Ketika sudah mengantar Hazel pulang, Richard mampir ke rumah Bernard untuk mencurahkan isi hati. Tadinya Bernard adalah kepala pengurus rumah tangga Yilmaz yang bekerja dengan keluarganya sejak Richard berusia 10 tahun. Bernard menyaksikan Richard dan Bryan tumbuh dewasa menjadi lelaki rupawan. Setelah Richard dewasa, dia meminta Bernard untuk menjadi resepsionis merangkap tangan kanannya.
Kedua lelaki itu duduk santai di teras sambil menikmati secangkir teh panas. Lampu taman membuat suasana menjadi mistis. "Maafkan saya bertanya, tapi apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Bernard penuh perhatian. "Sejauh ini baik," jawab Richard tanpa semangat. "Ehm... sepertinya Tuan Muda jadi sering sparring dengan Nona Hazel?" Bernard tersenyum. Gaya bicaranya berubah saat hanya berdua dengan Richard. Richard menghela nafas. "Bagaimana saat ke pantai berdua?"&nbSeperti biasa aku melenggang bahagia di pasir pantai. Guliran butir pasir terasa seperti refleksi bagiku. Satu-satunya yang berbeda adalah kehadiran Richard yang membuntuti satu langkah di belakangku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan dalam keheningan, semoga saja bukan hal-hal yang dapat merusak kesenangan hari ini. Iseng-iseng aku memunguti kerikil berbentuk bulat dengan permukaan licin. Siapa tahu berguna di lain waktu. Setelah mengumpulkan cukup banyak aku menyortir, kerikil yang paling sempurna kusimpan, selebihnya kulempar ke laut. "Mau dibuat apa?" tanya Richard penasaran. "Entahlah. Menarik saja." "Kupikir kamu mau mulai mengkoleksi bebatuan." Aku tertawa, "Tidak lah. Ini spontan kok. Kalau sudah bosan mungkin akan kubuang." "Habis manis sepah dibuang." Richard mengkonfirmasi dengan pepatah yang kebetulan dia ketahui. "Kamu kej
Selesai makan Richard membawaku ke sebuah toko buku impor di kawasan selatan kota. Aku sering mendengar tentang toko buku ini tapi belum pernah mengunjunginya. Aku sangat bahagia sampai ingin memeluk Richard. Untung keinginan itu bisa kutahan. Toko buku ini berukuran sedang. Bagian interior didesain sangat nyaman dengan warna-warna kayu. Sofa dan kursi diletakkan di berbagai tempat. Aku langsung menuju rak yang bertuliskan 'Desain'. Mataku berbinar seperti anak kecil yang diundang ke pabrik cokelat. Sebentar saja aku sudah tenggelam dalam buku. Aku bahkan tidak menyadari Richard duduk di sampingku. "Ini bagus," kata Richard. Aku terkesiap mendengar suaranya. Lebih terkejut lagi saat menoleh dan melihat wajah Richard begitu dekat denganku. "Seperti melihat hantu saja," gerutu Richard. Dari ekspresinya aku tahu Richard juga kaget. Aku meringis. "Sorry, kalau
"Pagi, Bernard," sapaku. "Pagi, Hazel. Wah, ada yang sedang bahagia? Wajahmu cerah sekali?" kata Bernard. "Iya yah? Mungkin karena mimpi dapat lotere," sahutku sekenanya. "Pagi-pagi sekali Pak Richard sudah menaruh buku di ruanganmu." "Oke, thanks infonya." Aku berjalan cepat ke ruanganku. Mataku terbelalak saat rak di belakang mejaku penuh oleh buku! Kuamati lebih dekat dan aku semakin takjub karena semuanya buku impor! Apakah ini buku koleksi Richard? Hatiku tersentuh. Oh, ada novel tebal karangan JRR Tolkien! Aku mengambil salah satu novel dan membukanya. Aku langsung jatuh cinta melihat deretan tulisan dalam bahasa Inggris. Bosku memang yang terbaik. "Pagi, Hazel." Richard melongok dari luar. "Pagi juga. Ini semua bukumu?" "Sebagian koleksiku. Sepertinya aku tidak salah pilih." Richard melihat nov
Untuk beberapa hari ini Bryan tidak akan bisa menyamar sebagai Richard. Bibir bawahnya sobek karena pukulan Richard. Aku tidak kasihan melihatnya. Siapa suruh dia menipuku! Kami bertiga duduk di ruangan Richard. Hawa permusuhan membuat oksigen menipis. Aku bernafas dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara. "Kali ini lo udah berbuat melewati batas. Gue harap lo nggak mengganggu Hazel lagi, atau lo akan mendapat lebih dari luka itu," tutur Richard dengan tenang. Bryan tertawa, "Memangnya Hazel udah jadi milik lo? Dia wanita bebas, Brother. Lo nggak berhak mengatur gue, atau dia." Mereka berbicara seolah aku tidak ada di sini loh! What the ..... "Apa yang lo lakuin tadi bisa disebut pelecehan. Gue nggak suka ada orang yang melecehkan karyawan gue. Ngerti?" "Dari apa yang gue dengar, lo pernah mengungkapkan perasaan terhadap Hazel. Itu bukan termasuk pel
