Jenna's POV
"Astaga.. Aku lelah sekali.. Hei, tak bisakah kita berhenti dahulu sebentar?" Kristy terdengar mengeluh saat baru beberapa kilometer kami berjalan.
"Tidak. Kau harus terbiasa hidup seperti kami jika masih ingin bersahabat dengan kami. Mengerti?" ucap Jessie sengit disusul dengan gerutuan lirih dan cemberut dari mulut Kristy.
Sementara aku dan Maggie hanya menahan tawa geli melihatnya.
Tentu saja kami tahu, Kristy jarang bahkan hampir tak pernah keluar dengan berjalan kaki. Setiap hari ia selalu pergi kemana-mana dengan diantar oleh sopir pribadinya. Tapi semenjak ia bersama kami, kehidupannya nyaris berubah 180 derajat dan harus ikut merasakan pahitnya hidup sebagai orang biasa.
Tapi meski sering mengeluh, dia tak pernah mencoba meninggalkan kami. Dia sahabat kami yang baik dan tak pernah perhitungan dengan kami bertiga.
"Oh! Bukankah itu Kak Jason?" seru Maggie tiba-tiba membuat atensi kami sepenuhnya tersita olehnya.
"Mana? Mana? Wah, kau benar. Itu Kak Jason! Kak Jason! Kak!" Kristy dan Jessie berseru seraya melambai-lambaikan kedua tangan mereka.
Aku pun turut menoleh ke arah yang mereka maksud. Tampak olehku seorang laki-laki tampan baru saja keluar dari sebuah restoran. Kami pun berlari kecil menghampirinya, persis seperti anak-anak ayam yang berlarian menghampiri induknya saat induknya menemukan makanan.
"Oh! Kalian? Sedang apa di sini?" tanya Kak Jason pula pada kami.
"Kami hendak ke pasar. Kakak sendiri?" tanya Jessie pula.
"Aku baru saja makan siang bersama seorang klien. Tapi, kalian mau ke pasar? Tumben sekali."
"Kami hendak menumpas para perusuh di sana, Kak." Kristy menyahut sembari menyilangkan kedua tangannya menirukan style manusia bertopeng.
Kak Jason hanya mengernyit mendengarnya, seolah menyatakan keheranannya.
"Ah, jadi.. Ada sekelompok pelajar yang sering membuat onar di sana, Kak. Dan kami pergi ke sana karena ingin menghentikan mereka." Maggie pun menjelaskan.
"Ah.. Maksud kalian Sammy dan ketiga temannya?" ucapan Kak Jason serempak membuat kami saling berpandangan.
"Kak Jason mengenal mereka?" tanya Jessie pula.
Kak Jason hanya tersenyum dan mengangguk.
Aku berpikir sejenak. Ah, mungkin dia mengenal mereka sewaktu mendatangi mereka di pasar kemarin.
"Oh ya, Jenna.. Bagaimana keadaan ibumu? Apa beliau baik-baik saja sekarang?"
Aku agak tersentak mendengar pertanyaan itu, "Ah, ya.. Kak Jimmy— ehm maksudku dr. Jimmy bilang Ibu hanya kelelahan dan tidak perlu rawat inap."
"Hmm begitu.. Kalau ada waktu aku akan mampir ke rumahmu nanti." Kak Jason menepuk kepalaku pelan.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
"Tapi ngomong-ngomong, Kak. Karena kita bertemu di sini, tak bisakah kita makan dahulu di restoran? Aku lapar.." Kristy mulai menunjukkan wajah sok imut dan bergelayut manja di lengan Kak Jason.
Seperti dikomando, Jessie dan Maggie kompak menarik lengan Kristy dan menjauhkannya dari Kak Jason.
"Kenapa, sih?" tanya Kristy sedikit kesal.
"Apa kau lupa tujuan kita, huh?" bentak Jessie setengah berbisik.
"Kalau kau seperti ini aku tidak akan mau lagi memasakkan makanan untukmu. Mengerti?" sambung Maggie pula.
"Ck.. baiklah, baik.." Kristy pun mengalah meski dengan sedikit memberengut.
Aku tertawa geli melihatnya.
"Kalau begitu, aku harus kembali ke kantor sekarang. Kalian semangatlah. Jangan sampai kalah dari mereka." ucap Kak Jason, kembali menepuk pelan kepalaku.
"Terima kasih, Kak!" seru kami pula mengiringi kepergian Kak Jason hingga ia lenyap ke dalam mobilnya.
"Oi, Jenna. Entah kenapa tapi kurasa Kak Jason menyukaimu." ucap Maggie beberapa saat kemudian padaku.
"Heh? benarkah?" tanyaku pula sedikit antusias.
Kak Jason menyukaiku? Wah, sepertinya menyenangkan.
"Ya.. Aku juga berpikiran seperti itu. Kurasa dia menyukaimu. Oh.. Pasti enak sekali memiliki kekasih setampan dan sekaya itu. Aku juga mauu.." sambung Jessie.
"Takkan kubiarkan! Kak Jason tidak menyukai siapapun. Kau! Jenna. Kau tidak boleh memiliki kekasih selama kami juga belum mendapatkannya, mengerti?" ucap Kristy sengit, lantas tanpa menunggu jawabanku, dia langsung beranjak pergi begitu saja mendahului kami.
Aku, Maggie dan Jessie hanya saling berpandangan melihatnya. Bukan karena heran atau khawatir ia akan marah, melainkan heran sebab ia berjalan menuju arah yang salah.
Yah, lagipula aku hanya menganggap Kak Jason seperti kakakku sendiri.
***
Setelah berjalan beberapa menit lamanya, akhirnya kami tiba di pasar dengan selamat tanpa kurang suatu apapun, meski kini Kristy nyaris pingsan karena kelelahan.
Namun, alangkah terkejutnya kami sesampainya di sana, sebab beberapa dagangan milik para pedagang sudah porak poranda dan berserakan di sana-sini.
"Astaga! Apa yang terjadi?" pekik Jessie tertahan.
"Oh tidak.. kurasa kita sudah terlambat." Kristy menggumam iba.
"Jahat sekali.." sambung Maggie pula.
Sementara aku? Aku bahkan sudah mengumpat-ngumpat kesal dalam hati sejak tadi.
Sial! kenapa aku bisa datang terlambat begini? Kalau saja aku datang lebih awal, pasti ini takkan terjadi. Apa mungkin keempat berandal itu bolos lagi?
"Ayo, kita bantu mereka." ajakku pula pada ketiga sahabatku.
Lantas, kami berempat pun berpencar bergiliran membantu membereskan dagangan para pedagang yang kocar-kacir.
"Paman baik-baik saja? Maaf, kami terlambat datang.. Kalau saja kami datang lebih awal, kami pasti bisa menghalangi mereka.." sesalku pada pria paruh baya yang kemarin kutolong.
Rupanya ia kembali menjadi sasaran kebrutalan The Jackals.
"Tidak apa-apa, Nak. Terimakasih kalian sudah berbaik hati mau menolong kami. Aku memang sudah sepantasnya mendapatkan ganjaran ini." pria itu berkata sambil tersenyum.
"Kenapa Paman berkata seperti itu? Ini bukan salah Paman yang berdagang di sini. Tenang saja. Aku pasti akan membalas perbuatan mereka. Percayalah padaku."
"Tidak perlu.. Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Setidaknya kami sudah bersyukur masih diijinkan berjualan di sini."
"Apa maksudnya?"
"Begitulah, Nak. Kita tahu sendiri tanah pasar ini adalah milik Tuan Jonathan. Kami bisa berdagang di sini berkat kebaikan hati beliau. Semula pasar kecil ini hendak ditutup, tapi berkat beliau yang memikirkan nasib kami para pedagang kecil ini, akhirnya beliau membiarkan pasar ini tetap berjalan dengan semestinya."
Aku tertegun mendengarnya. Jadi seperti itu? Pasar ini semula hendak ditutup?
Paman Jonathan benar-benar orang baik. Aku heran sebenarnya darimana Sammy mendapatkan sifat jeleknya itu? Padahal Ayahnya saja berhati malaikat begitu.
"Tapi tetap saja itu bukan berarti anaknya bisa berlaku semena-mena seperti ini. Paman.. Pokoknya kami janji kami akan menghentikan tindakan mereka berempat. Percayalah pada kami. Kami pasti bisa mengatasi mereka." ucapku lagi berusaha meyakinkan.
Pria itu hanya terkekeh mendengar ucapanku dan berterima kasih padaku. Dalam hati aku benar-benar bertekad akan menghentikan The Jackals. Aku tidak bisa membiarkan para pedagang ini terus dianiaya oleh mereka.
***
Sammy's POV
"Sungguh.. Sebenarnya aku tidak tega harus merusak dagangan mereka seperti itu."
Entah sudah ke berapa kali aku mendengar perkataan yang sama dari mulut Martin itu. Tapi aku hanya diam tanpa menyahut. Sebenarnya aku juga sama dengannya. Hanya saja, aku merasa sudah tidak peduli lagi sekarang. Walau bagaimanapun juga aku tahu siapa sebenarnya para pedagang itu sebelumnya. Mereka harus merasakan sakit juga sebagai balasan atas perbuatan mereka di masa lalu.
Lagipula, aku melakukan ini semua juga karena hal lain—yang hanya aku dan ketiga sahabatku yang tahu.
"Sudahlah.. Aku pun sama denganmu. Tapi, kita melakukan ini karena terpaksa. Lagipula kita hanya merusak dagangan mereka, tidak melukai mereka sedikitpun." Harry menyahut.
"Tapi hari ini sepertinya pasokan kita hanya sedikit. Apa sudah tidak ada pembeli yang datang ke pasar itu lagi karena takut dengan kita? Kalau ini dibiarkan, bisa-bisa kita tidak mendapatkan hasil apa-apa." ucap Yoshua pula.
Aku tertegun sejenak mendengarnya. Benar juga. Semakin hari hasil yang kami peroleh memang semakin sedikit.
"Kau benar. Baiklah, untuk sementara kita hentikan dulu pemalakan kita di pasar. Kita akan kembali beraksi setelah tiga hari." ucapku kemudian.
"Setuju. Hahh.. Akhirnya aku bisa belajar lagi.." ucapan Martin mau tak mau membuatku tersenyum simpul.
"Oh! Itu busnya. Ayo!" seru Yoshua tiba-tiba.
Kami berempat pun naik ke dalam bus secara bergiliran.
Ya, inilah pekerjaan sehari-hari kami. Meski terlihat sangar dan berandalan dari luar, namun tak ada yang tahu bahwa sebenarnya kami memiliki maksud dan tujuan tersendiri di balik itu semua.
***
Author's POV"Argh!! Kak.. Aku sudah hampir keluar.. Ohh..""Memangnya kau pikir aku tidak? Aku juga sama, bodoh!""Tapi aku lebih parah, Kak..""Dengar! Kau ini hanya orang luar yang meminjam. Si pemilik yang lebih berhak masuk dulu! Kubilang minggir!""Tidak, Kak.. Aku sudah tidak tahan, kumohon biarkan aku masuk dulu..""TIDAK BOLEH!""AAARRGGGHH..!!"BRAKK!!Jenna membuka kedua kelopak matanya perlahan-lahan. Suara gaduh itu sukses mengganggu tidur paginya."Ugh.." gadis itu menggerutu kesal.Ya, ini memang bukan kali pertamanya mimpi indahnya terusik oleh suara semacam itu—suara yang ditimbulkan oleh Sarah kakaknya dengan Yoshua, tetangga sekaligus teman sekolahnya.Yoshua memang hampir setiap pagi selalu datang ke rumah untuk sekedar menumpang toilet. Alasannya sederhana, toilet di rumahnya rusak dan tak lagi bisa digunakan
Jenna's POVSungguh. Aku merasa seolah tengah bermimpi saat itu. Sammy—dia menciumku? Di bibir? Demi apapun ingin sekali rasanya aku mendorong tubuhnya dan membogem wajah laki-laki kurangajar itu, tapi entah kenapa aku justru merasa tubuhku kaku saat itu juga.Ya Tuhan, ini—ini adalah ciuman pertamaku. Dan laki-laki ini—berani-beraninya dia merebutnya dariku begitu saja.Aku terus terpaku diam, hingga beberapa saat kemudian ia melepaskan tautan bibir kami. Tak ada yang bisa kukatakan saat itu kecuali tatapan penuh kebencian yang kini memenuhi rongga dadaku terhadapnya. Kedua tanganku mengepal kuat. Entah kenapa sakit rasanya mengetahui laki-laki seperti dirinyalah yang telah mengambil ciuman pertamaku tanpa ijin.Entahlah, sepertinya aku ingin menangis saat itu juga.Sammy POVAku menatap gadis yang baru saja kucium itu dengan lekat. Kuberikan smirk andalanku padanya."Sudah ku
Author's POVSenyum gadis cantik itu mengembang saat melihat Sammy. Sedangkan Sammy yang masih terkejut, hanya mampu terpaku di tempat tanpa ekspresi."Kenapa? Kau tidak suka aku datang?" gadis itu memasang wajah cemberut.Sammy sedikit tersadar karenanya, "Ah, tidak, aku hanya terkejut karena kau datang secara tiba-tiba. Tapi, kapan kau sampai di London? Kenapa tidak mengabariku terlebih dahulu?"Bukannya menjawab, gadis itu justru mendekat dan langsung memeluk Sammy erat."Aku merindukanmu, Sam.." gumamnya.Sammy hanya tersenyum tipis dan membalas pelukan gadis tersebut, "Aku juga."Gadis itu melepaskan pelukannya sejenak dan menatap Sammy seksama dengan senyum manis yang tak lepas dari wajahnya."Wah.. Kau jauh lebih tampan dari terakhir kita bertemu. Hei, apa mungkin—kau sudah memiliki kekasih lagi di sini dan selingkuh dariku, huh?"Sammy tergelak kecil, lantas beranjak masuk ke dalam kamar dan melepaskan t
Jenna's POVCk, yang benar saja aku harus keluar malam-malam dingin begini hanya untuk membeli makanan. Grr.. Kak Sarah sangat keterlaluan.Aku melangkah sambil merapatkan mantelku mengatasi rasa dingin yang menusuk kulitku. Kalau saja Yoshua tidak datang ke rumah dan mengambil jatah makan malam Kak Sarah, tidak mungkin aku disuruhnya membelikan makanan untuknya sekarang.Grr.. Bocah pendek itu lama-lama ikut membuatku kesal juga. Yang benar saja, masa aku harus menanggung dampak dari perbuatannya itu?Hufh..Aku hampir sampai di depan toko makanan langgananku ketika tanpa sengaja nyaris bertabrakan dengan seorang pria paruh baya yang sepertinya juga baru keluar dari toko tersebut."Ah, maaf.." ucapnya padaku.Aku tertegun sejenak melihatnya dan seketika teringat sesuatu."Oh! Paman?" ucapku kemudian.Benar. Aku ingat orang ini. Dia adalah salah satu pedagang
Author's POVSetelah sepersekian detik tenggelam dalam pikiran masing-masing, layaknya dikomando, Jenna, Jessie dan Kristy pun serempak berlarian menuju lapangan basket."SAMMY!! AKU AKAN MEMBUNUHMU!!" Jenna terdengar berteriak."HARRY! MAAFKAN AKUU!!" susul Jessie."HEI, MATA EMPAT! RASAKAN PEMBALASANKUU!" Kristy pun tak ketinggalan."HEI, TUNGGU! KALIAN MAU KEMANA??" sambung Maggie ikut berlari mengejar pula.Hanya dalam hitungan detik, ketiga gadis itu pun kompak memukuli target masing-masing.The Jackals yang tak siap atas serangan mendadak itu terkejut bukan main dan hanya mampu mengaduh seraya menghindari setiap pukulan dari ketiga gadis yang sudah seperti kesetanan itu.Sementara Yoshua, satu-satunya anggota The Jackals yang tak mendapatkan pukulan, beralih menatap Maggie yang kini sama-sama terpaku dengan wajah penuh keheranan."Kau—tidak mau memukulku juga?" tanyanya entah polos entah b
Author's POV"Kekasih? Wah, sulit dipercaya.. Rupanya kekasih Sammy sama sangarnya seperti dirinya." ucap Kristy ketika keempatnya sama-sama mengisi perut di kantin."Tapi apa benar dia itu kekasihnya Sammy? Kenapa kita baru mendengarnya sekarang? Kupikir dia tak pernah mengencani siapapun." Jessie menyahut sambil menyeruput minumannya."Nancy. Namanya Nancy. Dia murid pindahan dari New York dan baru pindah kemari hari ini." Maggie turut menyambung seraya menyuapkan ramyun ke dalam mulutnya.Jenna menghela napas panjang, "Tidak kusangka dia akan menamparku begitu. Sakit sekali.""Apa begitu sakit? Jenna, sepertinya kau harus ke rumah sakit.." ucap Kristy khawatir."Hei, apa aku baru saja tertabrak mobil?" Jenna kembali menghela napas lalu menyentuh dadanya, "Di sini.. Rasanya sakit di sini." lanjutnya lirih, membuat ketiga sahabatnya menatapnya heran."Kenapa? Apa Sammy membalas memukulmu saat kau memukulinya? Cih!
Author's POV"Maggie. Apa masih belum selesai? Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi ingin buang air." Jenna tampak mendesis dengan merapatkan kedua kakinya saat mereka sedang berada di minimarket."Kau keluar saja dulu. Aku akan menunggumu di depan nanti."Tanpa menyahut, Jenna langsung melesat bagaikan kilat keluar dari minimarket untuk mencari toilet umum. Beruntung, tak jauh dari minimarket terdapat toilet umum yang cukup bersih.Dengan segera gadis cantik dengan surai panjang sebahu itu pun kembali berlari dan langsung masuk ke dalam. Namun, di tengah-tengah buang hajat kecilnya itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara minta tolong dari luar."Tolong!Copeeett!!""Heh? Jaman sekarang masih ada pencopet berkeliaran di sore hari? Sulit dipercaya.." gumam Jenna seorang diri.Namun tak urung ia merasa penasaran sekaligus entah kenapa hatinya jadi tergerak ingin membantu menangkap pencuri itu. Ia ingin mempraktekkan taekwondo
Author's POV"Benarkah? Wah, berarti laki-laki yang kulihat di rumah Yoshua tadi itu memang benar-benar Harry. Maggie, biar aku saja yang mengantar pancake nya ke rumah Yoshua. Ya? Ya?" ucap Jessie tampak antusias begitu Jenna menceritakan kepada mereka bahwa sekarang The Jackals sedang berkumpul di rumah Yoshua."Hei, bukannya kau sudah membenci laki-laki itu, huh?" tanya Kristy heran."Tidak juga. Aku memang sempat marah dan sakit hati, tapi itu tidak mengurangi perasaanku terhadapnya. Cintaku terlanjur dalam padanya."Kristy hanya mencibir, "Tapi, apa kita memang harus memberi mereka pancake buatan kita?" tanyanya kemudian sedikit keberatan."Tidak apa-apa. Yoshua sudah seperti keluargaku sendiri. Lagipula aku juga ingin memberikannya sebagai permintaan maaf karena sudah menendang Sammy tadi." ucap Jenna."Ukh.. Pasti rasanya sakit sekali." Kristy mulai membayangkan Sammy yang kesakitan akibat tendan
Author's POV"Bagaimana ini? Kita sudah mencari seharian, tapi Jenna benar-benar tak bisa kita temukan. Dia pasti—dia pasti benar-benar diculik.." Jessie terlihat panik sembari terus menggigiti kuku jarinya lantaran bingung harus mencari Jenna di mana lagi.Sementara Kristy dan Maggie hanya diam karena merasakan hal yang sama."Hiks.. Jenna, kenapa dia bernasib semalang ini? Apa sebenarnya salahnya? Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini? Apa dia baik-baik saja di luar sana? Apa penculiknya bersikap baik padanya?" lagi-lagi Jessie meracau, membuat kedua temannya semakin merasa cemas. Ya, walau bagaimanapun juga mereka tahu bahwa tidak ada seorang penculik pun yang akan bersikap baik terhadap sanderanya."Hei, sudahlah. Jangan menangis lagi. Kau hanya membuatku semakin gelisah." Kristy menimpali."Maaf.. Aku—hanya khawatir..""Kak Sarah bilang mereka juga belum menemukan Jenna. Ck.. Jenna, di mana kau sebenarnya?" Maggie turut
Author's POV"Lalu.. Apa rencanamu sekarang? Apa kau ingin ikut mencari Jenna?" lagi-lagi Harry melontarkan pertanyaan yang membuat Sammy membeku.Laki-laki itu tak segera menjawab. Ia masih bimbang. Ia hanya merasa tak memiliki hubungan apa-apa dengan Jenna, jadi ia berpikir untuk apa ia harus repot-repot mencarinya? Toh juga sudah ada banyak teman-teman sekaligus orang terdekat gadis itu yang pergi mencari.Dan juga, Jason pun pastinya juga ikut mencari gadis itu. Ah, benar juga. Jason. Sammy mendadak memiliki perasan tak enak begitu teringat dengan kakaknya itu. Kedekatan Jason dengan Jenna, terasa begitu mengganjal di dadanya."Sammy!"Panggilan itu sontak membuyarkan lamunan Sammy. Ketiga pemuda tampan itu menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang gadis cantik tampak tersenyum riang kini tengah berjalan mendekat."Nancy?" ucap Sammy sedikit kaget."Aku baru dari rumahmu. Bibi pembantu bilang kau sedang pergi keluar
Jenna's POV"Apa katamu?" tanyaku tak mengerti.Pria itu tak segera menjawab. Walau aku tak melihat wajahnya, tapi aku yakin saat itu ia tengah menyeringai mengejekku."Dia sudah menjadikan hidup keluarga kami menderita seperti ini. Dia adalah orang paling jahat yang pernah kutemui. Cih.. Aku sangat senang saat mendengarnya mati. Walaupun aku sedikit menyesal, karena seharusnya akulah yang menghilangkan nyawa bajingan itu."Darahku terasa mendidih mendengar ucapan laki-laki itu, "Hei, jaga ucapanmu! Ayah bukan orang seperti itu! Lebih baik kau cabut kata-katamu itu atau kau akan menyesal, sialan!" bentakku padanya.Rasa takut yang semula menjalari hatiku benar-benar seperti lenyap ditelan emosi sekaligus rasa penasaranku.Akan tetapi pria tersebut mendekatiku dan mencengkeram kedua pipiku dengan kasar. Meski terasa sakit, aku berusaha keras menahannya agar aku tidak tampak lemah di depan mereka."Kau—sama bajingannya dengan Ayahmu i
Author's POV"Iya, Ibu. Aku sudah berada di jalan. Aku tahu, Ibu tak perlu menungguku. Hm, baiklah...."Seorang pemuda yang kini tengah mengendarai mobil miliknya itu menarik napas sejenak dan kembali berkonsentrasi menyetir. Terlihat kepenatan pada raut wajahnya yang tampan.Sesekali ia meneguk air mineral yang berada pada dashboard mobilnya. Kedua matanya lurus menatap jalan raya yang tampak lebih lengang dari biasanya.Namun, beberapa saat kemudian ia sedikit tertegun ketika melewati depan sebuah rumah yang tak asing lagi baginya. Rumah keluarga Jenna. Ia melihat dua orang laki-laki tak dikenal baru saja keluar dari rumah Jenna dan memasukkan sesuatu ke dalam mobil.Kening pemuda itu mengernyit.'Siapa mereka? Apa yang sedang mereka lakukan malam-malam di rumah Bibi Anna?' pikirnya heran.Pemuda itu bermaksud berhenti untuk melihat, akan tetapi mobil yang semula berada di depan rumah Jenna itu t
Author's POV"Kalian—sungguh.. Aku benar-benar tidak percaya dengan ini semua. Kalian benar-benar—" Jessie tak sanggup lagi mengeluarkan kalimatnya pada ketiga laki-laki yang kini tengah duduk berjejer di dalam kamar Yoshua.Ya, begitu ketiga gadis itu masuk, dengan cepat Yoshua mencabut kabel televisinya. Namun terlambat, sebab ketiga gadis itu telah sempat melihatnya."Sungguh.. Kami tidak bermaksud begitu. Itu tadi hanya—hanya—" Yoshua kebingungan mencari alasan yang tepat.Sementara Sammy dan Harry hanya diam. Harry terdiam karena cemas, sebab ia takut Yoshua akan membocorkan bahwa kaset DVD tersebut adalah miliknya.Sedangkan Sammy diam bukan karena malu ketahuan, tapi terkejut karena tak menyangka ketiga gadis itu, terutama Jenna—akan masuk ke kamar Yoshua sebebas itu bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Padahal sebenarnya ia hanya tidak mendengar saat ketiga gadis itu mengetuk pintu, sebab terlalu fokus dengan apa yang ditontonnya.
