Aku duduk termenung menatap jendela kereta. Sebentar lagi aku akan tiba di stasiun kota B, kota tempat Elisabet tinggal. Barang bawaanku yang lumayan banyak kujejalkan dalam satu ransel gunung dan satu duffel bag.
Kereta berhenti. Aku pun berbaur dengan penumpang lain menuju gerbang. Angkutan umum aneka warna sudah berjejer manis. Kernet dan sopir berteriak sahut-sahutan untuk menarik penumpang. Aku memilih untuk naik angkutan umum di deretan terdepan. Seperti biasa angkutan umum mungil ini kebut-kebutan di jalan raya tanpa peduli keadaan lalu-lintas sedang ramai. Aku duduk sambil memasang kuda-kuda supaya tidak terjungkal. Tidak sampai sepuluh menit aku sudah tiba di komplek perumahan tujuanku. "Ma, aku pulang!" seruku saat sudah masuk gerbang. Elisabet tergopoh-gopoh keluar. Tangannya masih menggenggam kuas dan palet. "Ayo masuk, Nak!" Elisabet tersenyum cerah. "Kok nggak dAku mengubek-ubek dapur. Mataku berbinar saat menemukan mi instan. Segera saja aku merebus air di panci. Aku kelaparan jadi kubuat mi telur porsi dobel. Tiga menit kemudian sepanci mi telur sudah mengebulkan aroma sedap. Aku makan dengan kenikmatan tertinggi. "Wah, wangi banget!" seru Elisabet. "Makan, Ma...," kataku dengan mulut penuh. "Kalau ngomong makanannya ditelan dulu. Kamu kayak baru keluar dari penjara," ledek Elisabet. "Sorry...," ucapku tanpa benar-benar merasa menyesal. Elisabet mencuci tangan, "Bagaimana hubunganmu dengan Richard? Kelihatannya ada kemajuan dan hambatan?" "Ehmm...." Aku menelan mi terlebih dahulu. "Lumayan sih, cuma ayahnya nggak merestui." "Oh, begitu." Elisabet duduk di sebelahku. "Yang lebih parah ayah Richard malah tertarik padaku, Ma." Elisabet mengangkat alis. Shock.
Satu bulan sudah Bryan berkeliling beberapa kota besar di Kalimantan Barat untuk meliput festival Imlek yang berlanjut hingga Cap Go Meh, antara lain Pontianak dan Singkawang. Banyak foto bagus yang dia dapat karena seisi kota benar-benar diliputi warna merah dekorasi Imlek. Puncak perayaan Cap Go Meh begitu meriah. Bryan menuju kota Singkawang dan melihat festival Tatung yang menggetarkan nyali. Bagaimana tidak, dalam kondisi trans para peserta Tatung melakukan atraksi serupa debus tanpa merasa sakit sama sekali. Ada yang berkata bahwa itu adalah karena kekuatan dewa-dewa yang merasuki tubuh fana manusia, membuatnya menjadi kebal segala senjata tajam. Bryan bukan lelaki penakut, tapi hatinya ngilu saat melihat pipi seorang gadis muda peserta Tatung ditembusi dua batang besi tajam sepanjang satu meter. Sayang sekali. Gadis itu sangat cantik dengan mata bulat dan kulit seputih porselen. Ketika berada dalam p
Aku bersin tiga kali berturut-turut. Palet yang kupegang nyaris terjatuh. Elisabet menatapku dengan aneh. "Pilek? Minum vitamin C," kata Elisabet seperti slogan iklan. "Nggak tahu, kayak alergi." Aku melanjutkan melukis. Elisabet terkekeh, "Ada yang ngomongin kamu kali." "Siapa?" "Siapa nanya." Aku merengut. Kalah poin dengan Elisabet. "Mama nih," gerutuku. "Richard belum mampir?" tanya Elisabet. "Belum ada kabar. Masih sibuk kali." Aku menggoreskan cat berwarna merah untuk langit senja yang sedang kulukis. "Coba kamu telepon dia." "Nggak ah. Biar aja." "Hazel, aktif sedikit nggak apa kok." "Nggak ah. Kami belum juga jadi pacar, masa udah suruh-suruh ke sini." Elisabet tidak memperpanjang perkara lagi. Dia t
Aku mencari info tempat wisata yang asyik di kota ini. Kebanyakan wisata alam bebas. Saat ini aku sedang tidak ingin bermain di alam. "Oh, ada pasar malam!" Aku memekik senang. "Di mana?" "Nggak jauh, cuma agak ke pinggir kota." "Pasar malam? Bukannya sore baru buka?" "Oh ya, benar juga. Sekarang masih siang." Kegembiraanku sedikit surut. "Setidaknya kita udah ada tempat tujuan," hibur Richard. Aku meringis. "Aku tahu rumah makan yang bagus di atas gunung. Agak jauh sedikit. Kamu mau?" tanya Richard. "Mau dong! Mumpung lagi di luar!" "Kita bisa duduk agak lama di sana. Kamu pasti suka pemandangannya." "Ayo!" Jalur menuju kawasan Puncak ramai lancar. Richard mengemudi dengan tangkas di jalur yang berkelok-kelok serta menanjak. Aku memang tidak bi
Pagi-pagi sekali aku sudah merenggangkan tubuh di pekarangan. Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku termenung, ini kok seperti bentuk mobil Richard? Masa dia kemari lagi? Si pengemudi mengklakson sekali. Aku melambai. Senyumku sirna saat pengemudi mobil keluar. Bryan!! Mau apa dia?? "Hai, pagi Hazel," sapa Bryan. "Mau apa?" tanyaku ketus. "Ada yang ketinggalan semalam." Bryan belum menyadari kalau aku sudah bisa mengenalinya. "Apa?" "Kamu." Bryan tersenyum manis. Wajah tampannya memang identik dengan Richard, mirip sampai ke lesung pipi, namun warna hatinya sangat berbeda. "Jangan macam-macam deh, Bryan." Bryan tersentak, kaget karena aku mengenalinya. "Mau apa? Menyamar jadi Richard?" ketusku. Bryan terkekeh, "Mata lo jeli banget ya. Biasanya orang yang baru kenal nggak langsun
Bryan tidak menyangka bahwa Hazel akan segera mengenali dirinya, padahal dia berniat menyamar sebagai Richard untuk mengambil kesempatan saat wanita itu lengah. Siapa sangka dirinya malah dibanting ke tanah. Sebagai lelaki harga dirinya turut terbanting. Namun lagi-lagi tidak disangka seorang wanita paruh baya keluar dari rumah dan berbicara dengan ramah. Bryan sempat terpana melihat Elisabet, dia langsung tahu kalau wanita ini adalah ibunda Hazel. Sudah paruh baya tapi masih cantik. Seandainya masih muda Bryan pasti tidak akan melepasnya. Sekarang mereka sudah duduk berhadap-hadapan di ruang tamu. Elisabet menyajikan minuman untuk Bryan tanpa tatapan menghakimi sedikit pun. Dia merasa nyaman berada di dekat Elisabet. Sebuah perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. "Bryan? Kamu suka Hazel?" Elisabet memulai percakapan tanpa basa-basi. Dia tahu lelaki seperti Bryan butuh kata-kata yang lugas. &
Aku tidak menyangka Bryan pulang dengan patuh. Jangan kira aku tidak melihat tatapannya yang begitu dalam terhadap Elisabet. Awas saja kalau mengincar Mama! "Kamu lihat apa sampai sengit begitu sih? Orangnya udah nyerah pulang juga," goda Elisabet. "Mama nggak lihat? Itu orang jangan-jangan malah naksir Mama!" kataku super ketus sekaligus tidak rela dan posesif. "Iya, tahu. Tapi dalam kondisi begitu dia nggak bisa mengendalikan dorongannya, Haze. Semoga dia dengarin nasihat Mama untuk cari pertolongan profesional." Aku tertawa, "Kirain Mama nggak tahu." "Hazel. Mama udah cukup pengalaman hidup. Lagian siapa yang mau?" Elisabet mendelik. "Hehehe sori, Ma." "Udah ah, lanjut kerja. Sini, kamu bantuin Mama bikin tiga lukisan! Temanmu itu menyita banyak waktu jadi Mama nggak bisa selesai target hari ini." "Aaaahh lagi malas,
"Aku cuma mau ambil barang-barang yang masih ketinggalan di apartemen kok. Habis itu langsung pulang." Aku bersiap pergi dengan ransel kosong. "Oke, hati-hati di jalan," ujar Elisabet. "Mama mau titip apa?" "Ah, percuma titip sama kamu. Kalau baliknya sama Richard pasti lupa. Kayak tempo hari, Mama titip air mata pengantin aja nggak dibeliin." "Nggak sengaja Ma, itu gara-gara...." Wajahku merona teringat saat berduaan dengan Richard di kincir ria. Tidak mungkin aku menceritakan alasanku kan? "Sorry, Ma...," lirihku. "Yang penting pulang dengan selamat. Dah sana, buruan pergi." Aku pun memulai perjalananku menuju ibukota. Kemarin aku sudah janjian dengan Richard untuk bertemu di apartemenku. Kami akan menghabiskan hari Minggu ini bersama dan Richard bersedia mengantarku pulang. Dua setengah jam kemudian aku tiba di apart
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe