Rara kini tengah sibuk memeriksa tumpukan laporan persediaan di gudang. Awalnya ia tidak menemukan kejanggalan, akan tetapi lama kelamaan ia menemukan data yang tidak sesuai antara data barang setengah jadi dan barang yang siap dijual. Ada perbedaan data yang mematik rasa curiganya, yang semakin menguatkan dugaannya, jika telah terjadi pemalsuan data yang melibatkan beberapa oknum di beberapa divisi. "Mengapa bisa seperti ini? Apa yang mereka incar? Bukankan gaji mereka sudah lebih tinggi dari tempat lain?" Rara bergumam sendiri. Ia terus membolak balik lembaran-lembaran di depannya. Sudah lebih dari dua jam Rara duduk di ruang itu, dan angka-angka yang tertera di lembaran-lembaran itu belum juga membuat Rara merasa lelah. Beberapa orang datang dan pergi, mengantarkan dokumen-dokumen yang Rara minta. Karena hal ini adalah yang pertama kalinya terjadi di perusahaan itu, para karyawan di pabrik merasa canggung sekaligus heran. Untuk apa itu semua dan apa artinya bagi perusahaan? Apaka
Rara menghabiskan satu gelas jus jeruk yang baru saja dihidangkan oleh Joni, hingga membuat pria itu terperangah. "Haus sekali ya Mbak?" Joni bertanya dengan polosnya membuat Rara sedikit salah tingkah. "Iya, Pak." Tidak ada kata lain yang bisa diucapkan Rara untuk menutupi rasa malunya. Ia lupa jika Joni masih berdiri di depannya. "Apa perlu saya bawakan lagi jus-nya, Mbak?" tawar Joni tulus. Mulai terbersit rasa kasihan pada gadis di depannya itu, melihat tumpukan dokumen-dokumen yang masih menggunung. "Boleh, kalau Pak Joni tidak keberatan." "Tidak. Sama sekali tidak. Saya ambilkan dulu kalau begitu." Rara mengangguk lalu kembali menatap lembaran di depannya. Dilliriknya sekilas arloji di tangan kanannya. Sudah hampir tengah hari, sedangkan dokumen yang sudah ia periksa baru dapat setengah dari jumlah keseluruhan. Haruskah ia melembur di pabrik? Saat Rara kembali sibuk dengan dokumen-dokumen di depannya, sesosok pria menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruangan itu.
Wisnu sedang asyik mengamati jalannya mesin produksi cetak ketika sebuah siulan mengganggu indera dengarnya. "Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Raka mulai memasuki ruangan yang berukuran cukup besar. Ada banyak mesin di sana dan semuanya sedang beroperasi. Wisnu menoleh ke asal suara. Tampak olehnya, Raka berjalan mendekat ke arahnya. Angin apa yang tiba-tiba menggiring sepupunya itu untuk datang kemari? Apakah ia juga sedang mencari Rara? Doni? Mana pria itu? Wisnu mencari-cari sosok Doni. Tidak ikut menemani atasannya? "Ada rapat dadakan?" Wisnu justru balik bertanya pada Raka. Raka mengabaikan pertanyaan Wisnu, memilih berjalan mengelilingi ruangan besar itu. Suara mesin riuh rendah menyapa telinganya. Beberapa karyawan di ruangan itu menepi ketika kedua sosok itu hendak melintas ke arah mereka. "Baru pertama kali kemari, heh?" Entah apa maksud pertanyaan Wisnu. Sekedar pertanyaan biasa atau kalimat sindiran pada sepupunya itu. Raka hanya mengangkat kedua bahunya, lalu me
Raka melihat seseorang yang tingkah polahnya sangat mencurigakan. Berjalan mundur dengan mengendap-endap, bukankah itu sangat mencurigakan? Ia lantas berteriak, berharap sosok itu berhenti. Namun, ia justru harus merelakan sook itu hilang, melesat ke luar dari gerbang besar pabrik. "Siapa itu?" Raka menatap Doni. Doni hanya balas menatap atasannya tanpa menjawab. Hatinya tiba-tiba berdesir hebat. Apakah itu Rara? "Doni!" tegur Raka setengah berteriak. "Eh-Anu-I-Itu, saya tidak tahu, Bos." "Periksa cctv!" Raka menitahkan Doni untuk mendatangi pos satpam. Kini detak jantung Doni menjadi jauh lebih cepat lagi. 'Bagaimana ini? Bagaimana jika itu Rara? Jika kamera cctv diperiksa, akan jelas terlihat keberadaan Rara.' Perang batin yang tiba-tiba itu membuat Doni tidak langsung melaksanakan perintah Raka. "Apa yang sedang kamu lakukan? Mengapa justru bengong dan berdiam diri di situ? Cepat periksa rekaman cctv!" Gertakan Raka membuat Doni pada akhirnya melangkah ke pos satpam. P
"Apa maksudnya, Pak? Saya kok tidak paham." "Sebentar. Akan kujelaskan sebentar lagi. Kamu lantai berapa?" Tangan besar pria itu bersiap menekan salah satu angka di tombol lift. "Tujuh, Pak." Percakapan mereka hanya berlangsung beberapa menit, dan itu tidak cukup bagi keduanya memberi dan menerima informasi. Sepertinya, Dewa lupa jika Rara adalah orang pusat, yang tidak lain kaki tangan Widjanarko, yang sedang melakukan audit di perusahaan tempatnya bekerja. "Kamu ikut aku ke ruanganku dulu, nanti aku jelaskan di sana," ucap Dewa setelah pintu lift terbuka di lantai lima. Karena didorong rasa penasaran, Rara akhirnya mengikuti Dewa dari belakang. Langkah Dewa sedikit tergesa karena waktu sudah begitu mendesak menurutnya. Ia belum membuat desain produk baru untuk rapat besok, sesuai permintaan atasan mereka. Raut wajah Rara berubah-ubah selama mendengar penjelasan dari Dewa. Ia tidak mengira jika pria di depannya itu memiliki ide seperti ini. "Pak, apakah itu tidak melanggar k
Brukk! Rara jatuh pingsan. Raka yang terkejut langsung menarik tubuh Rara hanya dalam satu tarikan. Susan ternganga melihat adegan ini, hingga tidak mendengar perintah Raka. "Apa kau tidak mendengar perintahku? Cepat suruh dokter klinik ke ruanganku!!" Susan hanya bisa mengangguk berulang kali. Ia sendiri tiba-tiba menjadi gugup. Di kepalanya hanya ada bayangan kejadian barusan, betapa kejadian itu selalu ia impikan terjadi pada dirinya. Tangannya bergetar saat memegang gagang telpon, dan dengan terbata-bata ia menyampaikan perintah Raka pada dokter klinik kantor. Susan memberanikan diri menyusul Raka ke ruangannya. Ia ingin melihat seberapa parah kondisi Rara, gadis yang beruntung digendong pria terseksi di gedung ini. Raka tampaknya tahu jika sekretarisnya menyusul di belakang, dan kini sedang berdiri mematung di depan pintu. "Buatkan teh panas atau jahe panas!" "Ba-Baik, Pak." Susan segera pergi meninggalkan tempatnya berdiri. Saking gugupnya, ia beberapa kali harus tersand
Rara masih terpaku pada lembaran dengan tulisan indah di atasnya. Tidak percaya dengan yang ia baca, gadis itu berulang kali membaca tulisan itu. Dan ia tidak dapat memungkiri kenyataan, ketika kedua netranya jatuh pada tanda tangan di tengah kertas. "Riswan..." sebut Rara setengah berbisik. Ia jadi terkenang kembali dengan kenangan masa lalu. Surat misterius yang selalu ada di bawah meja tempat duduknya, sewaktu masih di SMA, dan hanya tertanda inisial Rsw dipojok kanan bawah. Surat dengan tulisan yang sama setiap harinya. Hai, Rara. Lift terbuka, memaksa Rara untuk cepat-cepat memasukkan kertas itu ke dalam saku jasnya. Degup jantungnya berdetak tidak seperti biasa. Tidak cepat tapi berdentum seperti suara drum. Pelan tapi keras, membuat seluruh ruang di dadanya bergetar membuatnya kesulitan untuk bernapas. Dengan setengah berlari, Rara menuju lobi. Tampak olehnya sosok Doni yang berdiri dengan tidak sabar. Ketika kedua netra mereka saling bertabrakan, Doni langsung mengangkat tan
Rara tidak menggerakkan tubuhnya sama sekali setelah mendengar ucapan pria di depannya. Kalimat itu seolah seperti pernyataan yang bermakna khusus untuknya. Menyadari sikap Rara yang tiba-tiba berubah, membuat Riswan mengganti alur pembicaraan. Ia memikirkan bahan pembicaraan apa yang bisa membuatnya berlama-lama dengan gadis itu. Ia sungguh merasakan kerinduan yang sangat padanya. "Bagaimana perutmu? Apakah sudah baikan?" Akhirnya Riswan menemukan topik yang sangat pas. Rara mengangguk pelan. "Sudah baikan." "Mengapa masih seperti dulu? Mengapa kamu abaikan? Penyakit itu bisa bertambah parah dan itu sangat berbahaya." Nada khawatir jelas diperlihatkan oleh Riswan. Ia mencintai Rara sejak dulu, dan cintanya tidak pernah bisa berpaling dari gadis itu. Itulah mengapa ia memilih untuk meneruskan pendidikannya dengan mengambil jurusan kedokteran. Ia ingin menyembuhkan penyakit Rara, dan terbukti, hal itu menjadi penyemangat terbesarnya hingga mampu menyelesaikan pendidikannya satu t
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva