"Berbatas waktu?" Rara tidak paham. "Aku akan menelponmu nanti." Raka meninggalkan Rara sendiri. Tanpa banyak berpikir, Rara langsung berlari mengejar Wisnu. Ia berharap Wisnu belum melaju meninggalkan perusahaan ini. Ia belum tahu letak bagian produksi. Ia hanya tahu daerahnya saja. Rara mencari sosok Wisnu, namun ia gagal menemukan pria itu. Ponselnya tiba-tiba berdering. Dengan terburu-buru ia mengangkat panggilan itu. *Apakah ia mengijinkanmu pergi? Pak Wisnu. Batin Rara bersorak gembira. "Boleh, Pak. Pak Raka mengijinkan saya untuk ikut dengan Bapak." Nada bicara Rara begitu riang, membuat Wisnu terkekeh karenanya. *Benarkah? Raka membiarkanmu pergi bersamaku? Tidak cemburu? "Mengapa harus cemburu sama Bapak? Saya kan tidak ada hubungan apa-apa sama bapak berdua," jawab Rara begitu polos. *Lihat ke arah jam 9. Waktu kita tinggal sedikit. Rara memutar tubuhnya mengikuti petunjuk Wisnu dan ia menemukan tangan Wisnu melambai ke arahnya. Dengan setengah berlari, Rara mendek
Rara tidak menemukan sesuatu yang ganjil dalam dokumen persediaan bahan baku. Ia menata kembali tumpukan dokumen yang sebelumnya ia baca. Netranya menerawang, menembus awan. Joni mendekat ketika Rara menanyakan perihal pembelian bahan baku. "Siapa yang bertanggungjawab soal pembelian bahan baku? Apakah dilakukan dari sini atau langsung kantor cabang?" "Kantor cabang, Mbak, berdasarkan laporan persediaan bahan baku yang ada di sini. Jika persediaan tinggal tiga puluh persen, maka wajib mengajukan permintaan penambahan bahan baku ke kantor pusat, hmm, maksud saya kantor cabang." "Tidak salah. Perusahaan ini berkantor pusat di jalan Merdeka, sedangkan semua anak perusahaan memiliki induk perusahaan yang berpusat di ibu kota," jelas Rara panjang lebar. "Tidak pernahkah orang cabang datang kemari, untuk mengecek secara langsung persediaan di sini?" lanjut Rara. "Tidak pernah, Mbak," jawab Joni jujur. Selama ia bekerja di perusahaan ini, tidak pernah ada inspeksi mengenai keadaan di
Raka semakin mengikis jarak antara dirinya dengan Rara, mengabaikan pertanyaan bodoh gadis itu. Pertanyaan yang bagi Raka adalah pertanyaan sok polos dari seorang gadis yang sudah hidup bertahun-tahun di luar negeri. Bodoh karena tidak mungkin gadis itu tidak mengerti dengan sinyal yang sudah ia kirimkan. "Pak, Saya ijin ke kamar kecil." Rara mencari cara untuk menjauh dari atasannya yang kini tampak begitu mengerikan baginya. Ia tidak suka terjebak dalam suasana yang seperti ini. Tidak baik bagi dirinya, bagi jantung maupun pikirannya. "Ada apa? Aku tidak melakukan apapun padamu. Belum. Aku bahkan belum memulainya." Raka semakin mendesak Rara hingga tubuh Rara menabrak dinding di belakangnya. "Lebih baik, Bapak tidak usah memulainya," potong Rara dengan cepat. Ia harus menghentikan semuanya sebelum terlambat. "Memulai apa?" Raka mulai memainkan kata-katanya untuk terus mempermainkan perasaan Rara. Ada kesenangan tersendiri baginya saat melihat wajah Rara yang panik, setiap menden
Netra Rara membesar sejenak. Perasaan aneh mulai menyelimuti dirinya. Terasa meremang, membuatnya panas-dingin, tidak karuan. Mengapa mencarinya lagi? Belum cukupkah membuatnya tersiksa? Rara menundukkan kepalanya, saat Rudy melewati dirinya, keluar mencari asisten Raka yang tidak lain adalah dirinya. Untung ia menggunakan wajah lain saat ini, setidaknya ia bisa terhindar dari situasi yang sama sekali tidak nyaman bagi dirinya. Rara memilih untuk datang ke ruangan divisi desain. Ia mengatur ponselnya tanpa suara. Khawatir jika Raka akan menghubunginya. Rara berjalan sambil membuka galeri fotonya, memperhatikan foto-foto dokumen yang kemarin ia foto dan belum sempat ia periksa. "Selamat siang, Difa." Sebuah sapaan mengejutkan Rara. Ia yang terlalu fokus dengan ponselnya tidak menyadari jika ia sudah tiba di depan ruangan divisi desain. "Oh-Eh. Iya. Selamat Siang Pak Dewa." Rara membungkukkan sedikit tubuhnya. "Aku mengejutkanmu?" Dewa melangkah masuk menuju mejanya di pojok ruan
Rara secepat kilat pergi ke ruangan personalia, memberitahu jika ia sedang disuruh menemani asisten pribadi Raka."Apakah ia sudah kembali?" Rudi justru balik bertanya pada Rara."Kurang tahu, Pak. Tapi saya disuruh untuk menemaninya bertemu dengan Pak Raka."Rudi tertegun mendengar jawaban Rara. Mengapa asisten pribadi Pak Raka justru meminta anak baru untuk menemaninya menemui atasannya sendiri?Bukannya terbalik? Difa yang seharusnya meminta bantuan Rara untuk menemaninya bertemu dengan Raka."Aku merasa aneh dengan jawabanmu." Rudi masih mencoba memahami kalimat yang diucapkan Rara, namun ia langsung memblok pikirannya untuk menghentikan aksinya. Toh itu bukan urusannya. Ada yang harus ia dahulukan daripada mencari tahu sesuatu yang bukan urusannya."Sudahlah. Pergilah. Nanti langsung saja kamu pulang. Ingat DIfa, Jangan terlalu malam pulangnya. Bahaya!""Baik, Pak." Rara segera meninggalkan ruangan personalia.-0-"Kemana saja tadi? Urusan kita belum selesai." Raka ingin mendengar
Rara tidak menjawab. Ia harus menemukan cara bagaimana keluar dari kamar ini. Sinyal bahaya semakin kuat dan itu membuatnya semakin panik. Raka terkekeh. "Ayolah, Rara. Mustahil kamu tidak tahu olah raga apa yang aku maksud. Bukankah lawan main olah ragaku sudah ada dan kini berdiri tepat di hadapanku?" Rara merasa panas dingin. Ia tidak menampik ucapan Raka tapi ia tidak setuju jika yang dimaksud Raka lawan main atasannya itu adalah dirinya. Ia bukan wanita seperti itu. Ia punya harga diri yang akan ia pertahankan sampai mati. "Saya paham dengan maksud, Bapak tapi saya tidak setuju dengan kalimat terakhir. Saya bukan lawan main yang tepat untuk olah raga yang dimaksudkan Bapak." Suara Rara terdengar sedikit bergetar. Nada ketakutan, panik dan tidak terima, berkumpul menjadi satu, dan itu membuat Rara setengah mati mengutarakan pendapatnya. Raka mengedikkan bahunya. Ia tidak mau tahu, dan ia tidak mau mendengar alasan apapun dari Rara. Ekspresi penolakan gadis itu semakin membua
"Sekarang?" Doni panik begitu mendengar perintah dadakan Raka. Sepagi ini menelpon minta dijemput dan diantar ke kantor? Apa yang sudah terjadi? "Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar. Saya akan bersiap dulu." Doni langsung mematikan ponsel dan bergegas mengenakan pakaian kerja lengkap dengan jas hitamnya. Ia segera meraih kunci mobil yang terletak di atas nakas di samping tempat tidurnya. Tidak sampai lima belas menit, Doni sudah berdiri tepat di depan pintu apartemen Raka. Doni membuka pintu itu setelah menghadapkan kedua matanya di alat pemindai. Ia celingukan mencari sosok Raka. Tidak menemukan sosok yang ia cari, justru ia mendengar erang kesakitan Raka. Pria itu tidak pernah merasakan sakit sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya ia terluka. Itupun karena sukses diinjak oleh Rara dengan sepatu pantofelnya. "Booos!!" seru Doni panik. Ia panik melihat Raka yang sedang kesakitan, memegangi lututnya. Sekejap, Doni lupa jika Raka lebih sering bersikap hiperbolis setiap ia terkena m
"Ada apa dengan penglihatanmu?" Doni dengan intens menatap wajah Rara. Netra yang ada di balik kacamata hitam itu menarik perhatiannya. 'Sakit apa gadis ini?' "I-Itu, Pak. Mata saya sejak kemarin malam sakit, terus mengeluarkan kotoran dan berwarna merah. Kalau orang jawa bilang, belek-an, Pak." "Ooh, itu. Bawa saja ke klinik, agar segera ditangani dan cepat sembuh." "Baik, Pak. Terima kasih." "Ya." Doni kembali pada ponselnya, menjauh dari gadis berkacamata hitam., yang tidak lain adalah Rara dengan identitasnya sebagai Mutiara Difa. Rara menghembuskan napas lega. Setidaknya ia selamat untuk hari ini, tanpa harus melewati banyak interogasi. Yang lebih membahagiakan dirinya, ia tidak perlu bertemu dengan pria jahat semalam, Raka. Setidaknya untuk hari ini. Di ruangan lain di waktu yang sama, Wisnu duduk termangu sambil menggenggam erat ponselnya. Pikirannya dipenuhi nama satu gadis, yang sejak kemarin sore tidak bisa ia hubungi sama sekali. Ia masih khawatir dengan keberadaan gad
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva