"APAKAH air terjun itu tempat kalian menyekap Dyah Wedasri Kusumabuwana?"Pertanyaan itu langsung meluncur dari mulut Kridapala begitu Triguna berhenti di dekat sebuah air terjun. Seketika ia jadi teringat pada tempat perjanjiannya dengan Paladhu dan yang lain-lain. Sama-sama air terjun.Sebelumnya, dari Paradah dua orang tersebut menempuh jarak nyaris dua puluh ribu depa. Memutar ke utara demi menghindari punggungan bukit di sisi timur, lalu mengikuti jalanan berbatu di celah-celah pebukitan yang menjadi batas alam Panjalu dengan Jenggala."Sampai malam nanti, iya." Triguna menyeringai penuh arti usai memberikan jawaban. "Ayo, aku tunjukkan sesuatu padamu. Kau pasti bakal terkejut, Ki Bekel."Kridapala mengerutkan kening mendengar ucapan tersebut. "Apa maksudmu? Apa yang bakal membuatku terkejut? Jangan-jangan kau berniat menjebakku?"Tawa Triguna sontak berderai. Suaranya menggema hingga jauh, terpantul pada pepohonan sebelum akhirnya menghilang ditimpa gemuruh suara air dari atas.
"KAU akan tahu sendiri siapa orangnya, Ki Bekel," jawab Triguna, sembari memamerkan seringai penuh arti. "Dan kau pasti akan terkejut melihatnya." Setelah saling tatap dengan Kridapala selama beberapa saat, Triguna memberi isyarat pada bekel itu agar kembali mengikuti langkahnya. Kemudian ia mendahului berjalan. Sambil di dalam benaknya terus menduga-duga, Kridapala membuntuti di belakang. Bekel itu lantas teringat pada beberapa kesatria Panjalu yang selama ini diketahui dekat dengan Dyah Wedasri Kusumabuwana. Ingatan tersebut didorong pada kenyataan Dyah Wedasri terlihat biasa-biasa saja di dalam gua tadi. Sang Puteri tidak diikat seutas tali pun pada kaki ataupun tangannya. Bahkan juga tidak dikurung. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Dyah Wedasri tidak merasa ataupun tidak sadar jika dirinya tengah diculik dan disekap. Hal yang membuat ini mungkin terjadi hanyalah jika Sang Puteri berada di tempat tersebut bersama-sama seseorang yang sudah benar-benar ia percaya. "Kita sudah samp
"KAU yakin tidak sedang memasukkan ular berkepala dua ke dalam rumah, Triguna?"Pertanyaan itu dilontarkan Ki Bekel Wikutama setelah tinggal berdua saja dengan Triguna di dangau. Sedangkan Kridapala berpamitan pergi sebentar setelah membicarakan rencana ke Kutaraja nanti malam.Mendengar pertanyaan itu, ingatan Triguna seketika berlabuh pada Sukarta. Gembong perampok Kebo Cemeng tersebut pernah mengajukan pertanyaan persis sama usai bertemu Kridapala di Lembah Paria.Entah kebetulan atau tidak, bertepatan dengan kemunculan Kridapala ketika itu datanglah sepasukan prajurit Panjalu. Dipimpin langsung oleh Rakryan Rangga, pasukan dari Daha berhasil meringkus Sukarta."Kita sudah sangat dekat dengan Kutaraja. Tinggal menuruni lereng gunung ini ke arah timur laut, kita sudah masuk ke dalam wilayah Kerajaan Jenggala. Sungguh sangat disayangkan sekali jika sampai ada yang berkhianat dan menggagalkan semua," tambah Wikutama. Sejenak Triguna tampak bimbang. Ia tentu tidak dapat menyelami isi
TOK, TOK, TOK!Suara ketukan di pintu depan membuat Citrakara berjengit dan bangkit. Perempuan itu sedang duduk di depan tungku di dapur, merebus sesuatu di dalam belanga tanah liat berukuran sedang."Siapa?" tanya Citrakara, sembari berjalan ke arah pintu. Sebelumnya ia sempatkan menyambar sebilah clurit yang terselip di dinding dapur."Kara, ini aku," sahut suara dari balik pintu. Suara lelaki.Citrakara sontak menghentikan langkah. Itu suara yang sangat ia kenali. Suara milik seseorang yang kepergiannya beberapa hari lalu membuat perempuan tersebut menghabiskan sepanjang malam untuk menangis."Kakang Tumanggala, kaukah itu?" tanya Citrakara lagi, sekadar meyakinkan dirinya karena merasa kepergian wira tamtama itu belum terlalu lama."Cepat buka pintunya, Kara, ada yang ingin aku sampaikan padamu," ujar lelaki di balik pintu."B-baik, Kakang," sahut Citrakara cepat.Yakin yang datang memang Tumanggala, Citrakara lempar clurit di tangannya ke sudut ruangan. Ia lantas menarik lepas pa
"TIDAK aku sangka ternyata Triguna sedemikian bodoh. Mudah saja dia percaya kalau aku hendak memeriksa jalur perjalanan menuju Kutaraja. Huh, untuk apa?" Kridapala mengembangkan seringai lebar, lalu kembali menggebah kuda yang ia tunggangi. Lamat-lamat indra pendengarannya menangkap suara debur air terjun dari tengah-tengah luasan kebun teh ini. Jika teringat kejadian tadi, Kridapala tidak bisa tidak tertawa. Ia berpamitan pada Triguna dan Wikutama dengan alasan hendak menjelajah jalur yang akan dilalui saat membawa Dyah Wedasri Kusumabuwana melintasi perbatasan malam nanti. Bekel separuh baya itu memang mula-mula melajukan kuda ke timur laut, arah di mana Kutaraja terletak. Namun setelah merasa dirinya tak lagi terpantau, Kridapala berputar dan lantas menuju ke selatan. "Semoga saja Triguna tidak menyadari kebodohannya sampai aku kembali nanti," gumam Kridapala, masih dengan menyeringai puas. Rencananya sudah separuh berhasil. Hanya satu yang bisa menjadi ganjalan besar bagi Krid
"PAMAN, kau ke mana saja dari tadi? Kenapa baru menemuiku sekarang? Bukankah kita harus bersiap-siap untuk keberangkatan nanti malam?"Ki Bekel Wikutama sontak menghentikan langkah begitu mendengar pertanyaan tersebut. Senyumnya lantas terukir, ditujukan pada perempuan cantik yang berdiri di hadapannya.Tepat di sisi perempuan cantik tersebut, berdiri sedikit agak ke belakang, tampak seorang wanita separuh baya yang senantiasa menundukkan kepala. Mereka tak lain Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok embannya. "Mohon ampuni hamba, Gusti Puteri, sedari tadi hamba berjaga-jaga di luar," sahut Wikutama.Sama halnya simbok emban di belakang Dyah Wedasri, Wikutama juga lebih banyak menundukkan pandangan sedari tadi. Pantang bagi kawula seperti mereka bersitatap mata dengan bangsawan tinggi seperti Sang Puteri."Apakah para penjahat itu masih terus mengejar kita, Paman? Akankah mereka terus berupaya menculik dan membawaku sampai berhasil?" tanya Dyah Wedasri lagi.Ditanya begitu, Wikutama ja
"APA kau bilang, Mbok?"Kejut Dyah Wedasri bukan alang kepalang mendengar ucapan simbok emban. Puteri Panjalu itu memandangi wanita pengasuhnya dengan tatapan lekat-lekat. Sepasang mata indahnya menyorotkan rasa tak percaya."M-mohon ampuni hamba, Gusti Puteri. Hamba....""Kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi, Mbok?" tukas Dyah Wedasri, dengan raut muka keheranan bercampur kebingungan."A-ampuni hamba, Gusti Puteri." Simbok emban menjatuhkan diri ke lantai gua, lantas bersujud di depan kaki Dyah Wedasri. "Hamba mungkin sudah salah menduga. Mohon ampuni hamba, Gusti."Dyah Wedasri terdiam sejenak. Ia tak menghiraukan simbok emban yang terus bersujud, sembari menyentuh ujung jemari kakinya. Sang Puteri Panjalu justru tengah berpikir-pikir sendiri."Bangunlah, Mbok. Tidak ada yang salah dengan dugaanmu itu," kata Dyah Wedasri kemudian.Sambil berkata begitu Dyah Wedasri berjongkok, lalu tangan halusnya menarik bahu simbok emban agar kembali berdiri. Namun pengasuhnya itu hanya mau
USAI berpamitan pada Dyah Wedasri Kusumabuwana, Wikutama keluar dari gua dengan pikiran kusut. Di dalam benaknya terjadi pertentangan hebat akibat terpengaruh ucapan Triguna dan juga puteri junjungannya tadi."Keparat! Kenapa kata-kata mereka membuat kepalaku jadi pening begini?" rutuk Wikutama, sembari meninju telapak tangannya sendiri.Jauh di dalam lubuk hatinya, Wikutama tidak terima disebut pengkhianat. Satu pemikiran yang kemudian mendorongnya memperbaiki keadaan. Yaitu dengan menggagalkan rencana Triguna dan membawa Dyah Wedasri kembali ke Kotaraja.Iming-iming imbalan besar yang dijanjikan Triguna sempat membuat Wikutama ragu-ragu. Namun bukankah Sri Maharaja Prabu Jayabhaya bakal memberikan hadiah tak kalah banyak kepada siapapun yang menyelamatkan puterinya dari tangan penculik?"Tapi bagaimana kalau peranku dalam penculikan ini ternyata sudah diketahui?" gumam Wikutama yang kembali disergap keragu-raguan."Tentu bakal mencurigakan kalau aku tiba-tiba saja muncul di Kotaraja
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun