Leina duduk di pinggiran ranjang sambil melihat albm foto lawas. Satu per satu halaman dia buka. Terlihat jelas kalau dahulu— Arsen, Hans dan Serena adalah teman baik.
"Arsen, kamu tidak pernah bercerita tentang masa lalumu, aku bahkan tidak tahu kapan ulang tahunmu, kamu tidak pernah mau merayakannya denganku ..." Leina bergumam sendiri. Suaranya begitu lirih nan sedih.Dia semakin terpukul karena menyadari kalau kemungkinan Arsen tidak pernah menganggapnya sebagai asisten.Dia bergumam lagi, "jangan-jangan benar kata Serena ... kamu cuma mengasuhku saja untuk balas budi ke papa, kamu menerimaku di rumahmu cuma karena kasihan ... kamu tidak mau aku hadir di hidupmu. Kamu pasti sudah tahu aku mencintaimu, tapi kamu selalu menghindariku."Air mata menetes di pipinya.Sudah jam sepuluh malam, dan tidak ada tanda-tanda kalau Arsen mencarinya. ... Arsen tidak peduli? ... Arsen sama sekali tidak peduli?... Bahkan, setelah pergi sampai malam pun, pria itu tidak mencarinya?Itulah sederet isi hati Leina. Dia membanting album foto Arsen ke lantai. Baru setelahnya, dia merebahkan diri di atas ranjang."Sudah cukup, jika dia tidak peduli padaku, aku akan berhenti jadi asistennya," katanya sebelum tertidur.***Serena baru selesai mandi. Dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan dililit oleh handuk putih. Sebagian kulitnya masih terlihat basah.Dia berkata, "Arsen ... bagaimana kalau kita tidur berdua, mumpung tidak ada asistenmu yang ..." ucapannya terhenti kala tidak melihat siapapun di kamar tidur itu. "Mana dia? Arsen?"Kamar tidur ini adalah milik Arsen, perabotannya sangat rapi dan nyaris seperti tak pernah dipindah-pindah. Iya, pria itu biasanya masuk kamar cuma untuk tidur, setelah itu pergi lagi."Arsen? Di mana kamu?" Serena melihat ke jendela yang dibiarkan terbuka. Ada sebuah senapan laras panjang yang biasa dipakai oleh penembak jitu di dekat situ.Angin malam berhembus masuk ke dalam, mengibaran tirai putih jendela itu.Pintu kamar perlahan dibuka.Hans masuk sembari membawa secangki kopi. Pria itu tidak kaget melihat ada Serena di kamar Arsen. "Hai, Serena.""Mana Arsen? Bukankah dia harus menjagaku?""Dia sudah pergi.""Pergi? Tapi pembunuh bayaran itu serius mengincarku!""Tenang saja, saat kamu mandi, orang yang mengincarmu sudah ditembak oleh Arsen dari sini.""Apa ... ditembak dari sini?""Kamar Arsen berada di lantai atas gedung ini, sasaran empuk penembak jitu. Bukan tanpa alasan kamu dibiarkan masuk ke sini— sudah jelas untuk memancing musuh agar mengintai kamar ini. Jadi, Arsen lebih mudah menembaknya.""Oh." Serena sudah lama mengenal Arsen, tapi baru kali ini dia mengetahui kalau kemampuannya dalam menembak memang luar biasa.Hans berkata lagi, "kamu jangan mengira dia membawamu ke kamar tidur untuk hal lain.""Apa maksudmu?""Sudahlah, menyerah saja. Dia itu mencintai orang lain, Serena." Hans tersenyum mengejek. Usai jeda sejenak, dia melanjutkan, "kamu pasti tahu ke mana dia sekarang.""Tapi ini artinya dia mengabaikanku sebagai klien. Sekalipun pembunuh bayarannya sudah diurus, tapi orang suruhan mereka masih banyak.""Jangan khawatir, itulah kenapa aku di sini, aku akan menggantikannya sebagai bodyguard-mu sampai besok."Serena menghela napas panjang, mengetahui apa yang dibicarakan Hans. Dia duduk di pinggiran ranjang sambil mengeluh, "aku baru tahu kalau Arsen memang brengsek ... tega sekali dia meninggalkanku yang dalam bahaya karena takut asistennya digoda playboy."Hans menahan tawa. Dia bersandar di tembok, kemudian menyeruput kopi di cangkirnya."Ya— Arsen sudah berubah, bukan? Dia biasanya jarang marah, gelisah apalagi panik. Lihatlah sekarang, dia panik sendiri hanya karena ditinggal seorang wanita," ucapnya.Tidak ada jawaban dari Serena. Sudah bisa terlihat kalau dia begitu cemburu.***"Akhirnya aku bisa serumah dengan Leina," kata Liam tersenyum lebar sampai kelihatan seperti membelah wajah. Begitu banyak pemikiran kotor memenuhi kepalanya itu.Dia tertawa kecil saat mengendap-endap menuju ke kamar tidur tamu. Berhubung Leina sangat berbakat dalam hal perlindungan diri, maka dia sudah persiapan.Dia menggunakan masker serta kaca mata sebagai antisipasi semprotan merica.Pria itu menyentuh kenop pintu kamar tidur tamu. Mimik wajahnya berubah menjadi mesum."Oke, Sayang, aku datang— keperawananmu akan menjadi milikku," bisiknya lirih."Maju selangkah lagi, kepalamu berlubang," sahut seseorang yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Liam.Liam melotot kaget. Ia meneguk ludah, mengenali suara itu. Perlahan-lahan, dia melirik ke belakang. Suaranya menjadi terbata-bata, "A ... Arsen? Bagaimana ... bagaimana bisa ada di ..."Iya, Arsen sudah dalam posisi menodongkan senjata api ke kepala Liam. Dia menggunakan pakaian serba hitam sehingga seolah berkamuflase dengan suasana gelap tempat itu.Sorot mata dinginnya tampak berkilatan penuh kemarahan.Sambil menekan pistolnya ke kepala Liam, pria itu memperingatkan, "berani kamu mendekati asistenku, aku akan mengantarmu ke neraka."Butiran keringat dingin membasahi kening, leher dan tubuh Liam. Dia tersenyum paksa sambil berkata, "Aku ... aku cuma bercanda. Sumpah. Jangan serius-serius begitu..""Pergilah, aku ke sini untuk menjemput Leina."Tanpa mengatakan apapun, Liam segera pergi meninggalkan tempat itu.Arsen membuka pintu kamar tidur itu, kemudian masuk ke dalam. Dia melihat banyak sekali album foto berserahkan di lantai.Meskipun pencahayaan kamar itu cukup redup, tetapi dia bisa melihat kalau kebanyakan foto di abum itu adalah dirinya, Serena dan juga Hans."Arsen ... kamu sialan ... aku ... benci ..." gumam Leina dalam tidurnya.Arsen menatap Leina. Senyum hangat mengembang di bibir pria itu. Dia lega melihat asisten tersayangnya baik-baik saja. "Bahkan di mimpi pun, kamu berkata kasar padaku."***Keesokan harinya ...Leina terbangun. Untuk satu menit pertama, dia masih bengong, melihat sekitarnya. Aneh, semalam— dia merasa bermimpi sedang digendong oleh Arsen.Mimpi— cuma mimpi."Mimpi 'kan ..." Leina akhirnya tersadar kalau sudah berada di kamar tidur sendiri. "Loh?"Dia segera turun dari ranjangnya, lalu membuka tirai jendela. Suasana pagi jalanan depan gedung kantor detektif milik Arsen langsung terlihat.Kamarnya dan kamar tidur Arsen berada di lantai teratas. Dari situ, dia bisa melihat kondisi sekitar jalanan depan gedung ini dengan jelas..Banyak gedung-gedung pertokoan di luar. Tepat di seberang jalan, ada deretan toko baju. Berhubung sekarang masih jam tujuh pagi, jadi belum ada toko yang buka."Kenapa aku di sini? Aku di rumah Liam 'kan? Arsen ... apa mimpi itu beneran ..." Leina ingin memastikannya dengan pergi keluar kamar.Dia menuruni anak tangga, menuju ke ruang makan yang ada di lantai dua. Biasanya, setiap pagi— dia akan menyiapkan sarapan serta membuatkan kop
Pintu dibuka.Leina tidak melihat siapapun ada di dalam. Suasana kamar tidur Arsen masih rapi seperti biasa. Tetapi, dia bisa mencium aroma parfum khas dari Serena."Serena, keluar kamu!" teriaknya.Arsen berhenti di ambang pintu, lalu bersandar di sekitar situ. Dia menahan tawa melihat Leina yang mencari-cari Serena.Dia berkata, "Dia sudah pergi dari semalam, dia ada di rumah Hans sekarang.""Apa yang kamu lakukan dengannya?""Lakukan apa?""Jangan bohong kamu." Leina mendadak menyesal karena kemarin malah pergi dari rumah. Coba saja dia tetap di sini, pasti dia bisa menjauhan Arsen dari Serena.Dia mendekati pria itu, lalu berjinjit agar bisa menyambar kerah kemeja tidurnya. "Katakan padaku, Arsenio! Apa yang kalian lakukan semalam?""Entahlah.""Arsen!""Untuk apa aku menjelaskannya padamu, ini salahmu sendiri karena minggat dari rumah, jadi kamu tidak tahu."Leina mencekik pria itu dengan emosi tinggi. Dia marah besar. "Katakan apa yang sudah kalian lakukan atau aku akan berhenti
Sudah satu jam lamanya, Arsen menemani Leina jalan-jalan di pertokoan sekitar. Sudah ada sepuluh kantong belanja yang dia bawa.Dan, Leina masih belum puas. Tampaknya dia ingin balas dendam kepada Arsen dengan membelanjakan semua bayaran dari Serena kemarin. Dia berhenti di depan kaca toko baju yang memajang gaun cantik. "Wah, ini bagus banget."Arsen sampai bersadar di tembok toko itu, terlalu capek. Dia menaruh kantong belanja di sekitar kakinya."Awas jangan sampai kantong belanjaanku jatuh, awas saja kalau baju-bajuku kotor." Leina masih betah memandangi gaun yang dipajang di manekin. "Kamu belum puas juga belanja? Kamu sudah belanja banyak sekali ini ...""Sampai pembayaran dari Serena belum habis, aku tidak akan berhenti belanja."Arsen menggerutu lirih, "Sampai segitunya kamu tidak suka Serena. Dasar pencemburu."Leina meliriknya tajam. "Mmm? Ngomong apa barusan?"Arsen agak takut dengan lirikan itu. Dia mengalah, "oke, oke, maaf— uangnya milikmu. Kamu boleh belanja apapun ya
Leina sangat bersemangat sehingga tak terasa seharian jalan-jalan dengan Arsen. Dia benar-benar tidak ingin hari ini berakhir. Hari ini— dia bisa merasakan rasanya menjadi pasangan Arsen.Tetapi, Arsen sudah sangat letih. Dia merasa sudah seperti mengasuh anak yang aktif. Untuk seorang pria yang hobinya duduk dan minum kopi, dia tidak betah berlama-lama berada di luar.Dia sudah ingin sekali pulang, tapi tak tega melihat Leina yang semangatnya minta ampun. Beruntung, matahari akhirnya sudah tenggelam. Mau tidak mau— kencan hari ini harus berakhir.Begitu membuka pintu rumah, dia bergumam, "akhirnya ... penderitaanku berakhir."Leina yang berdiri di belakang pria itu mendengar. Dia meliriknya. "Hah? Bicara apa kamu?“"Tidak. Tidak ada. Aku capek—” balas Arsen buru-buru, lalu masuk ke dalam. Daripada diomeli lagi, mending melarikan diri.Dia menaruh seluruh kantong belanja Leina di atas meja ruang tamu. Baru setelah itu, dia berkata, “aku mau mandi, lalu tidur.”"Kamu tidak may kubuatk
Leina merasa dadanya sesak, otot tubuh seakan tegang seketika. Dia tidak bisa membayangkan Arsen melakukan hal itu dengan wanita lain.Dia melirik pria itu. "Kenapa kamu menyingkir dariku?""Tidak apa.""Cepat jujur, Arsen, kamu ... kamu punya anak?""Sebentar— tenang dulu, Leina," pinta Arsen mundur lagi, menjaga jarak dari wanita itu. Dia buru-buru menjelaskan, "Ini tidak beres, pasti ini ulah Hans. Dia yang menaruh anak ini di sini, dia bisa masuk ke rumah kita.""Kenapa juga ditaruh di kamar kamu!""Mana kutahu!""Pantas kamu baik sekali padaku hari ini! Kamu menyembunyikan anak dariku!""Maksudmu apa? Kamu serius percaya tulisan orang tidak jelas begini?"Leina mendekatinya. Lalu, dia menyambar kemeja yang dipakai Arsen, mengoyaknya.Dia mengomel, "tega sekali kamu! Saat aku di rumah mengkhawatirkanmu kalau pulang telat, kamu malah di luaran sana buat anak?""Hei ... jangan bodoh, kapan aku buat anaknya? Aku selalu di rumah sebelum jam sepuluh— kamu memberikanku jam malam!""Iya j
Keesokan harinya ...Leina terbangun pagi-pagi buta karena mendengar suara tangisan bayi. Dia baru ingat kalau sekarang di rumah mereka ada anak yang harus diurus.Anak perempuan itu tidur di kamar Arsen. Tangisannya yang makin menggila membuat Leina khawatir.Wanita itu pun turun ranjang, dan keluar kamar. Dia berjalan menghampiri kamar tidur Arsen yang hanya terpisah dua ruangan kosong dari kamarnya.Dia mengetuk pintu. "Arsen? Vera menangis itu— periksa popoknya!“Tidak ada jawaban, kecuali tangisan bayi saja."Aku masuk!" Leina membuka pintu kamar itu, lalu melihat di ranjang cuma ada bayi, sementara Arsen tidak ada di manapun. "Arsen!"Dia mendekati bayi itu, lalu memeriksa popoknya— dan ternyata memang sudah penuh.”Kemana dia itu!“ Leina jengkel. Dia menggendong bayi tersebut, lalu pergi ke kamar mandi untuk mengganti popok. "Teganya meninggalkan bayi sendiri di kamar!"Namun, tangisan bayi perempuan itu tidak berhenti juga meskipun popoknya sudah kering lagi. "UWAAH~ UWAAH~~”
Nicholas.Itulah nama pria yang merupakan CEO perusahaan makanan beku, calon klien. Dia tengah duduk di sofa tepat di berseberangan meja dengan Arsen.Mereka duduk berhadapan, jadi bisa saling memperhatikan. Ketika bertemu calon klien, Arsen selalu memperhatikan gerak-geriknya.Dan, yang paling penting untuk diperhatikan adalah pandangan mata. Orang yang sedang berbohong, pasti ketahuan lewat situ."Tolong." Nicholas menyudahi penjelasannya sambil menyerahkan sebuah foto wanita muda di atas meja. "Ini foto wanita itu, Miranda. Saya hanya punya fotonya dua tahunan yang lalu."Miranda?Leina teringat nama dari bayi yang dititipkan di rumah mereka. Bukankah tertulis di surat kalau namanya Miranda?Wanita itu sedari tadi berdiri di sebelah sofa tempat Arsen duduk sambil memeluk nampan. Kopi dan teh sudah disajikan di atas meja untuk Arsen dan tamu mereka.Arsen menatap foto itu. "Anda ini kami mencari wanita ini diam-diam agar tak menimbulkan skandal?""Iya, sebisa mungkin jangan sampai s
Arsen menjemput Serena di rumahnya. Dia sudah memastikan kalau Leina tidak mungkin bisa memata-matainya sekarang. Iya, wanita itu sibuk dengan baby Vera di rumah. Jadi, dia bisa tenang.Serena masuk ke dalam mobilnya. Penampilannya begitu anggun dengan balutan gaun malam berwarna hitam. Elegan mempesona sekaligus seksi. Aura wanita dewasa terpancar kuat dari dirinya.Baik Serena ataupun Arsen tidak berbicara selama di perjalanan. Mereka fokus ke depan, hingga pada akhirnya sampai di lokasi tujuan.Sebuah gedung yang menjadi acara amal berlangsung. Arsen memarkirkan mobilnya di parkiran depan gedung, lalu keluar lebih dahulu."Johann, pemilik kantor berita Dai-News, penyelanggara acara amal ini 'kan?" Arsen memandangi gedung tinggi itu. Banyak sekali orang penting berpakaian formal masuk ke dalamnya.Serena baru keluar dari mobil. Dia tersenyum mendengar ucapan Arsen. "Cepat sekali kamu dapat informasi.""Aku harus tahu kemana aku diajak ... mengingat kamu selalu memanfaatkanku," balas
Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta
"KELUARKAN AKU DARI SINI!"Teriakan kencang keluar dari mulut Serena berulang kali. Dia sangat panik, takut dan juga gelisah berada di tabung kaca yang perlahan memasukkan air ke dalam.Iya. Dia dikurung di dalam situ dari beberapa jam yang lalu. Sekarang air yang merendam di bawah sudah sampai pinggang. Tinggal menunggu waktulagi sebelum dia benar-benar akan tenggelam.Dia berusaha keras menggebrak - gebrak kaca tabung itu, tapi sekuat apapun pukulannya, tak berhasil juga meretakkan kaca tersebut. Iya, rasanya dia sudah terjebak di dalam permainan sulap, dimana dia tak bisa keluar.Yang lebih memuakkan adalah sejak tadi sudah ada orang yang duduk di kursi tepat di depan tabung. Orang itu bagaikan penonton sulap yang menanti kapan Serena akan mati terendam di dalam tabung."KELUARKAN AKU, WANITA BODOH!" teriak Serena yang muak dan makin panik. Dia tidak terima dengan semua ini. "KENAPA KAMU DIAM SAJA! HARUSNYA KALIAN MEMBAWAKU PERGI MENEMUI ARSEN! MANA ARSEN-KU!""Berisik sekali, sih?
Melawan Arsen dengan kekuatan sendiri itu mustahil, Hans sadar akan hal itu. Karena itulah, dia menjelaskan trik yang bisa dipakai untuk melawannya.Berhubung mereka juga tidak memiliki waktu untuk mengumpulkan rekan, jadi mau tidak mau harus mengandalkan kemampuan diri sendiri.Sesuai dugaannya, ternyata Tino menemukan tempat persembunyian mereka di keesokan harinya. Mereka tidak ragu-ragu langsung masuk ke dalam kawasan perumahan ini. Dia memanfaatkan kondisi perumahan yang sedang sepi untuk menyusup. Dia memerintahkan banyak anak buahnya untuk mengintai di sekitar rumah target."Bagus, sesuai keinginan kita, tetangga kanan, kiri dan depan sedang pergi," ucap Tino saat melihat rumah persinggahan Ritta di seberang jalan. Dia berdiri tepat di bawah pohon rindang, ditemani oleh Nathan.Nathan melihat suasana perumahan yang sepi padahal sudah siang. "Tempat ini sepi sekali ... tapi pasti ada yang masih di rumah 'kan? Bagaimana kalau ada yang mendengar?""Tenang saja, itulah gunanya aku
Leina dan Ritta berhasil sampai di rumah persinggahan darurat dengan aman. Saat mereka sampai, hari sudah gelap.Mereka beruntung tidak ada yang mengikuti. Akan tetapi, Ritta terus menyibukkan diri dengan mengaktifkan keamanan rumah. Dia juga masuk ke ruang monitor. Sebelumnya, Hans meretas kamera pengawas jalan dan disambungkan ke ruang tersebut. Dengan begini, dia bisa tahu kalau ada orang mencurigakan sedang mengawasi rumah.Bangunan itu sendiri berada di dalam perumahan, tidak terlalu padat penduduk. Iya, itu karena lokasinya berada di wilayah di mana kebanyakan penghuni adalah pebisnis yang jarang pulang. Sekalipun tetangga kanan dan kiri rumah singgah itu sudah ada dihuni, tapi penghuninya jarang pulang. Tak heran, kawasan itu sangat sepi.Saat Ritta sibuk dengan semua itu, Leina membuatkan makan malam untuk mereka. Mereka makan malam tak lama kemudian. Tidak ada yang dibicarakan setelah itu karena keduanya sangat lelah.Karena hal itulah, mereka berdua langsung memutuskan un