“Amira, jangan pergi,” cegat Kevin. Amira tidak menggubris. Farah hanya diam setelah kalimat Amira tadi menembus rungunya. Ia bergeming sejenak sebelum akhirnya sadar saat Kevin ingin berlari mengejar Amira.“Jangan mengejarnya.” Farah menghentikan.“Tapi kenapa? Ini sudah malam. Di mana Amira akan berlindung?” Kevin yang khawatir alih-alih Farah.“Dia itu bukan orang bodoh sama sepertimu. Jangan membuatnya lebih banyak menaruh rasa tidak suka padamu. Menangkap ikat tidak bisa dengan satu kali percobaan saja. Harus ada kesabaran yang besar agar kau mendapatkan ikan yang kau mau. Kau mengerti?” kata Farah memberikan pesan pada Kevin. Kevin hanya bisa menghela napas. Benar apa kata Farah. Amira itu tipe perempuan yang semakin di kejar akan semakin menjauh. Untuk membawanya dekat, maka pelan-pelan saja. Cara itulah yang ampuh untuk membuat Amira luluh. Farah sekilas melirik ke arah ambang pintu yang mana keluarnya Amira. Lantas kakinya berjalan menjauh, meninggalkan Kevin sendiri. Seb
Gulita membalut langit biru yang memuncak di atas kepala. Terpaan angin basah malam begitu deras menghujam permukaan kulit yang terus-menerus membangkitkan kehangatan. Lampu jalanan yang remang-remang, menambah kesan indah untuk langkah kedua orang yang tengah mabuk api asmara. Bangunan-bangunan yang kerap melintasi kedua mata, bersama-sama menyalakan lampu malam yang menjadi salah satu alat penerang jalan.“Apa yang akan kau lakukan sekarang, Pak? Perusahaanmu sudah jatuh. Apa kau tidak berniat menerima bantuan dari Farah?” Setelah beberapa menit diam membungkus suasana, suara Amira lantas saja menginterupsi lamunan Ramon yang masih membayangkan bagaimana adegan Riko yang berusaha melecehkan Amira. Kepalanya menoleh pelan ke arah gadis pendek di sisi kirinya. “Otak kecilmu itu buat saja untuk memikirkan nasibmu. Kenapa kau terus saja memaksakan untuk memasuki masalah orang lain. Kau tidak kesakitan memikirkannya?” tukas Ramon. Ia mengangkat kedua alias singkat.Amira yang mendongak
Sekitar tiga ratus meter jalanan telah usai di pangkas oleh dua orang itu. Atap mewah Ramon dengan desain Victoria ala ratu kerajaan abad ke 19, langsung saja menerima dengan pintu terbuka satu pasang tubuh yang langsung dilahap habis. Amira kembali merasakan atmosfer hangat yang meliputi diri usai di bungkus rumah yang sempat ada duka di dalamnya. Meski Amira tetap bisa mengingat kejadian waktu itu, namun dengan sekuat hati ia paksakan untuk melupakan. Terkadang memang ada fase untuk kembali ke tempat yang sama tapi tidak dengan kenangan buruknya. Tidak masalah akan tempat apa pun itu. Yang terpenting, bukalah hati yang baru untuk bisa melupakan hal buruk agar masa depan yang baik tidak terganggu. Ramon selesai menutup pintu dan berjalan ke arah Amira yang mematung. Ia menatap gadis itu penuh tanda tanya. “Ada apa?”Amira terkesiap pelan. “Ah... tidak ada, Pak.” Mana mungkin Ramon tidak paham. Ia tahu betul apa isi kepala gadis ini. Benar, rumahnya adalah salah satu tempat kenang
Amira membisu sedari tadi sebab raut wajah Ramon yang tampak tak bersahabat. Laki-laki itu tengah fokus melahap sepotong burger di depannya. Sesekali Amira melirik pria itu, tapi tetap saja bungkam seribu bahasa. “Pak, apa kau marah?” tanya Amira kemudian. Dia tidak nyaman dengan suasana ini.“Marah kenapa?” Ramon balik bertanya.Amira mengangkat bahunya sekilas, “Tentang tadi.”“Kenapa aku harus marah? Kau pikir amarahku itu barang murahan? Yang kapan saja bisa kalian lihat?” “Lalu kenapa kau diam saja? Biasanya mulutmu yang paling banyak berbicara. Walau pun ucapanmu kadang melebih kapasitas,” cibir gadis itu tidak tanggung-tanggung. Ramon akhirnya menatap. Dia meletakkan burger sambil mengunyah sisa makanan yang baru masuk. “Kau sudah tahu kalau bicaraku melebihi kapasitas. Karena itu aku akan diam agar kapasitas itu tidak habis,” sahutnya enteng.Amira ikut menurunkan burgernya. Helaan napas itu lolos. Kadang Amira bingung, apa yang membuatnya tertarik pada pria dengan bibir p
Farah terlihat bosan dengan pernyataan Kevin yang itu-itu saja. Mengapa orang-orang seakan mendamba akan Amira? Memangnya apa kelebihan Amira hingga dua orang yang berpengaruh ini bisa luluh dan seolah tunduk pada anak buahnya itu?“Orang tuaku memaksaku untuk pulang ke Indonesia. Aku tidak bisa meninggalkan Amerika jika aku belum mendapatkan Amira. Kau bilang kau akan membantu. Mana janjimu?” kata Kevin lagi, mendesak Farah.“Kenapa kau tidak berpikir saja sendiri? Kau kaya, juga berpendidikan. Apa uangmu itu hanya kau gunakan untuk bersenang-senang saja? Sesekali belajar dan pahami fungsi otakmu itu. Masalah mudah seperti itu saja kau sudah terlihat frustrasi,” tukas Farah, geram. Keduanya sedang duduk di kafe VVIP bar miliknya. Yang mana kafe itu didesain khusus hanya untuk pemakaian pribadi saja. Hanya beberapa orang tertentu yang boleh masuk. Dan saat ini, Kevin sudah menjadi bagian dari privasi Farah.Kevin terlihat menghela napas, berat. Dia menunduk menatap nanar lantai yang
Ramon segera melangkah cepat menghentikan gadis ‘kecilnya’ itu. Dengan langkah yang super cepat Ramon berhasil menyelip langkah Amira hingga membuat gadis itu menghentikan kakinya. “Jangan bilang kalau kau sedang cemburu?” goda Ramon. Senyumnya tercetak hanya saja terlalu kecil. Kerutan dahi Amira membalas dengan mata yang memutar merasa jengah. Tangannya beralih dipangku, seolah tidak terlalu peduli akan apa yang Ramon katakan tadi.“Jangan buang-buang waktumu hanya untuk berdebat denganku, Pak. Pergi saja sana. Temui gadismu itu. Aku rasa dia sudah menunggumu lama,” tutur Amira, kesal. Ramon mengangguk-angguk sambi ikut memangku kedua tangannya. Dia mengamati wajah Amira sejenak, sampai gadis itu dibuat risi hingga mau tak mau harus membalas tatapan Ramon.“Kau tahu sesuatu?” tanya Ramon kemudian. “Tidak!” singkat Amira. “Ada satu hal yang membuatku ingin kembali menjadi lebih kuat. Aku ingin menjadi diriku yang dulu yang memiliki banyak kekuasaan dan kekayaan. Aku ingin memban
Gulita masih setia menumpuk di langit yang memberikan efek gelap pada bumi. Angin basah sebab hujan ringan yang mendominasi, begitu kentara membalut permukaan kulit menerjang tebalnya sepenggal kain yang membungkus diri. Mobil taxi yang acapkali berwarna dikenal dengan warna biru langitnya, mendarat di depan sebuah mini Bar yang terletak kurang dari lima kilometer dari rumah Ramon. Sosok yang keluar dari sana tidak lain adalah Ramon sendiri. Laki-laki yang tengah di balut kemeja hitam dengan celana bahan yang sempat ia gunakan tadi, langsung saja menapaki jalan mengikis jarak menuju rumah kecil yang berisik di sana. Masih saja sama. Wajahnya masih arogan, dan matanya masih nyalang. Ada rasa dendam yang terkubur dalam dadanya, sehingga membuatnya tidak sabar untuk memasuki ruangan itu dan bertemu dengan sosok yang sudah dia incar sejak tadi. Di sisi lain, saat Ramon akan segera tiba, ada Riko yang tengah asyiknya meneguk minuman keras sambil memandangi para bidadari-bidadari pribumi
Sudah pukul dua malam. Ramon baru saja kembali ke area kediamannya. Usai turun dari dalam mobil bertarif itu, kerutan dahi Ramon tercetak sempurna saat mendapati mobil asing terpatri di depan rumahnya. Ramon menatap sekeliling, bingung. Apa seseorang datang berkunjung? Siapa gerangan yang datang di waktu seperti ini? Dia bertanya-tanya dalam benak. “Tidak ada yang ingin kudapatkan lebih dari itu, Amira. Baiklah jika kau tidak percaya tentang aku yang ingin masuk ke Intext, tapi tolong percaya padaku untuk hal ini. Aku benar-benar tidak ingin kembali ke Indonesia dalam jangka waktu dekat ini. Aku masih betah di sini. Aku masih ingin belajar banyak di sini. Tolong aku... satu kali ini saja. Aku mohon.”Ramon mendengar dan menyaksikan bagaimana nada kalimat itu tertutur dari lisan Kevin. Laki-laki yang sempat beradu jotos dengannya kemarin, ternyata si empunya mobil di luar. Terlihat Kevin sedang duduk di sofa dengan Amira di depannya. Mereka sedang membahas sesuatu yang belum Ramon pa
Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba
“Menikahlah dengan Kevin. Mama tidak bisa membiarkanmu menikahi orang yang tidak Mama kenali, Namina. Mama yang membesarkan Kevin, dan Mama tahu seberapa pantas dia untukmu. Ini sudah menjadi ketentuan takdir. Mama membesarkan selemah laki-laki yang hebat untukmu untuk membalas kelalaian dulu. Mama bisa menjamin, kalau Kevinlah yang paling baik untukmu bukan orang lain!” Tangan serta kaki Amira bergetar hebat kala mendapatkan pernyataan dari sang ibu. Selena yang masih berbaring di atas brankar Rumah sakit, menjadi alasan untuk Amira tidak langsung menolak atau membantah. Dia takut kalau ibunya itu akan semakin sakit jika mendengar keputusan darinya. “Kenapa Mama justru mengkhawatirkan hal lain alih-alih diri sendiri? Lebih baik fokus saja untuk penyembuhan. Dan apa ini? Kenapa tidak ada yang tahu kalau Mama punya riwayat jantung? Apa yang salah dari sebuah kejujuran, Ma?” balas Amira sambil memegang tangan Selena. “Mama bisa mengatasi semua ini. Lagi pula, percuma juga untuk be
“Kita tidak bisa diam saja, Pak. Kita harus membuat keputusan tadi malam harus pada tempat yang seharusnya. Kevin itu tidak ada hak apa pun terhadap Metta! Mau bagaimana pun juga, yang paling berhak atas Metta saat ini adalah Amira!” Sudah berulang kali Rama mengutarakan kegeramannya terhadap keputusan yang dia dengar malam itu. Rama mendesak Ramon untuk segera ambil tindakan yang memang sepantasnya untuk dilakukan. Dan apa lagi tentang hal yang dikatakan oleh Mark tentang pernikahan itu, semakin membuat darah Rama rasanya mendidih setiap detiknya. Dibalik keresahan sang sekretaris si paling setia, ada Ramon yang masih bingung harus berbuat apa. Di atas kursi meja kerjanya juga tentunya di hadapan Rama, Ramon hanya sibuk menunggu ponsel pintarnya menyala. Dia berharap ada kabar dari Amira, agar dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk sang kekasih juga untuk kebenaran yang harus terungkap. “Pak!” panggil Rama kala ucapannya sejak tadi tak bersahut. Ramon mengangkat wajah den
“Apa-apaan ini, Mark? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang ini?” Mata Selena membulat lebar menatap suaminya. “Apa yang harus kukatakan padamu? Kau bahkan sudah tidak peduli lagi tentang Kevin, Selena. Kau hanya fokus pada Amira sekarang sampai kau benar-benar hilang ingatan tentang Kevin!” Suara Mark tidak kalah menggelegar. Selena menahan napas sejenak, merasa tidak habis pikir dengan jawaban suaminya. Suara lantang Mark juga sempat membuat Selena terlonjak kaget, karena kali pertama dia mendengar suaminya itu berteriak. “Jadi apa maumu sekarang? Kau benar-benar memberikan Metta pada Kevin dan bukan Namina? Apa kau gila, Mark?” ucap Selena dengan nada yang sedikit rendah. “Ya. Itu keputusan yang harusnya yang paling tepat, Selena. Kevinlah yang pantas mengambil alih Metta. Dibalik permasalahan apa pun, Kevin memang jauh lebih unggul dari Amira. Dia akan membangun lebih baik Metta kedepannya. Jangan lupa, kau yang membesarkan Kevin dan kau yang paling paham tentangny