"Maaf, Pak. Saya tidak bisa mengatakannya. Kondisi perusahaan sudah begitu buruk, pasti itu salah satu alasan mengapa pusat melakukan audit di perusahaan. Seharusnya, perusahaan ini diaudit setiap tahun. Saya tidak tahu mengapa Pak Raka tidak melakukan hal itu." Dewa berusaha memaklumi keberatan Rara. Pembicaraan Dewa dan Rara baru selesai sekitar jam tujuh malam. Itu pun mereka harus berganti tempat karena merasa tidak enak dengan pemilik kafe yang sudah hilir mudik di depan mereka, meminta mereka meninggalkan tempat itu secara halus. "Aku akan menanti kabar baik darimu, Ra." Dewa menatap Rara dengan penuh harap. Ia merasa sedikit lega. "Bapak tidak perlu khawatir. Saya tidak akan membocorkan pembicaraan ini kepada siapa pun. Tapi mungkin saja, suatu saat saya memerlukan bantuan Pak Dewa untuk menyelesaikan permasalahan ini." "Oh, tentu. Tentu saja. Aku akan membantumu." "Kalau begitu saya pergi dulu, Pak." Rara meninggalkan Dewa yang masih harus menunggu taksi online pesanan
Satu minggu yang lalu. "Siapa?" Riswan mengangkat kepalanya. Suara ketukan mengganggu konsentrasinya. Ia sedang sibuk membuat laporan jumlah pasien yang berobat di klinik perusahaan hari ini. Lumayan cukup banyak. Hampir semuanya mengeluhkan hal yang sama. Sakit perut. Pintu berwarna putih itu membuka sedikit sebelum akhirnya menampakkan sosok cantik berkaca mata hitam. "Apakah aku mengganggu pekerjaanmu?" Suara lembut itu menggelitik pendengaran Riswan, hingga membuatnya melepas pena di tangannya secara tidak sengaja. "Kamu terkejut? Tidak mengharapkan kehadiranku di sini?" Nadhira melangkah masuk mendekati meja kerja Riswan. Riswan sedikit menggerakkan bahunya ke atas. "Sebuah kejutan untukku." Ia mempersilakan Nadhira untuk duduk, setelah menutup bukunya. "Ada hal penting apa hingga dirimu datang mengunjungiku hari ini? Pekerjaankah?" "Kamu tahu, aku tidak ada waktu untuk bermain-main di sini, dan bocah itulah yang membuatku harus datang kemari. Ini adalah kedatanganku ya
Bukan main pegalnya punggung Rara. Hampir seharian, ia mencetak semua dokumen yang ada di laptop Raka, hingga makan siangnya pun diantar oleh Susan. Raka sepertinya sengaja mengurung Rara di ruang kerjanya. Pria itu sendiri tidak berada di ruangannya. Ia meninggalkan Rara sendirian. Di sela-sela makan siangnya, Rara dihubungi oleh Widjanarko. W: "Kamu sudah bertemu dengan Wisnu?" R: "Pak Wisnu? Ehm, saya tidak bertemu dengan Pak Wisnu, Pak. Saya sekarang ada di ruangan Pak Raka." W: "Mana bocah itu? Berikan ponselmu padanya!" R: "Pak Raka tidak ada di sini, Pak. Beliau keluar, dan saya tidak tahu beliau pergi kemana." W: "Apa kamu tahu alasan Wisnu mengajukan surat pengunduran diri?" R: "Tidak tahu, Pak. Saya juga baru tahu dari sekretarisnya, Mbak Reni." Terdengar decakan kesal Widjanarko di ujung sana. "Katakan pada bocah itu, aku menunggu telpon darinya." R: "Baik, Pak." Jam sudah menunjuk ke angka dua lebih tiga puluh menit. Rara meregangkan otot-otot tangan dan punggung
Denting suara sendok beradu dengan piring dan garpu, menghiasi ruang makan berukuran enam kali sepuluh meter. Tidak ada percakapan yang menyelip diantaranya. Semua begitu serius dengan makanan di piring masing-masing. Dingin. Satu kata untuk menggambarkan suasana di ruangan itu. Tidak ada kehangatan sama sekali. Suasana yang tidak pernah ditemui Rara sebelumnya. Gadis itu seakan menjadi bunglon, memilih menjadi meja makan yang hanya diam menyimak semua suara di ruangan itu. Ia sendiri berusaha dengan cepat menghabiskan makanannya. Dalam diam, Widjanarko bangkit dari kursi makannya dan memberi kode kepada Rara agar segera mengikutinya. Sedangkan Raka, malam ini tidak terlihat batang hidungnya. Apakah ia sengaja menghindari undangan makan malam bersama orang tua dan mantan asistennya itu? Widjanarko mengambil satu cerutu di meja kecil, tepat di samping kursi besar utama di ruang tamu. Ia menyalakan cerutu berwarna hitam pekat dan mulai menghirup lalu menghembuskan asap-asap kecil dar
Rara tergesa-gesa berjalan menuju ruangan Raka, hingga dirinya nyaris bertabrakan dengan Susan."Kenapa kamu selalu saja membuat masalah??" sungut Susan, sesaat dirinya nyaris bertabrakan dengan Rara. "Maksudnya?""Pak bos marah-marah saja sejak aku keluar dari lift. Setiap detik selalu saja menanyakan dirimu. Memangnya kamu sudah mengambil barang berharga dari ruangannya ya?""Belum makan kali, jadi ya begitu. Lagian masa iya beliau datang lebih dulu dari kamu?" Rara berjalan menjauh dari Susan."Lihat saja sendiri, dan jangan bertanya apa pun padaku!"Rara yang sudah merasa kesal sejak dari ruangan personalia, memaksakan kakinya untuk terus melangkah menujur ruangan Raka. Ia sangat membutuhkan kesabaran ekstra pagi ini. Kenyataan jika cuti yang ia ajukan disetujui tapi ditunda adalah hal yang sangat menyebalkan baginya. "Apa kamu memang lamban seperti ini?" Raka berkacak pinggang ketika Rara sudah berdiri mematung di depan meja kerjanya.Diam adalah pilihan terbaik untuk Rara saat
"Rara kembali meletakkan tangannya di kening Raka. Panasnya semakin meningkat. Pantas saja pria ini mengatakan hal yang tidak-tidak. Jika nanti panasnya sudah turun, pasti dia akan membantah apa yang baru saja dia ucapkan. Rara mengendorkan ikat pinggang Raka, termasuk dasi dan melepas kaos kakinya. Jas hitam mengkilat pun ia lepas dan sampirkan di sisi belakang sofa. Rara kembali mengambil obat penurun panas di kotak obat. Ia menghancurkannya dengan sendok, yang ia ambil dari pantri kemarin, lalu memberinya sedikit air dan meminumkannya pada Raka dengan susah payah. Raka tergeletak tidak berdaya. Ia pasrah saja dengan perlakuan Rara. Ia menjadi anak yang patuh pagi ini. Mutiara Difa hari ini begitu berbeda di matanya. Gadis itu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang ia tolak kehadirannya, tapi justru sangat ia butuhkan. Meski wajah keduanya sangat bertolak belakang, tapi postur tubuh yang tidak jauh berbeda, cara berjalan dan beberapa kalimat mereka, hampir sama. Terkadang
Sepanjang hari ini, Raka mengomel tidak jelas. Panasnya sudah berangsur turun, tapi tubuhnya masih terasa lemas. Ia ingin berbaring di kasur empuknya."Difa. Apa kamu bisa menyetir mobil?" Raka melirik Rara yang sedang membereskan meja kerjanya."Bisa, Pak tapi tidak begitu lancar. Bapak ingin pulang? Saya telpon Pak Doni saja, ya? Biar Pak Doni mengantarkan Bapak pulang sekarang.""Kalau aku pulang dengan Doni, terus kamu kemana?""Saya ya masih di sini, Pak. Kan jam kantor baru selesai jam empat sore?""Kamu itu bagaiamana sih? Kamu sekarang adalah asisten pribadiku, jadi, kemana pun aku pergi, kamu harus ikut!"Aduh. Rara mengumpat lagi dalam hati. Mengapa harus sampai ke apartemen pria itu lagi?"Baik, Pak. Saya akan ikut kemana pun Bapak pergi." Rara akhirnya pasrah. Ia harus membuang jauh-jauh mimpi untuk menikmati cuti yang diberikan oleh bos besarnya.Tak berselang lama, Doni datang dan memapah Raka. "Mengapa tidak pulang sejak tadi, Bos?""Aku baru saja minum obat dari dokter
Raka membawa pulang amplop coklat ke apartemennya. Ia meletakkan amplop itu di meja makan, dan hanya memandanginya. Ia tahu jika isi amplop itu adalah hasil pemeriksaan audit beberapa waktu lalu. Entah mengapa, ia tidak punya nyali untuk membuka amplop itu. Kesombongannya mendadak menguap. Apa jadinya jika apa yang pernah dikatakan mantan asistennya terbukti benar? Bagaimana jika memang ada yang sudah berkhianat di perusahaannya? Raka teringat dengan salinan yang dibuat Mutiara Difa beberapa waktu lalu. Ia meminta gadis itu untuk mencetak dan membuat salinannya. Ia harus mulai menyelidiki sendiri. Gengsinya terlalu tinggi untuk meminta bantuan pada mantan asistennya, atau pada Wisnu sekali pun. Hendak ditaruh dimana wajahnya, jika ia terbukti sudah salah menilai kondisi perusahaannya? Raka menekan tombol hijau. Ponsel sengaja ia senyapkan. Ia tidak mau menerima panggilan darimana pun, kecuali dari kedua orang tuanya dan asisten pribadinya yang baru. "Sudah kamu buka amplop cokla
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva