Rumah orang tua Vano terletak di daerah Tangerang. Butuh waktu perjalanan sekitar 1 jam untuk sampai. Beruntung jalanan lenggang sehingga Vano bisa mempercepat laju mobil. Namun sesuatu yang nggak disukai Mita adalah sama-sama diam.
Selama perjalanan mereka sama-sama diam. Hanya mengeluarkan kata yang penting-penting saja, setelahnya kembali diam membisu dan menjadi canggung.Sebenarnya tangan Mita gatal ingin menyetel radio agar suasana nggak sunyi-sunyi amat. Tetapi orang disampingnya mengeluarkan aura dingin bagai kutub utara. Berbeda sekali dengan beberapa puluh menit yang lalu, dimana Vano bisa ramah dan auranya menyenangkan.Tuh kan.Vano memang selalu seperti itu jika bersama Mita. Entah dingin adalah sikap asli bosnya itu atau sebenarnya ramah merupakan sikap aslinya.Kalau memang sikap asli Vano ramah, Mita berasa dapat getahnya. Hal-hal jelek dia dapatkan sedangkan orang lain bisa mendapati Vano yang ramah, manis dan tampan.Kan nggak adil."Bangun! Kamu itu tukang tidur ya!"Guncangan kencang di bahu Mita membuat gadis itu semakin tersadar. Dia membuka kelopak matanya dengan terpaksa. Matanya memerah sehabis bangun tidur. Nggak menyangka bahwa dia tertidur dalam perjalanan."Sudah sampai pak?" tanya gadis itu sedikit serak. Dia menegakkan duduknya, menoleh pada Vano yang sedang membuka seatbealt nya."Kalau tidur itu mingkem, ngorok lagi," kata Vano mengabaikan pertanyaan asistennya.Hah?Mita mencerna dengan lelet. Otaknya belum sadar sepenuhnya. Ngorok?Duh, malu."Saya nggak ngorok ya pak.""Kamu tidur mana tau, saya yang dengar.""Bukan ngorok, itu tuh cuman helaan nafas tapi sedikit bunyi, bapak sok tau banget," balas Mita kesal.Padahal dirinya yang nggak tau apa-apa. Laki-laki itu hanya menahan tawanya. Kebodohan Mita memang terkadang lucu. Ingin tertawa tapi gengsi.Maka daripada tertular dengan kebodohan asistennya, Vano segera keluar dari mobil begitu sa
Suara dentingan antara sendok dan piring beradu dengan nyaring, seiring obrolan yang kian seru di ruang makan pada pukul sepuluh pagi. Pak Iskandar dan Tante Gina begitu semangat membuka obrolan, memancing keterdiaman Vano serta Mita untuk ikut andil dalam obrolan.Biasanya yang Mita tau. Cara makan orang kaya sedikit berbeda dengan kalangan biasa. Ada attitude atau bahkan sampai mempraktekan table manner yang ribet dan kaku.Atau misalkan simple nya nggak mengobrol ketika sedang acara makan.Namun semua opini gadis itu mengenai orang kaya seakan terhempas entah kemana ketika berbaur dengan keluarga Vano.Kehangatan sederhana yang sama melingkupi Mita selayaknya di rumah sendiri. Bahkan Vano yang biasa dingin bin nyebelin seketika menjadi laki-laki hangat dan ramah.Dua kali dirinya mendapati Vano yang beraura berbeda dan lebih menyenangkan dari biasanya. Yaitu ketika bersama Hansel dan Bapaknya tadi pagi, serta saat ini ketika bosnya bersama dengan kedua or
"Nggak kerasa ya, padahal kalian sampai sore disini, rasanya cepat sakali," ucap Tante Gina begitu mengantar anak serta asisten anaknya keluar rumah. Pak Iskandar pun ikut mengantar, namun beliau seperti belum mengikhlaskan bahwa akan berpisah dengan Mita. Asisten anaknya itu sudah ia anggap sebagai anak sendiri.Maklum, sebab Pak Iskandar dan Tante Gina hanya memiliki satu anak yaitu Vano. Dulu Pak Iskandar berharap betul memiliki seorang anak lagi yang berjenis kelamin perempuan. Namun Tuhan lebih mempercayai mereka dengan satu keturunan saja.Dan hari ini, ia bertemu dengan Mita. Sesosok anak yang diharap-harapkannya sejak dulu."Saya senang Tante, bisa main kesini, kenal sama Tante dan Om yang menyenangkan," ucap Mita tersenyum tulus. Dia menatap Pak Iskandar haru. Rasanya seperti menemukan sosok Bapak yang lebih cerewet dan lebih suka bercanda."Kamu yang lebih menyenangkan Mita, bikin suasana rumah kami jadi ramai, terimakasih ya menyempatkan main kesini, boleh kok
"Ternyata keluarga Pak Vano memang menyenangkan, nggak beda jauh sama keluarga saya, kirain bakal kaku," kata Mita jujur.Dia duduk di sebelah Vano yang sedang fokus menatap kedepan.Mereka sedang dalam perjalanan pulang, namun karena tadi sudah mendung, alhasil sekarang hujan deras pun turun.Wiper pun bergerak seirama untuk membersihkan air hujan yang terus menetesi kaca depan.Dengan suasana yang dingin ditemani dengan suara rintikan hujan, gadis bermata sipit itu nyatanya nggak bisa benar-benar diam. Bibirnya gatal ingin sedikit berbincang dengan bosnya. Lagian ada rasa nggak enak juga, ketika tadi Mita dengan semangat ikut ceng-cengin Vano, namun ketika hanya berdua gadis itu merasa nggak bisa lagi melakukan hal serupa. Dia nggak bisa bercanda, nggak akan ada yang membelanya, bahkan aura Vano kembali menjadi serius dan kaku, maka mau nggak mau Mita harus mempertegas bahwa hal tadi hanya candaan semata. Sudah belalu, jadi dia ingin terlihat santai dan membuka
"Bawa." Vano mengangsurkan plastik berlebel merk makanan kepada Mita sebelum gadis itu keluar.Raut wajah Mita terlihat masih mengantuk. Sebab Vano seperti biasa membangunkannya dengan brutal."Ini apa Pak?" tanyanya yang sudah menggenggam plastik dari Vano. Sebenarnya dia sudah bisa mengerti makanan apa yang ada didalamnya. Dari merk nya saja nggak asing yaitu martabak terkenal dengan cita rasa yang banyak disukai orang-orang. Mita dan Bianca pun sering memakan martabak itu. Hanya saja, gadis itu nggak paham dengan maksud Vano memberikan kepadanya."Buat Ibu, Bapak dan Hansel.""Eh nggak usah pak, jangan repot-repot." Mita ingin mengembalikannya kepada Vano namun raut laki-laki itu semakin dingin dan semakin nggak enak dilihat."Itu buat mereka, bukan buat kamu, saya nggak repot."Saat Mita akan kembali menyanggah, laki-laki itu kembali berkata dengan nada mengusir. "Sana, keluar, saya mau pulang. Kalau mau ikut ngomong dari tadi biar nggak mampir."
Hari yang cerah. Mentari pagi bersinar indah. Seolah memang sedang menyambut pagi yang menyenangkan untuk Mita. Senyumnya pun menawan di bibir sedikit tebalnya. Sorot mata sipitnya juga bersinar terang, siapapun pasti tau jika gadis itu sedang berbahagia.Terlebih senandung-senandung kecil sering dia gumamkan. Sehingga aura bahagiannya kian terasa.Vano hanya menatap asistennya itu datar. Walaupun dia bisa merasakan kebahagiaan Mita, namun dia sudah tau apa penyebab yang membuat Mita bisa sebahagia itu.Mita itu ibaratkan sebuah cerita yang mudah ditebak. Dari tindakan, sikap dan perkataan, Vano dapat dengan mudah menebak apa yang sedang dirasakan oleh asistennya itu."Nah, sudah." Mita memundurkan tubuhnya untuk melihat dengan jelas laki-laki didepannya. "Sudah rapih, Pak Vano semakin ganteng deh," komentar Mita mengerlingkan mata sipitnya.Laki-laki di depannya mendengus. Kemudian melonggarkan dasi yang telah dipakaikan oleh Mita. "Terlalu mencekik," katanya datar y
Tau dementor? Itu loh tokoh fiksi karangan J. K. Rowling di serial Harry Potter. Dementor digambarkan sebagai makhluk menyeramkan yang bisa menyedot kebahagiaan manusia. Dah lah, emang persis banget dengan Vano. Hanya beda wujud saja, sebab Vano lebih enak dipandang dibanding si dementor. Tapi pada intinya keduanya sama, yaitu sama-sama penyedot kebagaiaan orang disekitar. Awal-awal, Mita sih masih punya sihir Expecto Patronum untuk menangkal si dementor alias Vano. Agar kebahagiaan yang dia rasakan nggak tersedot. Gadis itu sudah berusaha untuk menjaga moodnya dengan baik. Namun kekuatan sihir Expecto Patronum nya semakin mengikis akibat bertubi-tubi mendapat nyinyiran bosnya. Heran banget, kenapa nggak bisa lihat Mita bahagia sedikit saja sih. Sepanjang pagi hingga menjelang siang, Vano terus membuat gara-gara dengan asistennya. Ya yang menyuruh Mita untuk ikut meeting, bolak-balik keluar ruangan untuk koordinasi dengan Billy, menyur
Kesunyian melanda di dalam mobil Mercedes-Benz GLB-Class yang melaju pelan.Mang Joko yang menyupir beberapa kali melirik ke belakang untuk melihat Tuan Muda serta asistennya itu.Suasana seakan mencekam dan Mang Joko sangat merasakan betul aura kegelapan antara Vano dan Mita. Bahkan sejak baru masuk ke dalam mobil untuk pulang. Biasanya Vano berbasa-basi sedikit dengan Mang Joko. Dan Mita akan mengajak mengobrol sang sopir. Namun kali ini memang jauh berbeda.Mereka sama-sama diam dan nggak saling mengeluarkan sepatah katapun. Mita yang biasa cerewet juga diam saja. Sehingga Mang Joko mau nggak mau juga ikut terdiam dan berusaha untuk memfokuskan diri menyetir.Ada yang salah.Benar, memang ada yang salah.Tentu saja salahkan Vano jangan Mita. Gadis itu jengkel dengan kepribadian nyinyir bosnya. Dia merasa sakit hati telah dibilang nggak becus bekerja.Jadi, selama seminggu ini siapa yang menyiapkan segala perlengkapan kerja bosnya, siapa yang mem
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i