukup mengenal akan karakter kepribadian satu dengan yang lainnya meskipun dalam waktu itu kami tidak selalu bersama. Mas Satria memang orang yang selalu bisa memegang prinsipnya.Mobil masih berjalan dengan lambat meski akhirnya kami sudah lebih dari setengah perjalanan. Untuk
“Ish … itu cincin kawin Maseh,” ucapku kemudian.“Memangnya kenapa?” tanya Mas Satria sambil menoleh ke arahku.“Ini Mas.” Mbak pelayan toko itu memberikan kepada Mas Satria cincin yang baru saja dia ambil dari etalase.Cantik memang bentukannya dan terkesan elegan, simpel alias sederhana, tapi, terlihat mahal. Sesaat Mas Satria mengamati detail benda berkilau di tangannya, aku pun merapat mendekat untuk melihat detail dari cincin yang Mas Satria pegang.“Ukurannya pas nggak coba?” Mas Satria menarik tanganku dan mengamati jemariku. “Cantik kan? Kamu suka nggak?”Kenapa aku jadi deg-degan padahal cuma diminta ngepaskan ukuran saja, berasa akan dilamar. Kan unik juga kalau ngelamarnya disini, rencana beli kado untuk ibunya itu hanya alasan saja. Terus tiba-tiba Mas Satria melamarku di sini, pura-puranya ngepas ukuran cincin padahal mau melamarku. Lalu Mas Satria bilang ‘Will you marry me’ duh … aku harus jawab apa coba.“Yang … kok malah bengong.” Aku kaget saat Mas Satria menyentil uj
Segelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika
“Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita
“Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks
Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka
“Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya
“Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania
“Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti
“Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk
“Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk