SELEPAS tengah hari, Rakryan Rangga membawa pasukannya meninggalkan Lembah Paria. Iring-iringan tersebut kembali ke Daha dengan membawa dua gerobak yang ditempatkan di tengah-tengah. Satu gerobak berisi jasad sebelas prajurit yang gugur dalam penyerbuan tadi. Kesemuanya akan ditunjukkan pada keluarga masing-masing sebelum diperabukan secara kehormatan oleh Kerajaan. Sementara gerobak kedua berisi Sukarta bersama empat anggota gerombolan Kebo Cemeng. Tangan dan kaki mereka diikat kencang, lalu tiap-tiap ikatan tersebut disambung-sambung menjadi satu. Lebih dari sepenanakan nasi berselang iring-iringan tersebut memasuki Kotaraja. Kedatangan mereka tentu saja menjadi pusat perhatian warga kota, terutama saat melintasi kawasan pasar gedhe. "Kirim utusan untuk memberi kabar pada Gusti Tumenggung," ujar Rakryan Rangga saat pandangan matanya menatap gapura besar Kotaraja di kejauhan. "Sendika dawuh, Gusti," sahut Arya Mandura cepat, lalu meneruskan pesan tersebut pada salah satu bekel di
SEMENTARA di Lembah Paria terjadi pertempuran sengit yang membuat sebagian besar anggota komplotan Kebo Cemeng tewas, Kridapala yang baru saja meninggalkan tempat tersebut langsung memacu kudanya kencang-kencang menuju Gunung Pawinihan.Kridapala menghindari Kotaraja, sehingga memilih jalan sedikit memutar ke utara. Jauh sebelum Rakryan Rangga dan pasukannya kembali ke Dahanapura, Kridapala sudah menyeberangi Bengawan Sigarada yang terletak di sisi barat Kotaraja.Ketika matahari mulai condong ke barat, bekel itu sampai di Lusem. Tempat yang merupakan 'pintu gerbang' menuju Gunung Pawinihan tersebut tampak lengang.Di Lusem terdapat sebatang pohon beringin besar, tumbuh tak jauh dari persimpangan jalan. Pohon itu berusia ratusan tahun, oleh karenanya batangnya sangat tinggi dan daunnya sangat lebat.Kridapala memperlambat laju kudanya dan menuju ke pohon tersebut."Mereka seharusnya sudah tiba di sana," gumam bekel tersebut, sembari menatap tajam ke arah pohon beringin tersebut. "Tapi
MESKI sebetulnya merasa lelah luar biasa, Kridapala masih menyimpan sisa-sisa tenaga untuk menuju tempat yang tadi pagi ia sebutkan pada bawahannya. Tambahan lagi kini ada satu muslihat yang harus ia tuntaskan, demi menyempurnakan rencana lamanya. Sekitar sepeminuman teh kemudian, terdengar suara gemuruh air yang begitu keras memekakkan telinga. Kridapala mengembangkan senyum. Ini berarti mereka sudah dekat dengan tujuan. "Jadi, begini rencanaku," ujar Kridapala tiba-tiba, sembari menghentikan langkah. Sudawarman dan Sepasang Rase Merah ikut berhenti pula, lalu memandang Kridapala dengan tatapan penuh tanda tanya. Mereka sudah tidak sabar ingin mendengarkan apa rencana bekel itu. "Sudawarman, apa kau tahu bagaimana rasanya menjadi seorang lurah prajurit?" tanya Kridapala kemudian, sambil memusatkan pandangan pada Sudawarman. "M-maksud Ki Bekel?" Sudawarman malah balik bertanya. Keningnya berkerut dalam, pertanda merasa terheran-heran. Kridapala terkekeh melihat raut wajah Sudawar
REMBANG petang baru saja jatuh saat sepasang anak manusia yang menunggang seekor kuda itu memasuki Hantang. Kabut putih nan tebal mulai turun, membawa hawa dingin mencucuk tulang.Hantang memang dataran tinggi yang dikepung gunung. Di barat daya berbatasan dengan Gunung Kampud, lalu di tenggara berbatasan dengan Gunung Kawi, sedangkan di sepanjang sisi timur dan utara terbentang barisan pegunungan.Karena hawa dingin dan serbuan kabut itulah, tak seorang pun yang dijumpai pasangan anak muda tadi. Sepanjang jalan yang mereka lalui benar-benar sangat sepi. Semua rumah juga sudah tertutup rapat."Sepi sekali perkampungan ini," ujar si pemuda, seraya memandang berkeliling. "Kau tidak salah tujuan kan, Kara?"Perempuan yang dipanggil Kara, tak lain adalah Citrakara, tertawa kecil. "Aku tidak mungkin salah, Kakang. Ini kampung halamanku, bagaimana bisa salah?""Tapi kenapa sepi sekali? Sejak tadi kita tidak menjumpai satu orang pun," kata si pemuda yang tak lain adalah Tumanggala."Bukankah
KENING keriput tuan rumah seketika berkerut mendengar ucapan Citrakara barusan. Mata kelabunya memandangi keponakan perempuannya dan juga Tumanggala. Seolah ingin menelisik apa isi di dalam hati mereka berdua."Butuh pertolonganku, katamu?" ulang si wanita tua. "Pertolongan seperti apa?"Kembali Citrakara melirik Tumanggala sebelum menjawab."Kami ... kami bermaksud merepotkanmu, Bibi," ujar Citrakara, sembari mengulum senyum. "Kami ingin menumpang tinggal di sini bersamamu selama beberapa hari. Apakah Bibi tidak keberatan?"Seulas senyum lebar langsung merekah di wajah si wanita tua. Kepalanya digoleng-golengkan, seakan-akan ingin berkata jika dirinya tidak setuju dengan ucapan Citrakara barusan."Kalau itu pertolongan yang kau butuhkan, jangan merasa sungkan," jawab wanita tua itu. "Aku justru sangat senang sekali jika kau, jika kalian berdua, tinggal bersamaku di sini.""Terima kasih, Bibi." Citrakara balas tersenyum dan memegang telapak tangan bibinya. "Harap ampuni aku kalau kamu
USAI berkata begitu, Tumanggala langsung menyesal. Ia sadar betul jika nada bicaranya tadi terdengar menyindir. Sebuah penyesalan datang terlambat. Ucapan yang sudah keluar tak mungkin ditarik kembali. Sementara paras cantik Citrakara sontak berubah. Tatapan mata perempuan itu jadi berkilat-kilat tajam. Ujung bibirnya terungkit sedikit. "Apa maksud Kakang berkata begitu?" tanya Citrakara dengan nada tak senang. Tumanggala menelan ludah. Ia sadar betul telah salah bicara. Untuk beberapa lama prajurit itu jadi serba salah sendiri. "Mmm, maksudku...." Belum sempat Tumanggala menuntaskan ucapan, Citrakara sudah mendengus kasar dan berlalu. Perempuan itu melengos sebelum kembali naik ke pembaringan. Seolah semua itu belum cukup, Citrakara mengempaskan tubuhnya dengan keras ke atas tilam. Ranjang kayu sampai bergoyang dan berderit keras karenanya. Begitu tubuhnya berbaring di atas tilam, Citrakara langsung menyambar bantal dan menutupi kepala. Tumanggala jadi garuk-garuk kepala meliha
SEKUJUR tubuh Tumanggala seolah menjadi kaku mendapati kenyataan. Napas prajurit Panjalu itu terengah-terangah karena rasa kaget yang amat sangat. Wajah Citrakara begitu dekat saat Tumanggala membuka mata tadi. Embusan napas perempuan itu terasa begitu hangat, merayapi seluruh kulit muka sang wira tamtama dengan penuh gairah. Rasa kaget Tumanggala bertambah-tambah manakala mengetahui Citrakara dalam keadaan polos. Tak ada sehelai benang pun yang menutupi lekuk-lekuk indah perempuan cantik itu. Ini gila! Benar-benar gila! Tumanggala jadi merutuk di dalam hati. Apalagi pandangannya sempat menangkap dua gundukan bulat bergoyang-goyang di dada Citrakara. Satu perasaan aneh seketika bergelora di dalam diri sang prajurit. "A-apa yang kau lakukan, Kara?" ujar Tumanggala dengan suara bergetar. Citrakara hanya menanggapi dengan satu senyum manja. Sepasang mata perempuan itu tampak sayu, memandangi Tumanggala dengan tatapan sedemikian menggoda. Tumanggala jadi bergidik ngeri. Pasalnya ia m
SEMENTARA di tempat lain, pagi itu Kridapala tengah menyiapkan pasukannya. Kemarin sore, ia membawa para prajuritnya turun ke Lusem dan bermalam di sana karena gelap telah jatuh.Sesuai muslihatnya kemarin, Kridapala menyerahkan tanggung jawab memimpin 50 prajurit tersebut kepada Sudawarman dan Paladhu. Kepada keduanya ia memberikan pedang milik Jayastu dan Widarpa sebagai perlambang perpindahan tampuk kepemimpinan.Begitu pasukannya mendapat tempat bermalam, Kridapala mengajak Sudawarman ke Kotaraja. Sepanjang malam mereka mengorek keterangan dari beberapa telik sandi kerajaan yang dapat ditemui."Jadi, bagaimana menurutmu, Sudawarman?" tanya Kridapala setelah mereka kembali ke Lusem. Ia langsung mengumpulkan lima kaki tangannya malam itu juga.Dari beberapa telik sandi yang Kridapala temui, ada yang melihat seseorang dengan ciri-ciri seperti Tumanggala di kawasan Brang Kidul. Yang lain melihatnya di Lodoyong, lalu ada pula yang bertemu di Jimbe, di Kapungkuran dan terakhir di Lawang
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun