"Aku mau kamu ..."Itulah yang terus dikatakan oleh sang pembunuh berantai bernama Norman itu. Aura yang menyelimuti pria ini gelap nan menakutkan. Aroma mawar juga menebar di sekitarnya— seolah-olah dia baru saja mandi air kelopak bunga mawar.Leina sesak berada di posisi itu, terjepit di antara dada Norman dengan tembok. Andaikan dia bisa menjejak selangkangan pria ini— maka kesempatannya kabur terbuka.Tetapi, dia semakin tak berdaya tatkala Norman mengeluarkan pisau lipat dari saku mantel. "Sayang ... kamu cukup berani ternyata, biasanya wanita lain akan menangis dan memohon agar aku lepaskan," kata pria itu sembari menodongkan mata pisau ke bawah dagu Leina.Leina bisa merasakan sensasi dingin dari bilah pisau tersebut. Meski takut, tapi tak dia tunjukkan. "Jika kamu memang mau membunuhku, bunuh saja sekarang. Percuma menakut-nakutiku segala.""Oh— asisten detektif memang punya mental yang agak berbeda dari kebanyakan wanita, tapi ini yang membuatku suka padamu."Leina mencoba b
Arsen membawa Leina pulang. Dia menutup seluruh pintu, menguncinya serta mengaktifkan alarm keamanan darurat. Usai memastikan kondisi rumah itu aman, dia naik ke lantai tiga.Di atas, Leina masih diam di depan pintu kamarnya. Dia diliputi perasaan bersalah sekaligus bingung."Arsen ..." Dia menatap Arsen.Arsen mendekat, lalu memberikan pelukan padanya. "Sudah, kamu cepat tidur, ini sudah lewat tengah malam.""Aku minta maaf.""Ini bukan salahmu.""Ini salahku. Misi kita hampir gagal karena aku ... aku mengacau.""Siapa bilang mengacau? Sejak awal kita berniat memancingnya keluar. Kamu sudah baik berani jadi umpan." "Tapi ...""Sudahlah." Arsen melepaskan pelukannya. Senym hangat tampak mengiasi bibirnya. Dia mengulurkan tangan kepada Leina.Dia berkata, "oh iya, berikan ponselmu.""Untuk apa?""Tadi, ingatan terakhirmu sebelum bertemu pembunuh itu, kamu masih ada di mobil 'kan?""Iya.""Hans bilang kamu sedang menelpon seseorang, jadi mungkin ada hubungannya dengan telepon kamu.""T
Leina tidak tahu kalau dirinya sedang dibawa menemui teman Hans yang ahli dalam dunia hipnotis. Alhasil, dia sama sekali tak sadar kalau sedang menjalani terapi untuk menghilangkan efek hipnotis dalam dirinya.Wanita itu kemudian dibiarkan tidur di atas sofa panjang. Arsen hanya melihat dengan tatapan sedih."Bagaimana?" Pria itu bertanya.Si ahli hipnotis, seorang wanita berusia tiga puluh tahunan, menatapnya sekilas, lalu kembali melihat tubuh Leina yang terbaring di sofa. "Tenang saja, sudah aku urus. Ini jenis hipnotis yang serius, Leina harusnya bertemu dengan orang ini sekali.""Apa kamu bisa dapat informasi pelaku yang melakukan hipnotis?""Tidak terlalu spesifik, ingatan Leina tentang pelaku itu masih buram.""Ya sudah, tidak apa.""Tapi, jangan khawatir, Arsen, efek hipnotisnya sudah kuhapus. Leina tidak akan terpengaruh lagi jika mendengar kata kunci dari suara pelaku.""Aku sudah curiga sejak awal. Dia tidak ingat apapun setelah menerima panggilan telepon asing. Jadi, pasti
Dengan menggunakan taksi, Leina pulang sendirian ke rumah. Sepanjang perjalanan, perasaannya tidak enak. Entah mengapa— dia seolah akan menjauh dari Arsen.Dia mengenang sejak awal bertemu dengan Arsen. Karena hal tersebut, bibirnya menyunggingkan senyuman manis. Meskipun pria itu sangat menyebalkan, tetap saja— dia begitu baik.Tiga tahun yang lalu, ketika dia baru lulus SMA, dia mendapat kabar kematian sang ayah akibat kecelakaan mobil. Dia tak punya sanak keluarga lain, tak punya kerabat dekat.Setelah acara pemakaman, dia tidak mau pulang ke rumah— memilih pergi ke taman kota, dan menghabiskan waktu dengan duduk di ayunan berjam-jam.Hari sudah semakin gelap, tapi Leina masih tetap di situ, sendirian— tertunduk dan menangis. Rok yang dia pakai sebagian basah oleh air matanya sendiri. Kematian sang ayah terlalu mengejutkan."Papa ..." gumamnya lirih.Tak berselang lama, ada kelompok pemuda berandalan berjumlah lima orang datang menghampiri ayunan itu."Hei, cantik," sapa salah satu
Seperti halnya Arsen, kantor detektif Serena juga satu bangunan dengan rumah. Bedanya, bangunan itu memiliki dua tingkat saja. Di tingkat dasar adalah kantornya. Dia sudah hidup sendiri selama sepuluh tahun belakangan, jadi tak membutuhkan tempat yang luas.Leina dibawa masuk ke kantor. Dia diminta untuk duduk di sofa, sementara Serena sendiri baru masuk sambil membawa secangkir kopi.Wanita itu duduk di tepian meja kerja, menghadap ke Leina. Wajahnya masih terlihat tak suka."Kamu tahu tidak siapa yang kamu temui tadi dengan Arsen?" Dia membuka obrolan. Sesekali menyeruput kopi dari cangkir.Leina menjawab, "nona Ritta, kenalan Hans, calon klien kami.""Oh calon klien?""Iya.""Ritta itu temanku juga. Arsen berbohong padamu— dia bukan calon klien kalian. Dia itu ahli hipnotis."Kening Leina mengerut. Dia bingung, "hipnotis? Apa maksudmu?""Arsen tidak memberitahumu 'kan? Kamu itu sebenarnya terkena efek hipnotis beberapa hari belakangan.""Aku kena hipnotis?""Kamu tidak sadar waktu
Sakit hati.Leina benar-benar sakit hati.Tetapi, jauh di lubuk hatinya, dia juga tidak mau terjadi sesuatu pada Arsen. Dia tak peduli siapa pria itu di masa lalu, kenyataannya— selama ini, hanya dia yang selalu ada untuknya, selalu melindunginya dan membuatnya bahagia.Leina tulus mencintai Arsen.Dia sudah memikirkan ini baik-baik, dan apa yang dikatakan oleh Serena harus dilakukan. Jika memang ini terbaik untuk dirinya dan Arsen— itu harus dilakukan.Di kamar, dia bersandar di belakang pintu, menangis tanpa suara. Lututnya lemas hingga tubuhnya perlahan jatuh di atas lantai.Dia meringkuk, memeluk diri sendiri. Hari ini— Arsen tidak di rumah, entah ada di mana pria itu. Ini semakin membuat diri Leina cemas sekaligus takut. Bagaimana kalau di luaran sana dia dalam bahaya?Musuhnya— pria bernama Nathan itu bukan sembarang orang."Arsen ... aku mencintaimu, tapi ini yang terbaik— jika ucapan Serena benar, maka aku hanya akan membuatmu dalam bahaya. Kamu harus fokus melindungi dirimu s
Di rumah, Arsen tidak bisa berkata apa-apa usai membaca pesan perpisahan dari Leina. Dia memilih untuk tetap di kamar wanita itu, merebahkan diri di atas ranjangnya, serta memandangi langit-langit kamar. Dia tidak merasa kalau surat perpisahan itu ditulis dengan paksa. Tidak ada indikasi penculikan juga— artinya wanita itu memang pergi meninggalkannya dengan sukarela."Leina ..." gumamnya lirih.Aroma wangi bunga-bunga khas Leina masih tersebar di ranjang itu. Itulah yang membuat diri Arsen menjadi tenang dan ketiduran.***Leina menyewa sebuah motel di pinggiran kota untuk seminggu ke depan. Motel itu cukup sederhana sehingga harga sewanya tak mahal.Berada di dalam kamar motel sempit itu sendirian membuat diri Leina menjadi sedih. Sendirian itu menyakitkan. Perasaan yang pernah dirasakan ketika kehilangan sang ayah kini menggelayut dalam benaknya kembali.Dia tiduran di atas ranjang, menatap ke lampu di langit-langit. Tak sadar air matanya menetes berulang kali— membasahi sprei put
Leina sarapan dengan roti isi yang dia beli dari minimarket depan motel. Dia tidak tahu harus apa sekarang— tidak punya kenalan, tidak punya sanak saudara, sekarang harus apa?Hidupnya sebatang kara. Dahulu, semasa sekolah, dia tak punya teman dekat. Tidak ada seorang pun yang bisa dia andalkan di saat sulit begini.Melamar pekerjaan? Menjalani hidup baru? Tapi, dia sangat payah dalam hal mengerjakan apapun. Tidak mungkin dia mendapat pekerjaan dengan mudah.Selama tiga tahun bekerja untuk Arsen, dia lebih sering menyapu lantai, mengepel, memasak dan membuat kopi ketimbang mengatur jadwal pertemuan dengan klien. Tidak diragukan lagi— dia sangat berbakat dalam urusan bersih-bersih.Leina menghela napas panjang. "Aku memang ditakdirkan jadi pembantu."Sejak kecil, dia hanya tinggal dengan sang ayah, tak kenal sosok ibu. Karena hal tersebut, dia mengurus kegiatan rumah tangga sejak dini. Terlebih lagi, sang ayah tidak pernah mengajarkan tentang dunia medis.Iya, mendiang Dokter Gio terka
Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta
"KELUARKAN AKU DARI SINI!"Teriakan kencang keluar dari mulut Serena berulang kali. Dia sangat panik, takut dan juga gelisah berada di tabung kaca yang perlahan memasukkan air ke dalam.Iya. Dia dikurung di dalam situ dari beberapa jam yang lalu. Sekarang air yang merendam di bawah sudah sampai pinggang. Tinggal menunggu waktulagi sebelum dia benar-benar akan tenggelam.Dia berusaha keras menggebrak - gebrak kaca tabung itu, tapi sekuat apapun pukulannya, tak berhasil juga meretakkan kaca tersebut. Iya, rasanya dia sudah terjebak di dalam permainan sulap, dimana dia tak bisa keluar.Yang lebih memuakkan adalah sejak tadi sudah ada orang yang duduk di kursi tepat di depan tabung. Orang itu bagaikan penonton sulap yang menanti kapan Serena akan mati terendam di dalam tabung."KELUARKAN AKU, WANITA BODOH!" teriak Serena yang muak dan makin panik. Dia tidak terima dengan semua ini. "KENAPA KAMU DIAM SAJA! HARUSNYA KALIAN MEMBAWAKU PERGI MENEMUI ARSEN! MANA ARSEN-KU!""Berisik sekali, sih?
Melawan Arsen dengan kekuatan sendiri itu mustahil, Hans sadar akan hal itu. Karena itulah, dia menjelaskan trik yang bisa dipakai untuk melawannya.Berhubung mereka juga tidak memiliki waktu untuk mengumpulkan rekan, jadi mau tidak mau harus mengandalkan kemampuan diri sendiri.Sesuai dugaannya, ternyata Tino menemukan tempat persembunyian mereka di keesokan harinya. Mereka tidak ragu-ragu langsung masuk ke dalam kawasan perumahan ini. Dia memanfaatkan kondisi perumahan yang sedang sepi untuk menyusup. Dia memerintahkan banyak anak buahnya untuk mengintai di sekitar rumah target."Bagus, sesuai keinginan kita, tetangga kanan, kiri dan depan sedang pergi," ucap Tino saat melihat rumah persinggahan Ritta di seberang jalan. Dia berdiri tepat di bawah pohon rindang, ditemani oleh Nathan.Nathan melihat suasana perumahan yang sepi padahal sudah siang. "Tempat ini sepi sekali ... tapi pasti ada yang masih di rumah 'kan? Bagaimana kalau ada yang mendengar?""Tenang saja, itulah gunanya aku
Leina dan Ritta berhasil sampai di rumah persinggahan darurat dengan aman. Saat mereka sampai, hari sudah gelap.Mereka beruntung tidak ada yang mengikuti. Akan tetapi, Ritta terus menyibukkan diri dengan mengaktifkan keamanan rumah. Dia juga masuk ke ruang monitor. Sebelumnya, Hans meretas kamera pengawas jalan dan disambungkan ke ruang tersebut. Dengan begini, dia bisa tahu kalau ada orang mencurigakan sedang mengawasi rumah.Bangunan itu sendiri berada di dalam perumahan, tidak terlalu padat penduduk. Iya, itu karena lokasinya berada di wilayah di mana kebanyakan penghuni adalah pebisnis yang jarang pulang. Sekalipun tetangga kanan dan kiri rumah singgah itu sudah ada dihuni, tapi penghuninya jarang pulang. Tak heran, kawasan itu sangat sepi.Saat Ritta sibuk dengan semua itu, Leina membuatkan makan malam untuk mereka. Mereka makan malam tak lama kemudian. Tidak ada yang dibicarakan setelah itu karena keduanya sangat lelah.Karena hal itulah, mereka berdua langsung memutuskan un