Kesunyian melanda di dalam mobil Mercedes-Benz GLB-Class yang melaju pelan.
Mang Joko yang menyupir beberapa kali melirik ke belakang untuk melihat Tuan Muda serta asistennya itu.Suasana seakan mencekam dan Mang Joko sangat merasakan betul aura kegelapan antara Vano dan Mita. Bahkan sejak baru masuk ke dalam mobil untuk pulang. Biasanya Vano berbasa-basi sedikit dengan Mang Joko. Dan Mita akan mengajak mengobrol sang sopir. Namun kali ini memang jauh berbeda.Mereka sama-sama diam dan nggak saling mengeluarkan sepatah katapun. Mita yang biasa cerewet juga diam saja. Sehingga Mang Joko mau nggak mau juga ikut terdiam dan berusaha untuk memfokuskan diri menyetir.Ada yang salah.Benar, memang ada yang salah.Tentu saja salahkan Vano jangan Mita. Gadis itu jengkel dengan kepribadian nyinyir bosnya. Dia merasa sakit hati telah dibilang nggak becus bekerja.Jadi, selama seminggu ini siapa yang menyiapkan segala perlengkapan kerja bosnya, siapa yang mem"Saya nggak suka dengan orang yang mengganggu disaat saya lagi sibuk, sedangkan Bunga tadi merecoki saya." Vano kembali berbicara. Raut wajahnya datar tanpa emosi."Bunga kan pacar bapak," timpal Mita langsung. Sebab dia masih menganggap wajar jika perempuan seperti Bunga ingin mendapat perhatian lebih dari pacarnya yang kaku dan dingin.Tapi kayaknya si kembang yang salah mendapat pacar. Laki-laki macam Vano nggak akan bisa diandalkan untuk bisa perhatian dan peduli. Berarti Bunga saja yang salah memilih pacar."Pacar, terus berhak merecoki kerja di jam kerja?" Vano bertanya.Sedangkan Mita tertohok nggak bisa menjawab. Benar yang dikatakan Vano. Harusnya Bunga peka terhadap kesibukan pacarnya. Jangan mengganggu disaat yang nggak pas.Tetapi kalau dua-duanya benar, lalu yang salah siapa? Duh, kok Mita yang jadi pusing mengurusi percintaan bosnya.Mendapati asistennya yang hanya terdiam membuat Vano kembali mengeluarkan perkataannya. Entahlah, dia meras
"Jadi, lo baru pulang ngantor apa gimana Lang?" tanya Mita kepada Gilang disampingnya.Mereka menyantap menu yang sama di bawah langit malam kota Jakarta. Tempat yang sederhana akan menjadi romantis jika bersama doi. Apalagi doi nya Gilang. Laki-laki manis nggak ngebosenin yang bisa membuat Mita bahagia hanya melihat senyum dan tawanya saja.Ih, kok jadi lebay."Iya, barusan aja dan langsung mampir," jawab Gilang, kemudian memasukkan sesendok nasi beserta sate taichan ke dalam mulutnya.Perutnya lapar. Gilang kalau lapar makannya jadi seperti kuli, cepat dan banyak."Laper banget masnya," kata Mita menoleh pada Gilang. Ekspresinya seperti jijik, tapi nggak jijik. Kayak apa ya, heran saja gitu dengan Gilang yang makan seperti orang kelaparan.Mendapati ekspresi Mita yang seperti itu membuat Gilang sedikit meringis. "Sorry Mit, gue emang lagi laper banget."Mita terkekeh. "Yaudah, lanjutin aja, gue juga mau lanjut makan, ngobrolnya bisa nanti."
Kini Mita menatap langit-langit kamarnya. Jam di dinding sudah menunjuk angka sepuluh malam dan dia nggak bisa tidur padahal tubuhnya terasa lelah sekali.Pikirannya mulai menerawang kemana-mana akibat nggak bisa tidur.Baik mengenai Gilang ataupun Vano yang sikapnya berbeda jauh. Kemudian Mita teringat tentang ucapan Vano yang ingin mengakhiri hubungan dengan Bunga.Mita nggak habis pikir saja, mengapa dia bisa mendengar pengakuan bosnya yang datar. Apalagi hal itu mengarah ke urusan pribadi bosnya.Dan ketika sehabis gadis itu mendengar pengakuan Vano, dia nggak bereaksi apa-apa. Tertegun, bingung dan nggak tau harus mengatakan apa. Mita dan Vano terjebak dalam keterdiaman agak lama sebelum Mang Joko datang dengan membawa dua kopi cup merk terkenal.Bahkan sampai rumah, Mita dan Vano pun nggak mengucapkan apa-apa, hingga Mita memutuskan pulang setelah berpamit dengan Bik Muti dan Mang Joko.Gadis bermata sipit itu semakin dibuat bingung dengan tingkah
Memasukkan pakaian sudah, menata barang dan dokumen yang dibutuhkan juga sudah. Menyiapkan pakaian ganti sudah, merapihkan kamar Vano juga sudah. Lalu, Mita memperhatikan pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Gemericik air terdengar disana. Dia berdecih sengit, kemudian menuju ranjang Vano kembali.Betapa sibuknya gadis itu di pagi buta seperti ini. Packing barang-barang bosnya dengan diawasi Vano sendiri. Mita bahkan nggak habis pikir, dia yang memasukkan juga pakaian pribadi a.k.a dalaman bosnya.Mita dan Vano bahkan sempat berdebat karna hal itu. Mita yang nggak mau kalah dan Vano juga yang nggak mau ngalah."Apa salahnya, ambil dan masukkan? Itu cuman kain dan nggak lagi saya pakai," ucap Vano cuek kala itu, tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya di meja kerja."Ya bukan gitu pak, itu barang pribadi Pak Vano sendiri, masa saya pegang-pegang?""Yang kamu akan pegang itu celana bersih, bukan pegang-pegang alat vital saya."Astaga, kalau Mita inga
Dentingan suara sendok dan piring mengalun memenuhi ruang makan. Suasana yang biasanya hangat karna tercipta oleh obrolan diantara mereka, kini hanya canggung yang terasa. Bukan canggung sih, Mita saja yang merasakan canggung. Sedangkan Vano hanya berekspresi datar, lalu Bik Muti dan Mang Joko yang kebingungan dengan suasana yang tercipta. Mereka berdua jadi ikutan terdiam.Mita sungguh nggak berani mendongak, dia sedari tadi menundukkan kepala saja. Bahkan tanpa melihat pun dia dapat merasakan tatapan pedang yang ingin mencabik-cabiknya.Tentu saja berasal dari Vano yang duduk tepat di depannya. Laki-laki itu seolah ingin menghakimi Mita dan menghukumnya dengan menembak mati targetnya.Dan Mita sendiri nggak nyaman dengan keadaan seperti itu. Dia hanya mengambil makan sedikit karena di rumah, dia sudah makan terlebih dahulu. Harusnya Mita bisa dengan cepat menghabiskan makanannya, tetapi karena nggak nyaman dia kalah cepat dengan Mang Joko dan Vano, bahkan kalah deng
Sore semakin larut. Sinar jingga menyinari kota dengan julukan Paris Van Java.Bandung, kota dengan sejuta keindahan wisata buatannya. Tempat-tempat kekinian yang sering terpajang di media sosial, tempat muda-mudi dan keluarga menghabiskan akhir pekan. Walau keberadaannya dekat dengan Jakarta, nyatanya Bandung memiliki cuaca nggak sepanas ibu kota. Dulu Mita pernah ikut perjalanan semasa kuliahnya ke Bandung. Dengan kearifan lokal yang masih melekat, nyatanya Mita telah terpikat dengan sang kota kembang.Ya, seenggaknya Mita dulu pernah menikmati perjalanannya menuju Bandung. Namun berbeda dengan yang sekarang. Dia kurang menikmati namun malah jadi tertekan.Bagaimana enggak, Vano dengan tingkah balas dendamnya atas kejadian intim di dalam kamar, terus saja mengganggu dan mengerjai gadis itu tanpa ampun. Bukan mengomel atau nyinyir, tetapi dengan seenak jidat menyiksa Mita dengan suruhannya yang nggak ada habisnya. Mana labil dan nggak jelas.Iya, itu tugas asisten priba
Diam, Mita mencoba menikmati semilir angin malam yang berhembus menerpa wajahnya. Dia memakai sweter tebal sebab cuaca di Bandung memang sedang dingin, dan dia juga memakai celana training panjang hingga mata kaki. Tampilannya santai dan sedikit berbeda dengan rambut sepunggungnya yang tergerai. Karena biasanya Mita selalu mencepol ekor kuda rambutnya. Memakai riasan serta berpakaian formal. Bagi Vano yang pertama kali melihat asistennya dengan tampilan santai nggak seperti biasa itu, sempat tertegun sejenak. Sebab gadis bermata sipit itu makin terlihat polos dan semakin baby face."Mau makan apa pak?" tanya Mita memecah keheningan diantara mereka bedua. "Kalau disini adanya makanan-makanan pinggir jalan jauh dari kata steril seperti makanan yang disediakan di hotel," ucapnya sekali lagi sembari memberitahu Vano keberadaan tempat makan pinggir jalan yang berderet-deret dan ramai akan pengunjung.Dia nggak habis pikir saja saat bosnya melapor padanya mengatakan lapar dan nggak
Dua hari telah berlalu, kegiatan kerja yang mana sebagai tujuan utama sudah selesai dilaksanakan. Mita lega akhirnya dia bisa pulang juga. Gadis itu sudah selesai packing barang-barangnya serta packing barang-barang milik bosnya. Mereka akan beranjak pulang sesuai dengan jam tiket kereta pada pukul sepuluh malam.Lalu karena ini masih pagi baru akan menjelang siang, yaitu tepatnya baru pukul sembilan. Gadis itu hanya menikmati sisa waktunya dengan duduk-duduk di jendela kaca tebal menatap gedung serta jalanan dengan hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang. Mita menyenderkan kepalanya disana, tiba-tiba melamun sedangkan suara acara televisi memenuhi kamar yang sudah rapih dan bersih.Sebenarnya dia ingin membelikan oleh-oleh untuk keluarganya. Ya nggak banyak tapi seenggaknya sebagai tanda buah tangan karena Mita pergi ke luar kota.Tapi gadis itu nggak tau tempat oleh-oleh yang berada dekat dari hotel.Maka berbekal dari teknologi masa kini yang mumpuni. Mita p
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i