Author's POVBaru saja kedua kakinya sampai di depan gerbang rumah Yoshua, Martin si pemuda berkacamata itu berpapasan dengan Jenna, Maggie dan Jessie."Oh, Martin. Mau kemana?" tanya Jenna."Ah, Jenna, kebetulan sekali. Ngomong-ngomong, apa boleh aku meminjam toilet di rumahmu? Aku sudah tak tahan lagi." ucap Martin."Tentu, pakai saja. Tapi, di mana teman-temanmu yang lain?""Ah, itu—mereka—" Martin tak melanjutkan ucapannya.Tak mungkin ia memberitahu ketiga gadis ini. Bagaimana jika mereka memergoki ketiga temannya yang sedang asyik menonton 'ritual beng-beng' itu?"Hei, ada apa? Di mana mereka? Apa mereka di kamar Yoshua?" ulang Jenna."Y-ya.. Tapi—" lagi-lagi ucapan Martin menggantung. Ia masih ragu."Baiklah, lebih baik kita masuk saja." potong Jessie tak sabar, "Jenna, di mana letak kamar Yoshua? Kau pasti sudah sering kemari, bukan? Cepatlah, aku sudah tak sabar ingin bertemu
Author's POV"Benarkah? Wah, berarti laki-laki yang kulihat di rumah Yoshua tadi itu memang benar-benar Harry. Maggie, biar aku saja yang mengantar pancake nya ke rumah Yoshua. Ya? Ya?" ucap Jessie tampak antusias begitu Jenna menceritakan kepada mereka bahwa sekarang The Jackals sedang berkumpul di rumah Yoshua."Hei, bukannya kau sudah membenci laki-laki itu, huh?" tanya Kristy heran."Tidak juga. Aku memang sempat marah dan sakit hati, tapi itu tidak mengurangi perasaanku terhadapnya. Cintaku terlanjur dalam padanya."Kristy hanya mencibir, "Tapi, apa kita memang harus memberi mereka pancake buatan kita?" tanyanya kemudian sedikit keberatan."Tidak apa-apa. Yoshua sudah seperti keluargaku sendiri. Lagipula aku juga ingin memberikannya sebagai permintaan maaf karena sudah menendang Sammy tadi." ucap Jenna."Ukh.. Pasti rasanya sakit sekali." Kristy mulai membayangkan Sammy yang kesakitan akibat tendan
Author's POV"Maggie. Apa masih belum selesai? Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi ingin buang air." Jenna tampak mendesis dengan merapatkan kedua kakinya saat mereka sedang berada di minimarket."Kau keluar saja dulu. Aku akan menunggumu di depan nanti."Tanpa menyahut, Jenna langsung melesat bagaikan kilat keluar dari minimarket untuk mencari toilet umum. Beruntung, tak jauh dari minimarket terdapat toilet umum yang cukup bersih.Dengan segera gadis cantik dengan surai panjang sebahu itu pun kembali berlari dan langsung masuk ke dalam. Namun, di tengah-tengah buang hajat kecilnya itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara minta tolong dari luar."Tolong!Copeeett!!""Heh? Jaman sekarang masih ada pencopet berkeliaran di sore hari? Sulit dipercaya.." gumam Jenna seorang diri.Namun tak urung ia merasa penasaran sekaligus entah kenapa hatinya jadi tergerak ingin membantu menangkap pencuri itu. Ia ingin mempraktekkan taekwondo
Author's POV"Kekasih? Wah, sulit dipercaya.. Rupanya kekasih Sammy sama sangarnya seperti dirinya." ucap Kristy ketika keempatnya sama-sama mengisi perut di kantin."Tapi apa benar dia itu kekasihnya Sammy? Kenapa kita baru mendengarnya sekarang? Kupikir dia tak pernah mengencani siapapun." Jessie menyahut sambil menyeruput minumannya."Nancy. Namanya Nancy. Dia murid pindahan dari New York dan baru pindah kemari hari ini." Maggie turut menyambung seraya menyuapkan ramyun ke dalam mulutnya.Jenna menghela napas panjang, "Tidak kusangka dia akan menamparku begitu. Sakit sekali.""Apa begitu sakit? Jenna, sepertinya kau harus ke rumah sakit.." ucap Kristy khawatir."Hei, apa aku baru saja tertabrak mobil?" Jenna kembali menghela napas lalu menyentuh dadanya, "Di sini.. Rasanya sakit di sini." lanjutnya lirih, membuat ketiga sahabatnya menatapnya heran."Kenapa? Apa Sammy membalas memukulmu saat kau memukulinya? Cih!