"Aku nggak nyangka, pantas kayak nggak asing liat kamu Mit, ternyata anak fakultas ekonomi bisnis, Mita Pratiwi nama kamu dulu banyak yang tau."
Mita hanya menampilkan senyum ramahnya. Dia sedang bercakap dengan Bunga. Lebih tepatnya Bunga sedang mengganggu konsentrasinya.Sebab perempuan itu terus mengajak Mita berbincang padahal Mita sendiri sedang bekerja menyelesaikan tugasnya.Kenapa nggak ngobrol sama pacarnya aja sih. Dongkol gadis itu didalam hatinya, tapi bagaimana ya, sebagai bawahan Mita mau nggak mau harus menghormati pacar bosnya kan."Banyak yang tau sebagai kutu buku sih kayaknya, dulu kamu juga dibicarakan di kelas ku sebagai cewek yang cantik.""Masa sih?"Mita mengangguk mantap, padahal dia berbohong. "Iya," jawabnya meyakinkan. Jangan salahkan Mita berbuat demikian sebab dia merasa jengkel karena terganggu.Sedangkan di meja sebrang, laki-laki yang menjabat CEO itu hanya diam. Dia memainkan tabletnya, sesekali mendengar percakapaLapar.Satu kata yang menggambarkan keadaan Mita sekarang. Gadis tersebut kini duduk dengan gelisah di samping Vano di kursi penumpang.Hari sudah sore, sorot jingga menghiasi langit-langit kota jakarta yang tadi panas menyengat. Rasanya Mita nggak sabar dengan laju kendaraan yang sangat lambat.Sedangkan di luar keadaan jalan memang sedang macet, ditambah lapar. Kombinasi yang pas untuk gadis itu mengumpat pelan.[Billy : Mita belum makan, dia nggak ngambil istirahat demi nyelesain tugas yang lo kasih, tanggung jawab]Pesan singkat dari Billy yang tampil di layar ponsel membuat laki-laki yang sudah melepaskan jas kerjanya itu mendengus.Otomatis sorot tajamnya mengarah ke sampingnya dimana ada seorang gadis yang nggak bisa diam dalam duduknya.Terlihat sekali asistennya itu sedang gelisah. Atau mungkin itu efek menahan lapar. Lagi pula kenapa juga Vano jadi yang ribet.Namun kata tanggung jawab yang disematkan Billy dalam pesannya membuat Vano terganggu. Dia
Dari awal memang banyak orang terdekat yang mengatakan bahwa Vano itu baik. Entah baiknya seperti apa, Mita belum tau pastinya. Sebab jika Vano bersamanya ya begitu sifatnya, menjengkelkan. Namun walaupun begitu, Mita nggak pernah menjudge jika Vano itu jahat.Dia menyebut bosnya gila atau orang aneh ya hanya karena reaksi atas kejengkelan dirinya saja.Mita selalu ingat kata Bapak, jangan pernah menyukai orang seratus persen atau jangan pernah membenci orang seratus persen. Setiap orang memiliki sisi baik dan buruknya. Bedanya hanya seberapa kadar kebaikan atau keburukan, maka itulah yang dominan.Mungkin, seperti Bik Muti ataupun Pak Joko menganggap Vano baik karna laki-laki itu selalu baik pada mereka. Dan Mita menganggap Vano tukang nyinyir ya karena dirinya selalu dinyinyiri oleh bosnya.Mita nggak pernah tau bagaimana sikap asli seseorang. Seperti halnya mengenai sikap Vano.Laki-laki maskulin dengan gaya cool nya itu kini sedang berdiri menjulang dihadapa
Sebelum bekerja, rebahan merupakan kegiatan yang selalu Mita lakukan sepanjang hari di rumah. Bahkan sampai dia bosan dan lelah sendiri. Padahal hanya tiduran, main hp, tapi memang kerasa lelahnya sih. Bosan juga iya, merasa hidup kok gitu-gitu aja.Dan sekarang setalah sepanjang hari bekerja, rebahan adalah kegiatan langka yang selalu Mita rindukan.Memang gitu ya, jika dipikir-pikir serba salah. Bisa rebahan sepanjang hari, ngeluh ngerasa hidup kok gitu-gitu aja. Giliran sudah bekerja dari pagi sampai magrib, rasanya rindu sekali ingin rebahan.Ya gimana lagi sih ya, begitulah memang adanya. Mita sepertinya harus bisa menikmati kegiatan dan lebih banyak bersyukur lagi.Sebab masih beruntung Tuhan memberikan pekerjaan dengan gaji yang besar. Di luar sana masih banyak yang bekerja sepanjang hari seperti gadis itu namun mendapatkan gaji yang kecil.Benar, Mita masih beruntung. Nggak boleh ngeluh.Dan karena lima hari terakhir Mita sudah biasa bangun pukul lima pagi,
Gilang Arkana Putra namanya. Laki-laki seusia Mita yaitu 24 tahun yang manis dan nggak bosan di pandang. Gaya komunikasinya santai, selalu bisa mengubah suasana badmood orang lain menjadi goodmod.Apa saja bisa menjadi topik pembicaraan yang mengasyikan dengannya. Apalagi senyumnya kelewat manis, menenangkan dan seolah ada ikatan kuat untuk orang yang kenal dengannya menjadi terpesona.Buktinya Ibu Sri. Seorang ibu dua anak saja sampai terpesona dengannya apalagi perempuan-perempuan muda seperti Mita. Bahkan kekesalan gadis itu mulai sirna ketika sudah mengobrol dengan Gilang di teras rumah.Tawanya yang renyah membuat Mita tersanjung. Dia merasa bangga jika membuat laki-laki seperti Gilang bisa tertawa karenanya.Ah, Gilang, bikin Mita mabok aja. Bahkan gadis itu merasa sudah menjadi genit pada laki-laki. Padahal sebelumnya dia nggak seperti itu."Yaudah, yaudah, gue traktir makan es krim, mau?"Laki-laki itu menawari sesuatu yang menggiurkan dengan ir
"Jadi by the way lo kerja apa sih, Lang?"Mita bertanya. Gadis itu berjalan di samping Gilang menyusuri jalan setapak sebuah taman kota yang lenggang.Gemericik pohon serta ranting yang tertiup angin membawa suasana kian sejuk. Walaupun langit sedang bersinar panas namun pepohonan yang tertanam rimbun mampu menutupi sinarnya untuk nggak menembus dan mengganggu pejalan kaki.Kaki mungil yang dibalut sepatu kets warna putih itu mengayun perlahan. Matanya yang sipit tak hentinya memandang suasana hijau di taman, sesekali menoleh ke samping untuk memperhatikan wajah manis Gilang dari samping."Karyawan biasa di perusahaan start up.""Ah masa sih?" ucap Mita nggak percaya dengan kalimat karyawan biasa. "Spesifik jabatannya lah, nggak dianggap sombong kok.""Hahaha.""Malah ketawa," balas Mita mengomentari tawa renyah temannya.Sedari tadi Gilang banyak tertawa. Kadang hal-hal receh saja membuatnya tertawa, hingga Mita bertanya-tanya sendiri. Sereceh itukah laki-la
"Mau kemana?" todongan suara Ibu menggema ketika Mita sudah berpakaian rapih keluar dari kamarnya.Dia berpakaian atasan kaos pendek longgar dimasukkan ke celana jeans kulot menenteng tas slempang. Mungkin Ibu sangat heran dalam satu hari anaknya keluar main. Tadi siang dengan Gilang, lalu malam ini dengan siapa?"Ketemu temen-temen kerja Bu, katanya lagi ada acara kumpul dan aku di ajak gabung.""Pulangnya jangan malam-malam, kalau diatas jam 11 belum pulang pintu rumah Ibu kunci ya," ucap Ibu Sri yang seperti biasa dengan kata-kata lembut namun menusuk.Mita mengangguk patuh. Karena dia juga nggak biasa pergi malam-malam jadi nggak heran orang tuanya masih protektif.Semua gara-gara Farhan. Laki-laki itu memaksa Mita untuk ikut nongkrong yang katanya menjamin bisa merefresh kepenatan kerja.Awalnya sih Mita nggak mau, namun Farhan bilang jika ada Cakra dan teman-teman kantor lainnya yang ingin mengenal Mita."Anggap aja ini sebagai pengenalan lo
Vano mengernyitkan dahinya. Menjauhkan sejenak ponsel dari telinganya. Benar, dia sedang menelpon Mita si asisten pribadinya. Tetapi suara dentuman keras musik di sebrang telpon membuatnya merasa tertegun sebentar. Mita sedang clubbing?"Kamu ada dimana?" laki-laki itu mengeraskan suaranya. Sebab tiba-tiba perasaan emosi kesal menguasainya. Karena telah menduga jika Mita sedang bersenang-senang di tempat seperti 'itu'."Clubbing ya? Ternyata nggak bener kamu," katanya sekali lagi. Dia meletakkan tabletnya di meja nakas. Kemudian turun dari ranjang."Apaan sih pak! Saya ini pingin pulang! Tadi diajakin sama teman, nggak tau kalau tempatnya seperti ini." Mita keras berbicara, berusaha mengalahkan suara dentuman musik yang memekakkan telinga itu."Bawa kendaraan sendiri nggak?""Hah? Apa pak? Nggak kedengeran!"Vano menghela nafas. Mencoba sabar untuk menghadapi asistennya yang kadang-kadang kurang ajar. "Kamu bawa kendaraan sendiri nggak?" Dia kembali bertanya namun
Di bawah langit yang menghitam mobil Mercedes-Benz GLB-Class semakin melaju kencang di jalanan malam kota Jakarta yang lenggang. Suasana di dalamnya sangat sunyi, Vano menggenggam stir dan fokus memandang ke depan. Sedangkan Mita duduk menyender anti menoleh ke kanan. Rasanya dia ingin cepat-cepat keluar dari rasa sunyi nan canggung yang melanda. Ternyata lebih baik menikmati suasana nggak nyaman dengan Farhan dan kawan-kawan dibanding harus duduk bersebelahan dengan tuan bos yang mengesalkan."Di plang depan, belok kanan," ucap Mita kembali memberikan arahan.Vano nggak membalas. Dia diam tanpa kata setelah mengeluarkan kekesalannya. Laki-laki itu hanya bertindak menuruti arahan dari gadis disebelahnya. Sedangkan ekspresinya telah kembali datar seperti biasa menutupi segala rasa canggung yang melanda."Berhenti pak, sudah sampai," ucap Mita kembali ketika mobil telah sampai di depan gerbang rumahnya.Dia menunggu mobil berhenti. Ingin cepat-cepat melenggang pergi memasu
Terimakasih untuk yang telah meluangkan waktu mengikuti kisah Mita dan Vano. Seperti halnya dalam hidup yang tak pernah ada akhir hingga kematian datang. Begitu pula kisah ini, yang sebenarnya belum berakhir. Bahkan Vano dan Mita baru mengawali kisahnya ketika ini berakhir. Maka dari itu, biarkan mereka melaluinya sendiri. Merajut kisah selanjutnya dengan hanya ada mereka sendiri. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya. Maaf jika sang pencipta cerita ini banyak mengulur waktu dan berakhir dengan cara yang mungkin membuat kalian kurang puas. Tetapi dengan cerita yang kurang sempurna ini saya berharap kalian semua bisa menikmati. Terlepas dengan saya yang memang suka ngaret update :) Terimakasih banyak. Salam hormat dari Mita, Vano dan author.****
"Ikuti kata hati, jangan menyangkalnya." Mita baru tau jika Ibunya bisa menasehati dengan baik. Ia pikir hanya Bapak yang bijak dalam menasehati. Saat itu setelah selesai acara makan siang bersama, Ibu berkata dengan kalimat itu sebelum keluar. Mita bingung tentang maksud perkataan Ibunya. Namun ketika dipikir lagi, ternyata memang masih ada problem dalam dirinya. Persis yang dikatakan Ibu, bahwa dia terus-terusan menyangkal perasaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebab ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu menyakiti orang lain. Dulu ia benar-benar menyakiti orang yang sangat baik kepadanya. Atas dasar kelabilannya lah jadi banyak orang yang dia repotkan. Mita nggak ingin itu terjadi, maka dengan membohongi dan menyangkal dirinya sendiri adalah senjata untuk itu. Tetapi semakin menyangkal, semakin pula ia tak bebas dengan dirinya. Ada perasaan cemas dan juga khawatir. Tetapi atas dasar menghukum diri sendiri pula, Mita memantapkan diri untuk tetap baik-baik saja.
Siang hari kali ini panas menyengat membakar kulit. Di jalanan komplek tak ada orang yang bersenang hati berjalan di bawah teriknya matahari, bahkan di dalam rumah pun terasa sekali gerahnya kalau nggak ada kipas angin. Lebih bagusnya ac, namun rumah Mita bukanlah rumah mewah dengan adanya ac di setiap ruangan. Mereka mengandalkan angin dari kipas angin. Bukan hanya satu atau dua saja kipas terpasang, bahkan di ruang tamu ada, di ruang tengah dan di setiap kamar juga ada. Namun karena hari ini sangat panas, jadi gadis itu menyeret salah satu koleksi kipas berdiri menuju ruang makan. Nggak berat sama sekali, dia bisa santai tanpa perlu bantuan, namun karena seruan Ibu yang menyuruhnya untuk cepat membuat langkah kaki gadis itu semakin cepat. "Ayo duduk Van." Ibu Sri mempersilahkan si tamu untuk duduk di salah satu kursi makan. Sedangkan Mita hanya diam sembari menyalakan kipas angin yang tadi dia bawa. "Karena hari ini cuman buat satu pesanan jadi nggak begitu banyak masaknya," kata
Malam semakin berlalu, jam yang berdetak di ruang keluarga pun hingga terdengar jelas. Sedangkan itu di satu kamar nampak remang hanya diterangi lampu tidur. Keranjang berdecit kala seseorang di atasnya merubah posisi. Kembali berdecit saat lagi-lagi berganti posisi. Mita seketika menendang selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Merasa kesal akibat matanya yang tak kunjung tertutup. Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. Lagi-lagi nggak bisa tertidur. Dia frustasi dan mengembalikan bantalnya ke tempat semula. Sorot matanya seketika menerawang langit-langit kamar tak bisa tenang. Pikirannya berkelana pada satu momen siang tadi. "Tolong buka hati untuk saya." "Jangan menghindari saya." Argh! Rasanya Mita ingin berteriak kuat-kuat. Seketika jantungnya kembali berdegup nggak normal saat mengingat lagi momen itu. Dia memandang langit-langit kamar dengan menerawang. Tapi sesaat kemudian bibirnya terangkat ke atas secara otomatis. Mita tersenyum, namun kala tersadar ia memukul k
"Kok bisa salah kirim?" tanya laki-laki itu yang berkali-kali lipat tampan dibanding yang dulu. Mita menjadi gugup. Dia berdehem dan menyesap minumannya sedikit. "Nggak tau, saya mau kirim pesan ke Farhan," ucapnya berusaha tampak biasa saja. Dia sempat memperhatikan mantan bosnya yang sedang berbicara kepada salah satu pelayan yang lewat. Memesan kopi dan cemilan, lalu setelahnya kembali memperhatikan gadis di depannya. Dan secepat kilat Mita beralih, dia nggak ingin tertangkap basah sedang memperhatikan mantan bosnya. "Memang nama kontak saya pakai huruf F sampai ketuker seperti itu?" "Enggak," Mita lantas menggelengkan kepalanya. "Mungkin lagi kurang fokus," ujarnya kemudian tampak acuh. Sudah terlanjur kejadian juga. Mau nggak mau Mita harus menghadapinya. Berhadapan dengan mantan bosnya dan juga berbincang memang bukan rencana awalnya. Namun bagaimana lagi. Sebenarnya sih malu karena bisa salah kirim pesan. Tapi ya sudah. Mita kembali menghela nafasnya. Beruntung Vano ngga
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i