Mita nggak tau apakah dia harus merasa senang atau malah merasa nggak senang ketika mendapati keberadaan Tante Gina dan Pak Iskandar di ruang tamu rumah Vano. Hari sore mulai gelap, tadinya dia ingin izin dengan Bik Muti untuk langsung pulang seperti biasa, namun ketika dia masuk dan mendapati dua orang yang sudah lama nggak dia lihat ada di ruang tamu membuatnya urung dan sungkan untuk pulang langsung.
Akhirnya dia pun menampilkan senyum ramahnya, gurat wajah lelah Mita pudarkan dengan senyuman demi menyapa kedua orang tua bosnya.
"Selamat sore om dan tante, saya kira nggak ada orang tadi, asal nyelonong seperti biasa saja malah," katanya merasa bersalah sembari berjalan mendekat ke arah tuan besar pemilik Miyora itu. Tangannya dia ulurkan untuk menyalimi Tante Gina dan Pak Iskandar bergantian. Sedangkan Vano baru saja masuk dan sedikit kaget melihat ada orang tuanya di dalam.
"Kamu selalu pulang dulu ke sini Mit?" tanya laki-laki paruh baya itu yang berpena
"Jadi kamu mau-mau aja Mit, disuruh Vano siapin pakaian? dia nggak aneh-aneh kan? nggak modus?" tanya Pak Iskandar yang duduk di sebelah anaknya. Sedangkan Mita duduk di sebelah Tante Gina serta di depan Vano. Tuan muda itu sendiri, sedari tadi ekspresinya sangat nggak mengenakkan untuk dilihat. Suram bahkan nggak ada senyum-senyumnya. Dia juga nggak berminat menimpali obrolan kedua orang tuanya bersama dengan Mita. Gadis itupun sadar, sejak siang Vano banyak diam. Dia nggak banyak mengomentari pekerjaan Mita. Namun Mita sendiri jadi aneh. Sebab nyinyiran Vano sudah seperti makanannya sehari-hari. Melihat Vano banyak diam malah membuat Mita ngeri nggak berani mendekat. Kan, jadi serba salah. Vano nyinyir salah. Vano diam juga salah. Sebenarnya Mita maunya apa? Kini, di ruang makan mereka berempat sedang makan malam. Bukan makan malam sih, lebih tepatnya makan sore karena masih pukul 18.30 WIB. Dan di luar sedang hujan lebat. Beruntung Mita nggak jadi
Sunyi dan dingin, kini hujan telah reda. Jalanan becek dan banyak air yang menggenang di beberapa ruas jalan. Malam pun mulai semakin larut dengan lampu-lampu jalanan yang menerangi. Sedangkan itu di dalam mobil Mercedes-Benz GLB-Class yang melaju dengan kecepatan standar, Mita duduk di kursi penumpang diam saja. Gadis bermata sipit itu memangku tasnya, lalu memandang lurus ke depan tanpa menoleh ke samping. Vano pun diam. Laki-laki itu masih kepikiran dengan perkataan kedua orang tuanya serta teringat masalahnya dengan Bunga. Sudah beberapa minggu terakhir Vano menikmati kehidupan bebas yaitu nggak mendapat gangguan dari Bunga. Perempuan bintang iklan itu tampak gengsi semenjak perselisihan mereka, nggak mau menghubungi Vano terlebih dahulu. Malah Bunga selalu menghubungi Mita dan Mita selalu menyampaikan kepadanya. Namun karena memang dasarnya Vano sudah nggak ingin dengan Bunga, laki-laki itu selalu mengabaikan. Bahkan sampai bertemu dengan Tante Mawar dan Om Baga
"Bantu saya Mit," ucap Vano ketika mereka terdian agak lama. Mobil Mercedes-Benz GLB-Class melaju masih dengan kecepatan normal. Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi lagi. Dan wiper pun bergerak untuk membantu membersihkan kaca dari air yang menghalangi jarak pandang Vano. Laki-laki yang sedang fokus menyetir itu pun menoleh sekilas pada asistennya dengan ekspresi yang penuh harap bercampur frustasi. Sebuah ekspresi yang jarang diperlihatkan apalagi dengan Mita. Dan mungkin saja gadis itu semakin kebingungan dengan kepribadian Vano. Sebab bagaimana bisa Vano yang terkenal nyinyir dan angkuh meminta tolong dengan bawahan seperti Mita. Suatu hal yang seolah seperti mimpi dan nggak mungkin terjadi. Namun nyatanya memang terjadi. Vano sangking frustasinya telah meminta bantuan Mita setelah melepas semua ego dan harga diri yang laki-laki itu selalu junjung tinggi jika bersama gadis itu. Segitukah ingin lepas dengan Bunga? Lagi pula kenapa bisa seorang Vano yan
Masuk ke dalam kamar, Mita langsung membanting tasnya ke kasur, kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya terlentang menatap langit-langit kamar. Kepalanya terasa sedikit pusing, tubuhnya lebih dari lelah. Sehingga ketika gadis itu baru masuk ke dalam rumah, Ibu Sri yang melihat kegontaian anaknya bertanya heran. "Pulang-pulang lemas, terus di anterin bos, habis ngapain?" "Mbak Mita lembur Bu," sahut Hansel yang sedang menonton acara televisi sendiri. Beruntung adiknya itu sedang pengertian, jadi Mita langsung izin untuk masuk ke dalam kamar karena lelah. "Langsung mandi, biar seger," peringat Ibu Sri sebelum Mita menutup pintu kamarnya. Gadis bermata sipit itu memang nggak pernah membahas pekerjaannya kepada Ibu dan Bapak. Dia lebih banyak curhat dengan Hansel. Walaupun mereka sering bertengkar, nyatanya karena hubungan darah antara kakak dan adik mereka tetap saling mendukung satu sama lainnya. Hansel kalau nggak kumat memang bisa diandalkan. Da
"Aku tuh jadi kesel sendiri gitu Bi, plin-plan banget kalo udah menyangkut urusan uang," curhat Mita semakin mengeluarkan uneg-unegnya. Rasanya dia bisa lega jika sudah membicarakan sesuatu yang mengganjal dengan Bianca. Sebab sahabatnya itu bisa menjadi pendengar yang sangat baik. Nggak menghakimi tapi nggak membela juga. Pokoknya Bianca the best menjadi tempat curhat. "Iya sih, tapi yang aku heranin ya Mit, kok bisa si bos minta bantuan mu? secara gimana ya ngomongnya, aneh aja gitu masa mau putus tapi minta bantuan orang lain." "Nah iya aku juga mikirnya gitu, mau heran tapi ini Pak Vano, kan dia memang begitu, nggak bisa apa-apa selain ngurusin perusahaannya," kata Mita yang sekarang sudah mengubah posisi menjadi duduk bersila memangku bantal tidurnya. Jam dinding di atas pintu sudah menunjuk angka sembilan malam. Mita sebenarnya sudah mandi di rumah Vano, hanya saja nggak ganti. Dia akan mengganti pakaiannya setelah sesi curhat selesai.
Dalam film Harry potter, kebahahagiaan dan kegundahan akan silih berganti. Kebahagiaan setelah menyelesaikan misi atau teka-teki, namun kembali gundah bahwa harus menyelesaikan suatu masalah besar yang akan datang. Seenggaknya itulah yang dirasakan oleh Mita. Dia merasa bahagia, namun secepat kilat menjadi gundah gulana yang menimbulkan kebingungan untuknya. Kini gadis bermata sipit itu sedang duduk di sebuah cafe depan kantor Miyora, duduk di bangku pojok sembari menatap luar dari balik jendela kaca. Dia sendirian dan sedang nggak berminat diajak berkumpul dengan Farhan dan kawan-kawan. "Lo makin hari, makin nggak asik deh Mit," kata Farhan begitu mereka bertemu saat Mita akan keluar gedung menuju cafe. Laki-laki itu seperti biasa, berpenampilan rapih dan modis dengan gaya penggoda yang kuat. Sebenarnya Mita memang merasakan perubahannya sendiri. Benar yang dikatakan Farhan bahwa dia semakin hari semakin nggak asik. Mita pun mengakui sendiri dan hal itu ngga
Hari sudah sore, rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. Tetes demi tetes, rintik-rintik yang awalnya kecil menjadi besar bak pasukan yang menyerang dengan cepat. Sedangkan itu seseorang berbadan tegap dan macho hanya menatapnya lewat jendela kaca besar sembari menyesap kopi buatan asistennya yang sudah dingin. Jam di dinding sudah menunjuk pukul lima sore, tandanya sudah waktunya pulang ke rumah masing-masing. Namun di luar sedang hujan, beberapa karyawan pun terpaksa berdiam di kantor menunggu hujan sedikit reda. Seperti halnya Vano. Tuan muda itu tampak tenang ketika melihat hujan yang turun lewat jendela kaca ruangannya. Suasana yang mendamaikan itu menyeret kenangan masa kecilnya tentang hujan kembali dalam ingatan. ~Flashback~ "Van, main hujan sana." "Enggak Pah, nanti sakit." Pak Iskandar yang mendengar penolakan anaknya segera masuk ke dalam kamar sang anak. Vano sedang rebahan di kasurnya sembari membaca buku tentan
Mita nggak pernah menyangka akan terjebak dengan Vano di ruangan yang sama dan disaat hujan turun deras di luar. Gadis itu kebingungan atas pertanyaan yang dilayangkan bosnya. Kalimat menuntut itu membuat Mita melirik kanan dan kiri dengan gelagat yang gugup. Tentu saja dia memikirkan isi pesan Bunga yang memintanya untuk membantu berbaikan dengan Vano. Si Bunga nggak tau saja kalau pacar yang dia sayangi itu ingin mencampakkan dirinya dengan tega. Lalu apakah Mita juga akan tega berkhianat dengan membantu memisahkan sepasang kekasih itu. Bahkan hanya memikirkan saja membuat kepala Mita mendadak nyeri. Dia berkhianat tapi kan itu demi kebaikan Bunga. Nggak dosa kan ya kalau Mita membantu Bunga berpisah dengan laki-laki nggak layak seperti Vano. Namun semakin memikirkan tentang hal itu semakin membuat kepala Mita kliyengan. Akhirnya gadis itu pun menghela nafas mencoba tenang dengan suasana yang menuntut. Mita berdiri dengan tegak untuk mengimbangi gestur inti
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i