Mobil Ayah memasuki sebuah kompleks perumahan yang terlihat sangat elit dimata gadis kampung sepertiku. Kami berhenti di depan rumah yang berukuran besar dengan halaman yang luas dan dipenuhi dengan banyak tanaman, bahkan ada seorang satpam yang membukakan gerbang agar mobil Ayah bisa masuk.
“Kayaknya orang yang namanya Eyang itu kaya banget deh”, pikirku polos.
Aku keluar dan berjalan di samping Ayah untuk masuk ke dalam rumah orang yang bernama Eyang ini, di dalamnya terlihat ada banyak orang dengan penampilan mengesankan dimana hampir semua laki-laki memakai kemeja rapi dan jas serta rata-rata seperti sosialita yang dari ujung kepala memakai barang-barang branded. Aku masih terus memandangi semua orang di dalam rumah ini sampai akhirnya mataku tak sengaja bertatapan dengan seorang perempuan renta yang terduduk di atas kursi roda, perempuan tua itu memakai baju yang menurutku harganya pasti mahal, badannya terlihat kurus namun wajahnya masih terlihat segar dengan garis wajah yang tegas dan tatapan mata yang tajam.
“Jadi dia yang bernama Eyang? Pantesan Ayah mukanya nyeremin, keturunan ternyata”, batinku sembrono di dalam hati.
Ayah berdehem untuk mencoba mendapatkan perhatian semua orang, dan berhasil, semua mata memandang ke arah kami. Mereka semua tersenyum melihat kedatangan Ayah namun entah kenapa aku merasa itu bukan senyum tulus, ada sesuatu yang salah disini.
“Ini Tala, anakku”, ucap Ayah yang membuat hampir semua orang disini memandangiku kaget dan entah hanya perasaanku saja, mereka menatapku dengan tatapan dan senyuman yang aneh. Ayah menyuruhku memperkenalkan diri dan bergabung dengan mereka terutama untuk menemui seseorang yang diperkenalkan sebagai Eyang oleh Ayah kepadaku. Aku bergabung dengan mereka, namun aku tak pernah melepaskan tatapanku dari perempuan renta yang dipanggil Eyang itu. Dari sekian banyak orang hanya dia yang menatapku datar dengan ekspresi yang menurutku aneh, mirip dengan ekspresi Ayah saat pertama kali dia melihatku di Jogja kemarin.
Makan malam kali ini berjalan lancar, banyak orang tua seumuran Ayah yang mengajakku bicara tapi kurasa itu hanyalah sekedar basa-basi yang benar-benar memuakkan. Aku tak menangkap ketulusan apapun di mata mereka, yang kulihat hanyalah mereka mengajakku bicara hanya untuk terlihat “baik” atau karena ada sesuatu yang mereka inginkan namun tak kuketahui.
“Kamu mau kemana Bi?
“Bi, menginaplah disini seperti yang lainnya, sudah lama sekali Mama ga melihatmu. Apa kamu ga kangen sama Mama?”, ucap perempuan renta tadi pada seseorang yang ternyata adalah Ayah. Semua orang menatap Ayah dengan tatapan yang memintanya untuk menetap disini, namun Ayah malah diam dan menoleh untuk menatapku seolah-olah meminta jawaban dariku. Aku menatap Ayah balik dengan dahi yang berkerut karena bingung dan heran.
“Kamu mau nginep disini Ta?”
Aku bingung dan kaget karena Ayah malah bertanya kepadaku. Kalau boleh jujur sebenarnya aku tak ingin berlama-lama disini tapi…
“Tala pasti mau tidur disini Bi, apalagi dia kan baru aja dateng dari Jogja dan baru pertama kali ketemu sama keluarga besar kita, jadi harusnya kalian nginep aja disini aja biar Tala bisa makin akrab sama kita-kita, iyakan Ta?”, ucap tante Ara antusias dan menatapku seolah-olah meyakinkan. Beberapa laki-laki seumuran Ayah yang aku tahu merupakan sepupu dari Ayahpun mendukung perkataan tante Ara seolah-olah aku harus menuruti ucapan mereka dan apabila aku menolak maka aku sudah seperti cucu durhaka yang membuat anak lelaki kesayangan Eyang tak mau menurut padanya. Aku bingung dan aku merasa tak nyaman. Aku menatap Ayah yang ternyata juga sedang menatapku intens, dan entah bisikan malaikat darimana aku menggelengkan kepala tanda aku tak mau disini. Kukira Ayah akan marah karena responku itu, namun ia malah tersenyum kecil. Ia mengatakan kepada semua orang kalau dirinya tak bisa menginap dan aku butuh banyak waktu untuk menyesuaikan diri jadi mereka tak bisa memaksaku. Aku melihat tatapan tak suka dilayangkan oleh orang-orang disini kepadaku karena keputusanku yang sepertinya diluar dugaan mereka, namun ada tatapan lain yang lebih menarik daripada tatapan saudara-saudara Ayah. Perempuan renta yang sekarang kupanggil Eyang itu masih menatapku sama.
06:30
Aku tak tahu setan apa yang membuat diriku mau keluar kamar sepagi ini dan memilih duduk di kursi dapur sambil menopang dagu untuk menyaksikan Ayah memasak sarapan pagi ini yang lagi-lagi adalah nasi goreng kesukaanku. Sepertinya ada yang salah dengan otakku ini makanya aku tidak bisa berpikir jernih sejak semalam. Ada banyak pertanyaan di dalam otak kecilku, bahkan saking banyaknya aku sampai bingung harus menanyakan mulai dari apa dan mana.
“Yahh”
“Ayah”
Ayah berbalik dan menatapku dengan alis yang dinaikkan sebelah seolah-olah bertanya kenapa memanggilnya. Aku terdiam sambil memandangnya cukup lama kemudian menggelengkan kepala tanda tak jadi bicara dan memilih melamun sambil menunggu sarapanku jadi.
Kami sarapan bersama. Aku terus memandangi Ayah yang sedang makan sampai diriku tak sadar kalau aku hanya membolak-balik sarapanku tanpa ada minat untuk memakannya. Ayah yang sepertinya mulai risih karena terus dipandangi olehku mendongak dan menatapku dengan eksresi tak sukanya.
“Apa?”, ketusnya padaku.
Aku tersentak namun hanya terdiam dan menunduk untuk melanjutkan membolak-balik sarapanku. Aku terdiam sejenak kemudian menurunkan tanganku menjadi di pangkuanku.
“Kenapa Ta?”, tanya Ayah kesal.
“Kenapa Ayah baru ke Jogja setelah Ibu pergi, bahkan Ayah baru sampe disana setelah 7 hari Ibu meninggal?”
“Kenapa Ayah ninggalin Tala sama Ibu di kampung?”
“Kenapa Ayah baru bawa Tala kesini?”
“Kenapa Ayah baru kenalin Tala ke keluarga Ayah semalem?”
“Kenapa baru sekarang Yah”
“Kenapa baru sekarang”
Aku bertanya dengan suara menahan tangis dan tangan yang bergetar. Aku memberanikan diri untuk mendongak perlahan untuk melihat bagaimana respon Ayah. Namun, yang kulihat hanyalah sebuah wajah dengan tatapan tajam dan ekspresi datar tanpa rasa bersalah sama sekali, tatapan yang sama sekali bukan harapanku. Hatiku hancur, aku kecewa dan air mataku mulai menetes perlahan. Aku berdiri dengan membanting sendok yang kupegang lalu berjalan cepat menuju kamar meninggalkan Ayah disana sendirian. Hanya ada satu kalimat yang berputar di otakku. Aku benci Ayah.
….
Aku terbangun dari tidurku setelah menangis cukup lama. Perutku berbunyi tanda lapar dan itu menyiksaku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 1 siang.
“Pantes aja aku udah laper banget, orang udah siang banget mana tadi malah ga sarapan lagi, hikss”, pikirku merana.
Aku bangkit dan berjalan sempoyongan ke kamar mandi untuk cuci muka. Setelah dirasa cukup segar aku kembali ke kamar dan duduk di ranjang sambil memikirkan bagaimana caranya keluar dari kamar dan menuju dapur untuk makan tanpa bertemu dengannya. Bukannya apa ya, tapi aku hanya malas saja melihat lelaki tua itu. Wajahnya sangat memuakkan dan aku sangat amat membencinya. Perutku kembali berbunyi dan kali ini rasanya lebih menyiksa daripada yang tadi. Sepertinya magku akan kambuh jika aku tak segera mengisi lambungku dengan makanan. Setelah beberapa saat mempertimbangkan, akhirnya aku memilih keluar dari kamar untuk mencari makanan di dapur.
Aku ke dapur dan mulai mencari makanan yang dapat kumakan di dalam kulkas, naasnya isi kulkas kosong. Benar-benar kosong dan aku meringis prihatin pada diriku sendiri yang sepertinya harus kelaparan. Aku mencoba menuju ke ruang makan dan berharap masih ada sisa sarapan pagi tadi disana yang dapat kumakan dan benar saja di meja makan masih ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi yang terasa masih hangat. Ternyata Tuhan masih sayang kepadaku, buktinya dia masih membiarkan aku hidup dan tak mati kelaparan.
Aku mulai memakan nasi goreng ini yang ternyata rasanya sangat enak, entah rasanya benar-benar seenak itu atau mungkin karena aku sedang kelaparan saja sehingga semua makanan terasa sangat memanjakan lidah dan perutku. Setelah kenyang dan makananku habis tak bersisa otakku kembali bisa diajak berpikir waras, dan setelah berdiam diri beberapa saat aku merasa ada sesuatu yang janggal.
“Bukannya nasi gorengnya udah dari tadi pagi ya, harusnya nasinya udah dingin dong tapi kok tadi masih anget si, terus dia kemana coba kok ga keliatan dari tadi padahal hari ini kan weekend jadi ga mungkin dia kerja kan, terus aku juga udah disini lumayan lama tapi kok dia ga keliatan dimana-mana si. Apa dia di dalem kamar ya? Ishh apa-apaan sih Ta, ngapain juga kamu mikirin orang tua nyebelin kayak dia. Dia aja ga peduli sama anaknya jadi ngapain kamu mikirin orang tua kayak dia, buang-buang waktu aja deh”, batinku dalam hati.
Aku berdiri dari kursi dan berjalan menuju ke dapur untuk mencuci piring dan gelas bekasku hingga mataku tak sengaja melihat ada sesuatu yang tertempel di pintu kulkas bagian atas. Aku meletakkan piring dan gelasku di dekat wastafel kemudian melangkah ke arah kulkas untuk mengetahui apa yang tertempel disana dan ternyata ada sebuah kertas note kecil disana yang ditulis menggunakan kertas yang warnanya mirip dengan warna kulkas ini jadi mungkin tadi aku tak melihatnya karena terlalu sibuk mencari makanan untuk kelangsungan hidupku. Aku mengambil note yang letaknya diatas kepalaku itu agar aku lebih mudah membacanya karena jujur saja tulisannya sangat jelek dan kecil jadi aku kesusahan dalam membacanya. Aku mengambil kertas note itu dan mulai membacanya. Seketika badanku kaku, aku tak percaya dengan apa yang aku baca dan air mata kembali turun di pipi tembamku.
06:30“Ta, cepetan atau kamu telat ke sekolah!”, tegur Ayah kepadaku yang terlalu lama bersiap diri. Oiya, hari ini adalah hari ke sebulan aku pindah ke sekolah baruku ini, tapi meskipun begitu aku belum menemukan teman yang benar-benar cocok dengan diriku. Aku berasal dari kampung sedangkan mereka berasal dari kota jadi mudah ditebak bukan kalau dari segi pergaulan saja kami sudah sangat berbeda, maka dari itu aku kesulitan menemukan teman yang bisa kujadikan sahabat, lagipula mencari teman itu kan memang harus selektif agar tidak membuat kita terbawa arus negatif bukan.“Kamu mau Ayah tinggal Ta?”, ketus Ayah yang sepertinya sudah gemas dengan tingkahku ini. Ya mau bagaimana lagi, semalam aku terlalu seru membaca novel sampai-sampai tak ingat waktu dan aku baru sadar saat jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, alhasil pagi ini akupun bangun kesiangan dan menjadi sasaran omelan Ayah lagi.Aku berlari menuju garasi dan segera masuk ke
Bohong Nyatanya sampai siang hari ini pun aku masih memikirkan perkataan Ayah semalam. "Kira-kira apa maksudnya ya? Ga mungkin Ayah ngomong seserius itu kalo ga ada niat apapun", pikirku. Plakkk.... Aku mendelik menatap Dita yang dengan seenaknya memukul kepalaku, ditambah ekspresi tanpa merasa bersalahnya membuatku makin naik darah saja. "Hehe, sorry lagian lu sih daritadi gua panggil-panggil kagak nyaut, kan gua gedeg jadinya", eluhnya padaku. Aku tak menjawab keluhan Dita tadi karena otakku masih memikirkan perkataan Ayah semalam. Plakkk.... Aku menengok ke arah Dita sambil tersenyum garang. "Lu tuh aneh tau Ta, udah sering ngalamun sendiri pas pelajaran, sukanya nongki di perpus sampe ketiduran, seragam kegedean dan ga modis sama-sekali, kagak make make up, ngomong sama orang lain pake aku kamu lagi, duhh kek orang pacaran. Tapi anehnya lagi kok gua mau-mau aja gitu ya jadi t
“Ayahhh”, teriakku cukup kencang tapi tak ada tanda-tanda Ayah akan keluar dari kamarnya. “Ayah ayoo ihh, ini udah jam berapa. Nanti kalo kesiangan panas”, teriakku lagi, kali ini dengan mengetuk pintu kamarnya cukup kencang, namun tak ada balasan sama sekali. Aku sudah sebal dan langsung membuka kenop pintu kamar Ayah dan pemandangan pertamaku membuat aku terkejut. “Ayahhhh!” “Ayah kok masih tidur sihh, katanya kemarin mau jogging bareng pagi ini, gimana sih?”, omelku sebal karena Ayah masih tidur dan hanya menggeliat seperti cacing yang belum makan saat kutegur. Benar-benar menyebalkan. Ini masih pagi tapi Ayah berhasil membuat moodku menjadi jelek sekarang. “Bangun! Ayo bangun Yahhh”, aku berteriak tepat di telinga Ayah sambil menarik-narik selimut yang sekarang sudah ku lempar ke lantai. Aku memukul-mukul pipi Ayah sambil terus menyuruhnya untuk bangun dan cukup membuahkan hasil karena sekarang setidaknya Ayah sudah membuka matanya. “Ayo b
Flasback...Aku masih menangis karena membaca pesan yang ditulis lelaki tua itu di notes yang ia tempel di kulkas. Hatiku yang lembut ini terharu dengan pengakuan maaf darinya. Aku baru sadar bahwa Ayah bukanlah sosok laki-laki yang mudah menyampaikan apa yang ia rasa. Ia tak mengatakan sayang bukan semata-mata karena ia memang tak sayang, namun ia hanya bingung bagaimana cara menyampaikannya, ia terlalu kaku dan lagi-lagi aku baru menyadarinya. Sejak awal pertemuan kami Ayah memang tak pernah mengucapkan kata maaf ataupun mengatakan bahwa ia menyayangiku, namun selama iggal bersamanya ia selalu memperhatikan akau, menjagaku, dan selalu berusaha membuat putri kecilnya ini tetap merasa nyaman dan tak teringat terus akan kematian sang Ibu. Aku akui aku terlalu naif dan kekanakkan, tadi pagi aku tak memberikan Ayah kesempatan untuk bicara. Aku hanya menyimpulkan sendiri apa yang aku liat dan menjadikan itu landasan bahwa Ayah tak menyayangiku.“Malem ini ak
Aku sudah berniat akan menyelidiki tentang hal yang Ayah sembunyikan. Meskipun begitu, aku tetap bersikap biasa saja di depan Ayah. Aku masih tetap akan menjadi Tala yang agak manja, sedikit cengeng, dan apa adanya di depan Ayah. “Ayah, nanti jangan lupa jemput Tala jam 4 ya, awas aja kalo sampe lupa lagi”, ingatku padanya sambil mengambil tangan kanannya untuk kucium. Setelah aku mengucapkan salam aku keluar dari mobil dan segera melangkah masuk ke dalam sekolah. Hari ini cuacanya sedikit mendung, mungkin nanti siang akan turun hujan. Aku mulai berjalan menuju perpustakaan terlebih dahulu untuk mengembalikan novel yang kupinjam minggu lalu dan meminjam novel lain. Aku sengaja tak masuk ke dalam kelas terlebih dahulu karena posisi perpustakaan ada di lantai bawah sedangkan kelasku ada di lantai 2. Aku tak melakukan hunting novel lagi pagi ini karena diriku sedang tidak mood untuk membaca sesuatu. Aku mulai melangkahkan kakiku masuk ke dalam perpustakaan yan
Ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa dimengerti oleh anak seusiaku, salah satunya tentang kehidupan berkeluarga yang begitu rumit dan kompleks. Jika mereka terlihat mampu mengatasinya dan mengerti, yakinlah hati kecilnya tetap hancur. Disinilah aku sekarang, di kamar yang cukup luas dengan perabotan yang lebih elegan daripada yang ada di kamarku sebelumnya. Kata Ayah karena aku sudah setuju dengan pernikahannya makai malam ini mereka akan mulai merencanakan acara lamaran sehingga aku disuruh menginap disini. Di dalam kamar ini sudah disediakan baju-baju untukku bahkan pakaian dalam juga meskipun tak banyak. Aku terduduk di sudut kamar sendirian sambil tersenyum. Aku ikut berunding mengenai acara lamaran yang akan dilakukan, meskipun disana aku lebih banyak diam dan memperhatikan sambil sesekali mengangguk setuju. Rencananya lamaran kali ini akan dilakukan secara simpel mengingat ini adalah pernikahan kedua dari Ayah dan Tante Dewi. Ngomong-ngomong tenta
Malam ini aku kembali tak bisa tidur, seperti biasanya aku sering memikirkan hal-hal tak penting sebelum tidur yang malah membuatku menjadi lebih sering begadang. Malam ini hujan turun lagi dan entah kenapa melihat hujan membuatku kembali teringat dengan Ibuku yang telah tiada. Aku duduk di atas ranjang dengan menekuk lututku dan menatap ke arah jendela yang sedang menampilkan rintikan hujan yang cukup deras. Sudah hampir 2 bulan aku tinggal di rumah Ayah dan sepertinya sekarang aku mulai merindukan Ibu lagi. Sebenarnya ada beberapa hal yang aku sembunyikan dari Ayah, akhir-akhir ini aku sering memimpikan Ibu, lebih tepatnya sejak pernyataan Ayah yang hendak menikah lagi. Kalau boleh jujur aku sebenarnya belum yakin dengan keputusanku untuk memperbolehkan Ayah menikah lagi, kemarin aku mengatakan setuju hanya semata-mata untuk membuat Ayah bahagia, tapi entah kenapa semakin hari aku malah semakin tak tenang. Ada ketakutan tersendiri dalam diriku, namun aku tak tahu bagaimana cara me