Pagi yang aneh bersama bos yang aneh, batinku. Sudah dibilang tidak usah, malah memaksa untuk mengantar. Bukannya aku tidak bersyukur punya bos yang perhatian, tapi apa kata Mama nanti melihatku diantar pulang lelaki? Bisa-bisa Richard diinterogasi sehari semalam. Aku berusaha untuk menikmati pemandangan. Perjalanan kami sudah mulai memasuki kota tetangga tempat Mama tinggal. Banyak pepohonan rindang menyambut mata. "Di sini, sudah sampai," kataku kepada pak sopir. Richard memarkir mobil di depan rumah Mama. Loh, mau apa dia? Masa mau ikut turun?? "Rumahnya sejuk sekali," ujar Richard. "Iya. Dulu waktu kecil aku suka memanjat pohon," kenangku. "Thanks udah mengantarkan." "Sama-sama, Hazel. Selamat berlibur." Aku turun dengan segenap bawaanku, sebuah ransel gunung berukuran besar. Aku menunggu di pintu gerbang sampai mobil Richard melaju p
Aku menyelesaikan sebuah lukisan! Awalnya aku berusaha melukis kembang sepatu yang sedang mekar berseri, tapi gagal dan jadi lukisan abstrak. Elisabet tetap memasukkan lukisanku dalam bingkai. Dia bersikeras pasti ada yang mau membelinya, karena kita tidak dapat menebak selera orang. Kembang sepatu yang malang, batinku. Menjadi putri seorang pelukis tidak menjamin bahwa diriku pun piawai melukis. Aku lebih suka menciptakan sebuah desain yang indah secara digital. Bukannya aku tidak suka menggambar. Aku suka! Hanya saja tidak ada waktu untuk melakukannya. Jadi kata kuncinya adalah 'tidak ada waktu', bukan 'tidak bisa'. Aku menunduk, kalah oleh logikaku sendiri. "Hazel, nanti sore temani Mama ke galeri ya?" "Oke, Ma. Sekarang kita mau ngapain?" "Sapu daun kering sana." "Hah?" "Itu, daun kering di
Subuh jam tiga pagi Elisabet sudah sibuk di dapur. Aku yang mendengar suara alat masak berkelontangan mengira ada maling masuk rumah. Hampir saja aku menerjang si 'maling'. Untung lampu dapur menyala jadi aku tidak salah melihat Elisabet sebagai maling. "Aduh Mama... Bikin apa sih pagi-pagi?" Aku mengeluh dan menguap dalam waktu bersamaan. "Mmm... Ayam bakar, roti manis, selai nenas, sirup buah." Elisabet mengabsen menu masakannya. "Ya ampun, Mama menyambut tamu agung...," keluhku. "Kok aku nggak pernah dibuatkan makanan begini?" "Anak Manis, kamu masih mengigau ya? Kalau nggak mau bantu Mama, kamu kembali tidur sana. Nanti Mama masak kamu." Aku menguap. Kakiku punya pikiran sendiri, mereka melangkah kembali ke kamar. Wajahku menempel di bantal dan aku langsung molor, istilahnya 'pelor'. Bunyi dering handphone menginterupsi mimpiku berduel dengan Jet Li. Ak
I love Monday! Terutama karena tidak ada gangguan dari Bryan! Dari info yang diberikan Bernard, lelaki itu sedang ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Syukurlah. Aku bisa mencurahkan perhatianku sepenuhnya pada pekerjaan, dan juga mencuri waktu bermalas-malasan. Saat mengalami desainer's block aku membaca buku. Richard tidak terlalu mempermasalahkan, baginya yang penting adalah hasil akhir. Aku senang punya bos yang result oriented, tidak mementingkan proses dan detil kerja. "Hazel, kamu nggak makan siang?" Richard melongok dari pintu. Aku mengangkat wajah, "Udah jam duabelas??" "Ayo ikut, kalau nggak kamu terkunci di dalam loh. Aku dan Bernard mau makan siang bersama." "Yes, ikut!" Setelah memastikan semua pekerjaan sudah tersimpan, aku menyambar handphone dan dompet. "Wah, Hazel penuh semangat hari ini. Mungkin aku juga perlu cuti panjang sekali-sekali."
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe