"Tenang, Pak. Saya sama sekali tidak tertarik dengan semua urusan Bapak, tapi..." jawab Rara, dan masih menatap kertas di tangannya, lalu menatap langit di luar sana. Cuaca masih begitu cerah. "Yang namanya meeting tidak ada kaitannya dengan waktu. Jika itu akan membawa banyak keuntungan bagi perusahaan, tidak masalah. Tengah malampun tidak masalah." Rara menelan salivanya dengan kasar dan penuh emosi. Cara bisnis macam apa itu. Bekerja tanpa mengenal waktu. Seseorang tidak akan bisa membuat keputusan yang tepat dan bijaksana, bila keadaaan tubuh dan pikirannya tidak dalam kondisi yang baik. Selain akan membawa kerugian di masa datang, juga tidak akan mendatangkan manfaat yang besar bagi perusahaan. Tapi, Rara tidak mau ambil pusing. Ia tidak akan memberi masukan apapun. Ia hanya akan melakukan tugas yang diberikan Widjanarko padanya. "Baik, Pak. Silakan menunggu di lobi." Rara segera meninggalkan ruangan Raka, mengabaikan tatapan atasannya yang sama sekali tidak ia mengerti mak
Rara terpaksa menyimak pembicaraan yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pekerjaannya. Proyek yang tidak menarik menurutnya. Tidak sesuai dengan kiblat perusahaan mereka, kecuali atasannya itu memiliki bisnis lain selain fashion. Begitu pembicaraan itu membahas soal pendanaan, Raka langsung terdiam. Ia tidak lagi banyak bicara, membuat Evan meliriknya. "Kenapa?" Raka hanya menatap sekilas pria itu lalu menyandarkan punggungnya dengan malas. Dari mana ia mendapatkan dana? Perusahaannya saja sedang membutuhkan begitu banyak dana. Rara sendiri sudah tidak tertarik dari awal. Karena kalaupun ada suntikan dana, maka dana itu akan ia gunakan untuk membenahi perusahaan milik mereka sendiri, bukan usaha baru yang belum jelas keberhasilannya. "Aku tidak bisa bergabung kali ini. Perusahaanku sendiri sedang membutuhkan banyak dana." Evan melirik ke arah Rara. "Apakah karena itu dia ada di sini?" Dengan sangat terpaksa, Raka menganggukkan kepalanya. Ia mulai menceritakan awal mengapa
Rara tidak bersemangat untuk datang ke kantor hari ini. Perseteruannya dengan atasannya semalam, membuatnya merasa sakit hati. Perkataan Raka yang begitu kasar sudah menyinggung perasaannya. Memang ada masalah apa dengan diri atasannya itu, jika dirinya tidak pernah dekat dengan pria manapun selama hidupnya? Mengapa pria itu menjadi semakin jahat jika sudah membicarakan soal hubungan antara pria dan wanita? Rara menendang satu kerikil dengan kerasnya. Dia tidak peduli kemana arah kerikil itu jatuh. Yang penting saat ini, ia dapat menyalurkan kekesalannya. Semakin dipikir, semakin ia merasa kesal. Semakin merasa kesal, semakin dirinya ingin menganiaya pria itu. Langkahnya semakin dekat dengan kantor, membuat Rar semakin memperlambat kecepatan melangkahnya. Hari ini, ia berencana untuk menemui Wisnu, untuk membicarakan rencana yang pernah ia utarakan beberapa waktu lalu, akan tetapi kejadian semalam membuatnya malas. Dengan penuh perjuangan, akhirnya Rara berhasil sampai di depan rua
Raka terjatuh dari sofa tempatnya duduk. Ia menatap sebal ke arah Wisnu yang berdiri di depannya, masih dengan mengangkat kedua tangannya, bersiap untuk kembali melayangkan tinjunya ke arah Raka. "Apa yang kau lakukan?!!"serunya, setengah berteriak. Ia tidak terima diperlakukan tidak manusiawi oleh Wisnu. Rahangnya terasa panas. Luka itu mulai terlihat memar dan membiru. "Kau yang seharusnya menjawab pertanyaanku! Apa yang sudah kalian lakukan, hah??!!! Mengapa kalian ini seperti sepasang kekasih? Bertengkar, rukun lalu bertengkar kembali. Aku sungguh bingung. Jelaskan padaku, ada hubungan apa diantara kalian? Tidak usah berbelit-belit!" "Tidak ada hubungan apa-apa. Dilihat dari mana aku dan dia seperti sepasang kekasih? Aku tidak menyukainya. Aku hanya membutuhkan dia untuk mengurangi rasa stres-ku," jelas Raka. Ia menolak mentah-mentah semua tuduhan Wisnu. Wisnu kembali mendengar kata-kata yang membuat pikirannya kacau. Rasa tidak terima kembali merudungnya. Ia tidak suka mende
Suara ketukan mengganggu Dewa yang sedang memilah setoran desain yang dikumpulkan oleh anak buahnya. Saking seriusnya, ia tidak menyadari jika Bowo sudah mengomel di balik pintu ruangan yang di kunci dari dalam. Telepon di ruangan itu akhirnya berdering, memaksa Dewa untuk menghentikan kegiatannya sejenak. "Ada apa?!" jawab Dewa ketus. Ia merasa sangat terganggu. *Katakan padaku jika kau ingin membatalkan permintaanmu kemarin, maka aku dengan senang hati akan memberikannya pada divisi umum, hanya di divisi umum saja. "Apa kau bilang? Jangan macam-macam. Aku sangat membutuhkannya sekarang!" *Jika memang benar kau membutuhkannya, mengapa kau biarkan kami berdiri di depan pintu ruanganmu sejak sepuluh menit yang lalu? "Apa???!" *Cepat buka pintunya!" Bowo semakin tidak sabaran. Pria berambut setengah kuning itu bergegas membukakan pintu. Wajah galak Bowo menyambutnya, dan seorang gadis dengan senyum mengembang tipis menatap lekat matanya. 'Hmm, siapa dia?' gumam Dewa sambil ter
Raka menerima berkas dari kepala divisi personalia yang dititipkan pada Susan, saat dirinya sedang tidak ada di tempat. Ia membuka berkas itu dan terpaku pada foto yang terselip di sana. Satu pas foto yang dijepit dengan paper clip di pojok kanan atas lembar pertama, menarik perhatiannya. Perempuan? Mengapa bukan laki-laki yang diterima untuk pekerjaan ini? Bertugas di dua divisi sekaligus. Apakah gadis itu bisa melakukan pekerjaannya dengan baik? "Mengapa perempuan? Tidak adakah kandidat laki-laki yang melamar untuk posisi ini?" tanya Raka kepada Bowo, kepala divisi personalia, lewat telpon, "Ada tapi hanya satu, Pak. Sayangnya, hasil tesnya tidak sebaik Mutiara." "Mutiara?" ulang Raka, lalu menatap biodata yang tertera. "Mutiara Defa nama lengkapnya, Pak." "Suruh dia menemuiku sebelum jam makan siang," perintah Raka pada Bowo, sebelum mengakhiri percakapan itu. Bowo mengumpat dalam hati. Ia lupa untuk membawa Mutiara menemui direktur mereka. Ia hanya membawa Mutiara bertemu de
Rara merasakan tubuhnya menjadi kaku mendengar permintaan atasannya. Jantungnya berdetak kencang seperti layaknya seseorang yang baru saja selesai ikut lari marathon 5k, Bibirnya seketika menganga. Ia tidak dapat berpikir jernih. Satu yang ada dalam benaknya saat ini, yaitu lari. Ia harus segera meninggalkan tempat ini agar kecemasannya tidak terbaca oleh Raka. Ia masih berharap Raka tidak mengetahui jika gadis yang bernama Mutiara Defa, adalah asisten pribadi yang sedang dicarinya, dan sekarang sedang berbicara dengannya. "Mengapa diam saja? Apakah kamu tidak sanggup menerima tugasku?" Raka menatap tidak suka ke arah Rara. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja diterima bekerja, sudah mengaku kalah sebelum melakukan tugas yang diberikan kepadanya? "Maksud saya begini, Pak. Saya khawatir saya tidak bisa melaksanakan tugas dari Bapak, karena saya sudah diberi tugas dan tanggung jawab di dua divisi. Saya tidak berani menyanggupi permintaan Bapak, karena tenaga saya terbatas." Ra
Rara memulai pekerjaannya. Ia harus bersikap hati-hati. Sangat hati-hati. Saat ini ia sedang berada di pusat pe-manipulatif-an data. Ia tidak bisa bersikap sembarangan. Ada banyak mata di tempat itu, dan ia harus ekstra waspada. Tatapan matanya tidak bisa jauh dari jam dinding yang berada tepat di depannya. Ia mengerjakan pekerjaannya hari itu dengan kewaspadaan tingkat tinggi, khawatir, jangan-jangan orang-orang divisi keuangan mulai menyadari nilai dokumen yang sedang ia gandakan sekarang. Rara menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu lupa jika kedatangannya sedang dinanti oleh bos kecilnya. Karena terlalu fokus pada dokumen-dokumen yang baru saja selesai ia gandakan, Rara tidak mengetahui jika Raka sudah mengirimkannya pesan singkat berulang kali. Saat ia mengeluarkan ponselnya untuk mengambil foto dokumen-dokumen itu, panggilan Raka masuk, membuat Rara gugup. Gadis itu berjalan dengan cepat, meninggalkan ruang penggandaan, mencari kama
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva