Sukesih berlari dan langsung menghambur memelu begitu melihat Mbayang berdiri seorang diri membelah kayu. Sudah beberapa hari saat kekacauan di padepokan terjadi, dia tidak punya kesempatan bertemu dengan Mbayang dan rindu itu pecah sudah. Gadis bertubuh sintal itu pun menenggelamkan wajahnya pada dada bidang lelaki yang dia cintai itu, tanpa ada rasa malu atau canggung, terlebih berita tentang Mbayang yang akan pergi meninggalkan padepokan membuat Sukesih makin tidak bisa mengendalikan dirinya.“Sukesih... tolong jangan seperti ini, bila ada yang melihat, kita berdua akan terkena masalah!” Mbayang perlahan melepas pelukan Sukesih. Matanya celinguan mengamati sekitar takut ada melihat.“Kang... aku takut sekali, hiks.. hiks,” jawab Sukesih mendongakkan kepala menatap wajah Mbayang yang memang lebih tinggi darinya.“Takut kenapa?” jawab Mbayang sambil mengelus-elus bahu Sukesih.“Kata Iyem dan Bondan, kau akan ikut pergi ke kota raja? Jangan pergi kang...”Sukesih kembali memeluk era
Sebagai ketua padepokan, Permana buru-buru menjelaskan tentang alasan Mbayang dan Sukesih dicurigai sebagai kaki tangan pengacau karena memang mereka berdua tidak ada di padepokan di malam dimana Begawan Wirasena tewas. Pangeran Gardapati pun kemudian memeriksa mayat sang Begawan disertai dengan beberapa orang pengikutnya. Pangeran Gardapati mengeryitkan kening saat seorang anak buahnya membisikkan sesuatu padanya. “Kau yakin?” “Hamba sangat yakin pangeran!” “Ya sudah, kau pergi dulu. aku harus bicara dengan para pemimpin padepokan ini.” Pangeran Gardapati lalu berjalan menuju aula padepokan. Di sana sudah ada Mbayang, sukesih dan para tokoh-tokoh utama padepokan. Diantaranya, Cakraraya, Gendis dan Bimantara. Nyi Dewi juga ikut menyambut kedatangan Pangeran yang terkenal sakti mandraguna itu. “Aku hanya kebetulan lewat, mengunjungi Mbayang, sama sekali tak ada niatan untuk membelanya. Ceritakan, apa kau benar-benar terlibat atau tidak! Bila memang terbukti, aku sendiri yang aka
“Mbayang… jauhi Sukesih,”Suara itu sayup-sayup kembali terdengar, saat malam tiba. Membuat Mbayang jadi bingung sendiri antara yakin dengan suara itu atau hanya khayalannya saja. Dia jadi kembali teringat kalau awal dari rusaknya hubungan dengan Sukesih juga gara-gara terpengaruh bisikan seperti ini.“Ini pasti tidak nyata!”Mbayang mencoba menyadarkan dirinya lalu kembali tidur.keesokan harinya, Mbayang berusaha memperbaiki hubungannya dengan Sukesih. Dia mendatangi dapur, tempat latihan silat mencari-cari kesempatan untuk bicara, tapi Sukesih terus menghindar. Saat dia membelah kayu atau sedang menggarap ladang pun Sukesih tidak lagi mengantarkan makanan untuknya. Tentu hal itu membuat Mbayang makin penasaran. Dia bertekad untuk menemui Sukesih dan menyelesaikan masalah mereka bagaimanapun caranya.Mbayang pun menunggu Sukesih berlatih silat dengan murid-murid perempuan. Begitu Sukesih selesai berlatih, Mbayang langsung menghampirinya.“Kesih, kita harus bicara!”Sukesih pura-pura
Gelap malam menghalangi pandangan mata Mbayang, dia menajamkan penglihatan berusaha mengawasi sekitar. Sinar bulan menerangi remang-remang, hingga terlihat kabut tipis menampakkan sosok bayangan hitam beberapa tombak dari tempat Mbayang berdiri.Mbayang berjalan mendekati sosok bayangan hitam yang samar terlihat. Dia melangkah pelan karena sulit melihat dengan jelas. Mbayang mengusap-usap matanya, berusaha memastikan sosok yang dia lihat adalah bayangan manusia, bukan hewan atau pepohonan.“Siapa kau!” teriak Mbayang sambil melangkah perlahan mendekat dengan sikap siaga menembus gelap malam.Mbayang tiba-tiba merasakan desiran angin yang menyebarkan hawa dingin yang menaikkan bulu kuduk. Dia sempat berpikir jangan-jangan bayangan hitam itu adalah jelmaan dari siluman atau sejenisnya. Semua pikiran itu segera dia buang jauh, meskli belum menjadi pendekar pedang yang mumpuni, Mbayang merasa sudah punya cukup dasar ilmu untuk bertarung, sesuatu yang membuatnya menjadi berani.“Mbayang...
Bondan dan Mbayang berhasil menyelinap keluar padepokan. Mereka berdua mengendap-endap keluar padepokan pada temgah malam saat para petugas jaga terlelap. Mereka membawa benda-benda yang diperlukkan untuk melakukan ritual demi mengetahui bisikan ghaib yang selama ini terdengar oleh Mbayang.“Kau yakin, cara ini akan berhasil?” tanya Mbayang saat sudah sampai di belakang padepokan, tempat yang sepi dan aman untuk melakukan ritual. Mbayang sendiri mulai ragu, ritual yang akan dia lakukan benar-benar membuahkan hasil.Bondan tidak menjawab pertanyaan Mbayang, dia masih sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan upacara.“krukkk krrruk!”Suara binatang malam terdengar bersahutan dengan suara ranting-ranting pohon yang tertiup angin. Ini adalah malam purnama malam yang dipercaya menjadi tempat para siluman dan iblis menyalin rupa menjadi binatang-binatang malam untuk mengintai manusia. Meski suasana malam dingin membuat merinding bulu roman, Mbayang dan Bondan sama sekali tidak mer
Krrruk krrrukSuara binatang malam kembali bersahutan. Mbayang pun mencoba menyapa Sukesih yang secara tiba-tiba muncul.“Sukesih…”Gadis kembang padepokan segaran itu menunduk diam, tidak menanggapi panggilan dari Mbayang, hubungan mereka belum membaik gara-gara suara misterius itu. Mbayang mencoba mendekati tapi Sukesih malah menghindar.“Apa yang kau lakukan di sini!” Sukesih malah berjalan mendekati Bondan yang sudah minggir, seolah-olah tidak ada Mbayang diantara mereka.“Hah!” Bondan menoleh kaget. Dia lalu melirik Mbayang, meski terhalang gelap malam, Bondan bisa melihat wajah kesal Mbayang dianggap tidak ada oleh Sukesih. Berada diantara dua pasangan yang sedang bertengkar, benar-benar membuat Bondan jadi serba salah.“Jawab pertanyaanku, sedang apa kalian disini?” Sukesih mengulang pertanyaannya.Bondan kembali melirik Mbayang, lelaki itu kemudian memberi isyarat agar Bondan bercerita pada Sukesih tentang apa yang mereka lakukan. Bondan yang menangkap isyarat itu pun mulai bi
Meski matanya terasa berat sekali, Mbayang dan Bondan harus bangun pagi untuk latihan sampai siang lalu dilanjutkan dengan membelah kayu di bukit. Semalaman Mbayang tidak tidur, tubuhnya lelah sekali. Ritual yang dia lakukan semalam memang tidak berhasil mengetahui siapa gerangan sosok bayangan hitam yang membisikkan suara-suara aneh padanya. Tapi berkat ritual itu, bisikan-bisikan ghaib itu menghilang. Kini, dia harus bergegas menyelesaikan tugasnya membelah kayu agar segera bisa beristirahat.“Prraak!”Kayu yang dihamtam kampak itu terbelah. Sambil mengusap peluhnya, Mbayang melempar kampak lalu mengumpulkan kayu-kayu kering lalu mengikatnya. Meski kini semua orang tahu kalau dia adalah kenalan pangeran Gardapati, perlakuan Jalasanda padanya masih tetap sama. Tugas-tugas yang harus dia kerjakan sama sekali tidak berkurang, dia tetap harus menyiapkan kayu, pergi ke ladang dan membantu di dapur. murid-murid lain memang lebih senang belajar silat dan enggan melakukan kegiatan-kegiatan
“Teja… kau lawan Mbayang!” putus Jalasanda saat sedang melakukan latihan bersama. Semua murid langsung duduk bersila membentuk lingkaran begitu Jalasanda memutuskan Teja yang akan menjadi lawan tanding Mbayang. Jalasanda tersenyum licik membayangkan Mbayang akan babak belur dihajar Teja, murid padepokan yang lebih lama belajar silat. Dia sebenarnya ingin langsung menghajar Mbayang dengan tangannya sendiri, kerana cemburu pada keakraban Mbayang dan Sukesih. Hubungan Mbayang dan Sukesih memang sudah terendus olehnya. Tapi, dia harus menahan diri karena Permana mencegahnya untuk berbuat sesuatu pada Mbayang yang merupakan kenalan dari pangeran Gardapati. Jalasanda pun memanfaatkan tangan orang lain untuk memberi pelajaran ada Mbayang. “Ha ha, bersiaplah Mbayang, aku tidak akan sungkan!” Teja tersenyum berjalan mendekati Mbayang. Murid-murid yang menonton bersorak-sorai. Hampir semua menjagokan Teja yang memang terkenal kuat dan sulit di kalahkan. Beberapa tombak dari tempat Mbayang dan