"DAKSA, apa yang terjadi?" seru Kridapala yang langsung mendekati tempat di mana Daksa tergeletak.Sementara Dyah Wedasri terpekik ketakutan melihat keadaan Daksa. Tak kurang dari enam anak panah menancap di punggung dan bagian samping tubuh lelaki tersebut. Darah membasahi sekujur kulit.Daksa sendiri tampak menggerak-gerakkan bibirnya yang gemetar, sembari menatap Kridapala dengan mata nanar. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu meski dengan susah payah.Namun belum sampai satu patah kata keluar dari mulutnya, kepala Daksa sudah terlebih dahulu terkulai lemah. Tubuhnya ikut rebah di lantai gua dan tak bergerak-gerak lagi."Daksa!" seru Kridapala dengan panik, sembari mengguncang-guncang tubuh Daksa.Terang saja Kridapala panik, sebab kini pembantunya tinggal Sudawarman seorang. Memang ada tiga pendekar sewaan di luar sana. Namun kesetiaan mereka sangat diragukan. Terlebih ketika keadaan tengah tidak berpihak seperti sekarang.Sadar Daksa sudah tak bernyawa dan keadaan juga tengah ge
"JANGAN diam saja, Sudawarman! Cepat naik dan dayung perahu ini!" seru Kridapala dengan geram. Sambil berseru begitu, sorot mata Kridapala yang merah menusuk tajam pada Sudawarman. Membuat lelaki tersebut segera tersadar akan keadaan dan buru-buru melompat naik ke atas sampan. Begitu kakinya mendarat di dasar sampan yang rata, Sudawarman langsung mengambil dayung. Dengan benda tersebut ia mendorong sampan agar bergerak menjauh dari tepian. Sudawarman lantas duduk di buritan. Dayung di tangannya cepat-cepat dicelupkan ke dalam air, mengayuh sampan kayu agar berlayar mengikuti aliran arus sungai menuju selatan. Belum terlalu jauh sampan melaju, para prajurit yang baru saja menyeberangi jembatan tiba di bantaran. Mereka tampak kesal melihat Kridapala dan Sudawarman sudah berada di tengah-tengah sungai. "Itu mereka! Jangan sampai lepas!" seru salah satu prajurit. "Cari perahu, cepat!" timpal prajurit lainnya. Namun tak ada perahu lain lagi di dekat-dekat sana. Sampan yang ditumpangi
KITA mundur sebentar pada kedatangan sepasukan prajurit Panjalu dari Kotaraja....Pasukan tersebut dipimpin langsung oleh Rakryan Mantri Tumenggung. Turut membantu memimpin adalah Senopati Arya Mandura dan beberapa bekel dan lurah prajurit.Sesuai yang diminta Rakryan Tumenggung, pasukan yang disiapkan Arya Mandura berkekuatan seratus prajurit. Campuran dari prajurit magalah dan prajurit pemanah. Dengan demikian ada empat bekel dan delapan lurah prajurit yang turut dibawa serta.Pasukan tersebut meninggalkan Kotaraja sebelum matahari muncul di kaki langit timur. Karena terus bergerak tanpa henti, sebelum tengah hari mereka sudah tiba di tempat sisa pasukan Arya Lembana ditinggalkan.Ketika Rakryan Tumenggung dan rombongan tiba di sana, sisa pasukan Arya Lembana sedang bertempur dengan para prajurit bawaan Kridapala yang dipimpin oleh Daksa. Terang saja kejadian itu membuat para petinggi dari Kotaraja terheran-heran."Hentikan!" seru Rakryan Tumenggung dengan suara menggelegar.Pertemp
DENGAN dipandu seorang prajurit, pasukan Rakryan Tumenggung bergerak ke tempat di mana Kridapala berada. Tanpa mereka ketahui, Daksa sudah terlebih dahulu memberi kabar pada dua komplotannya.Tidak semua pasukan bergerak. Rakryan Tumenggung meninggalkan 20 prajurit bersama seorang bekel dan lurah prajurit di tempat tadi. Mereka menjaga belasan anak buah Kridapala yang diikat.Pasukan berderap menyusuri jalan setapak menuju air terjun. Ketika mendekati jembatan kayu, tampak tiga orang berlari mendekati titian tersebut dan mendekam di salah satu tiang pancang."Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan?" tanya Rakryan Tumenggung terheran-heran.Meski tidak jelas pertanyaan itu ditujukan pada siapa, tetapi Arya Mandura tahu ia yang diharapkan memberi jawaban. Sayangnya, senopati tersebut sama-sama tidak tahu."Sepertinya ..." Arya Mandura yang baru akan menjawab langsung menangkap gelagat tiga orang itu. "Mereka hendak meruntuhkan jembatan, Gusti.""Keparat!" Geraham Rakryan Tumenggung berge
"CELAKA! Mengapa tiba-tiba banyak prajurit di tempat ini?" seru salah satu pendekar wanita berpakaian kuning dengan paras berubah. Ketika itu si pendekar wanita bersama temannya tengah mengeroyok Senopati Arya Lembana. Pendekar lelaki berkulit gelap juga turut bersama mereka. Seruan tadi membuat dua pendekar lainnya memecah perhatian. Seketika mereka berpaling ke arah terdengarnya suara-suara ramai. Beberapa prajurit tampak berdatangan ke arah mereka, lalu sebagian lagi masih berusaha menyeberangi jembatan kayu. Sementara yang dikeroyok sebetulnya sudah kehabisan tenaga. Arya Lembana mati-matian bertahan karena bertekad untuk setidaknya menghabisi salah satu lawan sebelum mati. Hitung-hitung sebagai balasan atas kematian dua bekel anak buahnya. Namun nasib baik menaungi Arya Lembana. Di saat tengah terdesak hebat begitu, datang Arya Mandura bersama sepasukan prajurit. Melihat rekannya dikeroyok, senopati yang baru saja tiba dari Kotaraja itu langsung masuk ke gelanggang pertempuran
"INI gila! Aku tidak mungkin melawan mereka semua!" geram pendekar berkulit gelap ketika mengetahui dirinya telah terkurung rapat.Hal serupa terjadi pada dua pendekar wanita. Paras keduanya juga seketika berubah pucat. Mereka sama sekali tidak menyangka bakal menghadapi keadaan seperti ini. Benar-benar di luar perkiraan.Sewaktu datang bersama Sudawarman dan Daksa kemarin, ketiga pendekar itu sudah menyimak rencana yang dibeberkan Kridapala. Mereka ingat sekali, yang akan dihadapi hanyalah seorang senopati dengan paling banyak dua bekel.Perhitungan Kridapala memang tepat. Arya Lembana datang membawa sepasukan kecil dibantu dua bekel dan empat lurah prajurit. Para petinggi dihadapi pendekar sewaan, sedangkan pasukannya menjadi bagian Daksa bersama prajurit bawaan Kridapala.Tugas tersebut sudah mendekati keberhasilan. Meski sempat melawan mati-matian, dua bekel pendamping Arya Lembana akhirnya meregang nyawa. Sedangkan sang senopati sudah sangat terdesak.Namun kedatangan Rakryan Man
"SIAL! Kenapa tiba-tiba prajurit tengik itu bisa muncul di sini?" gerendeng Kridapala ketika pandangan matanya tertuju ke arah yang ditunjuk Sudawarman.Di depan sana, kira-kira berjarak tiga-empat depa dari sampan yang mereka berdua tumpangi, tampak sesosok lelaki muda berdiri berkacak pinggang di atas sebentuk rakit.Satu seringai terkembang di wajah lelaki tersebut. Sedangkan sorot matanya menatap tak berkesip pada Kridapala. Dari gelagatnya, jelas sekali lelaki muda tersebut memang sengaja mengadang.Dada lelaki tersebut terbuka lebar tanpa pakaian. Menampakkan satu bekas luka memanjang, dari dekat bahu kanan hingga ke pinggang sebelah kiri. Tidak salah lagi, ia adalah Tumanggala."Jangan-jangan selama ini dia memang selalu membuntuti kita, Ki Bekel," ujar Sudawarman, coba menebak-nebak."Mungkin lebih tepatnya bukan membuntuti, tetapi melacak keberadaan kita," sergah Kridapala yang tidak setuju. "Kebetulan saja dia baru menemukan kita di sini, lalu cepat-cepat mengadang."Sudawar
"KEPARAT! Jangan kira semudah itu merebutnya dariku!" geram Kridapala, sembari cepat-cepat bangkit.Sudawarman yang tadinya tergencet tubuh Kridapala jadi bernapas lega, meski punggung dan sebagian lehernya terasa sakit. Tadi ia sampai membentur buritan perahu dengan keras saat tertimpa tubuh Kridapala.Sementara Kridapala sudah melenting ke bagian haluan. Sambil menguasai diri di tengah sampan yang tengah bergoyang-goyang tak karuan, ia sambil menggenggam gagang pedang yang tergantung di pinggang.Begitu kemudian berhasil berdiri tegak, Kridapala sudah mencabut pedangnya dari warangka.Sret!"Jangan coba-coba membawanya lari dariku!" desis Kridapala, sembari bersiap-siap melompat dari haluan sampan.Tumanggala sendiri tidak mau Kridapala mendatangi rakitnya. Ia tak mau terjadi pertempuran di tempat mana Dyah Wedasri berada. Maka setelah meletakkan sang puteri dengan hati-hati, Tumanggala mendahului bergerak.Sekali kakinya mengentak lantai gedebog pisang, tubuh Tumanggala sudah melen
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
"APA maksudmu, Keparat?" tanya Tumanggala setengah menggeram. "Apa yang telah kau perbuat pada ayah kandungku?" Genggaman Tumanggala kian erat memegangi pergelangan tangan Kridapala. Ia tak sudi melepas mantan atasannya itu sebelum mendapatkan kejelasan mengenai kedua orang tuanya. Dari apa yang diucapkan Kridapala kepadanya sejak di atas sampan tadi, Tumanggala langsung menduga kuat jika Kridapala mengenal baik ayah-ibu kandungnya. Bahkan bisa jadi mantan bekel tersebut tahu banyak apa yang menimpa dua orang tersebut. Kridapala sendiri menyeringai susah payah sebagai tanggapan. Setengah menahan sakit, setengahnya lagi sengaja mengejek Tumanggala yang tampak kian penasaran terhadap apa yang sudah ia sampaikan. "Ayahmu seorang terhormat, Tumanggala, seorang besar yang disegani semua kalangan di kerajaan ini," jawab Kridapala kemudian, meski dengan napas terengah-engah. "Andai saja nasib malang tidak menimpanya, aku pastikan masa kecilmu sangat bahagia. Kau tumbuh di puri indah lagi
SAMBIL terbungkuk-bungkuk menahan sesak di dada, hati Tumanggala seketika berdesir. Dari sini saja ia langsung tahu jika Kridapala sesungguhnya memiliki kemampuan tenaga dalam lebih tinggi.Wajar sebetulnya, sebab seorang bekel kerajaan memang haruslah menguasai setidaknya tenaga dalam tingkat menengah. Tumanggala yang belum lama naik jabatan jadi wira tamtama, serta selalu melarikan diri dari gurunya, masih belum terlalu mendalami kepandaian tersebut."Aku harus mencari akal," gumam Tumanggala kemudian.Ia paham benar, dirinya tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Kridapala. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang baru saja ia derita bakal semakin parah. Bahkan dapat mengancam nyawa!Di kejauhan, Kridapala tampak berdiri tenang-tenang. Sekilas pandang sepertinya lelaki tersebut tidak merasakan apa-apa. Beradunya pukulan tenaga dalam tadi seolah tidak menimbulkan akibat buruk sedikit pun padanya.Namun itu hanyalah akal-akalan Kridapala. Ia tak sudi terlihat lebih lemah
"BAJINGAN kau, Tumanggala!" Triguna meraung setinggi langit. Diikuti mendesis-desis tak karuan.Tadi, ketika melihat pertahanan Triguna terbuka, Tumanggala langsung memanfaatkan kesempatan bagus tersebut. Ia entakkan sebelah kaki sekuat tenaga, mengirim tendangan bertenaga dalam tinggi ke dada lawan.Karena gerakannya semakin lamban, Triguna tak kuasa bergerak menghindar. Lelaki itu hanya bisa coba menangkis dengan kedua tangan, tetapi tendangan Tumanggala terlalu deras baginya.Dadanya memang terhindar dari terjangan, tetapi tapak kaki Tumanggala tanpa ampun menghajar kedua tangan Triguna. Suara berderak tadi adalah pertanda jika sepasang tangan lelaki tersebut mengalami patah tulang.Di tempatnya, Kridapala bergidik menyaksikan keadaan Triguna. Sudahlah pangkal bahunya bergeser, kini kedua tangan pun terkulai lemah karena mengalami patah tulang."Menyerahlah, Triguna. Tabib istana pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu," ujar Tumanggala yang juga tampak mengernyit ngeri. Bagaimanapun