Amira berjalan menuju kamarnya di lantai empat. Dalam langkahnya, kepalanya masih saja memikirkan tentang Ramon yang harus dia bawa ke Indonesia. Asumsi tentang Ramon yang hanya memanfaatkannya masih saja menjadi yang terdepan. Itu kenapa, Amira begtiu terlihat menimbang-nimbang, apakah dia harus menghubungi Ramon atau tidak. Tapi jika tidak di hubungi, apakah kesepakatan yang dia jalani akan lepas begitu saja? Amira sudah memegangi ponsel sejak tadi. Dari dia berjalan di lorong hingga menunggu lift, juga lorong berikutnya untuk masuk ke dalam kamar. Ponsel itu belum juga mendapatkan titah. Hingga getar singkat yang terasa di tangannya, membuatnya langsung mengangkat ponsel yang sudah menyala. Pesan dari Farah. Apalagi ini? Amira segera membuka pesan singkat tersebut tanpa berpikir yang tidak-tidak. Hingga sepasang bola mata yang menyorot pesan itu, dibuat terpaku beberapa detik, hingga detak jantungnya tiba-tiba saja memompa cepat.Buru-buru Amira menurunkan ponsel untuk menghila
Ramon benar-benar dibuat bingung akan Amira yang menyuruhnya menunggu selama lima menit. Laki-laki yang dibalut kemeja hitam itu ragu-ragu untuk kembali mengetuk pintu. Namun, tangannya tetap saja terangkat lantas menyerukan nama Amita sekali lagi. “Amira! Buka pintunya. Kenapa kau jadi orang tidak berguna seperti ini. Trik apaan ini?”Di dalam sana Amira melirik tajam pada pintu cokelat yang tertutup. Seolah yang sedang di maki lewat tatapan itu adalah si biang onar yang ada di balik pintu kamarnya. Amira lantas saja menyunggingkan senyum sebal, sambil memberikan peringatan pada keamanan hotel. Tak berlangsung lama, dan tidak mendapatkan respons dari Amira, dua orang laki-laki bersetelan jas rapi datang menghampiri Ramon. Ketukan langkah itu membuat Ramon menoleh hingga mengerutkan dahinya, bertanya-tanya. “Maaf, apa ada yang bisa kami bantu?” tanya satu pria yang baru saja datang mendekat. “Tidak. Kau boleh pergi,” jawab Ramon ala kadarnya. “Kami baru saja mendapatkan peringat
Tidak dapat perlakukan yang seharusnya, Amira berlatih mengutuk Ramon lewat tatap kebencian pada pintu kamarnya. Gadis itu benar-benar menyorot tajam kayu pipih itu, seolah menatap Ramon. “Brengsek kau, Ramon! Dasar laki-laki kurang ajar! Tidak tahu diri!” Amira melempar bantal ke sana kemari, meluapkan amarah yang membuncah. Air matanya lolos begitu saja, terus membasahi wajah. Sesenggukan yang terasa kian menyerang, memberikan kepedihan yang teramat nyata bagi Amira. Gadis 26 tahun itu, mendadak menyesal telah menumbuhkan cinta yang tulus dalam dirinya. Jika saja hanya kecewa yang hadir, dari dulu Amira sudah pergi menjauh dari laki-laki bernama Ramon itu! Keadaan Amira sangat berantakan. Rambutnya tidak tertata rapi, juga maskara pelentik bulu kelopak itu menghitam mengelilingi kedua bola mata. Amira menangis tersedu-sedu, sambil membersihkan kembali keadaan diri juga kamarnya.Tidak lama kemudian, saat waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam, pintu kamarnya kembali di ket
“Bagaimana jika induk Intext tahu tentang Mettatech?”Selena memijat pelipisnya sambil mendesah resah. Pertanyaan suaminya barusan membuatnya sejenak ingin keluar dari lingkup dunianya. Ada getir yang tiba-tiba menyerang, juga ada rasa tidak rela yang membuncah menolak kebenaran.“Aku tidak tahu. Tapi aku rasa, founder induk Intext itu tidak akan tahu tentang hal ini. Bukankah yang mengelolanya ayahnya Dired? Aku rasa dia tidak tahu-menahu tentang cabang mereka. Tapi ....” Selena menahan ucapannya. Dia melirik suaminya yang ikut menatapnya. “Tapi kenapa?” “Tapi bagaimana jika dia tahu? Metta akan dikuasai olehnya. Belum lagi kita sempat menolak tawarannya waktu itu. Dan juga, orang-orang menyebutnya manusia dengan watak yang super arogan. Aku tidak takut, Mark. Aku hanya tidak rela. Metta sudah seperti sayap untukku. Jika sayapku patah, maka aku tidak akan berguna untuk apa pun lagi,” sambung Selena. Kilat keresahan benar-benar terbit dari dua bola matanya. Mark ikut menghela nap
Amira tidak menyadari sejak kapan dia sudah sendirian. Begitu matanya terbuka, ada lagi tubuh besar yang sempat memeluknya erat tadi malam. Gadis itu perlahan menyugar rambutnya, lalu menghela napas. Ada sedikit rasa tidak rela ketika Ramon pergi tanpa memberitahunya. Enggan bangun untuk memulai hari, suara ketukan pintu kamar mengurung niat Amira yang tadinya ingin kembali merebahkan diri. Dengan ogah-ogahan kakinya dipaksa bergerak. Sebelum benar-benar membuka pintu, Amira menyempatkan diri untuk memeriksa wajahnya apakah terlihat baik atau tidak ini menyapa orang di sana. Suara kenop pintu terdengar. Kayu pipih itu pun terbuka, menampilkan sosok menjulang dengan senyum manis menyambut sepasang mata Amira.“Kevin?” “Selama pagi, Amira. Apa aku mengganggumu?” sapa Kevin, sosok yang datang. Amira segera menggeleng sambil mengulas senyum kecil. Keadaannya masih sedikit berantakan. Amira mengelus-elus rambutnya, berusaha terlihat baik. “Ah... tidak. Aku juga baru saja bangun tadi,”
“Aku melihat Amira pergi bersama Kevin. Ke mana mereka?”Rama baru saja tiba di dalam kamar Ramon. Sebelum masuk dia sempat berpapasan dengan dua orang yang tidak asing itu lagi, Amira dan kevin. Baru saja menemui sang atasan, pertanyaan itu langsung saja menembus rungu Ramon.“Aku tidak tahu,” singkat Ramon.“Apa kau dan Amira sudah tidak ....”Mata Ramon segera menatap tajam pada Rama, membuat laki-laki itu menciut seketika. Ucapannya tidak berlanjut, dan memilih menelan kembali sebelum kobaran api dari mulut bosnya itu keluar.“Kau terlihat nyaman dengan bahasamu itu,” singgung ramon kemudian.Rama buru-buru menggeleng sambil merutuk diri. “Tidak, Pak. Aku hanya mencoba sekali lagi agar nanti diluar aku tidak keceplosan,” kilahnya, memberikan alasan.Ramon memenyunggingkan bibirnya, lalu balik fokus pada layar persegi besar ditangannya. “Katakan, apa lagi yang sudah kau dapatkan?” tanya Ramon, kembali ke topik pembahasan.Rama segera berjalan mendekat lalu duduk dikursi depan Ramo
Kevin tidak mau berdiam diri saat menyadari Akira sedang tidak baik-baik saja. Kakinya segera melangkah cepat, mengekori perempuan yang punggungnya sudah tak tampak lagi. Kevin buru-buru mengitari seluruh halaman rumah hingga keluar pintu gerbang, tidak menyangka kalau Amira bisa hilang secepat kilat dari pandangannya. Dia tidak menemukan di mana lagi gadis itu. Dan hal yang membuatnya masih bertanya-tanya, kenapa Amira pergi dan sambil menangis? Tak juga dapat hasil, Kevin bergerak cepat menghampiri motor miliknya. Tidak punya waktu lebih untuk mengendarai mobil yang terparkir di garasi. Begitu helm full face itu terpasang, langsung saja motor merahnya itu melaju kencang, berharap kalau Amira belum pergi jauh. **Amira dikejutkan oleh kehadiran Rama telat di tepi jalan saat dirinya hendak keluar dari rumah Kevin. Rama yang kala itu memang berniat mencari tahu di mana kediaman Kevin, lantas saja menyuruh Amira masuk ke dalam mobil miliknya, dan segera membawa Amira menjauh. Melihat
“Apa tentang Farah masih berlaku untuk pembuktian perasaanku padamu? Menjadi putri dari orang terpandang adalah hal yang sangat mengejutkan. Aku takut aku tidak akan bisa lagi bertemu denganmu karena kedudukan kita akhirnya sama,” ungkap Ramon, lirih. Dia takut, amat takut saat ini.Ada yang terbakar dalam hati Amira kala mendengar penuturan laki-laki ini. Bagaimana bisa dia berpikir kalau Ramon itu tidaklah mencintainya seperti yang sudah ditunjukkan. Pernyataan Ramon saat ini saja sudah membuktikan semuanya. Apalagi kepala Amira yang bertepatan dekat didada Ramon, membuatnya bisa mendengar dengan jelas degup jantung laki-laki itu.“Aku bahkan ragu, apakah mereka menerimaku atau justru menolak fakta,” kata Amira.“Bagaimana jika sebaliknya? Hubunganku dan Metta tidak begitu baik.”“Apa kau setakut itu, Pak?”Ramon mengerutkan kening, begitu mendengar nada panggilan itu lagi keluar dari mulut Amira. Segera dia meregangkan pelukan dan menatap pahatan wajah Amira yang baginya amat sanga
Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba
“Menikahlah dengan Kevin. Mama tidak bisa membiarkanmu menikahi orang yang tidak Mama kenali, Namina. Mama yang membesarkan Kevin, dan Mama tahu seberapa pantas dia untukmu. Ini sudah menjadi ketentuan takdir. Mama membesarkan selemah laki-laki yang hebat untukmu untuk membalas kelalaian dulu. Mama bisa menjamin, kalau Kevinlah yang paling baik untukmu bukan orang lain!” Tangan serta kaki Amira bergetar hebat kala mendapatkan pernyataan dari sang ibu. Selena yang masih berbaring di atas brankar Rumah sakit, menjadi alasan untuk Amira tidak langsung menolak atau membantah. Dia takut kalau ibunya itu akan semakin sakit jika mendengar keputusan darinya. “Kenapa Mama justru mengkhawatirkan hal lain alih-alih diri sendiri? Lebih baik fokus saja untuk penyembuhan. Dan apa ini? Kenapa tidak ada yang tahu kalau Mama punya riwayat jantung? Apa yang salah dari sebuah kejujuran, Ma?” balas Amira sambil memegang tangan Selena. “Mama bisa mengatasi semua ini. Lagi pula, percuma juga untuk be
“Kita tidak bisa diam saja, Pak. Kita harus membuat keputusan tadi malam harus pada tempat yang seharusnya. Kevin itu tidak ada hak apa pun terhadap Metta! Mau bagaimana pun juga, yang paling berhak atas Metta saat ini adalah Amira!” Sudah berulang kali Rama mengutarakan kegeramannya terhadap keputusan yang dia dengar malam itu. Rama mendesak Ramon untuk segera ambil tindakan yang memang sepantasnya untuk dilakukan. Dan apa lagi tentang hal yang dikatakan oleh Mark tentang pernikahan itu, semakin membuat darah Rama rasanya mendidih setiap detiknya. Dibalik keresahan sang sekretaris si paling setia, ada Ramon yang masih bingung harus berbuat apa. Di atas kursi meja kerjanya juga tentunya di hadapan Rama, Ramon hanya sibuk menunggu ponsel pintarnya menyala. Dia berharap ada kabar dari Amira, agar dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk sang kekasih juga untuk kebenaran yang harus terungkap. “Pak!” panggil Rama kala ucapannya sejak tadi tak bersahut. Ramon mengangkat wajah den
“Apa-apaan ini, Mark? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang ini?” Mata Selena membulat lebar menatap suaminya. “Apa yang harus kukatakan padamu? Kau bahkan sudah tidak peduli lagi tentang Kevin, Selena. Kau hanya fokus pada Amira sekarang sampai kau benar-benar hilang ingatan tentang Kevin!” Suara Mark tidak kalah menggelegar. Selena menahan napas sejenak, merasa tidak habis pikir dengan jawaban suaminya. Suara lantang Mark juga sempat membuat Selena terlonjak kaget, karena kali pertama dia mendengar suaminya itu berteriak. “Jadi apa maumu sekarang? Kau benar-benar memberikan Metta pada Kevin dan bukan Namina? Apa kau gila, Mark?” ucap Selena dengan nada yang sedikit rendah. “Ya. Itu keputusan yang harusnya yang paling tepat, Selena. Kevinlah yang pantas mengambil alih Metta. Dibalik permasalahan apa pun, Kevin memang jauh lebih unggul dari Amira. Dia akan membangun lebih baik Metta kedepannya. Jangan lupa, kau yang membesarkan Kevin dan kau yang paling paham tentangny