"Mbak Sintya serius mau bantu aku? Bukannya akan lebih bahaya berada di pihakku?" Julian memandang Sintya, dia mau memastikan jangan sampai Sintya diselundupkan Darma. Wanita itu berpura-pura menyesal tapi sebenarnya ada misi khusus yang dia bawa dari Darma."Aku paling ga mau berurusan dengan polisi. Biarpun jadi saksi saja, kesannya udah bermasalah sama yang berwajib. Ga mau aku. Mana ibuku lemah jantung. Dengar aku urusan polisi, bisa bikin dia shock." Sintya menatap dengan wajah bingung dan cemas. Julian mulai yakin, Sintya memang serius pindah haluan dan bersedia menentang Darma."Oke. Aku mau Mbak Sintya jujur sama aku, apa saja yang Mbak Sintya tahu soal Darma. Siapa tahu, itu berguna nanti buat aku dan Wenny." Julian akan mengorek apa saja, informasi tentang Darma yang mungkin akan menjadi senjata untuk mengalahkan pengacara itu jika benar dia jadi melakukan laporan ke pihak yang berwajib."Oke. Tanya apa saja, aku akan jawab." Sintya bertekad akan membantu Julian. Dia akan me
Astri menggigit bibirnya. Dia tidak menduga, sang ayah yang awalnya begitu membanggakan Darma bisa bersikap sebaliknya. Andika membenci Darma, karena dia penuh intrik dan manipulatif. "Papa, bukan begitu. Aku ga mau membuat papa repot. Papa mesti fokus sama mama. Aku dan Julian akan mengurus semuanya." Astri menenangkan Andika. Memang Astri tidak mau papanya ikut terlibat. Akan semakin melebar dan riuh, jika emosi pria itu memuncak."Mana bisa aku diam saja. Semua ini terjadi karena aku yang memulai, Astri. Andai aku tidak memaksa kamu berkenalan dengan Darma. Andai aku tidak bertingkah seperti orang dikejar utang karena mau kamu segera menikah." Andika menyesali apa yang telah terjadi.Dada Astri naik turun karena rasa tegang dibaremgi resah. Dia tidak mau Andika sampai ikut ribut. Bagaimana caranya Astri meyakinkan ayahnya, jika dia tidak perlu turun tangan."Aku akan menebus kecerobohanku dengan memastikan putriku akan aman. Sampai kamu dan Julian menikah, tidak ada gangguan apapun
Setiap kalimat yang Damira kirim di chat membuat Astri melotot lebar. Apa yang adiknya ungkapkan itu membuat Astri bingung. Apa yang ada di kepala Damira? Jangan dia asal emosi lalu bertindak yang hanya akan menjebak diri sendiri.Astri menelpon Damira cepat. Lebih baik bicara langsung daripada membalas chat belum tentu dipahami dengan benar."Kamu jangan asal bicara. Kita berhadapan dengan Darma, Mira. Pengacara mulai ternama. Pria culas dan licik." Astri bicara dengan tegas."Pria ga tahu diri dan ga tahu malu itu?! Ah, Kakak, percaya sama aku, kita bisa membuat nyalinya ciut!" Damira masih ngotot. Nada suaranya bukan merendah tapi makin naik."Kamu seyakin itu? Emang kamu mau ngapain?" Astri kesal sekali. Damira begitu pede kalau dia bisa dengan mudah mengatasi Darma."Justru ini yang aku tunggu, Kakakku yang cantik!" Suara Damira belum mengecil. Nada tinggi juga belum merendah. "Lupa, apa yang aku temukan dengan Davin, siapa Darma itu sebenarnya?" Astri mengerutkan kening. Tiba-ti
"Sekarang, Kak?!" Damira menatap kakaknya, memastikan Astri langsung mau memberikan bukti rahasia Darma. "Aku akan kirim satu yang paling jelas dan tidak akan mungkin dia tolak atau ingkari." Astri berkata ganti meyakinkan adiknya. "Lebih cepat selesai akan lebih baik, bukan?""Kurasa Kak Astri benar, Mira. Kita akan lihat apa reaksi Darma setelah mendapat bukti itu." Davin mendukung Astri."Oke. Let's check. Yang mana yang Kakak mau kirim?" Damira membuka file bukti di laptopnya. Di tunjukkan gambar-gambar yang tersimpan di sana. Astri mencermati lalu dia menunjuk satu foto. Damira mengirim satu gambar yang membuat dia bergidik pada Astri."Moga dengan melihat itu, Darma ga akan macam-macam." Damira meng-klik dan terkirim sudah gambar ke ponsel Astri.Segera Astri mengirim ulang pada Darma. Tidak lama pria itu menghubungi Astri lagi."Kamu jangan macam-macam, Astrina. Itu foto rekayasa! Aku bisa tuntut kamu!" Darma berkata dengan empsi tinggi. Dia pasti tidak menduga apa yang Astri
Julian menegakkan punggungnya begitu mendengar Wenny bertanya dengan cemas."Ini dari polisi, kan, Kak? Kenapa Kak Juan ga kasih tahu aku?" Suara cemas Wenny makin terasa.Julian kaget karena Wenny bisa menemukan surat itu. Berarti Wenny lancang mencari-cari sesuatu di kamarnya. Julian menyimpan surat itu di folder dan tersusun rapi. Dia pastikan sebelum Wenny tahu, dia sudah bisa mengambil langkah lebih dulu mengatasi semuanya."Wenny, tunggu aku pulang. Kita bicara nanti. Oke? Keep calm. I will be back home as soon as possible. (Tenanglah. Aku akan pulang secepatnya)" kata Julian. Dia harus cepat pulang. Jangan sampai Wenny meledak-ledak sendirian. Bisa saja dia bertingkah tidak seharusnya. Rencana berubah lagi. Awalnya, setelah pembicaraan itu, Julian dan Astri akan ke rumah keluarga Kamajaya, bertemu Titi. Julian ingin menengok ibu Astri. Tetapi mau tidak mau Julian harus memutar haluan. Sedang Astri, sesuai rencana semula, dia pulang bersama Davin dan Damira. "Kenapa Kak Juan ga
"Juan? Ya Tuhan, kamu ..." Pria itu membalas tatapan Julian dengan wajah memerah. Dia maju lagi, mendekat pada Julian. Lalu pria itu memeluk Julian erat.Wenny mundur. Dia bingung dengan apa yang terjadi. Dia perhatikan dua pria itu. Pria yang tiba-tiba datang itu memeluk Julian erat sambil menangis. Sedang Julian tak bergerak, tak mengatakan apa-apa."Akhirnya aku bisa bertemu kalian. Ya Tuhan, ya Tuhan ..." Ada keharuan tapi juga sedih terdengar dari ucapan pria itu."Bagaiman Papa bisa menemukan aku dan Wenny?" Julian bertanya.Pria itu melepas pelukannya, kemudian menoleh pada Wenny. "Boleh aku memeluk kamu?" tanya pria itu dengan kedua mata basah.Wenny menyatukan kedua alisnya. Dia menatap tajam pada pria itu lalu melirik Julian."Wenny ... He is your daddy," kata Julian.Seketika mata Wenny melebar. Rasanya seperti diterjang badai dan angin ribut mendengar itu!"My daddy?" ulang Wenny. Tubuhnya tiba-tiba limbung dan gemetar.Wenny mundur dan duduk di kursi di sebelah kirinya. J
Pernyataan dan pertanyaan Wenny sangat wajar sebagai seorang anak tidak pernah tahu ayahnya. Yang dia dengar ayah pergi dan tak permah kembali. Itu artinya si anak tak diinginkan."Aku tidak tahu apa yang kamu ingat tentang aku. Apa mama kamu ga pernah cerita? Oya, di mana dia? Apa dia di dalam atau bekerja?" Levin mengalihkan pembicaraan tidak langsung menjawab rasa ingin tahu Wenny yang diselubungi marah."Mama udah ga ada. Dia sakit parah dan meninggal. Aku hanya berdua sama Kak Juan." Ringan Wenny menjawab. Matanya tajam memandang Levin.*Apa? Mama kamu ... ya Tuhan, ya Tuhan ..." Ekspresi Levin menunjukkan dia shock mendengar jawaban Wenny. "Kapan? Bagaimana bisa? Lalu seperti apa hidup kalian?" Wenny memejamkan mata beberapa detik. Jika mau diingat, masa-masa itu begitu berat. Yang Wenny simpan hanya pedih dan perih. Mama yang tidak bisa mengurus rumah, hidup mereka seringkali kekurangan, sampai mama sakit dan meninggal. Julian yang justru berusaha keras berjuang sejak bocah m
"Kamu seorang anak yang manis, kamu sekarang menjadi pria yang mampu berdiri di kaki kamu sendiri. Dan, dengan situasi rumit yang harus kamu jalani, melihat aku datang, menerima aku dan masih menyebutku papa, aku sangat berterima kasih." Sepenuh hati Levin mengucapkan itu.Hati Julian menghangat. Papa. Ya, Julian punya dua pria yang bisa dia sebut papa. Papa kandung yang hanya dia kenal hingga usia enam tahun, lalu Levin, yang hampir sama lamanya dia kenal. Julian tidak pernah puas menjadi seorang anak dalam pelukan papa. "Whatever, kamu pernah menikah dengan ibuku. Beberapa tahun aku merasa punya papa. And I have to thank for that." Julian tersenyum kecil.Levin menatap Julian dengan haru. Dia tepuk pundak Julian. Tanpa bicara Julian bisa merasakan Levin senang, bangga, dan bersyukur mereka bisa bertemu lagi.Puas berbincang hingga hampir tengah malam, Julian menghubungi Astri. Ketika dia mendengar suara Astri, dadanya tiba-tiba terasa penuh. Julian tidak bisa menahan air mata haru y
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d