Elena terbangun dengan merasakan sensasi aneh di bagian bawah tubuhnya. Dengan mata yang perlahan terbuka, ia menyesuaikan pandangannya dengan cahaya remang-remang lampu tidur di ruangan itu. Ia mendapati dirinya kembali terperangkap dalam mimpi yang terasa begitu nyata, mimpi di mana sensasi aneh itu kembali menyerangnya. Penasaran, Elena menarik selimut yang menutupi tubuhnya, dan pemandangan di hadapannya membuatnya terkejut bukan main. Ren, dengan kepala tertunduk, menyibak celana dalamnya ke samping dan menjilati bagian kewanitaannya dengan penuh perhatian. "Ugh! Ren... Apa-apaan ini?!" seru Elena, suaranya bercampur antara keterkejutan dan rasa menggelitik yang ia rasakan di tubuh bagian bawahnya. Ia tidak menyangka akan mendapati Ren melakukan hal seperti itu, bahkan dalam mimpinya sekalipun. Wajahnya memerah, antara malu dan bingung, tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap situasi yang tidak terduga ini. Ren mengalihkan pandangannya dari tindakannya yang sedang meng
Ren terus menggerakkan jari-jarinya, memberikan sentuhan-sentuhan terakhir yang memabukkan, memastikan Elena mencapai puncak kenikmatannya yang mengguncang jiwa. Dinding vagina Elena mencengkeram jari-jari Ren dengan erat, denyutannya yang kuat dan panas, merasakan cairan kenikmatan membasahi jari-jarinya, bukti bahwa Elena telah mencapai puncaknya yang memekakkan telinga. “Mmmmgh...” Elena menjerit tertahan, tubuhnya melengkung ke atas, merasakan gelombang kenikmatan yang luar biasa membanjiri dirinya. Cairan kenikmatan Elena mengalir semakin deras, membasahi jari-jari Ren dan sebagian paha Elena, bukti nyata dari kenikmatan yang telah mereka berdua capai. Ren tersenyum puas, melihat Elena yang terengah-engah, wajahnya memerah, dan matanya yang sayu penuh kenikmatan. Ren menarik jari-jarinya keluar dari dalam Elena dengan perlahan, melepaskan cengkeraman ketat dari dinding vaginanya yang basah dan berdenyut. Dia menatap Elena dengan senyum puas, melihat wajahnya yang memerah d
Elena terkejut ketika benda keras dan tebal itu mencapai bagian dalam dirinya yang terdalam, bagian yang tidak bisa dijangkau oleh tangannya sendiri, bagian yang hanya bisa dimasuki oleh kejantanan seorang pria. Ia merasakan sensasi penuh dan panas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, seperti kejantanan Ren meregangkan dinding vaginanya, mengisi setiap inci dirinya dengan kenikmatan yang menyakitkan. Ia menggeliat, merasakan gelombang hasrat membanjiri dirinya, membuatnya mendesah tertahan. Elena mencengkeram sprei dengan erat, merasakan kuku-kukunya memutih, menahan desahan yang hampir berubah menjadi teriakan, rasa sakit yang bercampur dengan kenikmatan yang tak tertahankan. Rasa sakit ini terasa begitu nyata, seperti ia melakukannya dalam kenyataan, bukan dalam mimpi, seperti kejantanan Ren benar-benar menusuk masuk ke dalam dirinya, mengisi dirinya dengan kehangatan dan kelembutan. “Uh....terlalu besar...” Rintih Elena. “Santai saja, kau terlalu tegang sekarang.” Ren t
Suara tamparan basah yang saling bertubrukan akibat daging mereka menempel satu sama lain tanpa henti, seolah-olah mereka kelaparan, saling bergesekan dengan suara basah yang menggoda. Setiap kali batang tebal Ren menusuk melalui lubang sempit Elena, cairan kenikmatan yang bercampur dengan pre-cum dan pelumas alami milik Elena mengalir turun, membasahi paha bagian dalamnya, berkilauan di bawah cahaya lampu. Elena mendesah, merasakan kejantanan Ren memompa keluar masuk dari dirinya dengan kecepatan yang memabukkan. Kecepatan permainan Ren sangat cepat sehingga pikirannya tidak dapat mengejarnya, tubuhnya hanya bisa pasrah menerima setiap tusukan yang membuatnya menjerit tertahan. “Wah, ahh, Ren, pelan-pelan saja!” Elena menggelengkan kepalanya dan memohon dengan perasaan yang berkelebat di depannya, memohon agar Ren memperlambat gerakannya, memberinya waktu untuk bernapas, untuk menikmati setiap sensasi yang luar biasa. Namun Ren tidak mendengarkan bujukannya, hasratnya yang m
Pagi harinya ia dibuat linglung dengan semuanya."Elena!"Suara Grace yang lantang dan tiba-tiba menggema di ruangan, memecah keheningan yang sejak tadi membungkus Elena dalam lamunannya yang begitu dalam. Sejak ia meninggalkan rumah hingga kini duduk di kursinya di kantor, pikirannya tak pernah benar-benar berada di dunia nyata. Ia tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri, membiarkan kesadarannya melayang entah ke mana, terhanyut oleh sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja.Panggilan Grace yang mendadak itu membuatnya tersentak, tubuhnya sedikit menegang sebelum akhirnya ia menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Matanya yang sedari tadi tampak kosong dan tak bernyawa kini memancarkan keterkejutan yang begitu jelas, seolah-olah baru saja ditarik kembali ke dunia nyata dari alam pikirannya yang kacau.Di hadapannya, Grace berdiri dengan tangan terlipat di dada, sorot matanya memancarkan ekspresi yang merupakan perpaduan antara kekhawatiran dan sedikit kekesalan. Wajahnya ta
Sambil perlahan mengaduk kopi dalam cangkir porselennya, Elena menatap cairan hitam pekat itu dengan tatapan kosong, seolah mencoba menemukan jawaban yang tak kunjung datang di dalam pusaran cairan yang berputar perlahan.Aroma kopi yang biasanya mampu memberikan ketenangan dan sedikit hiburan di tengah kepenatan kini terasa berbeda—seakan tidak lagi cukup kuat untuk mengusir bayang-bayang Ren yang masih membayangi pikirannya, menyesakkan dadanya dengan beban yang sulit dijelaskan.Di sisi lain meja pantry, Grace memperhatikannya dengan saksama, menyandarkan tubuhnya pada counter dapur sambil menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya mencerminkan keingintahuan yang bercampur kekhawatiran.“Kau terlihat seperti seseorang yang baru saja mengalami sesuatu yang cukup mengguncang,” ujarnya pelan, nada suaranya hati-hati, seolah ingin memberi ruang bagi Elena untuk berbicara tanpa merasa terpaksa. “Apa terjadi sesuatu yang buruk saat kau berada di Grasse?”Elena masih menatap kopi di t
Saat tiba di depan pintu ruang kerja Mr. Caiden, Elena berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu dengan tiga ketukan tegas. Ia tahu bahwa pertemuan ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap ringan, dan ia harus mempersiapkan dirinya untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya."Masuk," terdengar suara berat dari dalam ruangan, tegas namun tanpa nada tergesa-gesa, seperti seseorang yang sudah terbiasa memegang kendali atas setiap situasi.Tanpa ragu, Elena meraih gagang pintu, membukanya perlahan, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan yang langsung disambut oleh aroma khas kayu cendana yang menyebar halus di udara. Aroma itu memberikan kesan tenang namun tetap berwibawa, menciptakan atmosfer yang mencerminkan karakter pemilik ruangan—kuat, terstruktur, dan penuh perhitungan.Di balik meja besar berlapis kaca yang tertata rapi tanpa satu pun dokumen berserakan, duduklah Mr. Caiden dengan posturnya yang te
Masa kini, lima bulan kemudian. Musim panas. Ottawa, Kanada.Sesampainya di Bandara Internasional Ottawa Macdonald–Cartier, Elena melangkah keluar dari area kedatangan dengan langkah mantap, meskipun tubuhnya masih terasa sedikit kaku setelah penerbangan panjang. Udara bandara yang sejuk langsung menyambutnya, membawa aroma khas campuran kopi, logam pesawat, dan kesibukan manusia yang berlalu-lalang di sekitarnya.Matanya langsung menyapu kerumunan, mencari sosok yang seharusnya menjemputnya. Ia sudah diberitahu sebelumnya bahwa seseorang dari tim akan datang untuk mengantarnya ke tempat tinggal sementaranya di Ottawa. Namun, sejauh matanya memandang, tak ada satu pun wajah yang tampak familiar.“Miss Elena Hadley?”Dari arah belakangnya seorang wanita muda seusianya, mengenakan pakaian kerja formal dengan bingkai kacamata perak yang bertengger di hidungnya, melangkah mendekat dengan ekspresi profesional. Suaranya terdengar jelas meskipun kebisingan bandara masih ramai di sekitar me
"AAAKH!" Teriak Elena, terkejut dan kesakitan. Ren mendorong tubuh Elena dan menindihnya, gerakannya cepat dan kasar. Pria itu dengan cepat berada di atasnya, menahan kedua tangan Elena di atas kepala dengan kuat. "Kau telah bermain-main denganku, sayang?" goda Ren, matanya berkilat dengan nafsu. Elena mencoba berontak, tetapi Ren terlalu kuat. Ia merasakan cengkeraman Ren di tangannya semakin menguat, membuatnya meringis kesakitan. "Astaga, lepaskan, Ren!" serunya, suaranya bergetar. "Aku minta maaf, oke?” Ren tidak menghiraukan permintaan Elena. Pria itu menatapnya dengan tatapan tajam, seolah-olah ingin menelanjangi jiwanya. "Kau harus membayar konsekuensinya," desis Ren, suaranya rendah dan mengancam. "Kau telah membangkitkan naga yang sedang tidur, dan sekarang kau harus menanggung akibatnya." Ren melepaskan satu cengkeramannya di tangan Elena. Dia menggerakkan tangannya ke bawah, menyusuri lekuk tubuh Elena dengan sentuhan lembut namun penuh nafsu yang menggoda. Jari-jar
“Dia tidak terbangun kan?” Elena melanjutkan aksinya dengan lebih lambat dari sebelumnya, menikmati setiap detik sentuhan yang ia berikan. Ia ingin mengukir setiap lekukan tubuh Ren dalam ingatannya, ingin merasakan setiap sensasi yang ditawarkan kulit pria itu. Ia menelusuri kontur-kontur di atas dada bidang pria itu dengan lembut, merasakan sensasinya di bawah kulit yang tebal dan hangat. Jemarinya turun ke bawah, menjelajahi perut rata pria itu, merasakan otot-otot yang tertutup oleh kulit yang halus dan kencang. Ia mengagumi setiap detail tubuh Ren, setiap garis dan lekukan yang membuatnya terlihat begitu sempurna. Elena mendekatkan dirinya sehingga tubuhnya merapat dengan tubuh Ren, merasakan kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu. Ia ingin merasakan lebih dekat, ingin menyatukan tubuh mereka dalam keintiman yang mendalam. Perlahan-lahan, ia memberikan sedikit ciuman di atas dada Ren, merasakan kulitnya yang lembut dan hangat di bibirnya. Ia menciumnya lagi, kali ini i
Elena menggerakkan kelopak matanya perlahan, membiarkan dirinya terbangun dari dunia mimpi yang begitu nyata hingga rasanya seperti bagian dari kenyataan. Matanya menyesuaikan cahaya lembut yang memenuhi ruangan, menelusuri setiap detail yang terasa familiar baginya. Langit-langit kamar ini, tekstur lembut sprei di bawah jemarinya, serta udara hangat yang masih terasa di kulitnya—semuanya bukan hal asing.Ia telah berkali-kali terbangun didunia ini.Hening, hanya suara napas yang terdengar di ruangan ini. Elena menoleh perlahan ke samping, matanya menangkap sosok pria yang tertidur di sebelahnya. Wajahnya terlihat begitu tenang, dadanya naik-turun dalam ritme yang stabil. Rambut gelapnya sedikit berantakan, sebagian jatuh ke dahinya, dan ada ketenangan di ekspresinya yang membuat Elena terdiam sesaat.Jarinya tergerak, hampir tanpa sadar, ingin menyentuh kulit pria itu, ingin memastikan bahwa kehadirannya benar-benar nyata. Namun, ia menahan diri. Ada sesuatu tentang momen ini yang
Tak lama kemudian, mobil berbelok ke sebuah jalan yang lebih sepi, meninggalkan hiruk-pikuk kota dan memasuki kawasan yang tampak lebih eksklusif dan tenang. Jalanan yang mereka lalui dihiasi pepohonan rindang, memberikan nuansa damai yang semakin terasa seiring dengan semakin dekatnya mereka ke tujuan. Setelah beberapa menit, kendaraan mereka akhirnya tiba di sebuah properti yang berdiri dengan anggun, memancarkan kesan elegan namun tetap menyiratkan kehangatan.Bangunan rumah yang kini berada di hadapan Elena memiliki arsitektur modern dengan sentuhan klasik yang berpadu harmonis, menampilkan dinding berwarna putih bersih serta jendela-jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan sempurna. Dari luar, rumah ini tampak begitu nyaman dan megah, dengan halaman kecil yang tertata rapi serta jalur batu menuju pintu masuk utama. Namun, yang paling mencuri perhatian Elena adalah pemandangan Sungai Rideau yang terbentang langsung di belakangnya, memberikan suasana yang begitu me
Masa kini, lima bulan kemudian. Musim panas. Ottawa, Kanada.Sesampainya di Bandara Internasional Ottawa Macdonald–Cartier, Elena melangkah keluar dari area kedatangan dengan langkah mantap, meskipun tubuhnya masih terasa sedikit kaku setelah penerbangan panjang. Udara bandara yang sejuk langsung menyambutnya, membawa aroma khas campuran kopi, logam pesawat, dan kesibukan manusia yang berlalu-lalang di sekitarnya.Matanya langsung menyapu kerumunan, mencari sosok yang seharusnya menjemputnya. Ia sudah diberitahu sebelumnya bahwa seseorang dari tim akan datang untuk mengantarnya ke tempat tinggal sementaranya di Ottawa. Namun, sejauh matanya memandang, tak ada satu pun wajah yang tampak familiar.“Miss Elena Hadley?”Dari arah belakangnya seorang wanita muda seusianya, mengenakan pakaian kerja formal dengan bingkai kacamata perak yang bertengger di hidungnya, melangkah mendekat dengan ekspresi profesional. Suaranya terdengar jelas meskipun kebisingan bandara masih ramai di sekitar me
Saat tiba di depan pintu ruang kerja Mr. Caiden, Elena berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu dengan tiga ketukan tegas. Ia tahu bahwa pertemuan ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap ringan, dan ia harus mempersiapkan dirinya untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya."Masuk," terdengar suara berat dari dalam ruangan, tegas namun tanpa nada tergesa-gesa, seperti seseorang yang sudah terbiasa memegang kendali atas setiap situasi.Tanpa ragu, Elena meraih gagang pintu, membukanya perlahan, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan yang langsung disambut oleh aroma khas kayu cendana yang menyebar halus di udara. Aroma itu memberikan kesan tenang namun tetap berwibawa, menciptakan atmosfer yang mencerminkan karakter pemilik ruangan—kuat, terstruktur, dan penuh perhitungan.Di balik meja besar berlapis kaca yang tertata rapi tanpa satu pun dokumen berserakan, duduklah Mr. Caiden dengan posturnya yang te
Sambil perlahan mengaduk kopi dalam cangkir porselennya, Elena menatap cairan hitam pekat itu dengan tatapan kosong, seolah mencoba menemukan jawaban yang tak kunjung datang di dalam pusaran cairan yang berputar perlahan.Aroma kopi yang biasanya mampu memberikan ketenangan dan sedikit hiburan di tengah kepenatan kini terasa berbeda—seakan tidak lagi cukup kuat untuk mengusir bayang-bayang Ren yang masih membayangi pikirannya, menyesakkan dadanya dengan beban yang sulit dijelaskan.Di sisi lain meja pantry, Grace memperhatikannya dengan saksama, menyandarkan tubuhnya pada counter dapur sambil menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya mencerminkan keingintahuan yang bercampur kekhawatiran.“Kau terlihat seperti seseorang yang baru saja mengalami sesuatu yang cukup mengguncang,” ujarnya pelan, nada suaranya hati-hati, seolah ingin memberi ruang bagi Elena untuk berbicara tanpa merasa terpaksa. “Apa terjadi sesuatu yang buruk saat kau berada di Grasse?”Elena masih menatap kopi di t
Pagi harinya ia dibuat linglung dengan semuanya."Elena!"Suara Grace yang lantang dan tiba-tiba menggema di ruangan, memecah keheningan yang sejak tadi membungkus Elena dalam lamunannya yang begitu dalam. Sejak ia meninggalkan rumah hingga kini duduk di kursinya di kantor, pikirannya tak pernah benar-benar berada di dunia nyata. Ia tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri, membiarkan kesadarannya melayang entah ke mana, terhanyut oleh sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja.Panggilan Grace yang mendadak itu membuatnya tersentak, tubuhnya sedikit menegang sebelum akhirnya ia menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Matanya yang sedari tadi tampak kosong dan tak bernyawa kini memancarkan keterkejutan yang begitu jelas, seolah-olah baru saja ditarik kembali ke dunia nyata dari alam pikirannya yang kacau.Di hadapannya, Grace berdiri dengan tangan terlipat di dada, sorot matanya memancarkan ekspresi yang merupakan perpaduan antara kekhawatiran dan sedikit kekesalan. Wajahnya ta
Suara tamparan basah yang saling bertubrukan akibat daging mereka menempel satu sama lain tanpa henti, seolah-olah mereka kelaparan, saling bergesekan dengan suara basah yang menggoda. Setiap kali batang tebal Ren menusuk melalui lubang sempit Elena, cairan kenikmatan yang bercampur dengan pre-cum dan pelumas alami milik Elena mengalir turun, membasahi paha bagian dalamnya, berkilauan di bawah cahaya lampu. Elena mendesah, merasakan kejantanan Ren memompa keluar masuk dari dirinya dengan kecepatan yang memabukkan. Kecepatan permainan Ren sangat cepat sehingga pikirannya tidak dapat mengejarnya, tubuhnya hanya bisa pasrah menerima setiap tusukan yang membuatnya menjerit tertahan. “Wah, ahh, Ren, pelan-pelan saja!” Elena menggelengkan kepalanya dan memohon dengan perasaan yang berkelebat di depannya, memohon agar Ren memperlambat gerakannya, memberinya waktu untuk bernapas, untuk menikmati setiap sensasi yang luar biasa. Namun Ren tidak mendengarkan bujukannya, hasratnya yang m