"Aku dan dia tersenyum. Dia tersenyum manis karena akhirnya bisa pulang ke rumah dan aku tersenyum kecut karena dirundung nestapa"Aku mulai bangkit dari kasur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahku yang terlihat mengenaskan karena terlalu banyak menangis. Sudah 7 hari berlalu sejak ia dikuburkan di dalam tanah merah di kuburan desa, namun dadaku masih saja sesak setiap tak sengaja melihat barang-barangnya di rumah kecil ini.Aku membuka kenop pintu kamar perlahan dan melangkah dengan gontai menuju ke ruang tamu yang masih dipenuhi oleh suara para tetangga yang membantuku mengadakan acaramitung dinokematian Ibu.Bukannya tidak ada saudara yang datang hanya saja ibuku adalah anak tunggal sekaligus yatim piatu yang tinggal di salah satu kampung kecil di kaki Gunung Mer
Malam ini aku kembali tak bisa tidur, seperti biasanya aku sering memikirkan hal-hal tak penting sebelum tidur yang malah membuatku menjadi lebih sering begadang. Malam ini hujan turun lagi dan entah kenapa melihat hujan membuatku kembali teringat dengan Ibuku yang telah tiada. Aku duduk di atas ranjang dengan menekuk lututku dan menatap ke arah jendela yang sedang menampilkan rintikan hujan yang cukup deras. Sudah hampir 2 bulan aku tinggal di rumah Ayah dan sepertinya sekarang aku mulai merindukan Ibu lagi. Sebenarnya ada beberapa hal yang aku sembunyikan dari Ayah, akhir-akhir ini aku sering memimpikan Ibu, lebih tepatnya sejak pernyataan Ayah yang hendak menikah lagi. Kalau boleh jujur aku sebenarnya belum yakin dengan keputusanku untuk memperbolehkan Ayah menikah lagi, kemarin aku mengatakan setuju hanya semata-mata untuk membuat Ayah bahagia, tapi entah kenapa semakin hari aku malah semakin tak tenang. Ada ketakutan tersendiri dalam diriku, namun aku tak tahu bagaimana cara me
Ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa dimengerti oleh anak seusiaku, salah satunya tentang kehidupan berkeluarga yang begitu rumit dan kompleks. Jika mereka terlihat mampu mengatasinya dan mengerti, yakinlah hati kecilnya tetap hancur. Disinilah aku sekarang, di kamar yang cukup luas dengan perabotan yang lebih elegan daripada yang ada di kamarku sebelumnya. Kata Ayah karena aku sudah setuju dengan pernikahannya makai malam ini mereka akan mulai merencanakan acara lamaran sehingga aku disuruh menginap disini. Di dalam kamar ini sudah disediakan baju-baju untukku bahkan pakaian dalam juga meskipun tak banyak. Aku terduduk di sudut kamar sendirian sambil tersenyum. Aku ikut berunding mengenai acara lamaran yang akan dilakukan, meskipun disana aku lebih banyak diam dan memperhatikan sambil sesekali mengangguk setuju. Rencananya lamaran kali ini akan dilakukan secara simpel mengingat ini adalah pernikahan kedua dari Ayah dan Tante Dewi. Ngomong-ngomong tenta
Aku sudah berniat akan menyelidiki tentang hal yang Ayah sembunyikan. Meskipun begitu, aku tetap bersikap biasa saja di depan Ayah. Aku masih tetap akan menjadi Tala yang agak manja, sedikit cengeng, dan apa adanya di depan Ayah. “Ayah, nanti jangan lupa jemput Tala jam 4 ya, awas aja kalo sampe lupa lagi”, ingatku padanya sambil mengambil tangan kanannya untuk kucium. Setelah aku mengucapkan salam aku keluar dari mobil dan segera melangkah masuk ke dalam sekolah. Hari ini cuacanya sedikit mendung, mungkin nanti siang akan turun hujan. Aku mulai berjalan menuju perpustakaan terlebih dahulu untuk mengembalikan novel yang kupinjam minggu lalu dan meminjam novel lain. Aku sengaja tak masuk ke dalam kelas terlebih dahulu karena posisi perpustakaan ada di lantai bawah sedangkan kelasku ada di lantai 2. Aku tak melakukan hunting novel lagi pagi ini karena diriku sedang tidak mood untuk membaca sesuatu. Aku mulai melangkahkan kakiku masuk ke dalam perpustakaan yan
Flasback...Aku masih menangis karena membaca pesan yang ditulis lelaki tua itu di notes yang ia tempel di kulkas. Hatiku yang lembut ini terharu dengan pengakuan maaf darinya. Aku baru sadar bahwa Ayah bukanlah sosok laki-laki yang mudah menyampaikan apa yang ia rasa. Ia tak mengatakan sayang bukan semata-mata karena ia memang tak sayang, namun ia hanya bingung bagaimana cara menyampaikannya, ia terlalu kaku dan lagi-lagi aku baru menyadarinya. Sejak awal pertemuan kami Ayah memang tak pernah mengucapkan kata maaf ataupun mengatakan bahwa ia menyayangiku, namun selama iggal bersamanya ia selalu memperhatikan akau, menjagaku, dan selalu berusaha membuat putri kecilnya ini tetap merasa nyaman dan tak teringat terus akan kematian sang Ibu. Aku akui aku terlalu naif dan kekanakkan, tadi pagi aku tak memberikan Ayah kesempatan untuk bicara. Aku hanya menyimpulkan sendiri apa yang aku liat dan menjadikan itu landasan bahwa Ayah tak menyayangiku.“Malem ini ak
“Ayahhh”, teriakku cukup kencang tapi tak ada tanda-tanda Ayah akan keluar dari kamarnya. “Ayah ayoo ihh, ini udah jam berapa. Nanti kalo kesiangan panas”, teriakku lagi, kali ini dengan mengetuk pintu kamarnya cukup kencang, namun tak ada balasan sama sekali. Aku sudah sebal dan langsung membuka kenop pintu kamar Ayah dan pemandangan pertamaku membuat aku terkejut. “Ayahhhh!” “Ayah kok masih tidur sihh, katanya kemarin mau jogging bareng pagi ini, gimana sih?”, omelku sebal karena Ayah masih tidur dan hanya menggeliat seperti cacing yang belum makan saat kutegur. Benar-benar menyebalkan. Ini masih pagi tapi Ayah berhasil membuat moodku menjadi jelek sekarang. “Bangun! Ayo bangun Yahhh”, aku berteriak tepat di telinga Ayah sambil menarik-narik selimut yang sekarang sudah ku lempar ke lantai. Aku memukul-mukul pipi Ayah sambil terus menyuruhnya untuk bangun dan cukup membuahkan hasil karena sekarang setidaknya Ayah sudah membuka matanya. “Ayo b
Bohong Nyatanya sampai siang hari ini pun aku masih memikirkan perkataan Ayah semalam. "Kira-kira apa maksudnya ya? Ga mungkin Ayah ngomong seserius itu kalo ga ada niat apapun", pikirku. Plakkk.... Aku mendelik menatap Dita yang dengan seenaknya memukul kepalaku, ditambah ekspresi tanpa merasa bersalahnya membuatku makin naik darah saja. "Hehe, sorry lagian lu sih daritadi gua panggil-panggil kagak nyaut, kan gua gedeg jadinya", eluhnya padaku. Aku tak menjawab keluhan Dita tadi karena otakku masih memikirkan perkataan Ayah semalam. Plakkk.... Aku menengok ke arah Dita sambil tersenyum garang. "Lu tuh aneh tau Ta, udah sering ngalamun sendiri pas pelajaran, sukanya nongki di perpus sampe ketiduran, seragam kegedean dan ga modis sama-sekali, kagak make make up, ngomong sama orang lain pake aku kamu lagi, duhh kek orang pacaran. Tapi anehnya lagi kok gua mau-mau aja gitu ya jadi t
06:30“Ta, cepetan atau kamu telat ke sekolah!”, tegur Ayah kepadaku yang terlalu lama bersiap diri. Oiya, hari ini adalah hari ke sebulan aku pindah ke sekolah baruku ini, tapi meskipun begitu aku belum menemukan teman yang benar-benar cocok dengan diriku. Aku berasal dari kampung sedangkan mereka berasal dari kota jadi mudah ditebak bukan kalau dari segi pergaulan saja kami sudah sangat berbeda, maka dari itu aku kesulitan menemukan teman yang bisa kujadikan sahabat, lagipula mencari teman itu kan memang harus selektif agar tidak membuat kita terbawa arus negatif bukan.“Kamu mau Ayah tinggal Ta?”, ketus Ayah yang sepertinya sudah gemas dengan tingkahku ini. Ya mau bagaimana lagi, semalam aku terlalu seru membaca novel sampai-sampai tak ingat waktu dan aku baru sadar saat jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, alhasil pagi ini akupun bangun kesiangan dan menjadi sasaran omelan Ayah lagi.Aku berlari menuju garasi dan segera masuk ke
Mobil Ayah memasuki sebuah kompleks perumahan yang terlihat sangat elit dimata gadis kampung sepertiku. Kami berhenti di depan rumah yang berukuran besar dengan halaman yang luas dan dipenuhi dengan banyak tanaman, bahkan ada seorang satpam yang membukakan gerbang agar mobil Ayah bisa masuk.“Kayaknya orang yang namanya Eyang itu kaya banget deh”, pikirku polos.Aku keluar dan berjalan di samping Ayah untuk masuk ke dalam rumah orang yang bernama Eyang ini, di dalamnya terlihat ada banyak orang dengan penampilan mengesankan dimana hampir semua laki-laki memakai kemeja rapi dan jas serta rata-rata seperti sosialita yang dari ujung kepala memakai barang-barang branded. Aku masih terus memandangi semua orang di dalam rumah ini sampai akhirnya mataku tak sengaja bertatapan dengan seorang perempuan renta yang terduduk di atas kursi roda, perempuan tua itu memakai baju yang menurutku harganya pasti mahal, badannya terlihat kurus namun wajahnya masih terl
Aku masih memukuli kepalaku karena malu sendiri dengan pertanyaan dan sikapku semalam. “Aaaaa, mau di taruh dimana mukamu ini Talaaa!”, hardikku pada diriku sendiri. Flashback “Ayah bisa temenin Tala?”, ucapku spontan tanpa kusadari dan tak direspon juga olehnya. Dia hanya menatapku datar dan aku merutuki diriku yang dengan bodohnya mengatakan hal seperti itu. Dia pasti berpikir kalau aku seperti anak kecil yang ketakutan hanya karena suara gemuruh badai dan petir dan akan menolakku dengan suara datarnya itu, tapi dugaanku salah karena nyatanya ia malah berjalan kearahku dengan lilinnya. Ia meletakkan lilin itu di atas meja kecil yang ada di samping ranjangku. Karena suasananya sangat canggung akhirnya aku memilih naik ke ranjang terlebih dahulu untuk tidur lebih awal dengan posisi menghadap tembok dan membelakanginya. Aku sudah cukup malu karena memintanya menemaniku, bahkan jika lampu kamarku hidup pasti mukaku yang sekarang ini sud