“Apa tentang Farah masih berlaku untuk pembuktian perasaanku padamu? Menjadi putri dari orang terpandang adalah hal yang sangat mengejutkan. Aku takut aku tidak akan bisa lagi bertemu denganmu karena kedudukan kita akhirnya sama,” ungkap Ramon, lirih. Dia takut, amat takut saat ini.Ada yang terbakar dalam hati Amira kala mendengar penuturan laki-laki ini. Bagaimana bisa dia berpikir kalau Ramon itu tidaklah mencintainya seperti yang sudah ditunjukkan. Pernyataan Ramon saat ini saja sudah membuktikan semuanya. Apalagi kepala Amira yang bertepatan dekat didada Ramon, membuatnya bisa mendengar dengan jelas degup jantung laki-laki itu.“Aku bahkan ragu, apakah mereka menerimaku atau justru menolak fakta,” kata Amira.“Bagaimana jika sebaliknya? Hubunganku dan Metta tidak begitu baik.”“Apa kau setakut itu, Pak?”Ramon mengerutkan kening, begitu mendengar nada panggilan itu lagi keluar dari mulut Amira. Segera dia meregangkan pelukan dan menatap pahatan wajah Amira yang baginya amat sanga
Pertemuan yang sudah disepakati yang kemarin satu jam lagi akan berlangsung. Amira sudah menjelaskan pada ramon keseluruhan ceritanya dan juga regulasi yang akan mereka hadapi. Tentang fakta yang kemarin, Amira tidak bersedia untuk mengungkapnya. Meski dalam hati kecilnya kenyataan ini adalah hal yang sangat ajaib baginya. Bertemu dengan kedua orangtua yang sudah sangat lama tidak dia jumpai bukanlah hal yang biasa tentunya. Namun, seolah keadaan yang memaksanya, Amira ingin tetap menjadi sebatas rekan saja untuk dua orangtua itu. Amira sudah membuat keputusan akhir!Ruangan yang kemarin kini mulai terisi lagi untuk hal yang sama. Rekan-rekan penting Mettatech sudah berkumpul kembali. Ada banyak cerita dan kisah tentang latar belakang Ramon yang sudah terkuak ditelinga orang-orang Mettatech. Dan hal itu membuat mereka semakin penasaran, apakah pertemuan ini akan membuahkan hasil yang baik. Baik itu untuk rumah mereka sendiri atau untuk rekan yang saat ini akan mereka temui.“Mettatech
“Pak, apa Anda yakin akan membeli saham di Metta? Sepertinya itu terllau berlebihan. Kitak tidak terlalu membutuhkan apa pun dari Metta. Apa sebaiknya tidak teralalu gegabah?” ucap Rama, masih sambil berjalan mengekori langkah Ramon.Tatapan sang atasan itu langsung saja berpindah pada gadis mungil di sisi kirinya yang berjalan sedikit lambat. Amira merasakan tatapan Ramon hingga refleks membalas dengan mendongak menatapnya.“Bagaimana? Kau masih mau lanjut?” tanya Ramon, alih-alih menjawab tanya Rama tadi.“Uh?” Amira mengerjap. “Kenapa bertanya apdaku, Pak? Bukankah kau bosnya?” Amira membuang jauh pandangannya.Ramon menhentikan langkah untuk menatap dengan jelas apa yang ada dalam hati Amira yang disembunyikan lewat tatapan itu. Rama bingung, yang Amira juga ikut menatap heran.“Jalanlah lebih dulu. Aku akan pulang bersama Amira,” kata Ramon menyuruh Rama pulang lebih dulu.“Baiklah, Pak. Saya pamit,” sahut Rama kemudian, lalu melenggang pergi.Amira menatap sorot mata Ramon yang
“Aku akan memberikanmu waktu untuk membuat Amira kembali merasakan hal yang seharusnya. Jadi tolong lakukan yang benar-benar harus dilakukan. Selamatkan kebahagiaannya sekali ini saja,” kata Ramon lagi.Usai fakta itu lolos dari bibir Ramon, Selena bak tersihir disatu tempat. Matanya membola dengan debaran jantung yang tak beraturan. Ucapan Ramon tadi saja terasa samar di telinganya. Selena hanya bisa membayangkan kejadian kemarin, dan mulai meratapi kenyataan. Dengan cepat bayang-bayang Amira memenuhi kepalanya. Senyum gadis itu memang tidak ada ubahnya dengannya.Amira ... adalah Namina yang hilang. Putri tunggal keluarga terpandang dan pengusaha yang sudah tidak asing lagi namanya.“Bagaimana bisa kau yakin akan hal itu?” tanya Selena, getir.“Jangan tanya apa pun lagi. Anda masih menginginkannya atau tidak?” pungkas Ramon, datar.Kepala Selena kembali menoleh lorong kosong temoatnya berdiri. Buliran air mata kini membasahi wajahnya. Dadanya semakin bergejolak, hampir tidak bisa me
Tumpukan pasir yang dirancang memang untuk dihajar habis-habisan oleh sang peninju, kini menjadi bahan amukan laki-laki berdarah asli Indonesia tersebut. Buku-buku jemarinya memerah, perlahan melebam. Ada luka yang tidak tahu di mana tepatnya, namun luka itu bak kanker stadium akhir yang terus kian menggerogoti.“Amira itu Namina yang hilang, adikmu.” Kata-kata yang saat ini terngiang ditelinganya. Ucapan yang terlontar dari lisan sang ibu, begitu menegaskan bahwa Maira yang dia taruh rasa cinta itu, berubah menjadi sosok yang tidak seharusnya dia letakkan kasih cinta yang lebih.Kevin berteriak, berdecak, mendengus, dan terus memukulu samsak. Dia meluapkan semua kepahutan realita yang datang tanpa meminta. Harusnya bukan inilah akhir dari kisahnya. Kevin tidak memgharapkan ini terjadi. Tapi ada apa dengan takdir? Kenapa dia selalu saja terjebak di dalam paragraf yang rumit? Bagaimana bisa seorang penulis yang andal selalu menempatkan dirinya di dalam ruang yang rumit?Snungguh naif
“Terima kasih,” ucap Amira pada petugas hotel saat dia mendapatkan kotak P3K yang dia cari. “Kamar yang mana saja. Saya akan tinggal beberapa hari.” Rungu Amira tidak sengaja mendengar suara yang begitu familiar. Kepalanya refleks menoleh pada meja kasir hotel dan mendapati laki-laki jangkung berbalut kaos oblong dengan celana pendek warna senada. “Kevin?” gumam Amira. Memastikan yang dia lihat sungguh benar-benar Kevin, Amira mendekat. “Kevin, kau di sini?” Laki-laki yang disebutnya barusan menoleh saat bahunya disentuh. Tepat saat sepasang bola matanya mendapati wajah Amira, entah kenapa ada luka yang terbuka. Serasa jantungnya dikoyak-koyak begitu saja hanya dengan menatap mata Amira. “Amira?” Kevin hanya bergumam. Gadis itu memindai wajah juga keadaan tubuh Kevin yang terlihat berantakan juga tampak lesu. Mata Amira beralih pada jemari Kevin, dan sontak saja mendapati luka kemerahan di buku-buku jemarinya. Buru-buru Kevin menyembunyikan tangan. Kevin takut kalau Amira akan
Atmosfer semakin hening. Begitu terasa hawa-hawa canggung yang membuat Amira semakin dan makin sulit menahan debar jantungnya. Diamnya Amira menjadi pertanda pada Ramon bahwa permintaannya tadi tidak ada penolakan. Kakinya melangkah satu kali lagi. Jarak keduanya benar-benar terkikis sekarang. Gadis dengan mata bulat itu mendongak sempurna menatap pahatan wajah penuh pesona Ramon. Dan ada apa dengan Ramon malam ini. Kenapa wajahnya terlihat lebih segar dari sebelumnya? Apa karena potongan rambutnya yang baru saja Amira sadari telah berubah?Tangan Ramon meraih kotak putih ditangan Amira dan meletakkannya di atas nakas di belakang Amira. Tangan kekar penuh urat-urat biru samar itu, secara perlahan mulai menyentuh caruk leher Amira yang mana didetik yang sama Amira menutup matanya. Sebuah peluang yang bagus. Sebuah tanda terima yang dia dapatkan. Ramon semakin dibuat berambisi untuk melahap satu kali lagi benda kenyal itu. Saat jarak bibirnya sudah mulai habis dan tersisa beberapa cen
Perencanaan pemberitahuan tentang hal penting pada orang-orang Mettatech akan segara berlangsung. Amira sudah dibawa oleh Selena untuk bersiap-siap. Sementara Kevin, masih saja enggan untuk menghadiri acara peresmian tersebut. Semenjak 24 jam terakhir saat orangtuanya tahu kalau Amira adalah saudaranya yang hilang, sejak saat itu Kevin merasa terabaikan. Dia tidak lagi mendapati panggilan telepon atau juga rasa khawatir yang sempat dia dapati kemarin. Apa kini dia dilupakan karena kedatangan Amira? Gedung Metta sudah didesain khusus untuk acara yang akan segera tiba. Gedung yang teramat mewah yang mana pengisi acara tersebut adalah orang-orang ternama yang juga bagian dari Metta. Selain anggota perusahaan tersebut, ada para investor juga beberapa orang-orang penting yang turut serta termasuk founder Intext, Ramon Reano Dirgamanta dan sekretarisnya. Ramon terlihat duduk di meja bundar terlihat tunggal. Pikiran laki-laki itu terlihat kosong. Dia hanya menggoyang-goyangkan gelas beris
Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba
“Menikahlah dengan Kevin. Mama tidak bisa membiarkanmu menikahi orang yang tidak Mama kenali, Namina. Mama yang membesarkan Kevin, dan Mama tahu seberapa pantas dia untukmu. Ini sudah menjadi ketentuan takdir. Mama membesarkan selemah laki-laki yang hebat untukmu untuk membalas kelalaian dulu. Mama bisa menjamin, kalau Kevinlah yang paling baik untukmu bukan orang lain!” Tangan serta kaki Amira bergetar hebat kala mendapatkan pernyataan dari sang ibu. Selena yang masih berbaring di atas brankar Rumah sakit, menjadi alasan untuk Amira tidak langsung menolak atau membantah. Dia takut kalau ibunya itu akan semakin sakit jika mendengar keputusan darinya. “Kenapa Mama justru mengkhawatirkan hal lain alih-alih diri sendiri? Lebih baik fokus saja untuk penyembuhan. Dan apa ini? Kenapa tidak ada yang tahu kalau Mama punya riwayat jantung? Apa yang salah dari sebuah kejujuran, Ma?” balas Amira sambil memegang tangan Selena. “Mama bisa mengatasi semua ini. Lagi pula, percuma juga untuk be
“Kita tidak bisa diam saja, Pak. Kita harus membuat keputusan tadi malam harus pada tempat yang seharusnya. Kevin itu tidak ada hak apa pun terhadap Metta! Mau bagaimana pun juga, yang paling berhak atas Metta saat ini adalah Amira!” Sudah berulang kali Rama mengutarakan kegeramannya terhadap keputusan yang dia dengar malam itu. Rama mendesak Ramon untuk segera ambil tindakan yang memang sepantasnya untuk dilakukan. Dan apa lagi tentang hal yang dikatakan oleh Mark tentang pernikahan itu, semakin membuat darah Rama rasanya mendidih setiap detiknya. Dibalik keresahan sang sekretaris si paling setia, ada Ramon yang masih bingung harus berbuat apa. Di atas kursi meja kerjanya juga tentunya di hadapan Rama, Ramon hanya sibuk menunggu ponsel pintarnya menyala. Dia berharap ada kabar dari Amira, agar dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk sang kekasih juga untuk kebenaran yang harus terungkap. “Pak!” panggil Rama kala ucapannya sejak tadi tak bersahut. Ramon mengangkat wajah den
“Apa-apaan ini, Mark? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang ini?” Mata Selena membulat lebar menatap suaminya. “Apa yang harus kukatakan padamu? Kau bahkan sudah tidak peduli lagi tentang Kevin, Selena. Kau hanya fokus pada Amira sekarang sampai kau benar-benar hilang ingatan tentang Kevin!” Suara Mark tidak kalah menggelegar. Selena menahan napas sejenak, merasa tidak habis pikir dengan jawaban suaminya. Suara lantang Mark juga sempat membuat Selena terlonjak kaget, karena kali pertama dia mendengar suaminya itu berteriak. “Jadi apa maumu sekarang? Kau benar-benar memberikan Metta pada Kevin dan bukan Namina? Apa kau gila, Mark?” ucap Selena dengan nada yang sedikit rendah. “Ya. Itu keputusan yang harusnya yang paling tepat, Selena. Kevinlah yang pantas mengambil alih Metta. Dibalik permasalahan apa pun, Kevin memang jauh lebih unggul dari Amira. Dia akan membangun lebih baik Metta kedepannya. Jangan lupa, kau yang membesarkan Kevin dan kau yang paling paham tentangny