"Wenny, bisa kamu tenang sebentar?!" Julian ikut menaikkan nada suaranya. Dia berusaha sabar dan meredam Wenny, sebaliknya gadis itu makin meluap.Wenny seketika mengatupkan bibirnya dan menatap Julian. Sudah lama sekali si kakak tidak marah sebesar. Wenny mengerjap beberapa kali. Rasa kesal belum surut, muncul perih di hatinya. Julian tidak mengerti dirinya. Kakaknya jadi bertingkah semau sendiri. Lebih baik Julian tidak pernah pacaran, dia tidak akan kacau."Oke, aku harus tenang, kamu juga. Kalau kita sama-sama marah, ga akan selesai." Julian menekan emosinya. Pikiran harus tetap dingin.Hari semakin larut, semua harus segera diluruskan lalu dia dan Wenny bisa mengakhiri hari itu dengan tenang.Wenny mendesah. Dia menarik badan ke tengah ranjang lalu mengatur posisi bersila."Aku terpaksa bicara, memberitahu sesuatu yang sebenarnya ga boleh." Julian melipat tangan di dada. Situasi yang terjadi memaksa Julian membuka rahasia."Apaan, sih, Kak? Bikin bingung aja," ucap Wenny masih den
"Apa?!" Astri berkata setengah berteriak mendengar itu. "Apa yang terjadi, Mira?" "Aku ga tahu. Bibi bilang mama pingsan. Dia langsung telpon taksi bawa mama ke rumah sakit. Aku masih dalam perjalanan dari kantor. Kata bibi, mama sampai muntah darah." Jawaban Damira membuat hati Astri gelisah dan cemas.Selama ini Titi selalu sehat. Dia wanita yang lincah, suka bekerja, dan sesekali mengikuti kegiatan ibu-ibu di kampung. Tidak pernah dia mengeluh sakit. Kenapa tiba-tiba dia drop?"Kak, gimana?" Damira bertanya masih dengan nada panik. Astri tahu apa yang Damira cemaskan. Bukan hanya soal mama mereka. Sebenarnya Damira punya trauma berurusan dengan rumah sakit karena peristiwa dia operasi usus buntu saat SMP. Sejak itu dia selalu takut pergi ke rumah sakit. Tapi kali itu dia harus pergi. Tidak ada papa atau Astri. Damira harus mengurus mama."Ada bibi di rumah sakit. Tenang saja. Aku akan atur pulang secepatnya. Oke?" Mau tidak mau Astri harus pulang. "Ya, Kak. Please, cepat ke sini,
Pria gagah dengan tatapan tajam itu berjalan makin mendekat. Jelas aura wajahnya memandang dengan tegang bercampur cemas."Bagaimana mama kalian?" Andika berdiri di depan kedua putrinya."Papa ..." Seketika Damira menangis. Derai air mata tak dapat dia tangguhkan. Astri terdiam, dengan mata berkaca-kaca."Apa yang terjadi?" Melihat kedua putrinya tidak menjawab pertanyaan, debaran kuat menyusup cepat di dada Andika.Tidak menunggu jawaban, dia melangkah masuk ke dalam kamar. Andika bahkan tidak melihat Davin yang duduk di dekat pintu. Pria itu terus mendekati ranjang. Istrinya tergolek lemah, tak berdaya dan tak bergerak. Peralatan menempel pada tubuhnya menopang agar dia bertahan dan kondisinya akan membaik.Astri dan Damira, juga Davin berdiri mematung di dekat pintu memperhatikan Andika yang tampak sangat sedih melihat istrinya. Titi memang sudah tertidur, tetapi terlihat dia tidak tenang salam tidur.Beberapa menit kemudian, Andika berbalik dan berjalan mendekat pada tiga anak mud
Astri tidak menjawab, tidak mengangguk, atau menggeleng-geleng. Dia bingung, tapi tidak ingin membuat mamanya kecewa."Ma ..." Ada banyak yang Astri mau katakan, tapi berat untuk dia tuturkan dengan keadaan ibunya seperti itu."Mama mau lihat kamu ... dan Mira bahagia. Cuma itu." Kalimat itu diucapkan dengan suara lemah. Sementara mata Titi berkaca-kaca.Dunia seperti terbolak balik. Setiap ucapan Andika dan Titi bertalu-talu di kepala Astri. Kenyataan dan harapan makin bertabrakan saling menghancurkan.Astri berpegang kuat pada tepi ranjang. Dia harus tetap tegak dan bisa berpikir waras. Jangan sampai semua keadaan ini akan menghabisi Astri sepanjang hidup."Papa, ada yang harus aku katakan pada papa." Astri menguatkan hati. Lebih baik segera dia katakan atau semua akan makin terlambat.Andika mengarahkan pandangan lurus pada Astri. Dari roman muka putrinya, Andika bisa menduga apa yang akan Astri katakan."Katakan saja," ucap Andika dengan nada datar, tidak nyaman didengar.Astri tah
Sekeliling rasanya seperti menjepit. Dunia Astri dikungkung begitu rupa sampai dia tak bisa bergerak. Andika bertindak sangat cepat mengatur semua keperluan pernikahan Astri. Relasinya yang luas membuat Andika tidak perlu repot. Dia hanya menghubungi satu dua orang untuk menguruskan, dalam waktu singkat semua beres.Beberapa kali Darma menelpon Astri dan membicarakan tentang pernikahan mereka yang akan jauh lebih cepat dilakukan dari rencana. Astri tidak banyak menjawab atau merespon. Astri menurut saja apapun yang diinginkan Darma atau Andika."Kamu ga perlu khawatir apapun, Astrina. Tinggal bilang ingin apa, aku akan siapkan semuanya." Ucapan itu terdengar manis, tetapi membuat Astri muak. Dengan kata-kata itu seolah-olah Darma mau menunjukkan Astri, dia tak bisa dikalahkan. Seperti yang dia bilang, apa yang jadi miliknya akan tetap jadi miliknya.Astri tidak berkata apa-apa. Dia juga tidak mau meminta apa-apa. Sekalipun dalam kepedihan yang dalam, Astri masih berharap, mungkin hanya
Fanda memperhatikan Astri. Tampak tenang dan berusaha bersikap sewajar mungkin. Tapi Fanda bisa menelisik sedih dan gundah di hati Astri. Ada tekanan luar biasa yang Astri harus tahan menghadapi. Dan itu sangat tidak mudah."Saya tahu peraturan sekolah ini seperti apa. Tetapi yang jadi persoalan, Pak, Bu Astri mengajukan cuti bukan karena maunya. Situasi menuntut. Apakah tidak mungkin ada pengeculian untuk kasus seperti ini?" Fanda mencoba mencari cela dari aturan yang tengah akan dilanggar."Hmm, yaaa, semestinya bisa. Tetapi harus jelas dan ada konsekuensi yang perlu juga dipertimbangkan," kata Arya.Astri tidak nyaman sekali dengan situasi itu. Dia sadar membuat para pemimpin sekolah ikut pusing gara-gara urusan perjodohannya. Seperti yang lalu Astri diminta keluar ruangan sementara kepala sekolah dan wakilnya berembug untuk memberi jawaban buat Astri.Astri menunggu di kantor guru dan staf yang memang bersebelahan dengan ruang kepala sekolah. Astri berusaha menyibukkan diri dengan
Wajah Wenny makin merah padam. Matanya menyala penuh kemarahan luar biasa. Dia merasa diabaikan dan tidak diindahkan oleh orang yang sangat dia sayangi. Julian dan Astri, keduanya sama-sama bungkam mengenai bahwa Astri akhirnya tetap menikah dengan tunangannya."Mereka bilang ga akan ada pernikahan. Mereka ada bukti kalau tunangan Kak Astri itu pria ga bener. Sebelum sampai hari pernikahan sesuai rencana pasti pertunangan itu akan batal. Tapi sekarang?!" Wenny benar-benar marah dan kecewa. Bagaimana bisa semua ini disembunyikan darinya?Errin dan Alfonso mengerti jika Wenny mengamuk. Dia masih berharap Astri akan jadi istri kakaknya. Beberapa kali dia mengatakan sebelum hari pernikahan apapun bisa terjadi. Dia begitu gembira karena hubungan Julian dan Astri masih berjalan diam-diam karena mereka akan segera bersama lagi."Kalian dapat info dari mana? Kenapa kalian juga tahu, tapi aku malah ga tahu?" Wenny memandang dua temannya. Panas hatinya belum juga surut."Salah satu teman kita, k
