TAHANAN bawah tanah di kawasan istana Dahanapura tampak lengang tengah malam itu. Hanya ada empat penjaga di pintu masuk menuju ke ruang bawah tanah. Masing-masing tampak susah payah menahan kantuk yang semakin hebat menyerang.
Terdapat sepuluh ruang tahanan di bawah sana. Namun hanya satu yang ada isinya, yaitu ruang tahanan di mana Tumanggala ditempatkan. Selebihnya kosong melompong tanpa penghuni.
Sambil hempaskan satu napas berat, Tumanggala duduk bersandar di sudut ruang tahanan. Kedua kakinya ditekuk. Wajahnya yang kuyu dibenamkan di antara kedua lutut.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku ini?" desah sang prajurit dengan kedua mata terpejam rapat.
Otak Tumanggala lantas berputar Merangkai-rangkai dugaan demi dugaan berdasarkan rentetan kejadian yang telah ia alami selama beberapa hari ini. Namun dirinya tak kunjung mendapatkan jawaban.
Dalam kesendirian itu ia lantas teringat pada anak dan isterinya. Sudah lebih dari dua pekan ia tidak p
MENGETAHUI Tumanggala tersudut begitu rupa, seringai di wajah si wira tamtama semakin lebar. Lalu perlahan tawanya terdengar membahanan, memenuhi seisi ruang tahanan nan pengap."Kau tidak bisa lari ke mana-mana, Tumanggala," desis wira tamtama tersebut.Tumanggala kertakkan rahang. Namun ia benar-benar tidak bisa bergerak lagi. Dengan terpaksa sang prajurit berdiri diam di tempatnya. Kewaspadaannya ditingkatkan."Dengar baik-baik, Tumanggala. Yang lebih penting untuk kau ketahui adalah, mulai besok pagi seisi Kotaraja ini akan mengenang dirimu sebatas nama saja!" ujar wira tamtama itu. Nada bicaranya datar."Tumanggala sang prajurit Panjalu yang penumpas gerombolan rampok Alas Wengker, yang membunuh gembong begal Ranasura, ditemukan telah menjadi mayat bersama-sama dengan dengan isterinya," tambah wira tamtama tersebut seraya menyeringai.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam. Ia semakin tak mengerti arah pembicaraan orang di hadapannya. Ra
AKIBAT terlalu sibuk mencari-cari pedangnya yang entah menghilang ke mana, Tumanggala menjadi lengah. Sambaran pedang dua prajurit di hadapannya semakin dekat. Terlihat sulit dihindari. Untung saja kesadaran Tumanggala pulih di saat yang tepat. Sejengkal lagi mata tajam dua pedang menggores kulitnya, sang prajurit cepat lengkungkan punggung ke belakang. Diturunkan serendah mungkin. Wuutt! Wuutt! Sambaran dua pedang tadi hanya menemui udara kosong. Lewat satu jengkal di atas perut Tumanggala. Sang prajurit lantas ulurkan kedua tangannya, mencapai lantai ruangan. Dalam sekali sentak, tubuhnya kemudian berjungkir balik menjauhi lawan. Sembari berjungkir balik begitu, kedua kaki Tumanggala dihantamkan ke depan. Menendang pergelangan tangan dua prajurit yang masih terbengong-bengong karena serangan mereka meleset. Des! Des! "Aaaa!" Yang ditendang berseru kaget. Tubuh mereka sontak terjajar mundur ke belakang. Tangan yang ken
MELIHAT empat prajurit yang dibawanya dirobohkan dengan mudah, si wira tamtama jadi menggeram marah. Kedua tangannya dilipat ke pinggang. Tatapan matanya nyalang memerah menatap Tumanggala.Meski demikian diam-diam wira tamtama tersebut memuji di dalam hati. Mau tak mau ia harus mengakui jika kemampuan Tumanggala benar-benar di atas rata-rata prajurit Panjalu. Tepat seperti desas-desus yang ia dengar selama ini."Hmm, rupanya benar apa aku dengar selama ini. Kemampuan prajurit satu ini memang istimewa. Lebih tinggi dari prajurit lain yang sepangkat dengannya. Pantas saja empat prajurit pilihan yang aku bawa tadi dapat dikalahkan dengan mudah," batin wira tamtama tersebut.Sementara itu Tumanggala melangkah mendekat. Lalu berhenti sejarak satu depa (sekitar 1,86 meter) dari hadapan si wira tamtama."Aku tidak menyangka kalian punya niat keji terhadapku," ujar Tumanggala dengan suara mendesis. Tanpa tedeng aling-aling.Si wira tamtama menyeringai leb
USAI membentak begitu Tumanggala lantas melangkah keluar dari dalam ruang tahanan. Namun baru saja tangannya menyentuh pintu ruangan tersebut, terdengar suara berdesing dari arah belakang.Sing!Sontak Tumanggala miringkan tubuhnya ke samping. Sebilah pedang lewat persis satu jengkal dari bahunya.Pucatlah wajah Tumanggala mengetahui hal itu. Sempat terlambat menghindar tadi, pastilah batang lehernya sudah kena babat putus oleh sambaran pedang tajam tersebut."Pembokong keparat!" geram Tumanggala sembari balikkan badannnya. Sebelah kakinya terangkat, melepas satu tendangan memutar ke arah pembokong di belakang.Des!"Aaaa!"Serangan balasan yang tak disangka-sangka itu mendarat telak di rahang lawan. Terdengar jeritan mengaduh. Lalu berisik suara tembok ruang tahanan terhantam benda besar lagi berat. Ditutup nyaring bunyi berkelontangan.Rupanya yang baru saja melakukan serangan pengecut dari belakang tadi adalah salah satu dar
DENGAN langkah gegas Tumanggala keluar dari ruang tahanan. Dikuncinya pintu ruangan dari luar. Setelah itu setengah berlari ia menuju tangga di ujung lorong.Suara-suara langkah kaki banyak sekali bertambah jelas. Tumanggala percepat langkah. Ia tak mau berurusan dengan para prajurit keraton. Sang prajurit ingin secepatnya pergi dari Kotaraja.Namun baru saja kaki Tumanggala menginjak anak tangga pertama, di ujung tangga muncul sosok-sosok prajurit penjaga tahanan. Mereka tampak terburu-buru, hendak turun ke bawah."Hei, prajurit! Apa yang terjadi di bawah sana?" tanya prajurit paling depan dalam rombongan tersebut pada Tumanggala.Yang ditanya cepat tanggap. Langsung saja ia manfaatkan keadaan saat itu agar mendapat kesempatan merat dari tahanan bawah tanah Kotaraja. Kalau perlu bahkan meninggalkan Kotaraja sekalian."Tahanan di ruangan sana mengamuk. Para prajurit jaga dihajar olehnya. Cepat kalian periksa! Aku mau melapor pada senopati," sahut T
WAJAH Tumanggala berubah tegang. Tiba-tiba saja terdengar teriakan mengguntur dari arah belakang. Diikuti suara kentongan yang dipukul bertalu-talu tanpa henti.Saat Tumanggala palingkan kepala ke belakang, dilihatnya tak kurang dari selusin prajurit tengah berlari mengejar ke arahnya. Di tangan masing-masing mereka terhunus pedang dan tombak."Celaka! Aku harus secepatnya keluar dari sini," desis sang prajurit Panjalu dengan suara bergetar.Tumanggala lantas kerahkan kemampuan lari cepatnya. Sehingga dalam beberapa kejap saja ia sudah tiba di ujung lapangan Plataran. Tinggal sejarak beberapa depa saja dari gerbang belakang keraton.Namun tinggal satu depa (sekitar 1,86 meter) lagi ia sampai di gerbang tersebut, kedua daun pintu tiba-tiba saja terbuka dari arah luar. Tumanggala sontak hentikan langkah dengan terkaget-kaget."Sialan! Aku kalah cepat," rutuknya di dalam hati.Bersamaan dengan terbukanya kedua daun pintu gerbang, segerombol pra
KABAR mengenai keributan di ruang tahanan bawah tanah malam itu sampai ke telinga Rakryan Rangga. Prajurit yang memberi laporan mengabarkan, adalah seorang tahanan bernama Tumanggala yang menjadi biang keributan tersebut. Mendengar nama Tumanggala, Rakryan Rangga langsung menghubungkannya dengan Arya Lembana. Sang rakryan yakin betul jika keributan tersebut ada kaitan dengan tuduhan senopati bawahannya itu pada Tumanggala. "Panggil Arya Lembana kemari, sekarang juga!" perintah Rakryan Rangga pada prajurit yang memberi laporan. "Sendika dawuh, Gusti," sahut si prajurit seraya menjura hormat. Selepas itu ia berbalik badan dan keluar dari tembok istana untuk menuju ke kediaman Arya Lembana. Panggilan sepagi itu membuat Arya Lembana merasa tidak enak perasaan. Akalnya cepat berputar. Sebelum berangkat menghadap Rakryan Rangga, ia memerintahkan prajurit pengawalnya untuk memanggil Kridapala dan Wipaksa. Namun Arya Lembana harus menelan kekecewaan.
KE mana sebenarnya Kridapala dan Wipaksa pergi? Apakah benar dugaan Senopati Arya Lembana, bahwa keduanya menghilang terkait peristiwa di ruang tahanan bawah tanah istana? Malam itu juga, begitu mendengar kabar mengenai kegagalan pasukan kecil yang ia kirim ke ruang tahanan Tumanggala, Wipaksa bergegas melapor pada Kridapala. Pertemuan pada dini hari itu dilakukan secara diam-diam. Kecuali para penjaga kediaman Kridapala, tak seorang pun yang mengetahui kedatangan Wipaksa. Lurah prajurit itu muncul dengan wajah tegang. "Apa yang terjadi? Kenapa kau mengganggu tidurku malam-malam begini?" tanya Kridapala begitu berhadap-hadapan dengan Wipaksa. Jelas sekali terdengar nada bicaranya gusar. "Ampunkan saya, Ki Bekel. Tapi ini sangat penting sekali. Saya harus melapor sekarang juga," sahut Wipaksa sembari menghaturkan sembah. "Penting sekali, katamu? Sepenting apa memangnya?" tanya Kridapala lagi. Wipaksa menghela napas panjang sesaat, berus
BEGITULAH kehidupan di dunia. Tak selamanya kegelapan nan muram menyungkupi. Selama bumi masih berputar, maka akan ada saatnya matahari muncul memancarkan sinar. Memberi terang pada seluruh makhluk. Malam yang gelap pun berganti menjadi siang nan benderang. Selubung hitam menghilang bersama menguapnya embun di dedaunan. Tumanggala sedang berada pada titik itu. Di mana kegetiran yang memayungi kehidupannya perlahan-lahan sirna. Dari keadaan terpuruk hampir mati, prajurit Panjalu tersebut memperoleh kejayaan yang tak disangka-sangka. "Lagi-lagi kau menanamkan jasa besar bagi kerajaan, Tumanggala. Gusti Prabu merasa sangat senang sekali persekongkolan jahat Agreswara terbongkar. Semua berkat dirimu," kata Rakryan Tumenggung pada Tumanggala sore itu. Yang diajak bicara tentu saja senang dipuji begitu. Namun ia pendam dalam-dalam kebanggaan itu. Kepalanya tetap ditundukkan dengan takzim. "Saya hanya menjalankan dharma bakti sebagai seorang prajurit Panjalu, Gusti Tumenggung. Sebagai se
KOTARAJA tiba-tiba saja berubah sibuk pagi itu. Pengakuan Ganaseta membuat Arya Lembana bergerak cepat. Senopati tersebut langsung menghadap Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung sekaligus.Di hadapan panglima tertinggi Kerajaan Panjalu itu, kembali Ganaseta mengulangi keterangannya. Bahwa perampokan demi perampokan yang terjadi di seantero kerajaan selama ini didalangi oleh seorang berpangkat tinggi.Pejabat itulah yang mengatur tempat-tempat mana saja yang harus dikacau dengan perampokan. Dimulai dari desa-desa yang jauh. Lalu semakin lama semakin mendekat ke Kotaraja.Tujuan akhir dari rencana itu adalah menggoyang kewibawaan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya, raja Panjalu yang tengah bertahta.Sayang, baru sampai Katang Katang dan Lusem rencana itu agaknya harus berakhir. Bermaksud membalaskan dendam pribadinya, Tumanggala secara tak sengaja justru berhadapan dengan kelompok itu dan membongkar niat jahat mereka."Berarti benar dugaan kita. Ru
SENOPATI Arya Lembana bergegas keluar kamar begitu diberi tahu ada telik sandi datang menghadap. Langkah kakinya diayunkan cepat-cepat menuju pendopo. Tamunya sudah menunggu di sana. Hari masih sangat pagi. Permukaan dedaunan masih berhias embun yang bening laksana kristal. Di langit, mendung kelabu nan tebal menghalangi sinar matahari. Membuat keadaan remang-remang. Telik sandi di pendopo langsung haturkan sembah hormat begitu melihat kedatangan Arya Lembana. Orangnya masih muda, berusia kisaran pertengahan dua puluhan. Badannya kukuh, tegap berisi selayaknya prajurit Panjalu lain. "Ada kabar apa?" tanya Arya Lembana setelah menerima haturan sembah. "Saya membawa kabar dari Lusem, Gusti Senopati," jawab telik sandi tersebut. "Hmm, Lusem?" Arya Lembana amat-amati telik sandi di hadapannya. Barulah sang senopati ingat kalau orang itu memang yang ditugaskan di kawasan barat Kotaraja. "Benar, Gusti," sahut si telik sandi. "Semalam terjadi
UCAPAN anak buah Ranajaya itu membuat Tumanggala kernyitkan kening. Raut keheranan tampak jelas pada wajah prajurit Panjalu itu. Apa lagi ini? Batinnya bertanya-tanya. Tumanggala tinggalkan Ranajaya begitu saja. Ia sama sekali tak khawatir buruannya itu kabur, sebab sudah tak mampu bergerak lagi. Sang prajurit lebih tertarik pada keterangan lelaki tadi. "Jelaskan apa maksud ucapanmu!" ujar Tumanggala begitu tiba di sebelah si lelaki. Belum sempat lelaki tadi menjawab, Ranajaya sudah menghardik anak buahnya itu. "Keparat kau, Ganaseta! Apa yang akan kau katakan?" Hal ini membuat Tumanggala semakin tertarik. Dari berdiri, kini sang prajurit jongkok di sebelah lelaki yang dipanggil Ganaseta oleh Ranajaya tadi. Dalam jarak sedekat itu Tumanggala dapat melihat lebih jelas wajah orang. Seketika parasnya berubah. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Rasa-rasanya pernah bertemu, tapi entah di mana. "Tunggu! Aku rasa kita pernah bert
PERTARUNGAN satu lawan satu pun pecah. Ranajaya yang sebenarnya sudah kecut nyali berlaku nekat. Ia tak hendak menyerah begitu saja. Meski semakin lama semakin terdesak, sebisa mungkin ia ladeni serangan Tumanggala.Bisa ditebak, pertarungan itu berjalan berat sebelah. Hanya dalam tempo dua setengah jurus berselang, terlihat bagaimana Tumanggala sangat menguasai keadaan. Pukulan dan tendangannya berkali-kali mendarat di tubuh Ranajaya.Buk! Buk! Buk!Dalam satu kesempatan, Tumanggala mengirim tiga pukulan beruntun menggunakan tangan kiri. Sasaran tinju itu adalah dada Ranajaya yang sama sekali tak dapat mengelak.Tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tersuruk ke belakang. Terkena telaknya pukulan beruntun Tumanggala. Belum puas, sang prajurit sudah menambahkan serangan lagi. Kali ini dengan tiga tendangan berturut-turut.Des! Des! Des!"Aaaaaa!"Lagi-lagi Ranajaya tak kuasa berkelit. Hantaman tiga tendangan beruntun tersebut membuat
DIKEROYOK empat lawan bersenjata seperti itu tentulah bukan perkara mudah. Karenanya pada awal-awal pertarunganTumanggala agak keteteran. Namun setelah berjalan beberapa jurus, mulai terlihat bahwa dua dari empat lawannya tersebut sudah tak bertenaga.Dengan cerdik sang prajurit lantas pusatkan serangannya pada dua orang tersebut. Dua lelaki yang punggungnya terluka parah, dan telah kehilangan begitu banyak darah.Sembari berkelit menghindari tusukan dan sambaran golok Ranajaya serta satu anak buahnya yang lain, Tumanggala berhasil mengirim tendangan keras ke dua lelaki yang menjadi sasaran utamanya."Hiaaaat!"Des! Des!Dua lelaki tersebut terpekik. Dada mereka serasa sesak bukan main saat kaki Tumanggala singgah. Tubuh keduanya terjajar mundur. Baru berhenti saat punggung mereka yang sudah terluka menghantam dinding salah satu rumah penduduk.Setelah itu kedua lelaki tersebut jatuh duduk, lalu terguling-guling berselimut lumpur nan k
TUMANGGALA sontak batalkan niat. Pedang yang sudah teracung di atas kepala perlahan-lahan diturunkan kembali. Kepalanya berputar, memandang ke arah Ranajaya yang sudah berada tak jauh darinya."Ah, Tumanggala. Sungguh tak kusangka seorang kesatria Panjalu bisa punya pikiran serendah ini," ujar Ranajaya bermaksud mengejek."Lelaki jahanam! Kau harus mati di tanganku sebagai balasan kematian anak dan isteriku!" balas Tumanggala menggeram. Tatapan matanya berkilat-kilat.Amarah sang prajurit semakin menggelegak. Sudah sejak tadi-tadi ia ingin menghabisi Ranajaya. Namun tiga anak buah lelaki biadab itu tiba-tiba datang menghalangi."Ah, ah, kau ini sungguh lucu, Tumanggala," sahut Ranajaya, masih dengan nada mengejek. "Aku sama sekali tidak membunuh anak dan isterimu. Bagaimana mungkin kau bilang aku harus mati sebagai balasan kematian mereka?"Tumanggala kertakkan rahang. Ia hendak menanggapi ucapan lawan, namun Ranajaya sudah mendahului."Anak
TUMANGGALA dapat menduga apa yang tengah dilakukan lawan. Tentulah lelaki yang sudah terdesak itu memanggil bala bantuan.Benar saja. Tak lama berselang muncul dua lelaki yang juga bercambang bauk lebat dari arah berlainan. Setengah berlari keduanya menuju ke arena pertarungan sembari mengacungkan golok besar di tangan masing-masing.Tumanggala mendengus. Bibirnya mengukir seringai lebar."Bagus! Cepat ke sini kalian berdua, biar sekalian aku habisi!" geram Tumanggala begitu melihat dua lawan barunya tersebut."Jangan besar mulut! Kaulah yang akan mati di tangan kami!" bentak salah satu dari dua lelaki yang baru muncul.Tanpa memperpanjang kata lagi, dua lelaki yang baru muncul sudah menyerbu ke arah Tumanggala. Dua golok besar disabetkan ke depan. Satu mengarah ke ulu hati, satunya lagi mengarah ke batang leher!"Hiaaaat!"Wuuut! Wuuut!Sambaran golok menimbulkan suara menderu. Gaungnya yang terdengar jelas membuat bulu kuduk
MENDENGAR bentakan tersebut Tumanggala terkaget-kaget. Cepat sang prajurit Panjalu balikkan badan untuk melihat siapa yang berada di belakangnya. Satu tindakan seketika yang terhitung ceroboh.Rasa kaget Tumanggala kemudian bertambah-tambah. Belum sempat matanya melihat orang yang berteriak tadi dengan jelas, satu serangan deras sudah menyambut. Sebilah golok besar menyambar ke arahnya.Wuutt!Suara menderu keras terdengar bersamaan dengan datangnya sambaran golok. Tumanggala yang tak siap dengan serangan itu mengambil cara termudah untuk mempertahankan diri.Dalam satu gerak cepat pedang di tangan sang prajurit diayunkan untuk menyambut datangnya serangan. Tak lupa tenaga dalam ia kerahkan.Sriiing!Angin yang dibelah laju pedang menimbulkan suara berdesing. Cahaya kobaran api dari rumah-rumah terbakar yang jatuh di badan pedang, membuat senjata andalan Tumanggala itu terlihat berkilat-kilat.Lalu sekejap kemudian ....Trang!