SANG surya baru setinggi galah. Langit biru cerah, meski beberapa gumpal besar mega putih menggantung di angkasa. Angin semilir bertiup dari selatan, mengantar angin laut yang lembab dari pesisir nun jauh. Di jalan tanah sepanjang sisi selatan Bengawan Sigarada, sepasang anak muda berboncengan menunggang seekor kuda. Langkah hewan yang mereka tunggangi tidak terlalu kencang juga tidak terlalu lamban. Penunggang kuda laki-laki berwajah cakap dengan tubuh tegap lagi kekar. Sedangkan yang perempuan berwajah bulat telur nan ayu dengan rambut sehitam jelaga, terjuntai lurus hingga ke pinggang. "Kau tidak sadar jika sedari tadi kita jadi pusat perhatian orang-orang, Kakang?" ucap penunggang kuda perempuan yang duduk di depan. Sambil berkata demikian, perempuan itu menoleh ke belakang untuk menatap lawan bicara. Rambut panjangnya seketika terlempar, ujungnya mengenai wajah dan dada penunggang kuda laki-laki. "Abaikan saja, Kara," sahut penunggung kuda laki-laki. Dadanya yang terkena kele
BEGITU keluar dari tembok istana, Kridapala langsung mengarahkan kudanya ke pinggiran Kotaraja. Menyusuri jalan tanah berdebu yang semakin jauh ke arah luar Kotaraja semakin jarang rumah. Tiba di sebuah perkebunan sayur-mayur nan luas, Kridapala memperlambat laju kuda tunggangannya. Sepasang mata bekel kerajaan itu menatap sepanjang kiri-kanan jalan dengan sorot tajam, seperti tengah mencari-cari sesuatu. "Ah, pasti itu tempatnya!" seru Kridapala perlahan saat melihat satu-satunya rumah dalam luasan perkebunan. Rumah itu sangat sederhana, khas kediaman rakyat jelata di Kerajaan Panjalu. Dindingnya berupa geribik, dengan tiang-tiang penyangga berupa lonjoran kayu bulat utuh. Anyaman daun nipah lebar-lebar menjadi atap. Kridapala menyentak tali kekang kuda, mengarahkan hewan tunggangannya itu masuk ke halaman rumah. Setelah mengamat-amati keadaan rumah sejenak, bekel kerajaan itu melompat turun. "Siapa di luar?" Satu suara berat dari dalam rumah menyambut kedatangan Kridapala. Diiri
KRIDAPALA langsung melanjutkan perjalanan setelah urusan dengan Sudawarman selesai. Bekel kerajaan itu pergi dengan wajah menyunggingkan seringai bercampur senyuman. Bertambah sudah kekuatannya untuk membalaskan dendam pada Tumanggala. Dari balik rumpun bambu di mana dirinya dan Sudawarman berbicara, Kridapala langsung mengambil jalan pintas ke perbatasan Kotaraja. Tujuan selanjutnya adalah mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh Triguna padanya kemarin. Sayang, bagaimanapun hati-hatinya Kridapala, tanpa ia sadari seorang lelaki muda membuntutinya sejak keluar dari tembok istana tadi. Si penguntit membuntuti dalam jarak aman, sehingga bekel tersebut benar-benar tidak sadar. Penguntit itu memang sempat kehilangan jejak saat Kridapala menemui Sudawarman. Namun begitu Kridapala keluar dari persembunyiannya dan menuju perbatasan Kotaraja, lelaki muda itu kembali membuntuti di belakang. Suiiiittt! Belum terlalu jauh meninggalkan perbatasan Kotaraja, tiba-tiba saja Kridapala mendengar s
SEPANJANG pagi itu Senopati Arya Lembana mondar-mandir di dalam ruang tahanannya. Lama ia berpikir-pikir bagaimana caranya untuk menemui Ganaseta dan meminta keterangan. Otaknya serasa buntu,Yang jelas sejak teringat pada Ganaseta, sang senopati yakin betul perampok tersebut dapat memberi keterangan berharga. Sebagai sesama penjahat biasanya saling mengenali.Tinggal tunjukkan saja anak panah yang dipakai gerombolan penculik itu, yang beberapa di antaranya masih menancap di jasad para pengawal Dyah Wedasri Kusumabuwana. Arya Lembana sempat menyerahkan anak panah itu pada Rakryan Tumenggung sebagai bukti, juga kepada Rakryan Rangga."Tapi bagaimana caranya aku menemui Ganaseta? Tak mungkin aku keluar dari kurungan sialan ini!" desis Arya Lembana kebingungan.Seakan mendapat restu dari semesta, di kala sang senopati tengah kebingungan sendiri seperti itu terdengar suara berisik dari pintu. Agaknya gembok pada daun pintu besi itu tengah dibuka."Siapa...?"Belum sempat Arya Lembana menu
RAKRYAN Rangga bergegas keluar dari ruang tahanan. Pintu kembali ditutup dan dikunci. Arya Lembana mengikuti kepergian atasannya itu dari lubang yang ada di daun pintu besi. Sekitar sepeminuman teh berselang, suara berisik logam beradu kembali terdengar. Ketika pintu ruang tahanan terbuka, Rakryan Rangga masuk bersama seorang lelaki bercambang bauk lebat. Karena kini di dalam tahanan ada orang ketiga, dua orang prajurit turut masuk untuk berjaga-jaga di dekat pintu. Sementara Arya Lembana langsung mendekati lelaki bercambang bauk yang tak lain Ganaseta. "Ganaseta," panggil Arya Lembana. "Kami memerlukan keteranganmu." Sekalipun hukumannya diringankan menjadi kurungan seumur hidup, tetap saja Ganaseta merasa kesal dan mendendam pada para petinggi tata keprajuritan Panjalu. Termasuk terhadap Arya Lembana. Karena itulah si perampok hanya diam menatap Arya Lembana dengan sorot mata tajam. Lagi pula, ia tidak tahu untuk apa dirinya dibawa ke ruang tahanan ini. Rakryan Rangga tidak berk
SEMENTARA itu di perbatasan Kotaraja.... Seorang lelaki tua berjalan membelah jalanan tanah menuju pusat kota Dahanapura. Sambil berjalan, si lelaki tua sambil bersiul-siul. Sesekali kaki dan pinggulnya bergoyang seirama nada siulan. Jika ditilik dari warna rambut dan jenggot serta perawakannya yang kurus kering, usia lelaki tua itu tak kurang dari 60 tahun. Namun jalannya masih sangat lincah dan kencang. "Oh, Dahanapura. Sudah puluhan tahun aku tidak menginjakkan kaki ke tempat ini," gumam si kakek, sembari memandangi sekitar. Saat itu ia tiba di satu persimpangan jalan dan berhenti dengan bimbang. Keningnya yang sudah keriput tampak berkerut-kerut kusut tak karuan. "Sekarang jalan mana yang harus kutempuh?" ujar si lelaki tua pada dirinya sendiri. "Lurus terus ke arah sana, belok kiri, atau belok kanan?" Lama termenung sendiri tak mendapat jawaban, secara tak sengaja pandangan mata lelaki tua itu terantuk pada sebuah warung makan di tepi jalan yang berbelok ke kiri. Entah isyar
MESKI sempat kaget, si lelaki tua tidak sedikit pun mengangkat wajah ke arah asal suara. Tadi sekilas ia sudah melihat sosok keempat lelaki yang baru datang itu.Empat lelaki tersebut kesemuanya bertelanjang dada, menampakkan tubuh penuh otot dengan dada bidang. Si kakek menduga, mereka adalah kalangan kesatria. Setidak-tidaknya prajurit kerajaan.Si kakek lantas berlagak masa bodoh, tetapi diam-diam mementang kedua belah telinganya lebar-lebar untuk menangkap isi pembicaraan orang. Nama yang barusan disebut salah satu dari empat orang itu menarik perhatiannya."Pelankan suaramu, Surama. Tidakkah kau tahu kita sedang berada di mana?" tegur salah satu dari keempat lelaki pada temannya yang berbicara tadi.Yang ditegur mendengus tak senang. Pelipisnya bergerak-gerak."Kita berada jauh di pinggiran Kotaraja, Sudawarman. Lagi pula, tidak ada siapa-siapa di warung ini kecuali sepasang muda-mudi kasmaran dan seorang tua pikun. Mereka tidak akan tahu dan juga tidak akan peduli dengan apa yan
SETELAH agak jauh meninggalkan Kotaraja, baru Kridapala menyadari ada yang salah dengan pertemuannya barusan. Bekel kerajaan itu teringat satu kalimat Jayeng saat mereka baru bersitatap."Keparat! Dari mana Jayeng sialan tahu kalau aku mendapat titah dari Gusti Tumenggung untuk mencari Gusti Puteri? Jangan-jangan...."Kridapala tidak berani meneruskan. Yang jelas kecamuk pikiran yang muncul tiba-tiba memengaruhi kendali atas kuda.Tanpa sadar bekel kerajaan tersebut menarik tali kekang, sehingga membuat hewan tunggangannya memperlambat lari. Baru setelah beberapa saat Kridapala tersadar apa yang terjadi."Siapa sebetulnya Jayeng itu? Selama ini yang aku tahu dia telik sandi kerajaan yang menjadi tangan kanan Arya Agreswara. Kenapa setelah senopati sialan itu modar, Jayeng masih saja berkeliaran?" gumam Kridapala lagi."Satu hal lagi ..." Kridapala jadi teringat sesuatu. "Bagaimana mungkin Jayeng yang sering menjalin hubungan dengan Arya Agreswara bisa selamat dari upaya bersih-bersih