Jenna's POV
Keesokan harinya..
"Jennaaaaaaa!"
Aku sedikit terkejut ketika mendapati dua orang gadis tiba-tiba datang berlarian menuju ke arahku saat aku baru tiba di halaman sekolah.
"Apa? Ada apa? Apa Kristy berbuat ulah lagi, huh? Di mana? Kristy di mana?" tanyaku bertubi-tubi.
Tentu saja aku panik, mengingat Kristy—salah satu sahabat baikku memang kerap berbuat ulah dengan mengerjai para guru di sekolah.
Yah, kami berempat—aku, Maggie, Jessie dan Kristy memang terkenal bandel, tapi Kristy-lah yang paling bandel di antara kami. Meski begitu, kami pun tak jarang mengikuti permainannya sehingga setiap kali mendapatkan hukuman, kami bertiga pasti ikut terkena imbasnya.
Belum sempat Maggie dan Jessie menjawab, seorang gadis lain yang sangat kami kenal muncul di kejauhan, berlari menuju ke arah kami. Aku menghela napas lega melihatnya. Itu Kristy.
"Jennaaa!" ia berteriak dan langsung memelukku erat-erat.
"Ada apa, sih? Kenapa kalian bersikap seperti ini? Hei, hentikan aku tak bisa bernapas." aku mencoba melepaskan lingkaran lengan Kristy dari leherku.
"Hei, katakan padaku. Apa benar kemarin kau berkelahi dengan The Jackals?" tanya Jessie pula.
"Apa kau sudah gila, huh? Kenapa kau tidak mengajak kami? Kami ‘kan juga ingin sekali menghajar mereka berempat." sambung Kristy.
“Ah maaf, tapi sepertinya aku tidak begitu.” Maggie menyahut sedikit lirih, "Tapi apa kau baik-baik saja? Mereka tidak menyakitimu, bukan?”
“Katakan padaku, apa mereka kalah olehmu, huh? Ya! Pasti begitu. Jenna kita selalu bisa diandalkan." Kristy kembali menyahut dengan berapi-api.
Aku tersenyum kecut mendengarnya. The Jackals. Tak perlu kujelaskan lagi siapa yang mereka maksud dengan The Jackals. Tentu saja keempat bocah berandal yang kutemui di pasar kemarin.
"Tidak. Aku tidak berkelahi dengan mereka. Hanya memergoki. Itu saja." ucapku.
"Benar begitu?"
"Begitulah. Tapi, darimana kalian tahu kalau aku bertemu mereka kemarin? Apa kalian mengikutiku?"
"Tidak, hanya saja—" Jessie tak melanjutkan ucapannya, melainkan justru bertukar pandang dengan Kristy dan Maggie.
Aku sedikit heran ketika melihat mereka ragu-ragu mengatakan sesuatu.
"Ck, lupakan saja. Ayo kita ke kelas. Sepertinya aku belum sempat mengerjakan tugas Matematika karena sibuk merawat Ibu yang sakit. Maggie, aku pinjam punyamu, ya." kataku pula.
"Ah, Jenna, tunggu!" cegah mereka tiba-tiba.
"Kenapa?"
“Sebenarnya—”
***
Sammy POV
Sudah sekitar 10 menit aku menunggu gadis itu di kelasnya, tapi nyatanya ia tak kunjung muncul juga. Apa dia takut padaku sehingga sengaja bolos dan tak berani masuk kelas?
Aku tersenyum simpul melihat murid-murid lain yang kini tampak berbisik-bisik ketakutan melihat kami.
Tentu saja, memangnya siapa yang tidak mengenal The Jackals, kelompok yang bahkan sudah sangat terkenal di sekolah. Ya, kami memang sedikit berandalan, tapi tetap saja kami tidak suka menindas murid yang lemah. Kecuali jika mereka mencoba menantang secara terang-terangan. Oke, sebuah pengecualian untuk kejadian yang sering terjadi di pasar. Itu sudah menjadi hal lain lagi.
Ya, selama ini kami sangat berpengaruh di sekolah dan tak ada yang berani berurusan dengan kami, tapi rupanya kini aku justru merasa tertantang oleh seorang gadis bernama Jenna itu.
Hm, dia harus tahu siapa sebenarnya Sammy.
"Sam, mungkin sebaiknya kita kembali ke kelas saja. Sepertinya Jenna tidak masuk hari ini." ucap Martin padaku.
Aku tahu dia gelisah karena sebentar lagi bel masuk berbunyi dan dia pasti tak mau ketinggalan jam pelajaran pertamanya.
Ck! Memang, di antara kami berempat, Martin lah yang paling pandai. Dan berkat dirinya pula aku jadi tidak pernah TIDAK mengerjakan tugas pelajaranku. Meskipun aku sering mengajaknya bolos, tapi entah kenapa laki-laki berkacamata bulat ini selalu bisa mengejar ketinggalan pelajarannya. Kurasa otaknya itu bukan otak biasa seperti yang sewajarnya dimiliki manusia.
"Sepertinya Jenna memang tidak masuk. Tadi pagi saja sewaktu aku mandi di rumahnya, ia masih tidur." sambung Yoshua—teman kami yang bertubuh paling pendek di antara kami berempat. Meski begitu, wajahnya lumayan manis dengan sedikit poni yang menutupi dahinya, Tak sedikit murid gadis di sekolah ini yang mengaguminya.
"Huh? Kau mandi di rumahnya?" berbagai pikiran kotor pun langsung mampir ke otakku saat mendengar ucapannya itu.
Apa mungkin Yoshua berbuat hal tidak senonoh dengan gadis itu?
Ah, benar juga, aku baru ingat kalau mereka berdua memang bertetangga.
"Aku yakin dia datang. Lihat saja. Bahkan ketiga temannya juga belum masuk kembali semenjak mereka keluar kelas tadi. Mereka pasti saat ini sedang bersembunyi dari kita." tambah Harry.
Dari ketiga temanku ini, Harry-lah yang paling kusukai. Karena dia selalu memiliki pemikiran yang hampir sama denganku. Tubuhnya paling gempal di antara kami berempat dan sangat bisa diandalkan.
"Kau benar. Aku pun berpikiran seperti itu. Kita tunggu sampai mereka masuk." Pungkasku kemudian.
Namun, lima menit berlalu dan aku masih belum melihat tanda-tanda kedatangan mereka. Aku mulai putus asa dan karena desakan yang terus menerus datang dari Martin, akhirnya kami pun beranjak keluar dari kelas Jenna.
Akan tetapi baru saja kami keluar dari kelas, tahu-tahu empat orang gadis telah berdiri di depan kelas, membuat langkah kami seketika terhenti karenanya.
"Oh, ha-halo.." sapa Yoshua sambil melambaikan tangannya.
"Apa ini? Kenapa kalian di luar?" tanya Martin tak kalah terkejut pula.
"Aku menunggu kalian." Jenna menyahut dengan wajah tanpa dosa miliknya.
Tentu saja jawabannya membuatku tak habis pikir, "Apa katamu?"
"Kudengar kalian hendak menemuiku. Karena tak ingin mengganggu ketenangan murid yang lain, jadi aku menunggu kalian sejak tadi di sini. Akhirnya kalian keluar juga." lanjutnya lagi.
Tunggu. Apa maksudnya ini? Jadi mereka sudah berada di sini sejak tadi? Sial. Apa mereka sengaja ingin membuat kami kesal?
"Kenapa kalian lama sekali, huh? Kakiku sampai pegal berdiri di sini sejak tadi." gadis dengan surai panjang lurus dan wajah tegas menyahut dengan nada jengkel. Aku tahu namanya Kristy.
"Jadi—kenapa kau ingin menemuiku?" Jenna kembali bertanya seraya menatapku.
Hazel cokelat miliknya menatap lekat padaku, seolah sengaja ingin menantangku. Baiklah, kuakui wajahnya memang lumayan—bahkan sangat cantik. Meski tak banyak memakai polesan wajah seperti halnya murid gadis kebanyakan, wajahnya sangat natural dan tetap terlihat cantik. Tapi tentu saja itu tidak mengubah pemikiranku tentangnya, yah—gadis sok kuat ini harus tahu dengan siapa ia berhadapan sekarang.
"Aku ingin membalas dendam." ucapku pula.
"Huh? Balas dendam? Kenapa?"
Tak mencoba menjawab, aku hanya diam menatapnya. Mencoba mengeluarkan senjata milikku yang selama ini selalu berhasil membuat para gadis takluk. Ya, aku yakin pasti gadis angkuh ini akan gugup saat aku menatapnya lekat seperti ini.
Namun, siapa sangka aku justru dibuat kesal lantaran gadis itu mendadak tertawa terpingkal-pingkal tanpa sebab.
"Hahaha.. Astaga, apa kau marah karena kemarin Kak Jason datang menghajarmu, huh?" katanya yang seketika membuatku mengernyit kecil.
Apa katanya? Dia mengenal Kak Jason? Dan juga, dia memanggilnya Kakak? Tunggu. Apa hubungan mereka dekat? Dan lagi, bagaimana dia bisa tahu bahwa Kak Jason mendatangiku kemarin?
Dengan jengkel aku melirik ke arah laki-laki yang patut kucurigai. Yoshua. Tapi laki-laki itu dengan cepat menggeleng berkali-kali menandakan bahwa ia tak membocorkan perihal kejadian memalukan kemarin.
Tatapanku beralih kembali pada gadis yang masih berdiri di hadapanku itu.
"Ah.. Aku lupa memberitahu sesuatu. Kemarin aku kabur bukan karena aku takut, tapi karena aku memiliki urusan yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar berurusan dengan berandalan seperti kalian. Jadi jangan pernah berpikir kalau aku takut padamu. Mengerti?" katanya.
Sial. Kenapa dia selalu berhasil mengatakan sesuatu terlebih dahulu bahkan sebelum aku sempat mengatakan apapun?
"Dan juga.. Lain kali bersikaplah sopan terhadap orang yang lebih tua darimu, hm?" lanjutnya lagi seraya menepuk bahuku sedikit keras, lantas beranjak melewatiku begitu saja, diikuti ketiga kawannya.
Tunggu. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa aku mendadak jadi seperti patung di hadapan gadis ini?
Tidak! Tidak bisa!
"Oi, Jenna!" ucapku pula tanpa menoleh. Meski begitu, bisa kudengar langkah kaki mereka kembali terhenti saat mendengar panggilanku.
"Jangan pernah ikut campur urusanku lagi, atau kau akan menerima akibatnya." lanjutku kemudian dengan lirih namun tegas.
Bagus, Sammy. Setidaknya kau tidak terlihat lemah di hadapan mereka, terutama gadis bernama Jenna itu.
Lantas usai mengucapkan itu, aku pun melangkahkan kedua kakiku beranjak pergi begitu saja meninggalkan mereka, diikuti oleh ketiga temanku.
Diam-diam aku menyunggingkan smirk kemenanganku. Aku yakin saat ini dia pasti merasa kesal karena ucapanku. Ya, itu sudah cukup melegakan.
"Wah.. Kau melakukannya dengan baik. Mereka tampak kesal dengan ucapanmu barusan." ucap Harry sambil menepuk bahuku.
"Tapi kalau suatu saat nanti Jenna masih suka ikut campur, apa kita benar-benar harus memberinya pelajaran?" tanya Yoshua pula.
"Siapa yang tahu?" aku mengendikkan kedua bahu.
"Heh? Kau serius? Tapi, apa itu tidak terlalu berlebihan? Bagaimanapun juga dia itu seorang gadis."
"Memangnya kenapa? Apa kau tidak tahu kalau dia itu sebenarnya lumayan jago berkelahi? Dan juga, dia memiliki teman-teman yang sama sangarnya dengannya." kata Harry.
"Tapi tetap saja mereka itu perempuan. Kupikir akan memalukan jika kita harus melawan perempuan. Mereka itu makhluk lemah yang berperasaan lembut."
Aku mendadak tertegun mendengar ucapan terakhir Yoshua itu. Berperasaan lembut? Ah, benar juga. Lantas, sebuah smirk pun kembali terulas di wajahku. Sepertinya aku memiliki ide yang bagus.
"Tenang saja. Kalau memang dia masih suka ikut campur dengan urusan kita, kita lawan dengan cara lain."
"Huh? Cara lain? Maksudmu?"
"Kuberitahu nanti saja."
"Hei! Cepat! Cepat! Kita benar-benar akan terlambat masuk kelas!" teriak Martin yang ternyata sudah berjalan jauh mendahului kami bertiga.
Aku mendesah kecil melihatnya.
"Oi, Martin! Kita akan membolos lagi hari ini!" balasku pula.
"HEH?!"
***
Jenna POV
"Apa? Kau serius?"
Aku seketika menutup kedua telingaku mendengar pekikan dari ketiga sahabatku itu.
"Ugh! Kenapa reaksi kalian berlebihan sekali? Kupingku sampai sakit." ucapku seraya meniup kedua telapak tanganku, kemudian mendekatkannya pada kedua telingaku.
"Tapi Jenna, aku benar-benar senang sekali mendengar rencanamu itu. Kita akan ke pasar dan mengawasi The Jackals? Wah.. Benar-benar rencana brilian!" Jessie berseru dengan raut wajah berseri-seri.
Aku tersenyum kecut melihatnya, “Hei, aku tahu kau senang karena kau memiliki maksud yang lain. Ck.. Sudahlah, lebih baik kau lupakan saja perasaanmu pada laki-laki gempal itu. Dia bahkan hampir saja menghajarku kemarin."
Begitulah. Jessie memang sudah lama menyukai laki-laki bernama Harry itu. Entahlah, aku tidak tahu bagaimana bisa ia menyukai laki-laki seperti itu. Memang dia tampan. Tapi tetap saja sikapnya tidak kusukai. Sama halnya seperti Sammy.
"Bukankah itu hebat? Oh my God.. Dia benar-benar tidak pilih-pilih dalam mencari lawan." lagi-lagi Jessie berkata sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada dan menatap ke atas seolah-olah membayangkan sesuatu.
"Oi! Apa kau sedang membayangkan aku dihajar oleh Harry, huh?" ucapku padanya sengit.
"Ya, kau benar.. Hehehe...." sahutnya cengengesan membuatku seketika mendengus jengkel karenanya.
"Baik, aku setuju. Sepulang sekolah kita langsung ke pasar tempat mereka biasa beroperasi. Sekalian aku ingin membeli beberapa bahan makanan untuk makan malam nanti." kali ini Maggie yang menyahut.
Aku tersenyum dan mengangguk. Sahabatku yang satu ini memang pandai sekali dalam hal memasak. Kami bahkan sering pergi ke rumahnya hanya untuk ikut merasakan makanan buatannya.
"Kau membeli bahan makanan di pasar? Kenapa tidak di minimarket atau supermarket saja? Bahan makanan di sana jauh lebih bersih dan terjamin daripada di pasar." Kristy terdengar menimpali. Maklum, di antara kami berempat, bisa dibilang dialah yang paling perfeksionis. Ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan kaya. Tidak heran jika ia memiliki pandangan sedikit berbeda dari kami bertiga.
"Tak masalah. Aku ini koki yang handal. Aku bisa membedakan mana bahan makanan yang masih segar dan tidak." Maggie pun menyahut tenang.
Kristy tampak mencibir mendengarnya, "Baiklah.. Kita ke pasar nanti. Tapi sebagai gantinya, kau harus memasakkan makanan yang lezat untuk kami."
Maggie mengacungkan jempol kanannya, "Deal."
"Baiklah! Dengan ini kita sudah sepakat akan mengawasi gerak-gerik The Jackals mulai sekarang dan akan menjadi pembela kebenaran. Setuju?" kataku kemudian seraya menyodorkan tangan kananku ke depan meminta persetujuan mereka.
"Setuju!" sambut Kristy antusias sembari meletakkan tangan kanannya di atas tanganku.
"Tidak masalah." sambung Maggie mengikuti jejak Kristy.
Kami terdiam sejenak dan saling berpandangan. Tunggu. Sepertinya anggota kami masih kurang satu.
Dengan serempak kami pun menoleh ke arah Jessie. Dan benarlah. Gadis itu ternyata masih asyik melamun sambil tersenyum-senyum tak jelas.
"Oi, Jessie!" teriak kami serempak membuat gadis berponi itu tersentak seketika.
Lalu dengan cepat ia pun turut menggabungkan tangannya dengan kami.
"Okay! Aku juga setuju!" serunya cepat.
Aku tersenyum puas dibuatnya.
Sayang sekali, Sammy. Jika kau pikir aku akan takut dengan ancamanmu, kau salah besar. Lihat saja. Mulai saat ini aku akan selalu muncul untuk mengganggu kesenangan sepihakmu itu.
***
Jenna's POV"Astaga.. Aku lelah sekali.. Hei, tak bisakah kita berhenti dahulu sebentar?" Kristy terdengar mengeluh saat baru beberapa kilometer kami berjalan."Tidak. Kau harus terbiasa hidup seperti kami jika masih ingin bersahabat dengan kami. Mengerti?" ucap Jessie sengit disusul dengan gerutuan lirih dan cemberut dari mulut Kristy.Sementara aku dan Maggie hanya menahan tawa geli melihatnya.Tentu saja kami tahu, Kristy jarang bahkan hampir tak pernah keluar dengan berjalan kaki. Setiap hari ia selalu pergi kemana-mana dengan diantar oleh sopir pribadinya. Tapi semenjak ia bersama kami, kehidupannya nyaris berubah 180 derajat dan harus ikut merasakan pahitnya hidup sebagai orang biasa.Tapi meski sering mengeluh, dia tak pernah mencoba meninggalkan kami. Dia sahabat kami yang baik dan tak pernah perhitungan dengan kami bertiga."Oh! Bukankah itu Kak Jason?" seru Maggie tiba-tiba membuat atensi kami sepenuhnya tersita olehnya."
Author's POV"Argh!! Kak.. Aku sudah hampir keluar.. Ohh..""Memangnya kau pikir aku tidak? Aku juga sama, bodoh!""Tapi aku lebih parah, Kak..""Dengar! Kau ini hanya orang luar yang meminjam. Si pemilik yang lebih berhak masuk dulu! Kubilang minggir!""Tidak, Kak.. Aku sudah tidak tahan, kumohon biarkan aku masuk dulu..""TIDAK BOLEH!""AAARRGGGHH..!!"BRAKK!!Jenna membuka kedua kelopak matanya perlahan-lahan. Suara gaduh itu sukses mengganggu tidur paginya."Ugh.." gadis itu menggerutu kesal.Ya, ini memang bukan kali pertamanya mimpi indahnya terusik oleh suara semacam itu—suara yang ditimbulkan oleh Sarah kakaknya dengan Yoshua, tetangga sekaligus teman sekolahnya.Yoshua memang hampir setiap pagi selalu datang ke rumah untuk sekedar menumpang toilet. Alasannya sederhana, toilet di rumahnya rusak dan tak lagi bisa digunakan
Jenna's POVSungguh. Aku merasa seolah tengah bermimpi saat itu. Sammy—dia menciumku? Di bibir? Demi apapun ingin sekali rasanya aku mendorong tubuhnya dan membogem wajah laki-laki kurangajar itu, tapi entah kenapa aku justru merasa tubuhku kaku saat itu juga.Ya Tuhan, ini—ini adalah ciuman pertamaku. Dan laki-laki ini—berani-beraninya dia merebutnya dariku begitu saja.Aku terus terpaku diam, hingga beberapa saat kemudian ia melepaskan tautan bibir kami. Tak ada yang bisa kukatakan saat itu kecuali tatapan penuh kebencian yang kini memenuhi rongga dadaku terhadapnya. Kedua tanganku mengepal kuat. Entah kenapa sakit rasanya mengetahui laki-laki seperti dirinyalah yang telah mengambil ciuman pertamaku tanpa ijin.Entahlah, sepertinya aku ingin menangis saat itu juga.Sammy POVAku menatap gadis yang baru saja kucium itu dengan lekat. Kuberikan smirk andalanku padanya."Sudah ku
Author's POVSenyum gadis cantik itu mengembang saat melihat Sammy. Sedangkan Sammy yang masih terkejut, hanya mampu terpaku di tempat tanpa ekspresi."Kenapa? Kau tidak suka aku datang?" gadis itu memasang wajah cemberut.Sammy sedikit tersadar karenanya, "Ah, tidak, aku hanya terkejut karena kau datang secara tiba-tiba. Tapi, kapan kau sampai di London? Kenapa tidak mengabariku terlebih dahulu?"Bukannya menjawab, gadis itu justru mendekat dan langsung memeluk Sammy erat."Aku merindukanmu, Sam.." gumamnya.Sammy hanya tersenyum tipis dan membalas pelukan gadis tersebut, "Aku juga."Gadis itu melepaskan pelukannya sejenak dan menatap Sammy seksama dengan senyum manis yang tak lepas dari wajahnya."Wah.. Kau jauh lebih tampan dari terakhir kita bertemu. Hei, apa mungkin—kau sudah memiliki kekasih lagi di sini dan selingkuh dariku, huh?"Sammy tergelak kecil, lantas beranjak masuk ke dalam kamar dan melepaskan t
Jenna's POVCk, yang benar saja aku harus keluar malam-malam dingin begini hanya untuk membeli makanan. Grr.. Kak Sarah sangat keterlaluan.Aku melangkah sambil merapatkan mantelku mengatasi rasa dingin yang menusuk kulitku. Kalau saja Yoshua tidak datang ke rumah dan mengambil jatah makan malam Kak Sarah, tidak mungkin aku disuruhnya membelikan makanan untuknya sekarang.Grr.. Bocah pendek itu lama-lama ikut membuatku kesal juga. Yang benar saja, masa aku harus menanggung dampak dari perbuatannya itu?Hufh..Aku hampir sampai di depan toko makanan langgananku ketika tanpa sengaja nyaris bertabrakan dengan seorang pria paruh baya yang sepertinya juga baru keluar dari toko tersebut."Ah, maaf.." ucapnya padaku.Aku tertegun sejenak melihatnya dan seketika teringat sesuatu."Oh! Paman?" ucapku kemudian.Benar. Aku ingat orang ini. Dia adalah salah satu pedagang
Author's POVSetelah sepersekian detik tenggelam dalam pikiran masing-masing, layaknya dikomando, Jenna, Jessie dan Kristy pun serempak berlarian menuju lapangan basket."SAMMY!! AKU AKAN MEMBUNUHMU!!" Jenna terdengar berteriak."HARRY! MAAFKAN AKUU!!" susul Jessie."HEI, MATA EMPAT! RASAKAN PEMBALASANKUU!" Kristy pun tak ketinggalan."HEI, TUNGGU! KALIAN MAU KEMANA??" sambung Maggie ikut berlari mengejar pula.Hanya dalam hitungan detik, ketiga gadis itu pun kompak memukuli target masing-masing.The Jackals yang tak siap atas serangan mendadak itu terkejut bukan main dan hanya mampu mengaduh seraya menghindari setiap pukulan dari ketiga gadis yang sudah seperti kesetanan itu.Sementara Yoshua, satu-satunya anggota The Jackals yang tak mendapatkan pukulan, beralih menatap Maggie yang kini sama-sama terpaku dengan wajah penuh keheranan."Kau—tidak mau memukulku juga?" tanyanya entah polos entah b
Author's POV"Kekasih? Wah, sulit dipercaya.. Rupanya kekasih Sammy sama sangarnya seperti dirinya." ucap Kristy ketika keempatnya sama-sama mengisi perut di kantin."Tapi apa benar dia itu kekasihnya Sammy? Kenapa kita baru mendengarnya sekarang? Kupikir dia tak pernah mengencani siapapun." Jessie menyahut sambil menyeruput minumannya."Nancy. Namanya Nancy. Dia murid pindahan dari New York dan baru pindah kemari hari ini." Maggie turut menyambung seraya menyuapkan ramyun ke dalam mulutnya.Jenna menghela napas panjang, "Tidak kusangka dia akan menamparku begitu. Sakit sekali.""Apa begitu sakit? Jenna, sepertinya kau harus ke rumah sakit.." ucap Kristy khawatir."Hei, apa aku baru saja tertabrak mobil?" Jenna kembali menghela napas lalu menyentuh dadanya, "Di sini.. Rasanya sakit di sini." lanjutnya lirih, membuat ketiga sahabatnya menatapnya heran."Kenapa? Apa Sammy membalas memukulmu saat kau memukulinya? Cih!
Author's POV"Maggie. Apa masih belum selesai? Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi ingin buang air." Jenna tampak mendesis dengan merapatkan kedua kakinya saat mereka sedang berada di minimarket."Kau keluar saja dulu. Aku akan menunggumu di depan nanti."Tanpa menyahut, Jenna langsung melesat bagaikan kilat keluar dari minimarket untuk mencari toilet umum. Beruntung, tak jauh dari minimarket terdapat toilet umum yang cukup bersih.Dengan segera gadis cantik dengan surai panjang sebahu itu pun kembali berlari dan langsung masuk ke dalam. Namun, di tengah-tengah buang hajat kecilnya itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara minta tolong dari luar."Tolong!Copeeett!!""Heh? Jaman sekarang masih ada pencopet berkeliaran di sore hari? Sulit dipercaya.." gumam Jenna seorang diri.Namun tak urung ia merasa penasaran sekaligus entah kenapa hatinya jadi tergerak ingin membantu menangkap pencuri itu. Ia ingin mempraktekkan taekwondo
Author's POV"Bagaimana ini? Kita sudah mencari seharian, tapi Jenna benar-benar tak bisa kita temukan. Dia pasti—dia pasti benar-benar diculik.." Jessie terlihat panik sembari terus menggigiti kuku jarinya lantaran bingung harus mencari Jenna di mana lagi.Sementara Kristy dan Maggie hanya diam karena merasakan hal yang sama."Hiks.. Jenna, kenapa dia bernasib semalang ini? Apa sebenarnya salahnya? Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini? Apa dia baik-baik saja di luar sana? Apa penculiknya bersikap baik padanya?" lagi-lagi Jessie meracau, membuat kedua temannya semakin merasa cemas. Ya, walau bagaimanapun juga mereka tahu bahwa tidak ada seorang penculik pun yang akan bersikap baik terhadap sanderanya."Hei, sudahlah. Jangan menangis lagi. Kau hanya membuatku semakin gelisah." Kristy menimpali."Maaf.. Aku—hanya khawatir..""Kak Sarah bilang mereka juga belum menemukan Jenna. Ck.. Jenna, di mana kau sebenarnya?" Maggie turut
Author's POV"Lalu.. Apa rencanamu sekarang? Apa kau ingin ikut mencari Jenna?" lagi-lagi Harry melontarkan pertanyaan yang membuat Sammy membeku.Laki-laki itu tak segera menjawab. Ia masih bimbang. Ia hanya merasa tak memiliki hubungan apa-apa dengan Jenna, jadi ia berpikir untuk apa ia harus repot-repot mencarinya? Toh juga sudah ada banyak teman-teman sekaligus orang terdekat gadis itu yang pergi mencari.Dan juga, Jason pun pastinya juga ikut mencari gadis itu. Ah, benar juga. Jason. Sammy mendadak memiliki perasan tak enak begitu teringat dengan kakaknya itu. Kedekatan Jason dengan Jenna, terasa begitu mengganjal di dadanya."Sammy!"Panggilan itu sontak membuyarkan lamunan Sammy. Ketiga pemuda tampan itu menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang gadis cantik tampak tersenyum riang kini tengah berjalan mendekat."Nancy?" ucap Sammy sedikit kaget."Aku baru dari rumahmu. Bibi pembantu bilang kau sedang pergi keluar
Jenna's POV"Apa katamu?" tanyaku tak mengerti.Pria itu tak segera menjawab. Walau aku tak melihat wajahnya, tapi aku yakin saat itu ia tengah menyeringai mengejekku."Dia sudah menjadikan hidup keluarga kami menderita seperti ini. Dia adalah orang paling jahat yang pernah kutemui. Cih.. Aku sangat senang saat mendengarnya mati. Walaupun aku sedikit menyesal, karena seharusnya akulah yang menghilangkan nyawa bajingan itu."Darahku terasa mendidih mendengar ucapan laki-laki itu, "Hei, jaga ucapanmu! Ayah bukan orang seperti itu! Lebih baik kau cabut kata-katamu itu atau kau akan menyesal, sialan!" bentakku padanya.Rasa takut yang semula menjalari hatiku benar-benar seperti lenyap ditelan emosi sekaligus rasa penasaranku.Akan tetapi pria tersebut mendekatiku dan mencengkeram kedua pipiku dengan kasar. Meski terasa sakit, aku berusaha keras menahannya agar aku tidak tampak lemah di depan mereka."Kau—sama bajingannya dengan Ayahmu i
Author's POV"Iya, Ibu. Aku sudah berada di jalan. Aku tahu, Ibu tak perlu menungguku. Hm, baiklah...."Seorang pemuda yang kini tengah mengendarai mobil miliknya itu menarik napas sejenak dan kembali berkonsentrasi menyetir. Terlihat kepenatan pada raut wajahnya yang tampan.Sesekali ia meneguk air mineral yang berada pada dashboard mobilnya. Kedua matanya lurus menatap jalan raya yang tampak lebih lengang dari biasanya.Namun, beberapa saat kemudian ia sedikit tertegun ketika melewati depan sebuah rumah yang tak asing lagi baginya. Rumah keluarga Jenna. Ia melihat dua orang laki-laki tak dikenal baru saja keluar dari rumah Jenna dan memasukkan sesuatu ke dalam mobil.Kening pemuda itu mengernyit.'Siapa mereka? Apa yang sedang mereka lakukan malam-malam di rumah Bibi Anna?' pikirnya heran.Pemuda itu bermaksud berhenti untuk melihat, akan tetapi mobil yang semula berada di depan rumah Jenna itu t
Author's POV"Kalian—sungguh.. Aku benar-benar tidak percaya dengan ini semua. Kalian benar-benar—" Jessie tak sanggup lagi mengeluarkan kalimatnya pada ketiga laki-laki yang kini tengah duduk berjejer di dalam kamar Yoshua.Ya, begitu ketiga gadis itu masuk, dengan cepat Yoshua mencabut kabel televisinya. Namun terlambat, sebab ketiga gadis itu telah sempat melihatnya."Sungguh.. Kami tidak bermaksud begitu. Itu tadi hanya—hanya—" Yoshua kebingungan mencari alasan yang tepat.Sementara Sammy dan Harry hanya diam. Harry terdiam karena cemas, sebab ia takut Yoshua akan membocorkan bahwa kaset DVD tersebut adalah miliknya.Sedangkan Sammy diam bukan karena malu ketahuan, tapi terkejut karena tak menyangka ketiga gadis itu, terutama Jenna—akan masuk ke kamar Yoshua sebebas itu bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Padahal sebenarnya ia hanya tidak mendengar saat ketiga gadis itu mengetuk pintu, sebab terlalu fokus dengan apa yang ditontonnya.
Author's POVBaru saja kedua kakinya sampai di depan gerbang rumah Yoshua, Martin si pemuda berkacamata itu berpapasan dengan Jenna, Maggie dan Jessie."Oh, Martin. Mau kemana?" tanya Jenna."Ah, Jenna, kebetulan sekali. Ngomong-ngomong, apa boleh aku meminjam toilet di rumahmu? Aku sudah tak tahan lagi." ucap Martin."Tentu, pakai saja. Tapi, di mana teman-temanmu yang lain?""Ah, itu—mereka—" Martin tak melanjutkan ucapannya.Tak mungkin ia memberitahu ketiga gadis ini. Bagaimana jika mereka memergoki ketiga temannya yang sedang asyik menonton 'ritual beng-beng' itu?"Hei, ada apa? Di mana mereka? Apa mereka di kamar Yoshua?" ulang Jenna."Y-ya.. Tapi—" lagi-lagi ucapan Martin menggantung. Ia masih ragu."Baiklah, lebih baik kita masuk saja." potong Jessie tak sabar, "Jenna, di mana letak kamar Yoshua? Kau pasti sudah sering kemari, bukan? Cepatlah, aku sudah tak sabar ingin bertemu
Author's POV"Benarkah? Wah, berarti laki-laki yang kulihat di rumah Yoshua tadi itu memang benar-benar Harry. Maggie, biar aku saja yang mengantar pancake nya ke rumah Yoshua. Ya? Ya?" ucap Jessie tampak antusias begitu Jenna menceritakan kepada mereka bahwa sekarang The Jackals sedang berkumpul di rumah Yoshua."Hei, bukannya kau sudah membenci laki-laki itu, huh?" tanya Kristy heran."Tidak juga. Aku memang sempat marah dan sakit hati, tapi itu tidak mengurangi perasaanku terhadapnya. Cintaku terlanjur dalam padanya."Kristy hanya mencibir, "Tapi, apa kita memang harus memberi mereka pancake buatan kita?" tanyanya kemudian sedikit keberatan."Tidak apa-apa. Yoshua sudah seperti keluargaku sendiri. Lagipula aku juga ingin memberikannya sebagai permintaan maaf karena sudah menendang Sammy tadi." ucap Jenna."Ukh.. Pasti rasanya sakit sekali." Kristy mulai membayangkan Sammy yang kesakitan akibat tendan
Author's POV"Maggie. Apa masih belum selesai? Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi ingin buang air." Jenna tampak mendesis dengan merapatkan kedua kakinya saat mereka sedang berada di minimarket."Kau keluar saja dulu. Aku akan menunggumu di depan nanti."Tanpa menyahut, Jenna langsung melesat bagaikan kilat keluar dari minimarket untuk mencari toilet umum. Beruntung, tak jauh dari minimarket terdapat toilet umum yang cukup bersih.Dengan segera gadis cantik dengan surai panjang sebahu itu pun kembali berlari dan langsung masuk ke dalam. Namun, di tengah-tengah buang hajat kecilnya itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara minta tolong dari luar."Tolong!Copeeett!!""Heh? Jaman sekarang masih ada pencopet berkeliaran di sore hari? Sulit dipercaya.." gumam Jenna seorang diri.Namun tak urung ia merasa penasaran sekaligus entah kenapa hatinya jadi tergerak ingin membantu menangkap pencuri itu. Ia ingin mempraktekkan taekwondo
Author's POV"Kekasih? Wah, sulit dipercaya.. Rupanya kekasih Sammy sama sangarnya seperti dirinya." ucap Kristy ketika keempatnya sama-sama mengisi perut di kantin."Tapi apa benar dia itu kekasihnya Sammy? Kenapa kita baru mendengarnya sekarang? Kupikir dia tak pernah mengencani siapapun." Jessie menyahut sambil menyeruput minumannya."Nancy. Namanya Nancy. Dia murid pindahan dari New York dan baru pindah kemari hari ini." Maggie turut menyambung seraya menyuapkan ramyun ke dalam mulutnya.Jenna menghela napas panjang, "Tidak kusangka dia akan menamparku begitu. Sakit sekali.""Apa begitu sakit? Jenna, sepertinya kau harus ke rumah sakit.." ucap Kristy khawatir."Hei, apa aku baru saja tertabrak mobil?" Jenna kembali menghela napas lalu menyentuh dadanya, "Di sini.. Rasanya sakit di sini." lanjutnya lirih, membuat ketiga sahabatnya menatapnya heran."Kenapa? Apa Sammy membalas memukulmu saat kau memukulinya? Cih!