Wenny seketika mengangkat tubuhnya, bangun dari posisi bersila dan menatap Alfonso tajam."Kamu jangan ngarang!" kata Wenny dengan wajah memerah. Bukan lagi karena marah, tapi terkejut dengan perkataan Alfonso."Aku beneran, Wenny. Aku ga bohong." Alfonso membalas tatapan Wenny. Sudah terlanjur terucap, tidak mungkin diralat. Alfonso tidak akan mundur."Kamu salah minum obat?" Wenny bertanya dengan alis hampir menyatu. Sama sekali tidak Wenny sangka. Di tengah kegalauan dan marah gara-gara sang kakak, Wenny mendapat pernyataan cinta."Aku ga sakit, ga minum obat," ujar Alfonso."Kamu bilang sayang sama aku, maksudnya cinta? Kamu nembak aku?" Wenny menunjuk dirinya.Wenny tentu saja tidak mengira jika Alfonso punya hati padanya. Selama ini mereka berteman sangat baik. Boleh dibilang bersahabat. Tidak ada tanda-tanda apapun yang menunjukkan Alfonso naksir Wenny, apalagi jatuh cinta. Malah, Alfonso suka diganggu teman-teman sekelas karena dia dekat dengan gadis dari kelas sebelah. Juga ad
"Hei! Jangan ganggu aku!!" Teriakan itu membuat Astri menoleh cepat dan setengah berlari ke ruang tengah. Matanya melotot lebar melihat apa yang terjadi di sana. Seorang anak laki-laki kira-kira tujuh tahun, berdiri sambil mengangkat tinggi sebuah boneka, sedangkan di bawahnya seorang anak perempuan kurang lebih berusia empat tahun, tengah menengadah dengan tangan terangkat dan kaki berjinjit berusaha mengambil boneka di tangan di anak laki-laki. "Ambil kalau bisa. Lompat, lompat aja!" Anak lelaki itu tertawa sambil makin tinggi mengangkat tangannya. "Mana! Aku mau main, balikin!" Anak perempuan itu mulai berteriak sampai hampir menangis. "Jovan! Apa yang kamu lakukan?" Astri melotot marah pada anak lelaki itu. "Ah, no! Just kidding!" Cepat-cepat anak laki-laki itu memberikan boneka pada anak perempuan di depannya. Begitu boneka princess itu kembali padanya, anak perempuan itu berlari memeluk pinggang Astri. "Kak Jovan nakal, Ma!" satanya manja sembari menengadah memandang Astri
Julian merasa debaran di dadanya berlipat kali. Pertanyaan yang Astri ucapkan, apa artinya? Dia suka seperti yang muncul dalam bayangan Julian atau sebaliknya? Tiba-tiba gambaran Astri galau dan sedih mengganti bayangan sebelumnya."Honey ..." Refleks bibirJulian berucap.Astri sangat terpana dan tak bisa berkata-kata dengan apa yang ada di depannya. Kamar hotel yang sudah indah dan mewah ditata ulang dengan tampilan yang sangat berbeda. Rasanya seperti menjadi kamar raja dan ratu dalam film dongeng yang pernah Astri lihat.Astri memutar badannya dan memandang Julian. "Ini ada apa?" Julian mencermati wajah Astri. Tatapan wanita cantik itu akan memberikan laporan apakah kejutan Julian berhasil atau tidak."You are my queen, so aku mau menjadikan kamu ratu yang sebenarnya. Biarpun cuma malam ini." Julian bicara sambil mengurai senyum. Dia mau Astri tahu dia hanya ingin membuat Astri bahagia lebih lagi. Momen-momen paling manis yang tidak akan terlupakan harus tercipta saat bulan madu me
Rasa tidak nyaman mendera. Julian menggantung kata-katanya. Apa yang akan dia sampaikan? Apapun itu, Astri harus siap. Di awal pernikahan mereka, Astri sudah mengecewakan Julian. Kalau Julian akan bersikap berbeda Astri harus siap menerimanya."But, I really wanna show you, I love you so much." Mata Julian lembut memandang Astri. Ada kasih begitu dalam yang Astri rasakan."I know." Astri mengangguk."Aku mengerti kamu melewati masa-masa sulit. Tidak ada yang tahu. Kamu sendirian. Pasti sangat berat buat kamu. Izinkan aku membalut luka kamu. Trust me," kata Julian dengan nada yang sama.Astri mengangguk. Air matanya kembali menitik. Betapa besar kasih Tuhan untuknya. Setelah semua kepedihan yang harus dia hadapi sendirian, Tuhan membawa Julian padanya. Astri akan terbuka, seluasnya dia rentangkan hati dan jiwa untuk Julian."Let me hold you," bisik Julian.Astri menelan ludahnya. Lalu dia mengangguk. Julian menggeser posisinya, pindah ke sisi Astri. Dia lebarkan tangan dan memeluk Astri
Astri masih berusaha menghentikan air matanya meskipun dia merasa sedikit lebih tenang. Dia lega karena semua pernyataan yang dia ucapkan, Nirma menerimanya dengan terbuka. Tidak ada penghakiman, tidak ada juga sikap iba yang berlebihan."Ingat, yang kamu alami itu bukan kesalahan kamu. Tentu sangat sulit untuk seorang anak tahu bagaimana membela dirinya. Tidak mungkin juga kamu akan lupa. Yang sudah terjadi memang berlalu, tapi tetap bisa muncul lagi dalam ingatan."Tapi, kamu sudah mendapatkan yang terbaik yang kamu butuhkan. Seorang pria yang sangat cinta padamu. Sebagai pasangan, tidak perlu ada yang ditutupi. Karena itu akan jadi ganjalan ketika terbongkar. Jujurlah, meskipun berat itu akan lebih baik."Dia harus bisa menerima apapun keadaan kamu. Kalian sudah terikat janji sehidup semati. Segala hal harusnya bukan penghalang hubungan kalian. Seburuk apapun mesti bisa menerima." Nirma mulai memberikan pandangannya."Bisakah Julian mengerti? Aku sangat takut," kata Astri. Dia memba
Julian berdiri tepat di depan Astri. Tidak ada senyum di sana. Tatapan penuh cinta menghujam Astri. Tatapan itu juga menyiratkan dia ingin segera memulai petualangan cinta yang lebih dengan wanita yang dia cintai. Astrina Talia Kamajaya yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya. Tangan Julian bergerak, menarik Astri lebih dekat dalam dekapannya. Astri merasakan debaran luar biasa kuat mendera. Dia memberanikan diri membalas tatapan Julian. Dia tahu Julian cinta dan sayang padanya. Pria itu tidak akan menyakitinya. "Honey ..." Bisikan lembut itu masuk ke telinga Astri. Sentuhan manis terasa di keningnya. Bibir Julian mulai bekerja. Astri memejamkan matanya. Dia merasa ada gelinjang hangat menyusup. Rasa takut mulai menghampiri. Keringat dingin terasa di tangannya. Astri harus bertahan. Dia tidak akan memikirkan yang lain kecuali ... "Uffhhh ..." Astri melenguh saat bibir Julian menyatu di bibirnya. Refleks Astri mendorong Julian, lalu dia mundur, dan jatuh terduduk. Tubuhnya gem
Alarm dari ponsel Astri nyaring berbunyi. Astri terbangun. Dengan mata masih terpejam, Astri meraba-raba di sekitarnya. Biasanya ponsel akan ada tak jauh darinya di dekat bantal. Tapi ponselnya tidak ada di sana. Astri membuka mata. "Aku di mana?" Astri terkejut menyadari dia bukan di kamarnya. Segera Astri duduk dan ... "Ah, aku di hotel. Astaga ..."Astri memandang ke sekeliling. Ingatannya telah kembali. Dia telah menikah dan menjadi istri Julian. Tetapi Astri sengaja menghindar dari sang suami, takut jika dia harus melakukan hubungan dalam dengannya "Juan ..." Astri melihat Julian tidur meringkuk di sofa, bahkan tanpa selimut. "Kamu ga tidur di ranjang. Apa kamu marah? Atau kamu tahu aku menghindar jadi kamu memang menjauh?" Pikiran Astri bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Ada rasa bersalah yang mencuat di hati. Bukankah pengantin baru semestinya tidur berpelukan dengan mesra? Mereka bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.Astri menoleh ke sisi kiri ranjang tempat dia
"Tunggu aku belum selesai!" Astri menyahut lagi."Oke, Honey," balas Julian.Julian kembali ke sofa dengan posisi yang sama. Dia harus menunggu Astri selesai mandi. Tapi rasanya lama sekali. Apa memang wanita selama itu jika mandi?Julian menoleh ke pintu kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda Astri muncul di sana. Julian menegakkan badan. Apa sungguh tidak terjadi sesuatu? Bukankah Astri memang merasa kurang sehat?Segera Julian bangun dan mendekat ke pintu. Dia mau mengetuk tetapi dia urungkan. Julian maju selangkah lagi dan menempelkan telinga di pintu. Siapa tahu dia mendengar sesuatu. Bisa jadi Astri mengerang atau menangis disertai merintih menahan sakit.Tidak terdengar suara apapun. Berarti Astri baik-baik saja. Atau jangan-jangan .... Kalau ternyata dia ...Julian mendengar dering ponsel. Maka dia kembali ke arah meja dan sofa mengambil ponsel dan melihat siapa yang berani mengganggu waktu istimewanya dengan sang istri."Wenny?" Julian kesal. Wenny yang menghubungi? Julian enggan
"Selamat bersenang-senang, yaa!! Jangan lupa, dunia bukan milik kalian berdua aja. Masih ada aku dan yang lain di sini!" Wenny melambai dengan senyum lebar ke arah Julian dan Astri.Raja dan ratu sehari itu telah masuk ke mobil pengantin dengan Davin sebagai driver dan Damira yang tidak mau ketinggalan berada di sampingnya. Tampak juga Errin dan Alfonso ikut melambai mengantar Astri dan Julian meninggalkan gedung gereja. "Akhirnya, Kak!" Damira menoleh pada Astri. Mata gadis itu berbinar senang, kakaknya sukses menikah dengan Julian, kekasih pertamanya, tetapi bukan pria kaleng-kaleng.Astri ikut tersenyum. Tentu saja bahagia terpampang di wajahnya. Julian juga tak mau melepas tangan Astri, digenggamya erat. Julian ingin meluapkan kegembiraan telah resmi menjadi suami Astri "Kamu tahu, Kak, mama nangis terus. Dia happy banget beneran kamu nikah. Impiannya terkabul bisa melihat kamu di altar dan di pelaminan." Damira melanjutkan."Iya, Tuhan baik. Mama juga bisa ikut acara, ga sampai
Gedung gereja megah dan tinggi menjulang tampak kokoh di hadapan Astri. Pintu gereja terbuka lebar dengan dekorasi cantik seolah sebuah gerbang menyambutnya datang. Debaran di jantung Astri makin tak karuan. Hari itu dengan gaun pengantin yang elok, Astri benar-benar sampai dan siap melangkah menuju altar menemui pria terkasih."Ayo, Kak. Hampir telat." Damira yang ada di kursi depan, duduk bersebelahan dengan Davin menoleh dan bicara tidak sabar.Mobil pengantin sudah terparkir manis di depan pintu gereja. Astri seperti terpaku dan tidak juga beranjak."Ya, ok. Thank you," ucap Astri gugup.Perlahan Astri membuka pintu mobil dan turun. Galang menunggu di sana dengan senyum lebar. Kebahagiaan tampak dari wajah kakak terbaik Astri. "Akhirnya ..." kata pria itu masih dengan senyum lebarnya. "Ayah ada di pintu menanti. Ayo."Galang menggandeng Astri mengantar sang adik menemui ayah mereka. Pria itu dengan gagah berdiri di muka pintu. Dia terlihat cukup tegang meski senyum terurai manis d