Aku masih memukuli kepalaku karena malu sendiri dengan pertanyaan dan sikapku semalam.
“Aaaaa, mau di taruh dimana mukamu ini Talaaa!”, hardikku pada diriku sendiri.
Flashback
“Ayah bisa temenin Tala?”, ucapku spontan tanpa kusadari dan tak direspon juga olehnya.
Dia hanya menatapku datar dan aku merutuki diriku yang dengan bodohnya mengatakan hal seperti itu. Dia pasti berpikir kalau aku seperti anak kecil yang ketakutan hanya karena suara gemuruh badai dan petir dan akan menolakku dengan suara datarnya itu, tapi dugaanku salah karena nyatanya ia malah berjalan kearahku dengan lilinnya.
Ia meletakkan lilin itu di atas meja kecil yang ada di samping ranjangku. Karena suasananya sangat canggung akhirnya aku memilih naik ke ranjang terlebih dahulu untuk tidur lebih awal dengan posisi menghadap tembok dan membelakanginya. Aku sudah cukup malu karena memintanya menemaniku, bahkan jika lampu kamarku hidup pasti mukaku yang sekarang ini sudah terlihat semerah tomat. Aku benar-benar malu.
Sial. Karena terlalu malu dan canggung aku jadi tak bisa tidur. Aku ingin memperbaiki posisi tidurku namun takut mengganggu lelaki tua ini. Aku bingung harus melakukan apa. Lilin yang dibawa Ayah sudah mati sejak tadi tapi mataku masih sulit terpejam. Aku bahkan sudah menghitung domba sampai angka 100 namun naasnya dewa mimpi masih enggan datang kepadaku. Aku cukup frustasi dengan keadaan ini hingga kurasakan ada usapan tangan di kepalaku. Usapannya lembut meskipun tangan ini terasa kasar. Aku membeku dan otakku menjadi buntu.
“Tidur Ta”, suara datarnya yang begitu dalam terdengar layaknya mantra. Usapan tangan dan suaranya membuat semua sarafku berelaksasi dan mataku menjadi terasa berat.
Namun, ada hal yang lebih memalukan daripada meminta Ayah menemaniku tidur atau usapan tangannya di kepalaku. Hal yang lebih memalukan lagi adalah ketika aku terbangun karena suara Ayah yang memanggilku dengan posisi aku memeluknya dengan erat seperti memeluk guling bahkan aku enggan melepaskannya. Aku berani bersumpah bahwa aku melakukannya dalam keadaan yang tidak sadar. Benar-benar tidak sadar. Dalam tidurku aku bermimpi tidur dengan memeluk boneka beruang besar yang aku idam-idamkan dari dulu. Aku tidak tahu kalau ternyata yang kupeluk bukanlah boneka beruang melainkan Ayah. Rasanya aku ingin menangis saja saking malunya. Mau ditaruh dimana mukaku ini jika nanti aku bertemu dengan Ayah. Tadi pagi aku sudah beralasan masih mengantuk agar tidak sarapan dengannya lalu bagaimana dengan nanti malam, apakah aku harus pura-pura tidur agar tidak makan malam bersamanya. Aku tidak mungkin kan terus beralasan hanya untuk menghindarinya.
“Aaaa benar-benar memalukan”, aku frustasi dengan diriku sendiri.
Bukannya aku berlebihan atau apa ya, tapi seperti yang kalian tahu hubunganku dengan Ayah tidak sebaik itu. Kami baru bertemu lagi setelah belasan tahun berpisah dan aku baru hidup seatap dengannya selama semingguan. Bagaimana mungkin aku bisa dengan mudahnya tidur dipelukannya kemarin malam.
16:00
Aku tidak mau lagi memikirkan tentang kejadian kemarin, dan untuk melupakan kejadian memalukan itu aku berencana untuk keluar sebentar. Sekedar berkeliling kompleks untuk menghirup udara segar dan juga untuk mengenal wilayah disini dan juga untuk mencari minimarket terdekat untuk membeli camilan karena aku tahu disini tidak mungkin ada warung seperti halnya di kampungku dulu. Di jalan pulang aku bertanya ke seorang ibu-ibu yang sedang berada di halaman rumahnya agar tidak tersesat karena akua gak lupa dengan jalan yang ku lalui tadi sedangkan ponselku yang kugunakan untuk melihat maps tiba-tiba mati karena sepertinya aku lupa menchargernya lagi setelah semalam listriknya mati. Setelah sedikit berbincang-bincang dengan ibu yang kuketahui bernama Bu Reni ini dan mengetahu jalan untuk pulang aku segera melangkah agar bisa kembali. Bukan apa-apa tapi langit sudah sore ditambah ponselku juga mati, ini jelas bukan pertanda yang baik.
Begitu aku sampai di dekat jalan rumah aku melihat pintu rumah yang terbuka padahal seingatku tadi pintu rumah sudah kukunci sebelum aku pergi. Tanpa babibu aku langsung berlari masuk ke dalamnya karena takut apabila ada maling atau semacamnya yang masuk ke dalam rumah. Namun yang kutemukan bukanlah maling atau penjahat melainkan aku hanya melihat Ayah yang sedang minum air putih sambil mentapku aneh karena terlihat ngos-ngosan dan tampak berantakan.
“Aahh, aku lupa kalau Ayah juga punya kunci rumah ini”, keluhku dalam hati.
“Darimana?”, tanya Ayah.
Karena malu akupun bergegas menuju ke kamar dan melupakan pertanyaan Ayah barusan. Baru saja aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang, terdengar suara pintu yang diketuk dan dibuka. Aku terduduk karena cukup kaget dan pelakunya siapa lagi kalau bukan Ayah.
“Nanti malem jam 8 ikut Ayah makan malem di rumah eyang”.
“Eyang?”, tanyaku bingung.
“Pake baju ini”, ucap Ayah lagi sambil memberikan sebuah totebag kertas kepadaku.
“Emang gapapa kalo Tala ikut?”, aku mengambil totebag yang ia berikan padaku.
Ayah tidak menjawab dan hanya tersenyum kecil lalu berlalu keluar tanpa menutup pintu dan meninggalkan aku yang memandangnya penuh pertanyaan.
19:30
Aku sudah bersiap dan sekarang hanya mondar-mandir di dalam kamar sambil memikirkan seperti apa rupa keluarga Ayah. Jika Ayah saja tampangnya terlihat begitu datar dan kadang sangar lalu bagaimana dengan keluarganya, jangan-jangan aku bisa mati berdiri karena keluarga Ayah yang jauh lebih dingin dan seperti tidak punya hati. Tolong jangan ejek aku, tapi ini wajar bukan kalau aku punya ketakutan tersendiri dengan keluarga Ayah. Kami tidak pernah bertemu, saumpama pernah sekalipun aku juga sudah lupa karena pasti sudah sangat lama, dan entah kenapa feelingku tidak terlalu bagus malam ini. Aku merasa sesuatu yang buruk sedang menungguku disana.
Aku keluar kamar 10 menit sebelum jarum jam menunjukkan angka 8 dan kulihat Ayah belum ada di luar. Sepertinya ia masih di dalam kamarnya.
Toktoktok….
Aku mengetuk pintu kamar Ayah namun tidak terdengar jawaban apapun.
Toktoktok….
Kriettt….
Ayah melongok keluar dengan pintu yang sedikit terbuka dan menatapku dengan dahi yang berkerut seolah bertanya kenapa.
“Kata Ayah jam 8?”
“Kamu duluan ke depan”, suruhnya padaku dan aku mengangguk sebagai jawaban.
Kami menuju rumah seseorang yang Ayah panggil sebagai Eyang menggunakan mobil yang berjalan dengan kecepatan sedang. Di dalam mobil aku berpikir banyak hal, otakku penuh dengan dugaan-dugaan peristiwa yang bisa saja terjadi dalam beberapa jam kedepan.
“Sepertinya akan ada banyak kejutan nanti”, ucapku tanpa sadar.
“Apa?” tanya Ayah.
“Eh, bukan apa-apa Yah”, elakku karena kaget.
Ayah menatapku seolah tak percaya dan itu membuatku agak gugup, aku mulai meremas jariku karena banyak pikiran sekaligus gugup.
“Kenapa Ta? Jangan mikir yang aneh-aneh, keluarga Ayah ga akan gigit kamu kok meskipun kalian udah lama ga pernah ketemu”, ucap Ayah dengan entengnya dan aku cukup kaget dengan perkataan Ayah.
“Darimana Ayah tahu kalau aku lagi mikirin keluarga Ayah dan takut kalau mereka ga baik sama aku?”, tanyaku dalam hati.
“Ga usah bingung Ta, muka kamu udah cukup jelasin ke Ayah kalo kamu lagi gugup dan cemas”, Aku cukup kaget dengan perkataan Ayah barusan, sepertinya aku harus berhati-hati mulai sekarang karena bisa saja Ayah itu cenayang kan.
“Ayah bukan cenayang”, ucapnya lagi yang membuatku semakin percaya akan suatu hal.
“Ayah benar-benar cenayang”, ucapku dalam hati.
Mobil Ayah memasuki sebuah kompleks perumahan yang terlihat sangat elit dimata gadis kampung sepertiku. Kami berhenti di depan rumah yang berukuran besar dengan halaman yang luas dan dipenuhi dengan banyak tanaman, bahkan ada seorang satpam yang membukakan gerbang agar mobil Ayah bisa masuk.“Kayaknya orang yang namanya Eyang itu kaya banget deh”, pikirku polos.Aku keluar dan berjalan di samping Ayah untuk masuk ke dalam rumah orang yang bernama Eyang ini, di dalamnya terlihat ada banyak orang dengan penampilan mengesankan dimana hampir semua laki-laki memakai kemeja rapi dan jas serta rata-rata seperti sosialita yang dari ujung kepala memakai barang-barang branded. Aku masih terus memandangi semua orang di dalam rumah ini sampai akhirnya mataku tak sengaja bertatapan dengan seorang perempuan renta yang terduduk di atas kursi roda, perempuan tua itu memakai baju yang menurutku harganya pasti mahal, badannya terlihat kurus namun wajahnya masih terl
06:30“Ta, cepetan atau kamu telat ke sekolah!”, tegur Ayah kepadaku yang terlalu lama bersiap diri. Oiya, hari ini adalah hari ke sebulan aku pindah ke sekolah baruku ini, tapi meskipun begitu aku belum menemukan teman yang benar-benar cocok dengan diriku. Aku berasal dari kampung sedangkan mereka berasal dari kota jadi mudah ditebak bukan kalau dari segi pergaulan saja kami sudah sangat berbeda, maka dari itu aku kesulitan menemukan teman yang bisa kujadikan sahabat, lagipula mencari teman itu kan memang harus selektif agar tidak membuat kita terbawa arus negatif bukan.“Kamu mau Ayah tinggal Ta?”, ketus Ayah yang sepertinya sudah gemas dengan tingkahku ini. Ya mau bagaimana lagi, semalam aku terlalu seru membaca novel sampai-sampai tak ingat waktu dan aku baru sadar saat jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, alhasil pagi ini akupun bangun kesiangan dan menjadi sasaran omelan Ayah lagi.Aku berlari menuju garasi dan segera masuk ke
Bohong Nyatanya sampai siang hari ini pun aku masih memikirkan perkataan Ayah semalam. "Kira-kira apa maksudnya ya? Ga mungkin Ayah ngomong seserius itu kalo ga ada niat apapun", pikirku. Plakkk.... Aku mendelik menatap Dita yang dengan seenaknya memukul kepalaku, ditambah ekspresi tanpa merasa bersalahnya membuatku makin naik darah saja. "Hehe, sorry lagian lu sih daritadi gua panggil-panggil kagak nyaut, kan gua gedeg jadinya", eluhnya padaku. Aku tak menjawab keluhan Dita tadi karena otakku masih memikirkan perkataan Ayah semalam. Plakkk.... Aku menengok ke arah Dita sambil tersenyum garang. "Lu tuh aneh tau Ta, udah sering ngalamun sendiri pas pelajaran, sukanya nongki di perpus sampe ketiduran, seragam kegedean dan ga modis sama-sekali, kagak make make up, ngomong sama orang lain pake aku kamu lagi, duhh kek orang pacaran. Tapi anehnya lagi kok gua mau-mau aja gitu ya jadi t
“Ayahhh”, teriakku cukup kencang tapi tak ada tanda-tanda Ayah akan keluar dari kamarnya. “Ayah ayoo ihh, ini udah jam berapa. Nanti kalo kesiangan panas”, teriakku lagi, kali ini dengan mengetuk pintu kamarnya cukup kencang, namun tak ada balasan sama sekali. Aku sudah sebal dan langsung membuka kenop pintu kamar Ayah dan pemandangan pertamaku membuat aku terkejut. “Ayahhhh!” “Ayah kok masih tidur sihh, katanya kemarin mau jogging bareng pagi ini, gimana sih?”, omelku sebal karena Ayah masih tidur dan hanya menggeliat seperti cacing yang belum makan saat kutegur. Benar-benar menyebalkan. Ini masih pagi tapi Ayah berhasil membuat moodku menjadi jelek sekarang. “Bangun! Ayo bangun Yahhh”, aku berteriak tepat di telinga Ayah sambil menarik-narik selimut yang sekarang sudah ku lempar ke lantai. Aku memukul-mukul pipi Ayah sambil terus menyuruhnya untuk bangun dan cukup membuahkan hasil karena sekarang setidaknya Ayah sudah membuka matanya. “Ayo b
Flasback...Aku masih menangis karena membaca pesan yang ditulis lelaki tua itu di notes yang ia tempel di kulkas. Hatiku yang lembut ini terharu dengan pengakuan maaf darinya. Aku baru sadar bahwa Ayah bukanlah sosok laki-laki yang mudah menyampaikan apa yang ia rasa. Ia tak mengatakan sayang bukan semata-mata karena ia memang tak sayang, namun ia hanya bingung bagaimana cara menyampaikannya, ia terlalu kaku dan lagi-lagi aku baru menyadarinya. Sejak awal pertemuan kami Ayah memang tak pernah mengucapkan kata maaf ataupun mengatakan bahwa ia menyayangiku, namun selama iggal bersamanya ia selalu memperhatikan akau, menjagaku, dan selalu berusaha membuat putri kecilnya ini tetap merasa nyaman dan tak teringat terus akan kematian sang Ibu. Aku akui aku terlalu naif dan kekanakkan, tadi pagi aku tak memberikan Ayah kesempatan untuk bicara. Aku hanya menyimpulkan sendiri apa yang aku liat dan menjadikan itu landasan bahwa Ayah tak menyayangiku.“Malem ini ak
Aku sudah berniat akan menyelidiki tentang hal yang Ayah sembunyikan. Meskipun begitu, aku tetap bersikap biasa saja di depan Ayah. Aku masih tetap akan menjadi Tala yang agak manja, sedikit cengeng, dan apa adanya di depan Ayah. “Ayah, nanti jangan lupa jemput Tala jam 4 ya, awas aja kalo sampe lupa lagi”, ingatku padanya sambil mengambil tangan kanannya untuk kucium. Setelah aku mengucapkan salam aku keluar dari mobil dan segera melangkah masuk ke dalam sekolah. Hari ini cuacanya sedikit mendung, mungkin nanti siang akan turun hujan. Aku mulai berjalan menuju perpustakaan terlebih dahulu untuk mengembalikan novel yang kupinjam minggu lalu dan meminjam novel lain. Aku sengaja tak masuk ke dalam kelas terlebih dahulu karena posisi perpustakaan ada di lantai bawah sedangkan kelasku ada di lantai 2. Aku tak melakukan hunting novel lagi pagi ini karena diriku sedang tidak mood untuk membaca sesuatu. Aku mulai melangkahkan kakiku masuk ke dalam perpustakaan yan
Ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa dimengerti oleh anak seusiaku, salah satunya tentang kehidupan berkeluarga yang begitu rumit dan kompleks. Jika mereka terlihat mampu mengatasinya dan mengerti, yakinlah hati kecilnya tetap hancur. Disinilah aku sekarang, di kamar yang cukup luas dengan perabotan yang lebih elegan daripada yang ada di kamarku sebelumnya. Kata Ayah karena aku sudah setuju dengan pernikahannya makai malam ini mereka akan mulai merencanakan acara lamaran sehingga aku disuruh menginap disini. Di dalam kamar ini sudah disediakan baju-baju untukku bahkan pakaian dalam juga meskipun tak banyak. Aku terduduk di sudut kamar sendirian sambil tersenyum. Aku ikut berunding mengenai acara lamaran yang akan dilakukan, meskipun disana aku lebih banyak diam dan memperhatikan sambil sesekali mengangguk setuju. Rencananya lamaran kali ini akan dilakukan secara simpel mengingat ini adalah pernikahan kedua dari Ayah dan Tante Dewi. Ngomong-ngomong tenta
Malam ini aku kembali tak bisa tidur, seperti biasanya aku sering memikirkan hal-hal tak penting sebelum tidur yang malah membuatku menjadi lebih sering begadang. Malam ini hujan turun lagi dan entah kenapa melihat hujan membuatku kembali teringat dengan Ibuku yang telah tiada. Aku duduk di atas ranjang dengan menekuk lututku dan menatap ke arah jendela yang sedang menampilkan rintikan hujan yang cukup deras. Sudah hampir 2 bulan aku tinggal di rumah Ayah dan sepertinya sekarang aku mulai merindukan Ibu lagi. Sebenarnya ada beberapa hal yang aku sembunyikan dari Ayah, akhir-akhir ini aku sering memimpikan Ibu, lebih tepatnya sejak pernyataan Ayah yang hendak menikah lagi. Kalau boleh jujur aku sebenarnya belum yakin dengan keputusanku untuk memperbolehkan Ayah menikah lagi, kemarin aku mengatakan setuju hanya semata-mata untuk membuat Ayah bahagia, tapi entah kenapa semakin hari aku malah semakin tak tenang. Ada ketakutan tersendiri dalam diriku, namun aku tak tahu bagaimana cara me
Malam ini aku kembali tak bisa tidur, seperti biasanya aku sering memikirkan hal-hal tak penting sebelum tidur yang malah membuatku menjadi lebih sering begadang. Malam ini hujan turun lagi dan entah kenapa melihat hujan membuatku kembali teringat dengan Ibuku yang telah tiada. Aku duduk di atas ranjang dengan menekuk lututku dan menatap ke arah jendela yang sedang menampilkan rintikan hujan yang cukup deras. Sudah hampir 2 bulan aku tinggal di rumah Ayah dan sepertinya sekarang aku mulai merindukan Ibu lagi. Sebenarnya ada beberapa hal yang aku sembunyikan dari Ayah, akhir-akhir ini aku sering memimpikan Ibu, lebih tepatnya sejak pernyataan Ayah yang hendak menikah lagi. Kalau boleh jujur aku sebenarnya belum yakin dengan keputusanku untuk memperbolehkan Ayah menikah lagi, kemarin aku mengatakan setuju hanya semata-mata untuk membuat Ayah bahagia, tapi entah kenapa semakin hari aku malah semakin tak tenang. Ada ketakutan tersendiri dalam diriku, namun aku tak tahu bagaimana cara me
Ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa dimengerti oleh anak seusiaku, salah satunya tentang kehidupan berkeluarga yang begitu rumit dan kompleks. Jika mereka terlihat mampu mengatasinya dan mengerti, yakinlah hati kecilnya tetap hancur. Disinilah aku sekarang, di kamar yang cukup luas dengan perabotan yang lebih elegan daripada yang ada di kamarku sebelumnya. Kata Ayah karena aku sudah setuju dengan pernikahannya makai malam ini mereka akan mulai merencanakan acara lamaran sehingga aku disuruh menginap disini. Di dalam kamar ini sudah disediakan baju-baju untukku bahkan pakaian dalam juga meskipun tak banyak. Aku terduduk di sudut kamar sendirian sambil tersenyum. Aku ikut berunding mengenai acara lamaran yang akan dilakukan, meskipun disana aku lebih banyak diam dan memperhatikan sambil sesekali mengangguk setuju. Rencananya lamaran kali ini akan dilakukan secara simpel mengingat ini adalah pernikahan kedua dari Ayah dan Tante Dewi. Ngomong-ngomong tenta
Aku sudah berniat akan menyelidiki tentang hal yang Ayah sembunyikan. Meskipun begitu, aku tetap bersikap biasa saja di depan Ayah. Aku masih tetap akan menjadi Tala yang agak manja, sedikit cengeng, dan apa adanya di depan Ayah. “Ayah, nanti jangan lupa jemput Tala jam 4 ya, awas aja kalo sampe lupa lagi”, ingatku padanya sambil mengambil tangan kanannya untuk kucium. Setelah aku mengucapkan salam aku keluar dari mobil dan segera melangkah masuk ke dalam sekolah. Hari ini cuacanya sedikit mendung, mungkin nanti siang akan turun hujan. Aku mulai berjalan menuju perpustakaan terlebih dahulu untuk mengembalikan novel yang kupinjam minggu lalu dan meminjam novel lain. Aku sengaja tak masuk ke dalam kelas terlebih dahulu karena posisi perpustakaan ada di lantai bawah sedangkan kelasku ada di lantai 2. Aku tak melakukan hunting novel lagi pagi ini karena diriku sedang tidak mood untuk membaca sesuatu. Aku mulai melangkahkan kakiku masuk ke dalam perpustakaan yan
Flasback...Aku masih menangis karena membaca pesan yang ditulis lelaki tua itu di notes yang ia tempel di kulkas. Hatiku yang lembut ini terharu dengan pengakuan maaf darinya. Aku baru sadar bahwa Ayah bukanlah sosok laki-laki yang mudah menyampaikan apa yang ia rasa. Ia tak mengatakan sayang bukan semata-mata karena ia memang tak sayang, namun ia hanya bingung bagaimana cara menyampaikannya, ia terlalu kaku dan lagi-lagi aku baru menyadarinya. Sejak awal pertemuan kami Ayah memang tak pernah mengucapkan kata maaf ataupun mengatakan bahwa ia menyayangiku, namun selama iggal bersamanya ia selalu memperhatikan akau, menjagaku, dan selalu berusaha membuat putri kecilnya ini tetap merasa nyaman dan tak teringat terus akan kematian sang Ibu. Aku akui aku terlalu naif dan kekanakkan, tadi pagi aku tak memberikan Ayah kesempatan untuk bicara. Aku hanya menyimpulkan sendiri apa yang aku liat dan menjadikan itu landasan bahwa Ayah tak menyayangiku.“Malem ini ak
“Ayahhh”, teriakku cukup kencang tapi tak ada tanda-tanda Ayah akan keluar dari kamarnya. “Ayah ayoo ihh, ini udah jam berapa. Nanti kalo kesiangan panas”, teriakku lagi, kali ini dengan mengetuk pintu kamarnya cukup kencang, namun tak ada balasan sama sekali. Aku sudah sebal dan langsung membuka kenop pintu kamar Ayah dan pemandangan pertamaku membuat aku terkejut. “Ayahhhh!” “Ayah kok masih tidur sihh, katanya kemarin mau jogging bareng pagi ini, gimana sih?”, omelku sebal karena Ayah masih tidur dan hanya menggeliat seperti cacing yang belum makan saat kutegur. Benar-benar menyebalkan. Ini masih pagi tapi Ayah berhasil membuat moodku menjadi jelek sekarang. “Bangun! Ayo bangun Yahhh”, aku berteriak tepat di telinga Ayah sambil menarik-narik selimut yang sekarang sudah ku lempar ke lantai. Aku memukul-mukul pipi Ayah sambil terus menyuruhnya untuk bangun dan cukup membuahkan hasil karena sekarang setidaknya Ayah sudah membuka matanya. “Ayo b
Bohong Nyatanya sampai siang hari ini pun aku masih memikirkan perkataan Ayah semalam. "Kira-kira apa maksudnya ya? Ga mungkin Ayah ngomong seserius itu kalo ga ada niat apapun", pikirku. Plakkk.... Aku mendelik menatap Dita yang dengan seenaknya memukul kepalaku, ditambah ekspresi tanpa merasa bersalahnya membuatku makin naik darah saja. "Hehe, sorry lagian lu sih daritadi gua panggil-panggil kagak nyaut, kan gua gedeg jadinya", eluhnya padaku. Aku tak menjawab keluhan Dita tadi karena otakku masih memikirkan perkataan Ayah semalam. Plakkk.... Aku menengok ke arah Dita sambil tersenyum garang. "Lu tuh aneh tau Ta, udah sering ngalamun sendiri pas pelajaran, sukanya nongki di perpus sampe ketiduran, seragam kegedean dan ga modis sama-sekali, kagak make make up, ngomong sama orang lain pake aku kamu lagi, duhh kek orang pacaran. Tapi anehnya lagi kok gua mau-mau aja gitu ya jadi t
06:30“Ta, cepetan atau kamu telat ke sekolah!”, tegur Ayah kepadaku yang terlalu lama bersiap diri. Oiya, hari ini adalah hari ke sebulan aku pindah ke sekolah baruku ini, tapi meskipun begitu aku belum menemukan teman yang benar-benar cocok dengan diriku. Aku berasal dari kampung sedangkan mereka berasal dari kota jadi mudah ditebak bukan kalau dari segi pergaulan saja kami sudah sangat berbeda, maka dari itu aku kesulitan menemukan teman yang bisa kujadikan sahabat, lagipula mencari teman itu kan memang harus selektif agar tidak membuat kita terbawa arus negatif bukan.“Kamu mau Ayah tinggal Ta?”, ketus Ayah yang sepertinya sudah gemas dengan tingkahku ini. Ya mau bagaimana lagi, semalam aku terlalu seru membaca novel sampai-sampai tak ingat waktu dan aku baru sadar saat jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, alhasil pagi ini akupun bangun kesiangan dan menjadi sasaran omelan Ayah lagi.Aku berlari menuju garasi dan segera masuk ke
Mobil Ayah memasuki sebuah kompleks perumahan yang terlihat sangat elit dimata gadis kampung sepertiku. Kami berhenti di depan rumah yang berukuran besar dengan halaman yang luas dan dipenuhi dengan banyak tanaman, bahkan ada seorang satpam yang membukakan gerbang agar mobil Ayah bisa masuk.“Kayaknya orang yang namanya Eyang itu kaya banget deh”, pikirku polos.Aku keluar dan berjalan di samping Ayah untuk masuk ke dalam rumah orang yang bernama Eyang ini, di dalamnya terlihat ada banyak orang dengan penampilan mengesankan dimana hampir semua laki-laki memakai kemeja rapi dan jas serta rata-rata seperti sosialita yang dari ujung kepala memakai barang-barang branded. Aku masih terus memandangi semua orang di dalam rumah ini sampai akhirnya mataku tak sengaja bertatapan dengan seorang perempuan renta yang terduduk di atas kursi roda, perempuan tua itu memakai baju yang menurutku harganya pasti mahal, badannya terlihat kurus namun wajahnya masih terl
Aku masih memukuli kepalaku karena malu sendiri dengan pertanyaan dan sikapku semalam. “Aaaaa, mau di taruh dimana mukamu ini Talaaa!”, hardikku pada diriku sendiri. Flashback “Ayah bisa temenin Tala?”, ucapku spontan tanpa kusadari dan tak direspon juga olehnya. Dia hanya menatapku datar dan aku merutuki diriku yang dengan bodohnya mengatakan hal seperti itu. Dia pasti berpikir kalau aku seperti anak kecil yang ketakutan hanya karena suara gemuruh badai dan petir dan akan menolakku dengan suara datarnya itu, tapi dugaanku salah karena nyatanya ia malah berjalan kearahku dengan lilinnya. Ia meletakkan lilin itu di atas meja kecil yang ada di samping ranjangku. Karena suasananya sangat canggung akhirnya aku memilih naik ke ranjang terlebih dahulu untuk tidur lebih awal dengan posisi menghadap tembok dan membelakanginya. Aku sudah cukup malu karena memintanya menemaniku, bahkan jika lampu kamarku hidup pasti mukaku yang sekarang ini sud