"Sejak tadi saya masih di sini. Menunggu perintah dari Bapak." "Benarkah?" "Jika tidak ada, ijinkan saya kembali ke ruangan Pak Dewa. Beliau sedang membutuhkan tenaga saya." "Ya sudah. Pergilah. Aku tidak mungkin memberi pekerjaan pada anak kecil sepertimu," ujar Raka kembali membaca lembaran di depannya. Rara dengan cepat memutar tubuhnya, dan berjalan keluar dari ruangan itu, sebelum ia mengomel panjang, meluapkan kekesalannya. Satu jam waktunya terbuang percuma hanya untuk berdiri kaku di ruangan menyebalkan itu. "Kamu...." Lagi, sebuah panggilan membuat Rara terpaksa menghentikan langkahnya. Sekarang siapa lagi yang akan membuang waktunya dengan sesuatu yang tidak berguna. Wajah Rara langsung berubah malas. "Dari tadi aku cari, kemana saja?" Ternyata yang memanggil dirinya adalah Dewa, sosok yang akan ia temui. "Bapak sudah ada di sini?" Dewa mengangguk cepat. " Ayo, bantu aku. Bawakan gulungan-gulungan ini. Aku harus memberitahu Pak Wisnu dulu soal gambar-gambar ini."
Rara begitu sibuk hari ini, hingga ia tidak menyadari jika Widjanarko bersama Nadhira tengah memasuki lobi perusahaan. Ia sedang sibuk membantu Dewa memilah-milah gambar desain yang akan dibawa besok ke ruang rapat. Ia tidak yakin jika gambar-gambar itu akan lolos dari seleksi perusahaan. Mengingat direkturnya begitu rewel dan wakil direkturnya memiliki standar tinggi untuk sebuah desain. Komposisi warna sangat diperhatikan. Berulang kali pria itu menjatuhkan beberapa gulungan desain, membuat Rara bolak-balik menundukkan badannya, mengambil kembali desain yang jatuh. Ketukan tiga kali di pintu ruangan Dewa, membuat pria itu berjingkat, dan secara spontan melempar sebuah lakban ke arah pintu. "Aduuuh! Apa-apaan ini!" Rudy melotot, sambil mengusap keningnya. "Kau mengagetkanku!!" sergah Dewa membela diri. "Ada apa?" tanyanya ketus. "Ada rapat dadakan. Tiga puluh menit lagi." Pintu kembali tertutup. "Waduh! Ini belum selesai, mengapa ada rapat dadakan hari ini?" Dewa menjadi semak
"Pa! Papa tidak bisa begitu!"seru Raka tertahan. "Mengapa tidak bisa?" Widjanarko memutar tubuhnya. Ia yang semula berhasil mengolah perasaannya, kini mulai merasa jengah. "Tidak bisa ya tidak bisa. Yang akan menikah itu Raka, bukan Papa!" Untuk kesekian kalinya, Raka mencoba membela diri. Ia tetap pada pendiriannya, menolak perjodohan dengan siapa pun. "Papa bisa melakukan apa pun yang Papa mau, jika kamu tetap tidak bersedia untuk mengurus perusahaan ini dengan becus!!" Wajah Widjanarko begitu dingin, membuat Raka merasakan terintimidasi. "Papa sudah mengirimkan Rara untuk membantumu, tapi masih kamu tolak juga. Papa sudah mengatakan kepadamu, Rara bukanlah gadis sembarangan. Semua karyawanmu di sini, jika dibandingkan dengan Rara, tidak ada apa-apanya." Nadhira menganggukkan kepalanya. Setuju dengan perkataan Widjanarko. "Kakakmu bahkan mengakui kepandaiannya." Widjanarko meregangkan sedikit ikatan dasinya. "Apakah kamu sudah lupa dengan persyaratan yang dulu pernah kakak t
Ponsel Widjanarko berdering sesaat setelah ia kembali menduduki kursi kerjanya. Pagi ini, ia berencana menyusun nama-nama yang akan dikirim untuk mengaudit perusahaan Raka. "Ada apa?" jawabnya sambil terus menulis beberapa nama. *Apa Papa benar-benar ingin mengirim tim audit kemari? "Apakah menurutmu Papa tadi sedang bermain-main?" Raka diam, tidak menjawab. "Kapan mereka datang?" "Papa tidak tahu kapan mereka akan datang, tapi yang jelas hari ini juga mereka akan langsung menuju ke perusahaanmu. Suruh semua kepala divisimu untuk bekerja sama dengan mereka. Jangan ada yang berbuat curang!" Widjanarko memutus sambungan telpon. "Kamu sudah berani menolak Rara, maka rasakan sendiri akibatnya," gumam pria itu dalam hati. "Panggilkan Dika. Suruh dia datang ke ruanganku!" perintah Widjanarko. Pria itu segera merealisasi rencananya. Hari ini juga, ia akan mengirim tim audit ke perusahaan Raka. Widjanarko memberi arahan kepada Dika, kepala bagian audit perusahaannya. Ia mengirim lima
"Iya, Pak. Saya Mutiara Defa. Ada yang bisa saya bantu?' tanya Rara bersikap lugu. Padahal dalam hatinya, ia sangat ingin menjewer telinga mereka satu per satu. "Kamu beneran Mutiara Defa??" Dika masih menatap Rara dengan keraguan penuh. 'Mengapa wajah Mbak Rara jadi begini? Masa iya anak ini benar-benar Mutiara Defa'. Dika bergumam tidak jelas. Wajahnya bukan wajah yang ia kenal. Wajah ini sangat asing baginya. "Aku tanya sekali lagi, benarkah namamu Mutiara Defa?" Dika tidak ingin membuang waktu lagi. Rara mengangguk. Namanya memang Mutiara Defa. "Lalu mengapa wajahmu itu ..." Dika menunjuk ke wajahnya sendiri. "Apakah Bapak sedang mencari seseorang yang memiliki nama yang sama dengan saya?" Rara menatap Dika dengan tatapan tajam. Sejenak, Dika merasa tatapan Rara sedang mengintimidasi dirinya. Ia kenal dengan aura ini tapi tetap merasa tidak yakin dengan penampilannya. Hanya nama saja yang sama, tapi wajah sepenuhnya berbeda. "Sebentar, aku rasa aku perlu menelpon Pak Wi
Mutiara Defa memutar badannya, dan terpaksa keluar dari lift. Keningnya berkerut dan nampak jelas jika dirinya tidak suka dengan pemanggilan paksa seperti ini. "Ada yang bisa saya bantu?" Nada suara Rara sama sekali tidak ramah. "Kami perlu menanyakan beberapa hal padamu." Jantung Dika berdetak keras, begitu mendengar pertanyaan Rara tadi. Ia tahu senior mereka ini tidak suka diganggu di pagi hari. Ia sungguh tidak mengharapkan ini terjadi, jika tidak terpaksa. Apa mau dikata. Ia sangat memerlukan bantuan Rara pagi ini, karena mereka akan pergi ke gudang sebentar lagi. Rara menggumam tidak jelas. Batal sudah rencana yang sudah ia susun semalam. Ia berencana untuk ikut Dewa menghadiri rapat bersama dengan direktur dan wakil direktur, untuk menentukan desain mana yang akan diluncurkan musim ini. "Aku harap ini sangat penting," ujar Rara ketika mereka sudah berada di ruang khusus. "Maafkan kami, Senior." Dika merasa tidak enak hati. "Apa yang harus aku bantu?" "Kami akan berangka
Rara berjalan menuju ruang rapat. Alarm di jam tangannya bergetar, dan itu membuatnya sedikit tergesa karena harus bertemu dengan Dewa lebih dulu. Hari ini ia harus memutar kepalanya lebih keras dari biasanya. Bagaimana tidak? Dalam satu rapat ia harus memenuhi tiga permintaan sekaligus, satu dari kepala desain, satu lagi wakil direktur, dan terakhir dari sang direktur. Bisakah ia melalu hari ini dengan lancar? Satu colekan di pundak kanannya berhasil membuat Rara berjingkat ke samping. Ia kaget bukan kepalang. "Astaga, Difa!! Kamu sedang patah hati ya? Pagi-pagi begini udah melamun aja," tegur Dewa, mengamati wajah Rara dengan seksama. "Jangan lupa! Kita ada rapat penting sebentar lagi. Jangan sampai kamu melamun lagi di sana nanti!" ujar pria itu melewati Rara, melangkah menuju ruang rapat yang tinggal beberapa langkah lagi. Rara hanya menyengir kuda. Ia meneruskan langkahnya, yang kemudian berubah menjadi berlari-lari kecil, mengejar Dewa. "Pak Dewa!" seru gadis itu. Langkah kak
Rara turut memandangi pria di depannya. 'Sedang ngomong apa sih, Pak Wisnu ini?' Raka hanya melirik sekilas, tanpa ada niat untuk membantah. Ia tidak ingin memperpanjang soal audit. Apa yang ia lihat di gudang beberapa waktu lalu membuatnya berpikir ulang, untuk memikirkan apa yang pernah disampaikan oleh mantan asisten pribadinya, Rara. Raka tiba-tiba teringat gadis itu. Dimana dia sekarang? "Apa kau bermaksud memanggil gadis itu lagi?" tanya Raka sembari berbisik ke telinga Wisnu. "Bagaimana menurutmu?" Wisnu balik bertanya. Raka hanya mengedikkan bahunya. "Sudah ada tim audit kiriman Papa, mengapa harus membentuk yang baru," gumamnya pelan. "Mereka hanya datang kali ini saja, dan itu hanya sementara. Ke depannya, perusahaan kita perlu ada tim audit internal sendiri," terang Wisnu. Wakil direktur dan direktur justru berdiskusi sendiri, mengabaikan anak buahnya yang masih kasak-kusuk akibat pengumuman barusan. Telinga Rara mendadak memanjang ke atas. Ia berusaha mencuri denga
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva