Gulita masih setia menumpuk di langit yang memberikan efek gelap pada bumi. Angin basah sebab hujan ringan yang mendominasi, begitu kentara membalut permukaan kulit menerjang tebalnya sepenggal kain yang membungkus diri. Mobil taxi yang acapkali berwarna dikenal dengan warna biru langitnya, mendarat di depan sebuah mini Bar yang terletak kurang dari lima kilometer dari rumah Ramon. Sosok yang keluar dari sana tidak lain adalah Ramon sendiri. Laki-laki yang tengah di balut kemeja hitam dengan celana bahan yang sempat ia gunakan tadi, langsung saja menapaki jalan mengikis jarak menuju rumah kecil yang berisik di sana. Masih saja sama. Wajahnya masih arogan, dan matanya masih nyalang. Ada rasa dendam yang terkubur dalam dadanya, sehingga membuatnya tidak sabar untuk memasuki ruangan itu dan bertemu dengan sosok yang sudah dia incar sejak tadi. Di sisi lain, saat Ramon akan segera tiba, ada Riko yang tengah asyiknya meneguk minuman keras sambil memandangi para bidadari-bidadari pribumi
Sudah pukul dua malam. Ramon baru saja kembali ke area kediamannya. Usai turun dari dalam mobil bertarif itu, kerutan dahi Ramon tercetak sempurna saat mendapati mobil asing terpatri di depan rumahnya. Ramon menatap sekeliling, bingung. Apa seseorang datang berkunjung? Siapa gerangan yang datang di waktu seperti ini? Dia bertanya-tanya dalam benak. “Tidak ada yang ingin kudapatkan lebih dari itu, Amira. Baiklah jika kau tidak percaya tentang aku yang ingin masuk ke Intext, tapi tolong percaya padaku untuk hal ini. Aku benar-benar tidak ingin kembali ke Indonesia dalam jangka waktu dekat ini. Aku masih betah di sini. Aku masih ingin belajar banyak di sini. Tolong aku... satu kali ini saja. Aku mohon.”Ramon mendengar dan menyaksikan bagaimana nada kalimat itu tertutur dari lisan Kevin. Laki-laki yang sempat beradu jotos dengannya kemarin, ternyata si empunya mobil di luar. Terlihat Kevin sedang duduk di sofa dengan Amira di depannya. Mereka sedang membahas sesuatu yang belum Ramon pa
Seperti kesepakatan yang sudah disepakati. Kevin dan Amira akan melakukan perjalanan ke Indonesia untuk menemui orangtua Kevin. Seperti apa yang mereka bincangkan kemarin, Amira akan menjadi kekasih pura-pura untuk Kevin dengan dalilnya agar dibiarkan tetap tinggal di Amerika. Seluruh persiapan sudah di lakukan Kevin sejak pagi-pagi buta tadi. Sebenarnya tidak banyak yang harus di persiapkan hingga harus bangun pagi, hanya saja Kevin terlalu antusias untuk menyambut hari ini. Akhirnya dia dan Amira akan melakukan perjalanan yang mana hanya ada mereka berdua. Hal apa lagi yang membuat Kevin berdebar-debar selain itu?Kevin usai berbenah. Dia mematut diri di depan cermin full body di dalam kamarnya. Dia mengenakan setelan paling bagus menurut pendapatnya. Kemeja putih dengan celana bahan bertema casual. Hair stylenya mirip bak aktor Korea yang mana jidatnya terbuka. Hidung mancung juga senyum manis itu, selalu menjadi objek pertama yang menurut Kevin adalah daya pikat utamanya.Sempu
Amira berjalan ke depan guna menyambut kedatangan Kevin yang sudah bersiap. Bukan rencana, tapi busana keduanya benar-benar cocok untuk segi warna juga gaya. Kevin yang casual ditindih oleh Amira yang elegan. Benar-benar potret pasangan kekasih yang super sempurna. “Hai... maaf sudah menunggu lama,” ucap Kevin tepat saat jarak mereka terkikis. “Tidak juga, Kevin. Aku juga baru selesai bersiap,” balas Amira ramah. Senyuman gadis itu memang tidak ada lawannya lagi. Banyak senyum yang manis menurut orang-orang, tapi senyuman Amira ini terus saja membuat candu dan tidak akan bosan. Ramon berdehem membersihkan tenggorokan saat menyadari mata Kevin tidak lepas dari Amira. Hal itu kontan membuat Kevin langsung menatap Ramon yang juga menatapnya. “Ah, Pak Ramon. Maaf mengganggumu pagi-pagi seperti ini,” ujarnya basa-basi. Ramon tak berniat membalas ucapan yang dia anggap omong kosong itu. Ramon itu tidak bodoh. Mana mungkin dia tidak paham apa yang hendak di lakukan laki-laki di depannya
kendaraan roda empat itu begitu mulus mendarat di depan rumah mewah milik keluarga Kevin. Amira sempat berdecak kagum. Sama halnya seperti kali pertama dia bertemu dengan Ramon di kediaman yang super mewah dan megah itu. "Ayo turun. Ayah dan Ibuku sudah ada di dalam." Kevin membuat lamunan Amira menguap cepat. Buru-buru Amira mengiyakan seraya melepas sabuk pengamannya. Baru saja akan melangkah masuk ke dalam rumah megah bernuansa modern itu, sepasang manusia pun mendadak muncul dengan pintu raksasa yang dibuka. Amira sontak menghentikan langkah, pun dengan Kevin yang ikut terkesiap. Mereka berpikir akan di tunggu di dalam rumah. Rupanya di sambut tempat di ambang pintu. "Ma, Pa, bikin kaget aja. Kevin mikirnya kalian nungguin di dalam," ucap Kevin sambil cengengesan. "Mama udah nggak sabar mau ketemu sama kamu. Begitu dengar suara mobil Mama langsung nyambut." Perempuan bermata hazel itu menjawab. Begitu melihat sang putra kesayangan sudah ada di depan mata, barulah hatinya yang
Amira melahap makan siang ala negara Indonesia yang juga di kenal dengan negara yang kaya akan rempah-rempah. Sebuah makanan yang cukup ringan juga terkesan asing di lidahnya yang memang sudah lama tidak pulang. Juga kenyataan bahwa Amira tidak ingat apakah dia dulu pernah memakan makanan ini atau tidak. “Amira, ceritakan tentang kamu. Misal tentang keluarga atau apa,” ucap Selena, menginterupsi hening yang sempat memajang udara. Amira seketika saja mengangkat wajahnya menatap Selena, lalu menoleh pada Kevin yang memang duduk di sebelahnya. Kevin hanya tersenyum lebar sambil mengangguk. “Ah... saya yatim piatu, Bu,” jawabnya, seadanya. Bukan tipuan, itu kenyataan. Bukan ingin membuat kebohongan baru, Amira memang tidak punya siapa-siapa lagi. Sontak saja Selena dan Mark saling menatap dengan wajah yang sedikit merasa bersalah. Perempuan dengan anak satu itu pun buru-buru mengatupkan bibirnya, merasa resah kalau Amira jadi risi. Dia juga tidak ingin membuat momen ini menjadi biru.
Akhirnya pembahasan tentang perusahaan pun terhenti. Kevin sengaja mendeja. Mana bisa dia terus-terusan memberikan ruang utnuk Amira hanya untuk membuatnya terluka. Kevin tidak jahat, hanya saja dia egois. Kevin itu juga tidak ingin mmebuat siapa pun terluka, hanya saja dia terlalu menuhankan perasaannya hingga dia lupa telah menoreh perlahan luka pada hati seseorang.Amira segera mengikuti apa yang hendak di rencanakan hari ini. Agenda yang dia tidak tahu . Kevin yang paling tahu semuanya sebab dialah dalangnya. Tidak ada hal yang penting yang hendak di beritahu oleh orangtuanya, hal itu juga yang membuat Mark dan Selena saling melempar pandangan. Mereka menduga-duga hal apa yang sedang terjadi antara anaknya juga calon menantunya ini.“Oh iya, Mama hampir lupa,” sahut Selena, yang akhirnya mengikuti. “Cepat selesaikan makan siang kalian dan ikut Mama sama Papa, ya? Kita ke Mettartech dulu. Mama sudha berjanji pada rekan-rekan akan mengenalkan Kevin juga calonnya kepada mereka.”Amir
Kevin meremas kuat setir mobil yang ada di hadapannya. Mendengar serta melihat reaksi Amira yang sedang beradu dialog-yang dia yakini itu Ramon— membuatnya ingin menghancurkan isi dunia. Apalagi saat Amira terlihat bahagia, seolah-olah Kevin tidak punya hal apa pun untuk membuat Amira juga mengulas senyum yang sama.Selang beberapa menit, Amira kembali berjalan ke arahnya. Dari dalam mobil jarak sekitar empat meter, Kevin menatap kedatangan Amira. Sebisa mungkin Kevin meredahkah kemarahan yang tersirat di dua bola matanya. Seketika saja binar kecewa itu berganti jadi raut biasa.“Maaf membuatmu menunggu, Kevin. Tadi ada masalah sedikit,” ucap Amira setelah dia berhasil masuk ke dalam mobil. “Tidak masalah, Amira. Santai saja, jangan terlalu buru-buru. Kita juga baru sampai, ‘kan?” sahut Kevin. Saat Amira akan menatapnya saat itu juga Kevin membuang wajah ke arah jalanan.“Apa kau tidak suka?” tanya Amira, yang entah kenapa membuat Kevin menyesal mengatakan hal tadi. Ucapannya tadi m
Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba
“Menikahlah dengan Kevin. Mama tidak bisa membiarkanmu menikahi orang yang tidak Mama kenali, Namina. Mama yang membesarkan Kevin, dan Mama tahu seberapa pantas dia untukmu. Ini sudah menjadi ketentuan takdir. Mama membesarkan selemah laki-laki yang hebat untukmu untuk membalas kelalaian dulu. Mama bisa menjamin, kalau Kevinlah yang paling baik untukmu bukan orang lain!” Tangan serta kaki Amira bergetar hebat kala mendapatkan pernyataan dari sang ibu. Selena yang masih berbaring di atas brankar Rumah sakit, menjadi alasan untuk Amira tidak langsung menolak atau membantah. Dia takut kalau ibunya itu akan semakin sakit jika mendengar keputusan darinya. “Kenapa Mama justru mengkhawatirkan hal lain alih-alih diri sendiri? Lebih baik fokus saja untuk penyembuhan. Dan apa ini? Kenapa tidak ada yang tahu kalau Mama punya riwayat jantung? Apa yang salah dari sebuah kejujuran, Ma?” balas Amira sambil memegang tangan Selena. “Mama bisa mengatasi semua ini. Lagi pula, percuma juga untuk be
“Kita tidak bisa diam saja, Pak. Kita harus membuat keputusan tadi malam harus pada tempat yang seharusnya. Kevin itu tidak ada hak apa pun terhadap Metta! Mau bagaimana pun juga, yang paling berhak atas Metta saat ini adalah Amira!” Sudah berulang kali Rama mengutarakan kegeramannya terhadap keputusan yang dia dengar malam itu. Rama mendesak Ramon untuk segera ambil tindakan yang memang sepantasnya untuk dilakukan. Dan apa lagi tentang hal yang dikatakan oleh Mark tentang pernikahan itu, semakin membuat darah Rama rasanya mendidih setiap detiknya. Dibalik keresahan sang sekretaris si paling setia, ada Ramon yang masih bingung harus berbuat apa. Di atas kursi meja kerjanya juga tentunya di hadapan Rama, Ramon hanya sibuk menunggu ponsel pintarnya menyala. Dia berharap ada kabar dari Amira, agar dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk sang kekasih juga untuk kebenaran yang harus terungkap. “Pak!” panggil Rama kala ucapannya sejak tadi tak bersahut. Ramon mengangkat wajah den
“Apa-apaan ini, Mark? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang ini?” Mata Selena membulat lebar menatap suaminya. “Apa yang harus kukatakan padamu? Kau bahkan sudah tidak peduli lagi tentang Kevin, Selena. Kau hanya fokus pada Amira sekarang sampai kau benar-benar hilang ingatan tentang Kevin!” Suara Mark tidak kalah menggelegar. Selena menahan napas sejenak, merasa tidak habis pikir dengan jawaban suaminya. Suara lantang Mark juga sempat membuat Selena terlonjak kaget, karena kali pertama dia mendengar suaminya itu berteriak. “Jadi apa maumu sekarang? Kau benar-benar memberikan Metta pada Kevin dan bukan Namina? Apa kau gila, Mark?” ucap Selena dengan nada yang sedikit rendah. “Ya. Itu keputusan yang harusnya yang paling tepat, Selena. Kevinlah yang pantas mengambil alih Metta. Dibalik permasalahan apa pun, Kevin memang jauh lebih unggul dari Amira. Dia akan membangun lebih baik Metta kedepannya. Jangan lupa, kau yang membesarkan Kevin dan kau yang paling paham tentangny