Rara segera masuk ke dalam rumahnya, setelah memastikan Riswan benar-benar sudah pergi. Ia secepat kilat membereskan ruang tamu, melipat pakaian, dan membersihkan dirinya. Makanan yang dipesan oleh Riswan, sudah tiba tidak lama setelah pria itu pergi. Setelah menyantap makan malam dan meminum obat, Rara segera mengeluarkan berkas-berkas yang ia bawa dari pabrik. Dilliriknya jam dinding di ruang makan, baru kemudian ia memulai pekerjaannya. Dan hal itu terus berlangsung selama tiga hari masa cutinya. Dari sederetan data yang ia peroleh dan olah, ia memang menemukan ada banyak benang merah dengan masalah yang dihadapi perusahaan Raka. Perusahaan Raka bukan kalah bersaing, tapi terpuruk akibat pengkhianatan dari dalam perusahaan itu sendiri. Sekarang, Rara harus menemukan motif pengkhianatan itu. Siapa dalang dari semua ini? Alasan apa yang melatar-belakanginya? Beberapa nama sudah masuk dalam catatan merahnya, dan ia harus mulai mencari tahu motif orang-orang tersebut. Senin Pagi
Wisnu kembali menghadiahi Raka dengan bogem mentah, hingga hidung Raka mengeluarkan darah. Ia masih ingin menganiaya sepupunya itu, namun teriakan Rara mengganggunya. "Pak! Sudah. Sudah, Pak! Hentikan semuanya!" seru Rara sambil menarik-narik jas Wisnu. Gadis itu berusaha kuat untuk menjauhkan Wisnu dari Raka. Wisnu mundur. Ia membetulkan letak jasnya. "Jika bukan karena Rara, aku akan terus menghajarmu," ucap Wisnu sambil mengambil tisu di mejanya. Doni membantu Raka berdiri. Ia lantas membawa Raka keluar dari ruangan Wisnu. Reni, sekretaris Wisnu berdiri, diam membatu. Ia tidak tahu kegaduhan apa yang sedang terjadi di ruangan atasannya. Saat ia mendengar teriakan Rara, ia langsung mencari Doni yang masih berada di ruangan Raka. Begitu melihat wajah Reni yang begitu pucat dan panik, Doni segera berlari menuju ruangan Wisnu. Benar saja. Yang ia takutkan selama ini, akhirnya terjadi. "Apakah perlu saya panggilkan Dokter Riswan, Bos?" Doni membantu Raka berbaring di atas sofa.
Di ruangan Wisnu, pria itu duduk bergeming di kursinya. Ia masih memikirkan ucapan Rara. Apa yang membuat gadis itu masih bersedia menemui Raka, yang jelas-jelas sudah merendahkannya? "Apa yang sedang mereka lakukan?" gumam Wisnu. Ia ingin mendatangi ruangan Raka sekarang juga, tapi pengakuan Rara hari ini terus terngiang di telinganya. Dan itu masih menyisakan amarah yang kunjung padam. "Bagaimana jika Raka kembali melecehkan anak itu?" Wisnu bermonolog sendiri. "Apakah anak itu bisa kembali menyelamatkan dirinya sendiri? Bagaimana jika tidak?" Wisnu terus saja memikirkan Rara dan Raka. Tenggelam dalam drama yang ia buat sendiri. Ruangan Raka Ruangan itu menjadi senyap. Doni deg-degan sendiri. Apakah atasannya akan menerima ajakan Rara? Ia menatap Rara penuh dengan rasa kagum. Baru kali ada yang berani berbicara begitu terus terang kepada Raka. "Mari kita membuat kesepakatan." Rara mengulangi ajakannya. Ia terus menatap pria di depannya, dengan tatapan yang begitu tajam. Raka
Dengan setengah berlari, Wisnu menuju lift. Ia yakin Rara masih berada di gedung ini. Mungkin ia harus mendatangi divisi personalia lebih dulu. Tangannya sudah bergerak mencari nama Rara di layar ponselnya, namun sayangnya panggilannya tidak tersambung. Dicobanya berkal-kali, tapi tetap gagal. 'Kemana anak ini?' Wisnu berdiri dengan tidak tenang. Lajunya lift begitu lambat menurutnya. Ia sangat berharap Rara masih berada di gedung ini. "Mungkin pesan singkat saja," gumamnya sendiri, lalu mengetik beberapa kalimat dan mengirimkannya. Sayangnya, pesan itu hanya tercentang satu, lalu mengetik lagi dan dikirimnya lagi tapi tanda centangnya masih satu. Lift akhirnya berhenti di lantai lima. Wisnu melangkah tergesa menuju ruangan personalia. Surat pengunduran diri Rara berada dalam saku depan jasnya. "Ada dimana dia?" tanya Wisnu begitu dirinya selesai mendorong pintu ruangan personalia. Rudy berdiri dari duduknya. Ia tidak menyangka jika wakil direktur akan mampir ke ruangannya. Ia se
"Putar haluan bisa, Pak?" pinta Rara saat mobil itu hampir mendekati tikungan. "Tidak apa-apa. Nanti saya gandakan ongkosnya," ujar Rara ketika ia melihat keraguan pak sopir. Mobil itu akhirnya terus berjalan lurus, tanpa berbelok ke jalur yang semestinya. Rara menarik napas lega. Ia kembali menatap layar ponselnya. Sedangkan dari arah berlawanan muncul sedan berwarna putih berjalan pelan. Pengemudi mobil itu tanpa sengaja menatap ke arah mobil merah di seberangnya, yang juga melintas pelan. Kedua netra sang pengemudi sedikit membola ketika ia melihat sosok yang duduk di kursi penumpang. Tanpa pikir panjang, pengemudi mobil putih itu segera memutar mobilnya, berusaha mengejar mobil merah itu. Sayangnya, ia harus sedikit bersabar, karena laju kendaraan yang cukup ramai. "Shit!! Kenapa jalanan tiba-tiba ramai begini." Wisnu mengumpat karena tak kunjung berhasil mengejar mobil yang ditumpangi Rara. Ia mencoba mendahului tiga mobil di depannya, sayangnya, usahanya gagal karena tiba-t
Cukup lama Rara menerima panggilan yang Wisnu tidak tahu dari siapa. Rara bergerak menjauh dari Wisnu. Pembicaraan itu cukup serius, dilihat dari gaya Rara dan mimik wajahnya yang berubah-ubah. Wisnu tidak melepaskan tatapannya dari Rara. Gadis itu sudah menarik perhatiannya, dan hingga kini kekaguman Wisnu terus bertambah terhadap sosok Rara. Apakah ia harus menerima keputusan Rara? Lalu, bagaimana dengan investigasi yang baru saja dimulainya? Dilanjutkan atau berhenti di tengah jalan, karena sudah tidak ada lagi kawan yang memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya? Makanan di atas meja itu sudah berkurang separuh. Minuman Rara berangsur dingin. Steak ayam yang ia pesan pun bernasib sama. Saat Wisnu hendak memanggil pramusaji yang berdiri tidak jauh dari mejanya, saat itu pula Rara berjalan ke arahnya tanpa memegang ponselnya. 'Sudah selesai?' tanya Wisnu yang hanya berani ia lontarkan dalam hati. Wajah Rara yang sedikit tegang membuat pria itu lebih memilih untuk diam. "Apa
"Maaf, Pak. Sepertinya ada salah paham di sini." Rara buru-buru meralat usulan Widjanarko. Jangan sampai ini menjadi masalah baru untuknya. "Tidak. Tidak ada salah paham di sini. Yang ada ya bocah tak becus itu sudah melakukan kesalahan besar, dan itu artinya, dia harus berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya." Rara memutar otaknya. Ini bukan yang ia maksud. Ada yang harus diluruskan di sini. "Pak. Saya mengundurkan diri sebagai asisten pribadi Pak Raka, tapi jika Bapak ijinkan, saya akan kembali lagi ke perusahaan Pak Raka sebagai utusan dari pusat untuk mengaudit perusahaan tersebut. Tentunya, saya mengirim beberapa auditor di sini sebagai perwakilan saya." Widjanarko tertegun. "Jelaskan padaku!" "Pak Raka terus menolak keberadaan saya, dan hampir di setiap kesempatan, beliau secara terang-terangan, menunjukkan sikap yang tidak ko-operatif sama sekali. Karena itulah, saya memutuskan untuk mengajukan pengunduran ini. Mungkin, dengan tidak adanya saya di sana, Pak Raka akan
"Sejak tadi saya masih di sini. Menunggu perintah dari Bapak." "Benarkah?" "Jika tidak ada, ijinkan saya kembali ke ruangan Pak Dewa. Beliau sedang membutuhkan tenaga saya." "Ya sudah. Pergilah. Aku tidak mungkin memberi pekerjaan pada anak kecil sepertimu," ujar Raka kembali membaca lembaran di depannya. Rara dengan cepat memutar tubuhnya, dan berjalan keluar dari ruangan itu, sebelum ia mengomel panjang, meluapkan kekesalannya. Satu jam waktunya terbuang percuma hanya untuk berdiri kaku di ruangan menyebalkan itu. "Kamu...." Lagi, sebuah panggilan membuat Rara terpaksa menghentikan langkahnya. Sekarang siapa lagi yang akan membuang waktunya dengan sesuatu yang tidak berguna. Wajah Rara langsung berubah malas. "Dari tadi aku cari, kemana saja?" Ternyata yang memanggil dirinya adalah Dewa, sosok yang akan ia temui. "Bapak sudah ada di sini?" Dewa mengangguk cepat. " Ayo, bantu aku. Bawakan gulungan-gulungan ini. Aku harus memberitahu Pak Wisnu dulu soal gambar-gambar ini."
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva