Richard jadi sedikit diam sejak kutolak. Aku pun merasa tidak nyaman memaksanya ngobrol, maka kami berjalan dalam keheningan. Mudah-mudahan tidak mempengaruhi pekerjaan kami.
Aku menggamit lengan Richard untuk berbelok. Richard mengikutiku. Bu Ani sudah melambai heboh dari kejauhan. Aku tahu lambaiannya lebih kepada Richard daripada aku. "Heh! Non! Ke mana aja kok baru kelihatan?? Ihhh nongol-nongol bawa bule ganteng! Kenalin dong sama Ibu," cerocos Bu Ani sambil mengedipkan bulumata palsu. Aku menahan tawa, "Apa sih Ibu. Baru juga seminggu nggak kemari." "Nggak penting!" Bu Ani menepuk lenganku keras-keras. "Ini siapa? Kayaknya pernah lihat deh? Pacarnya Non bukan? Gantengnyaaaa kayak Ahmad Albar! Pasti blasteran Timur Tengah! Ibu punya saudara yang kerja di Saudi loh. Katanya mau ajak Ibu main ke sana, tapi sampai sekarang belum kesampean! Kali aja Non nanti ajak Ibu ke sana juga." Aku tidak mengerti kenapa orang membuat jargon 'I hate Monday'. Memang apa yang salah dengan hari Senin? Sama saja kan dengan hari-hari yang lain dalam minggu? Dalam kasusku hari Senin ini berbeda karena manusianya. "Serius, aku kegerahan...," gerutuku sambil mengipasi wajah dengan selembar kertas. "Itu masalahmu. AC di ruangan ini sudah cukup dingin," sahut Richard tanpa peduli. Dia tetap duduk mepet di sebelahku. "Aduh, lebih baik biarkan aku selesaikan satu halaman ini, baru nanti sore kita lihat bersama. Bagaimana?" "Aku mau lihat." Aku mengomel tanpa suara. "Apa kamu bilang?" "Nggak." Richard menghela nafas, "Ayo, mulai bekerja." "Ya Tuhan, sejak kapan kamu jadi mandor jaman perbudakan? Ini serius mau ditongkrongin sampai selesai?" "Aku jarang bercanda soal p
Kuakui, bercerita membuat beban hatiku terangkat sebagian. Aku telah menceritakan apa yang dikatakan Wahyu kepadaku. Aku juga membuat Richard berjanji untuk tidak ikut campur dalam masalahku dengan Daniel. Dia menyetujui dengan berat hati. Aku bisa menghadapi masalahku sendiri. Daniel bukanlah sesuatu yang penting dalam hidupku. Toh bukan dia yang menggajiku! "Hazel, aku keluar meeting. Kamu tunggu ya." kata Richard ketika hari menjelang sore. "Apa? Sampai jam berapa?" "Kuusahakan tidak sampai malam. Kalau Bernard sudah pulang kamu naik saja ke atas, oke?" Aku mengangkat jempol. Richard tahu aku sudah tidak mau turun ke lantai limabelas. Sepeninggal Richard aku menyetel musik. Pilihan pertamaku jatuh pada Linkin Park. Aku butuh suntikan semangat bukan inspirasi. Jam lima tepat Bernard memberitahuku bahwa dia akan pulang. Aku mengemasi bar
"Coba kamu berikan solusi untuk persoalan ini. Ciptakan strategi marketing yang baik untuk sebuah perusahaan bernama PT Angin Ribut." Aku melongo. Richard serius? "Bisa?" Richard melirikku sekilas. Matanya tidak boleh beralih terlalu lama dari jalan. "Pertama-tama, ganti nama perusahaan. Kedua, perbaharui semua media promosi yang ada, dari logo sampai stationery dan lainnya. Ketiga, sewalah seorang Marketing Executive yang handal. Keempat, pakailah jasaku sebagai desainer grafis." Richard tersenyum geli, "Begitu saja?" "Iya, cukup lah. Sesuai dengan informasi yang tersedia." Itulah obrolan ringan kami dalam perjalanan pulang dari AtoZ Properti, salah satu perusahaan yang dipegang Richard. Khusus untuk meeting tadi, hari ini aku memulas bibir dengan lipstik merah muda dan memakai rok pensil. Siapa bilang desainer grafis tidak boleh t
"Kapan kamu mau mengajakku ke pesta?" Wajahku merengut. "Sekarang," kata Richard tanpa dosa. "Kenapa nggak besok saja?" "Boleh juga." Richard menahan senyum. "Aku serius loh. Kenapa mengajakku?" "Karena kamu temanku." Aku terhenyak, benar juga. Aku bisa menemani seorang teman ke pesta apa saja. "Aku nggak mau ah. Aku malas berada di tengah orang-orang yang nggak kukenal." Richard mengamati wajahku, "Baiklah. Aku nggak memaksa." Gantian aku yang terdiam. Kupikir Richard akan membujukku dengan berbagai macam cara. Loh? Apakah aku berharap dia membujukku? Kok aneh? Setelah mengucap salam perpisahan pada Uncle Ramesh kami pun meninggalkan tailor. Hening mencekam. Aku dan Richard tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Kalau aku mau ikut, apa imbalannya?" tanyaku memec
Aku bersin tiga kali berturut-turut. Kepalaku pening. Aku tahu seharusnya tidak memaksakan diri untuk datang ke kantor hari ini, tapi aku tidak terbiasa absen. "Hazel? Kamu sudah minum obat?" Bernard melongokkan kepala dari pintu. "Belum. Aku minum vitamin C kok." Bernard geleng-geleng kepala, "Kubuatkan jahe hangat untukmu." Aku bersin lagi. Sial. Ini gara-gara tertidur di sofa dengan suhu AC terlalu rendah. Padahal Richard sudah menutupi dengan selimut, tetap saja aku pilek. Aku melirik selimut flanel yang terlipat rapi di sofa. Wajahku terasa hangat. Aku menoleh saat pintu diketuk. Richard berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat khawatir. Apakah aku terlihat seburuk itu? "Kamu perlu ke dokter," kata Richard. "Nggak perlu. Aku minum vitamin." "Ada yang pernah bilang kalau kamu bandel?" &nb
"Woi, muka lo kenapa Bro?" Wahyu tertawa ngakak melihat cap lima jari di pipi kanan kiriku. "Sssssttttt berisik!" desisku. "Lo habis berantem sama Richard??" "Sial. Kaga lah! Gue sama dia udah damai." "Cieeee udah damai nih ye? Terus, kapan bikin bab baru? Jangan lama-lama!" "Maksud lo?" Aku mendelik keki. "Maksud gue, kalau ada rasa jangan disangkal, Bro. Kapan lagi bisa dekat sama--" "Astaga, nggak pakai TOA aja sekalian?" Siang ini kami memesan makanan yang sama: soto ayam. Aku menyeruput kuah soto dengan nikmat. Mataku terpejam saat kuah yang hangat mengalir masuk ke perut. "Bro, lo masih ketemu si D?" tanya Wahyu. "Paling cuma berpapasan di lift. Kenapa? Ada gosip baru?" "Nggak sih, orangnya juga nggak banyak keliling ke meja kita lagi. Penasaran aja apa dia
Aku bersembunyi di toilet. Aku tidak ingin tahu apa yang dilakukan si kembar di ruangan Richard. Sepertinya memang lebih baik tidak tahu, karena baru muncul saja, kenal juga belum, Bryan sudah aktif merayuku. Seseorang mengetuk pintu toilet. Aku tidak menjawab. "Hazel? Kamu baik-baik saja?" Suara Richard bertanya. Aku membuka pintu. "Maaf, saudaraku memang suka jahil." Richard menggaruk kepala. "Iya, nggak apa." Aku mengikuti Richard kembali ke ruanganku. Jantungku berdebar karena Bryan duduk santai di sofa. Kenapa dia masih di sini? "Kamu benar-benar manis kalau sedang ngambek," rayu Bryan. Aku melengos. "Bryan, jangan ganggu Hazel. Gue nggak mau kehilangan desainer." "Sorry, Brother. Lo tahu sendiri gue nggak tahan lihat wanita cantik." Bryan menyeringai. "Kita
Aku melongo melihat Bryan duduk di sofa oranye. Mau apa dia pagi-pagi nongkrong di ruanganku? Aku berjalan dengan perlahan ke mejaku. Mataku memperhatikan Bryan yang tampak sibuk dengan kamera DSLR. Apakah ada pemotretan? "Good morning, Hazel," sapa Bryan dengan senyuman lebar. "Good morning," balasku. "Hari ini aku mau mengikutimu. Boleh?" Aku mengernyit, "Maksudnya?" "Aku mau memotret keseharianmu." "Nggak boleh! Itu melanggar privasi!" sergahku cepat. Aku membayangkan betapa tidak nyamannya dibuntuti orang. "Bagaimana kalau aku mengambil satu foto saja? Boleh? Please?" Bryan memasang wajah sedih. Aku nyaris tertawa, tapi berhasil menguasai diri, "Nggak boleh. Aku nggak suka difoto." "Oh ya? Kupikir wanita suka selfie. Ternyata kamu berbeda," Bryan menatap kagum. Aku tidak menjawa
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe